54 Kabupaten Bandung Barat terdiri atas 15 Kecamatan yaitu Lembang,
Parongpong, Cisarua, Ngamprah, Padalarang, Cipatat, Cikalong Wetan, Cililin, Cipeundeuy, Batujajar, Cihampelas, Cipongkor, Sindangkerta, Gunung Halu dan
Rongga. Sebagian dari wilayahnya terletak di jalur utama Bandung-Jakarta yaitu Kecamatan Lembang, Padalarang, Cipatat dan Ngamprah. Dari 15 Kecamatan
hanya lima yang mempunyai nilai kegiatan ekonomi lebih dari Rp. 1 trilyun yaitu Kecamatan Lembang, Padalarang, Cipatat, Batujajar dan Ngamprah. Nilai
kegiatan ekonomi di Kecamatan lainnya di bawah 500 milyar. Kenyataan tersebut mengindikasikan adanya ketimpangan ekonomi dan sosial, sehingga
pemerintah daerah perlu menyusun perencanaan pembangunan wilayah secara tepat dan komprehensif.
4.1.2. Kecamatan Lembang dan Pengembangan Wilayahnya
Wilayah Kecamatan Lembang memiliki posisi strategis dari segi perkembangan wilayahnya karena dilalui jalan koridor Bandung Jakarta via
Subang serta berbatasan dengan Kota Bandung. Potensi fisik wilayahnya adalah pertanian hortikultura, sapi perah dan pariwisata. Lahan yang subur
menghasilkan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Ribuan ternak sapi menghasilkan susu segar untuk kebutuhan masyarakat dan industri. Sedangkan
panorama alam yang indah disertai udara yang bersih dan sejuk menjadikan Lembang sebagai lokasi wisata yang ramai dikunjungi. Semua itu membawa
konsekuensi bagi perkembangan yang melaju lebih pesat dibandingkan Kecamatan yang lain.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, Lembang juga menjadi bagian dari wilayah Kawasan Bandung Utara KBU. Wilayah KBU ditetapkan sebagai
daerah resapan air bagi seluruh wilayah di cekungan Bandung, sehingga mempunyai fungsi dan peranan penting dalam menjamin keberlanjutan
perkembangan kehidupan di daerah tersebut. Wilayah yang termasuk dalam KBU meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bandung, seluruh wilayah Kota
Bandung, seluruh wilayah Kota Cimahi, sebagian wilayah Kabupaten Sumedang dan sebagian wilayah Kabupaten Bandung Barat. Dalam perkembangannya,
pemanfaatan ruang di wilayah KBU sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan daerah Perda yang mengaturnya. Gambar 4.1 berikut ini adalah Peta
Pemanfaatan Ruang KBU Tahun 2008.
55 Gambar 4.1. Peta Pemanfaatan Ruang KBU Tahun 2008 Sumber, Lampiran
Perda No. 12008 ttg Pengendalian pemanfaatan Ruang KBU Peta Pemanfaatan Ruang KBU menunjukkan bahwa sebagian besar
wilayah Lembang dimanfaatkan untuk pertaniankawasan perdesaan. Wilayah ini merupakan bagian hulu DAS Citarum yang secara hidrologis dilaporkan telah
mengalami degradasi cukup parah. Di musim kemarau kualitas dan kuantitas air sungai sangat rendah sehingga mengakibatkan terjadinya kekurangan air bersih
di beberapa tempat. Di musim hujan debit air Sungai Citarum sangat tinggi, sehingga menyebabkan banjir tahunan di daerah dataran rendah dan sepanjang
aliran sungai. Dari sisi hidrologi, penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan
adalah berkurangnya resapan air ke dalam tanah di daerah yang lebih tinggi, sehingga setiap kali hujan menghasilkan proporsi air limpasan yang besar dan
kemudian terakumulasi menjadi banjir dan genangan. Disamping itu, kurangnya air yang dapat tersimpan di dalam tanah menyebabkan debit mata air di musim
kemarau berkurang drastis. Berkurangnya jumlah air yang tersimpan di dalam tanah ini dikarenakan berkurangnya infiltrasi air hujan ke dalam tanah.
Penyebab dari kondisi tersebut adalah penggunaan lahan di bagian atas yang tidak memperhatikan konservasi.
Berdasarkan penelitian Narulita et al., 2008 diketahui bahwa 66,5 dari luasan cekungan Bandung mempunyai nilai faktor hujan infiltrasi rendah, 25,5
mempunyai nilai faktor hujan infiltrasi sedang, dan hanya 8 mempunyai nilai
56 faktor hujan infiltrasi agak besar dan besar. Hasil tersebut digunakan sebagai
jawaban atas pertanyaan mengapa setiap tahun Bandung di landa banjir. Kecamatan Lembang termasuk ke dalam wilayah yang nilai faktor hujan
infiltrasinya rendah. Hal ini terkait dengan meluasnya kawasan budidaya yang terdapat
Lembang. Selain untuk perumahan, masyarakat memanfaatkan lahan untuk budidaya sayuran secara intensif monokultur tanpa disertai tindakan konservasi
yang memadai. Konsekuensi logis dari tindakan tersebut yaitu menghilangkan fungsi wilayah sebagai daerah resapan air. Laju erosi tanah berlangsung cepat
tidak terkendali disertai dengan penggunaan senyawa kimia pertanian yang berlebihan, sehingga menguatkan opini publik bahwa kegiatan pertanian di lahan
miring sebagai penyebab banjir dan pencemaran air di wilayah Bandung.
4.1.3. Kondisi Tanah dan Agroklimat