PENDAHULUAN Model Ecofarming Untuk Mewujudkan Sistem Usahatani Berkelanjutan Di Lahan Dataran Tinggi Yang Telah Dimanfaatkan Oleh Masyarakat (Kasus di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menunjukkan kecenderungan trend yang meningkat, seiring dengan meningkatnya konversi lahan pertanian produktif ke pemanfaatan non pertanian di dataran rendah. Dariah 2007 menegaskan bahwa 45 wilayah Indonesia adalah perbukitan dan pegunungan sehingga pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menjadi sangat strategis manakala lahan pertanian di dataran rendah tidak dapat dipertahankan lagi. Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian, mampu menghasilkan berbagai jenis tanaman seperti hortikultura, perkebunan, pangan dan hasil peternakan. Selain memberikan manfaat ekonomi bagi jutaan petani, lahan dataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aliran sungai DAS dan penyangga daerah di bawahnya. Perubahan bentuk penutupan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau ke pemanfaatan lainnya seperti perumahan, menyebabkan peluang terjadinya erosi di wilayah ini sangat tinggi. Curah hujan, kemiringan lereng dan kondisi tanah yang tidak stabil sangat menentukan besarnya erosi yang terjadi di dataran tinggi Truman et al., 2003. Oleh karena itu pemerintah menetapkan berbagai undang-undang dan peraturan agar laju perubahan fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di wilayah dataran tinggi tidak semakin meluas. Penerapan teknik pengelolaan yang tidak tepat akan menyebabkan terjadinya eksploitasi lahan dataran tinggi secara berlebihan dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang meluas. Publikasi laporan mengenai kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi dan kesalahan dalam pengelolaan agroekosistem lahan dataran tinggi telah banyak beredar. Sebagian besar menegaskan bahwa telah terjadi degradasi kualitas lahan dan air yang cukup parah dan menimbulkan dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap kehidupan masyarakat setempat maupun masyarakat yang lebih luas di bagian hilir. Reed 2002 memperkuat hal tersebut dengan menyatakan bahwa masalah degradasi lingkungan telah menjadi gejala umum dalam masyarakat perdesaan di negara berkembang, terutama dalam masyarakat yang masih dihadapkan pada masalah pemenuhan kebutuhan dasar dan kemiskinan. 2 Sedikitnya terdapat empat hal yang mencerminkan kondisi pertanian di lahan dataran tinggi pada saat ini. Pertama, usahatani semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan. Ketiga, meningkatnya curah hujan bulanan pada waktu-waktu tertentu akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit Anyamba et al., 2006. Keempat, hilangnya kemampuan masyarakat untuk membangun modal sosial social capital sehingga mereka tidak mampu mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada modal usaha yang berasal dari luar. Meskipun budidaya pertanian di lahan dataran tinggi menghadapi permasalahan yang kompleks, tetapi masyarakat lokal terutama petani tetap berusaha mempertahankannya. Upaya pemerintah untuk mengembalikan lahan dataran tinggi sebagai kawasan lindung dengan cara menghutankan kembali, menjadi alternatif penyelesaian yang sulit dilakukan. Bagi petani, bertani adalah cara hidup way of life dan bagi pemilik lahan, kepemilikan atas tanah adalah segalanya harga diri sehingga harus dipertahankan Pranadji, 2006. Relokasi lahan membutuhkan biaya yang besar, yaitu biaya ganti rugi tanah dan biaya sosial yang ditimbulkan oleh penolakan masyarakat. Pada batasan-batasan tertentu dan jika dikelola berdasarkan prinsip- prinsip berkelanjutan, sebenarnya lahan dataran tinggi berpotensi sangat besar sebagai penghasil pangan yang ramah lingkungan Hidayat dan Mulyani, 2002. Dalam pelaksanaannya, tetap harus memperhatikan: kesesuaian jenis pemanfaatan dengan kondisi lahan dan peraturan yang berlaku, pengendalian terhadap sumber utama penyebab lahan menjadi kritis, budidaya konservasi demi keberlanjutan fungsi-fungsi dalam ekosistem, kondisi sosial-ekonomi- budaya petani pengelola lahan, jenis tanah dan agroklimat setempat serta prospek pengembangan kawasan sebagai sistem produksi pangan. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, diperlukan satu model pengelolaan agroekosistem yang dapat memberikan kepastian penghasilan bagi peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitarnya, menjaga stabilitas sosial yang dinamis dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk itulah perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan model pengelolaan 3 agroekosistem yang berkelanjutan. Model pertanian berbasis ekologi ecofarming sebagai hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi untuk kebijakan pembangunan pertanian lahan dataran tinggi yang saat ini sedang menghadapi permasalahan yang kompleks. 1.2. Perumusan Masalah Dataran tinggi memiliki fungsi lindung utama sebagai daerah tangkapan air water catchment area. Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan atau vegetasi hutan. Perakaran tanaman tahunan yang dalam memiliki kemampuan untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan. Namun kenyataannya luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang, berubah menjadi kawasan budidaya untuk pemanfaatan pertanian dan pemukiman. Masyarakat cenderung mengabaikan risiko kerusakan lingkungan yang dapat ditimbulkan akibat perlakuan tersebut. Demikian halnya dengan lahan dataran tinggi yang terdapat di wilayah penelitian. Kawasan dengan kemiringan lereng 40 sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Kondisi topografi wilayah yang berbukit-bergunung membuat masyarakat tidak memiliki alternatif lokasi lain untuk kegiatan pertaniannya. Budidaya secara intensif dalam jangka waktu yang lama seperti di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko telah menimbulkan masalah serius baik ditinjau dari aspek ekologi, sosial maupun ekonomi. Dari aspek ekologi, permasalahan terjadi akibat pola usahatani yang dilakukan bersifat monokultur, didominasi oleh tanaman semusim dan jenis komoditas yang dibudidayakan sangat terbatas. Masyarakat juga belum melakukan tindakan konservasi yang memadai meskipun lahan pertanian mereka berlokasi di lahan yang miring. Bahkan ditemukan indikasi meluasnya kawasan budidaya di lahan dataran tinggi sejalan dengan dibukanya kerjasama Perhutani dengan masyarakat desa sekitar hutan untuk memanfaatkan sebagian hutan untuk kegiatan pertanian. Sehingga tidak mengherankan jika laju erosi meningkat seiring dengan meluasnya areal terbuka di wilayah dataran tinggi. Erosi dapat mengakibatkan degradasi lahan pertanian dataran tinggi, pendangkalan sungai dan terganggunya sistem hidrologi daerah aliran sungai DAS yang mendorong terjadinya banjir dan kekeringan di bagian hilir. Bencana banjir dilaporkan telah menenggelamkan sebagian besar wilayah Kabupaten 4 Trenggalek pada awal tahun 2006, 2007 dan 2008. Demikian pula kejadian banjir yang terjadi disekitar DAS Cikapundung dan DAS Citarum Jawa Barat. Fenomena ini menjadi peristiwa rutin yang selalu dihadapi masyarakat setiap musim hujan. Keadaan tersebut membuktikan bahwa erosi yang terjadi di bagian atas wilayah tersebut tidak hanya mengakibatkan terbentuknya lahan kritis, namun juga menimbulkan sedimentasi yang menghambat aliran air di sepanjang alur drainase sehingga mengakibatkan banjir Siswanto dan Suharjono, 2006. Penelitian Poerbandono et al., 2006 menyebutkan laju sedimentasi di DAS Citarum hulu telah meningkat dua kali lipat selama satu dasawarsa, ditunjukkan oleh peningkatan laju sedimentasi tahunan dari sebesar 1,18 juta ton pada tahun 1993 menjadi sebesar 2,15 juta ton pada tahun 2003. Erosi juga mengakibatkan hilangnya lapisan top soil yang subur sehingga menjadi pemicu meningkatnya penggunaan pupuk kimia di lahan pertanian. Untuk wilayah Kecamatan Lembang, pemakaian pestisida secara berlebihan diduga telah meninggalkan residu yang mencemari produk sayuran yang dihasilkan. Semua hal tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas daya dukung lingkungan. Diperhatikan dari aspek ekonomi, keuntungan yang diperoleh pada saat panen seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan rendahnya margin keuntungan yang diterima oleh petani yaitu: a. Karakteristik produk pertanian yang cepat rusak dan membutuhkan tempat yang luas voluminous menyebabkan harganya sangat fluktuatif tergantung musim. b. Rantai pemasarannya yang panjang, melibatkan lebih dari satu tingkat pedagang pengumpul, pedagang grosir, prosesor dan pedagang pengecer menyebabkan harga sayuran di tingkat petani umumnya sangat rendah dibandingkan dengan harga di tingkat pengecer. Belum lagi biaya tak terduga yang timbul dari pengutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. c. Penguasaan lahan yang sempit menyebabkan usaha tani dilakukan tanpa manajemen pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha ekonomis. Hal ini mengakibatkan terjadinya inefisiensi yang tinggi dan sulitnya menjaga kontinuitas produksi baik kuantitas maupun kualitasnya. 5 d. Budidaya intensif mengakibatkan tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan petani untuk benih, pupuk, pestisida dan pengolahan tanah. Untuk mendapatkan modal usahanya petani seringkali harus menjual produksinya secara ijon. Namun demikian, bagi petani di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko, bertani bukan semata-mata mencari keuntungan ekonomi. Bertani adalah suatu cara kehidupan, oleh karenanya tetap dilakukan meskipun tidak selalu memberi keuntungan materi. Ditinjau dari aspek sosial, hal ini juga menimbulkan beragam permasalahan. Seperti misalnya: munculnya konflik dalam kehidupan sosial masyarakat akibat lemahnya kualitas SDM sumberdaya manusia dan tidak berfungsinya kelembagaan lokal sebagai dasar kekuatan komunitas untuk membangun modal sosial masyarakat. Kondisi umum dan permasalahan yang dihadapi saat ini oleh masyarakat di lokasi penelitian secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.1. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah membuat model ecofarming di lahan dataran tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, dilakukan tahapan penelitian dengan pencapaian setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan indeks dan status keberlanjutan usahatani saat ini existing. 2. Menetapkan variabel-variabel dominan model ecofarming berdasarkan analisis 5 sub model. 3. Menetapkan desain model ecofarming. 4. Mengetahui hasil simulasi model ecofarming. 5. Menetapkan alternatif rekomendasi skenario strategis ecofarming untuk rancangan kebijakan pembangunan pertanian. 6 Gambar 1.1. Permasalahan dan Kondisi Umum di Lokasi Penelitian Lahan Dataran Tinggi Berlereng Pertanian Ekonomi Sosial Ekologi Penguasaan lahan sempitsewaburuh Biaya input produksi tinggi Harga fluktuatif Rantai pemasaran yang panjang Pungutan liar Kelembagaan lokal tdk berkembang Kualitas SDM rendah Konflik sosial Fasilitas infrastruktur terbatas Tingginya angka pengangguran Meluasnya konversi lahan Erosi Pencemaran oleh residu pestisida di tanah, air dan produk Pola usaha dan jenis komoditas terbatas Tidak ada perlakuan konservasi lahan dan air Menurunnya daya dukung lingkungan Anomali iklim yang sulit diprediksi sehingga petani sering merugi Hilangnya kemampuan masy. membangun modal sosial Usahatani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga Longsor 7 1.4. Kerangka Pemikiran Intensitas pemanfaatan lahan dataran tinggi di Pulau Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Timur pada saat ini sudah sangat tinggi. Padahal, kegiatan membuka lahan dataran tinggi dan memanfaatkannya untuk pertanian tanaman semusim sangat berisiko terhadap lingkungan. Tekanan jumlah penduduk yang membutuhkan pangan dan lapangan pekerjaan serta target pencapaian PAD pendapatan asli daerah seringkali menjadi penyebab sebagian besar lahan dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa berubah fungsi dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Sebagian besar berubah menjadi lahan pertanian tanaman semusim seperti yang terjadi di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko. Karakteristik petani di wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl seperti di Kecamatan Lembang, biasanya menanam berbagai jenis sayuran. Pada wilayah yang ketinggiannya lebih rendah 900 m dpl seperti di Kecamatan Dongko, petani menanami lahannya dengan tanaman pangan seperti ubi kayu dan jagung. Konversi daerah konservasi di dataran tinggi juga tidak terlepas dari tekanan semakin sulitnya mendapatkan tanah di dataran rendah untuk kegiatan pertanian. Pemerintah daerah menggunakan alasan kesesuaian lahan dan agroklimat, tingginya aktivitas pembangunan fisik di dataran rendah dan meningkatnya jumlah penduduk, serta kebutuhan pangan nasional dan peluang pasar komoditas pertanian sebagai penyebab meningkatnya konversi lahan dataran tinggi. Target pencapaian PAD juga berpengaruh terhadap tingginya laju konversi lahan pertanian produktif di dataran rendah menjadi bentuk usaha lain yang dianggap lebih menguntungkan. Semua itu mengakibatkan peraturan daerah mengenai RTRW yang sudah dibuat sebelumnya untuk mengatur pemanfaatan ruang dan wilayahnya, tidak lagi dipatuhi. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Tata Ruang No 26 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa pemerintah propinsi mempunyai wewenang melakukan perencanaan, pemanfaatan sekaligus pengendalian pemanfaatan ruang wilayahnya. Terkait dengan pemanfaatan lahan dataran tinggi, Departemen Pertanian juga telah mengeluarkan Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan tahun 2006. Buku tersebut dimaksudkan sebagai panduan cara berusahatani di lahan dengan elevasi minimal 350 m dpl 8 dan kemiringan lereng 15 disebut sebagai lahan pegunungan agar laju erosi yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan dapat dikendalikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian di lahan dengan kemiringan 5 – 15 seperti halnya di Jasinga Bogor, berpotensi mengakibatkan erosi tanah sebesar 90,5 tonhath Kurnia et al., 1997. Dilaporkan pula bahwa erosi pada tanah Andisol di Pacet Cianjur dengan kemiringan lahan 9 - 22 telah mencapai 252,0 tonhath. Kesalahan dalam mengelola lahan dataran tinggi berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan sekaligus menghilangkan sebagian dari multifungsi pertanian. Salah satu contoh multifungsi pertanian lahan dataran tinggi yang terkait dengan aspek lingkungan adalah dampak positif dari penerapan teknik konservasi di bagian hulu terhadap lingkungan di sekitarnya. Pengurangan laju sedimentasi di daerah hilir dari hasil penerapan konservasi di daerah hulu akan memberikan manfaat bagi pengguna air di sepanjang aliran sungai sekaligus berfungsi sebagai pengendali banjir. Oleh karena itu, keputusan memanfaatkan lahan dataran tinggi untuk kegiatan pertanian seharusnya berdasarkan pertimbangan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi yang akan diperoleh. Pemanfaatan lahan di dataran tinggi yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan jelas menimbulkan permasalahan yang kompleks. Keberlanjutan pertanian di daerah peka terhadap erosi juga diragukan seiring dengan hilangnya kemampuan masyarakat setempat untuk membangun kekuatan modal sosial social capital untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam yang dimilikinya. Jika stakeholders yang terdapat di wilayah pengamatan enggan untuk berpartisipasi dalam upaya untuk memperbaiki lingkungannya, maka tidak seorangpun dapat menjamin keberlanjutan usaha pertanian yang selama ini menjadi andalan penghasil pangan wilayah. Stigma pertanian sebagai salah satu kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan akan semakin kuat melekat. Apalagi ketergantungan masyarakat terhadap input modal dari luar sangat tinggi, hal ini jelas menyebabkan lemahnya kekuatan agroekosistem sebagai sebuah kawasan produksi yang dikelola oleh masyarakat lokal. Salah satu acuan utama mengenai modal sosial adalah dari Bank Dunia 1988 menjelaskan bahwa : ” The social capital of a society includes the institution, the relationship, the attitudes and value that govern interaction among people and contribute to the economic and social development…It includes the shared values and rules for social conduct expressed in personal relationships, trust and a common sense of 9 “civic” responsibility, that makes society more than a collection of individuals. Without a degree of common identification with form of governance, cultural norms and social rules, it is difficult to imagine a functioning society” Sesuai dengan prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan, maka aspek pengendalian tidak dapat dipisahkan dari usahatani lahan dataran tinggi. Dari aspek ekologi, pengendalian erosi tanah secara mekanis dan vegetasi dapat mempertahankan lapisan top soil yang subur, sehingga laju sedimentasi di sungai dan badan air bagian hilir akan berkurang demikian juga penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida sebagai input produksi. Konservasi yang disertai penerapan tekonologi LEISA low external input for sustainable agriculture akan mengurangi beban lingkungan untuk menerima limbah sekaligus meningkatkan kemampuan daya dukungnya Reijntjes et al., 1992. Dari aspek ekonomi, kesejahteraan petani yang diperoleh dari peningkatan pendapatan usahataninya dapat tercapai jika agribisnis dikelola berbasis kawasan yang didukung oleh pasar komoditas yang fair Irawan, 2003. Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani sendiri-sendiri dan mengandalkan lahan yang sempit hanya akan membuat usahatani bersifat subsisten. Demikian halnya dengan sistem penetapan harga yang diberlakukan oleh tengkulak kepada petani, mengakibatkan sebagian besar dari margin keuntungan dimiliki oleh tengkulak sebagai pedagang pengumpul. Dari aspek sosial, penguatan kelembagaan sosial masyarakat merupakan prioritas yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan lokal dalam mempertahankan kelestarian lingkungan dan membangun modal usaha secara bersama Saptana et al., 2004. Pemerintah mendukung upaya tersebut dengan menerapkan kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan secara konsisten yang berpihak kepada petani selaku produsen. Pembangunan pertanian berkelanjutan pada hakekatnya adalah memproduksi bahan pangan dan melestarikan basis sumberdaya pertanian Reeve, 1990. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan terminologi tersebut mengacu kepada pertanian berbasis ekologi ecological agriculture, seperti: ecofarming, eco-development, low-external input agriculture LEIA, dan site appropriate agriculture. Namun demikian, semua istilah yang digunakan masih dalam satu pemahaman yaitu “pertanian yang berkelanjutan”. Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Meskipun Jerman menjadi negara pertama yang menemukan metodenya, namun pada 10 saat ini China yang paling berhasil mengembangkan pertaniannya dengan ecofarming Public Medline Index Development , 1993. Pengelolaan usahatani menggunakan model ecofarming memiliki ciri utama keanekaragaman, sehingga tidak dibatasi oleh jenis komoditas tertentu. Dalam ecofarming diperbolehkan menggunakan komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya, sehingga dapat disebut agroforestri. Unsur peternakan juga menjadi bagian dalam model ini, karena bermanfaat sebagai sumber bahan organik yang dapat diolah menjadi pupuk dan sumber energi. Petani sebagai pelaku utama dalam model ini, tetap diperbolehkan menanam tanaman semusim sebagai sumber bahan pangan dan pendapatan dalam waktu yang cukup singkat, namun harus dikombinasikan dengan tanaman tahunan sebagai tanaman konservasi. Dengan pola seperti itu, maka model ecofarming diyakini dapat menjamin berlangsungnya fungsi lindung dan fungsi budidaya di wilayah dataran tinggi. Model ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dalam bentuk produksi pertanian, namun juga manfaat sosial dan ekologi dalam bentuk jasa lingkungan yang disediakan oleh kawasan agroekosistem. Model ecofarming diharapkan juga menjadi win-win solution bagi pemerintah daerah yang ingin mengembalikan fungsi wilayah dataran tinggi sebagai kawasan lindung dan bagi masyarakat yang menggantungkan kelangsungan hidupnya dari usahatani di wilayah tersebut. Dalam jangka panjang, implementasi ecofarming secara konsisten dan didukung oleh seluruh stakeholders terkait, akan berperan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan wilayah dan nasional. Hal ini tidak terlepas dari pencapaian keberhasilan pada indikator penting yang digunakan untuk menilai pembangunan ketahanan pangan yaitu keberlanjutan usahatani, peningkatan kesejahteraan petani dan kelestarian lingkungan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini seperti yang terdapat pada Gambar 1.2. 11 1.5. Kebaruan Penelitian Novelty Kebaruan dari penelitian ini terletak pada penyatuan berbagai sub model yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pertanian di lahan dataran tinggi dalam satu grand design holistik yang mencakup aspek sosial, ekonomi dan ekologi serta memperhatikan karakteristik agroekosistem setempat dan prinsip pengelolaan sebuah kawasan. Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Model Ecofarming Di Lahan Dataran Tinggi yang Dimanfaatkan untuk Pertanian Perda RTRW Ketahanan Pangan Nasional PAD Pangan Pekerjaan Ekonomi Kawasan Lindung di Dataran Tinggi Kawasan Budidaya Lembang dan Dongko Model Ecofarming di Lahan Dataran Tinggi UUTR 262007 Konversi Erosi Tinggi Kesesuaian Agroklimat Penerapan teknologi LEISA Kebijakan publik yang mendukung Penguatan modal sosial Pengelolaan lahan terpadu Agribisnis - Pemasaran Fungsi Lindung Tidak Berkelanjutan Pengelolaan kawasan Fungsi Budidaya 12

II. TINJAUAN PUSTAKA