Simulasi Model DESAIN MODEL EC
43333
69:7: 68=86
668:9 63699
4;9 49::
44:4 ==;7
;839 94=7
6:= 73=6
7378 743:
744= 74:3
74;; 74=8
7634 7664
7696 76;9
6;::= 6;:9;
6;:86 6;:4
6;97 6;9;3
6;993 6;94=
6;878 6;8;;
6;88 364
364 366
366 436
439 43;
437 444
449 44
168 Jika pemerintah dan masyarakat sepakat untuk melaksanakan skenario 1
secara konsisten, kondisi ideal seperti yang diharapkan oleh seluruh masyarakat yaitu sebuah kawasan pertanian di lahan dataran tinggi yang produktif dan ramah
lingkungan dapat terpenuhi. Proses menuju terwujudnya kondisi ideal tersebut akan melalui suatu masa yang disebut moderat, yaitu pada saat menunggu
tanaman tahunan menghasilkan nilai tambah secara ekonomi bagi petani dan pengelolaan limbah berjalan sempurna. Namun demikian, bukan mustahil dalam
pelaksanaannya skenario 1 menjadi gagal, yaitu pada saat beberapa komponen utamanya tidak mampu diwujudkan.
Komponen utama di wilayah Lembang yang menentukan keberhasilan pelaksanaan model ecofarming adalah kelompok tani yang aktif, petugas PPL
yang selalu memberikan informasi terbaru teknologi, harga dan jenis komoditas terjadwal, pemilihan jenis tanaman tahunan yang tepat dan kekuatan modal
sosial yang dibangun atas kepedulian masyarakat terdapat kelestarian sumberdaya alam yang dimiliki.
Pada saat ini, sebagian besar kelompok tani di Lembang tidak aktif lagi. Demikian pula dengan keberadaan PPL yang semakin sulit ditemui. Pemerintah
daerah perlu melakukan upaya yang serius untuk menghidupkan kembali kelompok tani dan mengembalikan fungsi PPL sebagai elemen penting dalam
sistem produksi pangan di wilayahnya. Bersamaan dengan hal tersebut, dilakukan pemilihan jenis tanaman
tahunan yang akan dikembangkan dalam model ecofarming. Tanaman tahunan yang dipilih harus memperhatikan luas kepemilikan lahan petani, manfaat
ekonomi yang dihasilkan dan kemampuannya sebagai tanaman konservasi. Pelaksanaan model tidak dapat dipisahkan dari kekuatan modal sosial
dalam masyarakat. Letak Kecamatan Lembang yang berbatasan dengan Kota Bandung dan statusnya sebagai daerah wisata yang ramai dikunjungi oleh
wisatawan berpengaruh terhadap sikap masyarakat lokal yang semakin individualis dan materialistis. Hilangnya nilai-nilai kebersamaan diantara
masyarakat setempat akan menyulitkan konsolidasi pengelolaan dalam satu kawasan sebagai bentuk total ecodesign. Skenario ecofarming tidak dapat
hanya dilaksanakan oleh sekelompok orang, diperlukan dukungan dari seluruh stakeholders yang terdapat di wilayah tersebut. Hanya kekuatan modal sosial
yang mengakar kuat dalam masyarakat yang dapat menggerakkan seluruh stakeholders untuk berkomitmen menjalankan perannya masing-masing dalam
169 model ini secara sukarela. Implementasi skenario dan kemungkinan kondisi yang
dapat dicapai dapat dilihat pada Tabel 7.12 dan 7.13 berikut ini. Tabel 7. 12. Implementasi Skenario dan Kondisi Yang Diperoleh di Kecamatan
Lembang
Kondisi yang Diperoleh
S k
e n
a ri
o
Ideal Moderat
Gagal
1
V V
1. Petani tidak bersedia membentuk kelompok
2. Pemilihan jenis tanaman tahunan tidak sesuai
dengan keinginan petani 3. PPL tidak aktif
4. Kekuatan modal sosial tidak terbentuk
2 1. Kelompok tani terbentuk
2. Tata nilai masy. diberlakukan 3. Kerjasama inti-plasma
4. PPL sebagai fasilitator 5. Relokasi kandang sapi
6. Teras bangku, saluran air, rorak 7. Tanaman kayu, kopi dan
kayumanis untuk konservasi 8. Tumpang sari Cash crop
bernilai ekonomi tinggi 9. Kelompok pengol. kompos dan
biogas dari kotoran sapi, pupuk organik dari urin sapi dan kelinci
10. Rumput gajah sbg penguat teras
11. Sisa panen untuk pakan sapi 12. Intervensi pemerintah
V V
3
X
1. Jenis tanaman tahunan yang tepat dan lokasi
penanaman yang tepat 2. Kemudahan memperoleh
bibitbenih berkualitas 3. Pakan ternak untuk
penguat teras 4. Terbentuk kelompok tani
untuk pemasaran produk dan pengolahan kompos,
biogas dari limbah ternak 5. PPL sebagai fasilitator
dan manajer 6. Budidaya tumpang sari
7. Kekuatan modal sosial terbangun
8. Intervensi pemerintah informasi pasar,
teknologi dan pinjaman modal
V
Kekuatan modal sosial untuk membangun komitmen bersama dalam melaksanakan model ecofarming sudah terbangun kuat dalam masyarakat
170 Dongko. Namun demikian, kegagalan dalam melaksanakan skenario 1 dapat
saja terjadi, jika ketersediaan bibit tanaman tahunan dan pelaksanaan konservasi di wilayah ini tidak sesuai dengan kondisi agroekologi wilayah Dongko yang
relatif kering dan bersolum dangkal Tabel 7.13. Tabel 7. 13. Implementasi Skenario dan Kondisi Yang Diperoleh di Kecamatan
Dongko Kondisi yang Diperoleh
S k
e n
a ri
o Ideal
Moderat Gagal
1
V V
1. Keterlambatan bibit 2. Harga bibit kambing tinggi
3. Perum Perhutani tidak tegas mengatur pola
pemanfaatan lahan LMDH
5. Jenis tanaman tidak sesuai agroklimat
2 1. Ketersediaan air meningkat
2. Pengolahan kompos menjadi kegiatan kelompok
3. Pembibitan oleh kelompok 4. Kerjasama inti-plasma
5. Teras, gulud, saluran air, rorak 6. Tanaman kayu, kluwak dan
kemiri untuk konservasi 7. Ubikayu untuk sumber pangan
8. Tanaman pakan untuk penguat teras Gliricidia, Kaliandra
9. Sisa panen untuk kambing 10. Intervensi pemerintah
V V
3
X
1. Jenis tanaman tahunan yang memiliki
kemampuan menahan tanah dan air
2. Pakan ternak untuk penguat teras
3. Perhutani tidak hanya menanam pinus
4. Pengurus LMDH melakukan tindakan
tegas bagi yang melanggar
5. Gapoktan berfungsi sebagai lembaga
ekonomi 6. Penanaman ubi kayu di
batasi 7. Intervensi pemerintah
informasi pasar, teknologi dan pinjaman
modal
V
Peristiwa kesalahan jenis dan waktu pengiriman bibit tanaman ke Kecamatan Dongko telah berulangkali terjadi, ribuan bibit tanaman kayu dan
171 buah-buahan bantuan dari pemerintah, perusahaan swasta bahkan lembaga
asing akhirnya mati karena kekurangan air pada masa awal pertumbuhannya. Selanjutnya, perlu dikembangkan diversifikasi usaha dalam bentuk ternak
kambing PE dan unggas sebagai bagian dari total ecodesign dalam model ecofarming. Usaha ini selain memberikan keuntungan ekonomi bagi petani juga
bermanfaat sebagai penyedia bahan baku pupuk kompos. Mengingat kepemilikan modal petani yang terbatas, maka pemerintah daerah sebaiknya
menstimulasi berkembangnya peternakan di wilayah Dongko melalui pemberian pinjaman ternak secara bergulir, penyuluhan dan pendampingan yang terjadwal.
Intervensi pemerintah juga diperlukan untuk mengawasi mekanisme pelaksanaan kerjasama antara Perhutani dan LMDH terkait dengan pengelolaan
lahan dataran tinggi untuk pertanian. Wilayah yang dikerjasamakan adalah lahan yang memiliki kemiringan lereng besar, sehingga perlu dilakukan pembatasan
wilayah dan proporsi jenis tanaman yang dibudidayakan. Kesalahan dalam pengelolaan lahan hutan produksi tersebut akan menimbulkan kerusakan
lingkungan yang parah serta meningkatkan intensitas konflik dengan masyarakat. Selain itu, diperlukan kesepakatan dan pemahaman yang sama diantara
semua pihak bahwa konservasi di lahan-lahan yang rawan erosi harus dilakukan baik di lahan milik masyarakat maupun di wilayah konsesi Perhutani yang
dikerjasamakan. Sebagai pemilik hak konsesi pengelolaan wilayah hutan yang berbatasan dengan perdesaan, pihak Perhutani perlu mempertimbangkan untuk
menanam jenis tanaman kayu yang lain selain pinus. Telah dijelaskan bahwa pinus memiliki kapasitas evapotranspirasi sangat tinggi dan guguran daun yang
sulit mengalami pelapukan.
172