Sub Model Agribisnis-Pemasaran VARIABEL DOMINAN DALAM MODEL ECOFARMING

136 Aspek kepercayaan trust merupakan komponen utama pembentuk modal sosial di perdesaaan. Aspek lainnya seperti kerjasama cooperation atau jaringan kerja net-work menurutnya tidak akan terbentuk jika landasan saling percaya diantara anggota masyarakat mutual trust tidak terbangun dengan baik. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, mutual trust telah terbangun lebih baik di masyarakat Sumberbening dibandingkan masyarakat Cibogo. Berdasarkan indept interview selama penelitian, terdapat empat hal yang mencerminkan ritme kehidupan petani Sumberbening yaitu : pertama, tingkat social trust masih berjalan sempurna. Relasi kekerabatan yang kuat ditandai dengan semangat gotong royong dalam pembangungan fasilitas umum, penyelenggaraan pesta maupun dalam penanggulangan musibahduka. Kedua, keterlibatan kaum perempuan masih sangat tinggi, tidak hanya dalam proses produksi, pengolahan hasil bahkan dalam memutuskan jumlah anak dan pendidikan mereka. Ketiga, hilangnya sistem ijon dan rentenir di Sumberbening digantikan dengan tabungan kelompok dan arisan. Keempat, norma dan sanksi sosial yang masih kuat ditandai dengan keberhasilan dalam pemanfaatan sumber mata air untuk keperluan rumah tangga dan kegiatan pertanian. Pada masyarakat Desa Cibogo, Lembang yang relatif telah terbuka terhadap pengaruh dari kota besar, jaringan kepercayaan yang terbentuk umumnya relatif lebih sempit. Kontradiksi sosial yang cukup tinggi menyebabkan kepercayaan yang masih tetap terjaga hanya sebatas dalam keluarga inti saja. Keputusan yang akan di ambil cenderung memperhatikan faktor keuntungan ekonomi oleh karena itu masyarakatnya cenderung menjadi individualis. Jika tata nilai yang dianggap penting tetap dipertahankan dan menjadi landasan untuk membangun kekuatan modal sosial masyarakat, proses transformasi sosial-ekonomi akan terus berkembang yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan pertanian yang berkelanjutan. Tata nilai yang dianggap penting oleh responden di dua Desa pengamatan antara lain rasa maluharga diri, jujur, empati terhadap sesama, dan menjaga amanah. Masyarakat juga beranggapan bahwa untuk memperbaiki kualitas hidup dan lingkungannya diperlukan kerja keras, rajin, pendidikan memadai, sikap hemat dan mengikuti perkembangan informasi terbaru.

6.4. Sub Model Agribisnis-Pemasaran

Secara konseptual pasar merupakan kelembagaan yang otonom. Dalam bentuknya yang ideal, maka mekanisme pasar diyakini akan mampu mengatasi 137 persoalan-persoalan ekonomi dengan pengawasan politik dan sosial yang minimal dari pemerintah dan komunitas. Pasar tak lagi bermakna sebagai tempat atau lokasi belaka, namun sudah meluas sebagai bagian penentu aspek moral kehidupan kolektif ditingkat desa hingga nasional. Di sektor pertanian, terlihat fenomena otonomnya para pedagang hasil-hasil pertanian, mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri, misalnya timbulnya pedagang kaki tangan dan pedagang komisioner Syahyuti, 2004. Berdasarkan hasil penelitian, seperti pada umumnya petani di daerah yang lain, petani di wilayah penelitian dihadapkan pada struktur pasar yang oligopoli dalam pembelian sarana produksi. Produsen pupuk, pestisida dan benih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang masing-masing jumlahnya terbatas. Harga eceran di tingkat petani cukup mahal, namun bagi petani harga tersebut given. Bantuan berupa subsidi harga dari pemerintah tidak berpengaruh nyata apalagi pada saat awal musim tanam dan memasuki musim penghujan. Pada saat itu, kebutuhan petani terhadap pupuk, pestisida dan benih meningkat sehingga kios-kios sarana produksi menetapkan harga sesuai dengan harga pasar. Pada sisi yang lain, petani juga menghadapi struktur pasar hasil pertanian yang bersifat oligopoli. Pada saat yang bersamaan petani-petani menghasilkan produk yang jenis dan kualitasnya tidak berbeda. Mereka juga memiliki kebiasaan tidak menjual hasil panennya langsung kepada konsumen. Bandarpedagang pengumpul yang selalu siap menampung hasil panen petani untuk dijual kembali kepada pedagang besar, pengecer dan konsumen akhir. Sebagian besar para pedagang pengumpul tersebut bahkan telah membuat perjanjian jual beli dengan petani beberapa minggu sebelum panen. Salah satu karakteristik komoditi pertanian yang sangat penting dalam mempelajari struktur pasar adalah sifat homogen dan massal. Sifat homogen mengindikasikan bahwa konsumen tidak bisa mengindikasi sumber-sumber penawaran disubstitusi secara sempurna oleh produsen lainnya. Sifat massal memberikan indikasi bahwa jumlah komoditi pertanian yang dihasilkan seorang produsen dianggap sangat kecil dibandingkan jumlah komoditi total yang dipasarkan, sehingga produsen pertanian secara individual tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku di pasar dan bertindak sebagai penerima harga price taker. 138 Selain itu, sifat produk pertanian yang musiman, mudah rusak dan memakan banyak tempat membuatnya sangat sensitif terhadap sistem pemasaran yang tidak efisien. Sistem pemasaran yang konvensional dan melibatkan banyak pihak yang selama ini dilakukan dalam pemasaran hasil pertanian, terbukti tidak efisien bahkan menghambat perkembangan usaha petani. Karena tidak ada kepastian mendapatkan keuntungan, maka bagi petani tahapan pemasaran produk selalu menjadi titik kritis dalam rantai agribisnis yang dijalankannya. Terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar : 1 jumlah dan besar penjual dan pembeli, apakah penjual relatif banyak sehingga tidak terdapat seorang penjual pun yang dapat mempengaruhi harga; 2 keadaan produk yang diperjualbelikan, apakah produk tersebut homogen, berbeda corak ataukah produk tersebut unik sehingga tidak ada penjual lain yang dapat mensubstitusiikan produk yang dijual tersebut; 3 kemudahan keluar dan masuk pasar; 4 pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi. Pada umumnya karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menentukan struktur pasar Sudiyono, 2001. Hasil kajian terhadap permasalahan pemasaran di kedua wilayah penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani 80 menjual hasil produksinya kapada pedagang pengumpultengkulak, sebanyak 15 menjual kepada pedagang besar supplier dan sisanya yaitu sebesar 5 menjual langsung kepada pasar terdekat atau konsumen. Selanjutnya pedagang pengumpul akan membawa dagangannya ke supplier atau langsung mendistribusikan barang dagangannya ke pasar-pasar besarpasar induk yang terdapat di luar Kecamatan. Para bandar atau pedagang pengumpul yang terdapat di Lembang dan Dongko memiliki kuasa penuh dalam penentuan harga. Pedagang pengumpul menjadi satu bagian dari mata rantai sistem pemasaran hasil pertanian yang berpengaruh kuat terhadap pembentukan harga, namun paling sedikit menanggung risiko kerugian jika terjadi harga anjlok. Ketergantungan petani kepada para pedagang pengumpul sangat kuat, sebagai sumber permodalan uang, benih, pupuk, pestisida dan kebutuhan keuangan untuk kepentingan mendesak lainnya seperti biaya pengobatan dan sekolah anak. Meminjam di pedagang pengumpul dianggap lebih mudah 139 dibandingkan ke lembaga keuangan Bank, BPR karena tanpa syarat dan agunan kecuali kepercayaan diantara keduanya. Cara pelunasan hutang juga dianggap mudah oleh petani, yaitu dengan memotong uang hasil penjualan yang seharusnya diterima oleh petani pada saat panen. Masih kuatnya peran dan pengaruh dari pedagang pengumpul di wilayah penelitian seringkali memaksa petani hanya bisa menjual hasilnya kepada pihak- pihak tertentu saja. Petani terikat karena memiliki hutang yang harus dibayarkan pada saat panen. Kondisi seperti ini jelas merugikan petani mengingat harga transaksi harga yang harus diterimanya biasanya lebih rendah dibandingkan harga di pasar terdekat. Tanpa disadari oleh petani, bahwa harga yang harus diterimanya telah dikurangi oleh bunga pinjaman yang harus dibayarkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Hutabarat dan Rahmanto 2004 petani- petani umumnya tidak memiliki informasi yang memadai tentang keadaan pasar dan teknologi pascapanen dan pengolahannya untuk menampung kelebihan pasokan sehingga pada saat berikutnya mereka menyesuaikan penyesuaian produksi. Hal ini tentunya menjadi peluang bagi pedagang-pedagang apapun bentuknya, untuk menguji kekuatannya. Dengan kekuatan seperti itu mereka dapat menekan harga yang mereka bayarkan kepada petani serendah mungkin, karena petani jumlahnya relatif banyak dan mereka tidak bersatu, sehingga pasarnya tidak bersaing sempurna melainkan bersifat persaingan oligopsoni. Ciri-ciri dari pasar seperti ini adalah beranekaragamnya mutu produk dan langkanya informasi lengkap, tetapi ciri yang paling utama yang membedakannya dari bentuk-bentuk pasar yang lain adalah besarnya proporsi komoditas yang dibeli oleh hanya beberapa pedagang besar. Karena jumlah pedagang besarnya sangat sedikit, maka terciptalah keadaan saling ketergantungan diantara mereka. Besarnya volume permintaan pada setiap segmen pasar seharusnya menjadi acuan bagi petani dalam merencanakan jenis komoditas dan banyaknya produksi yang harus dihasilkan menurut kualitasnya. Dengan kata lain informasi tentang segmen pasar yang menyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume permintaan dan kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan produksinya. Namun informasi ini pada umumnya masih sulit diperoleh petani karena belum ada lembaga tertentu yang mengumpulkan dan mensosialisasikannya secara efektif kepada petani. Informasi mengenai jenis komoditas dan harga merupakan fungsi kebalikan dari aliran barang. Sumber informasi bagi petani dapat berasal dari 140 PPL, bandartengkulak, pengurus koperasi, distributor sarana produksi atau lembaga keuangan mikro yang memberikan pinjaman. Bagi petani di Kecamatan Lembang yang tidak tergabung dalam kelompok tani, sumber informasi mereka yang utama adalah bandar, sedangkan petani Dongko menjadikan PPL dan bandar sebagai sumber informasi. Selain pedagang pengumpul, Supplier merupakan salah satu bagian dari rantai pemasaran produk pertanian yang berperan memperluas pasar hingga ke luar KecamatanKabupaten bahkan Propinsi. Supplier sayuran yang terdapat di Kecamatan Lembang, mengirimkan barang dagangannya ke pasar retail besar supermarket yang terdapat di Ibu kota propinsi atau langsung ke Jakarta. Berbeda halnya dengan pemasaran produk pertanian di Kecamatan Dongko, supplier mengirimkan biji kakao, kopi atau minyak nilam kepada pabrik pengolahan besar yang biasanya terdapat di ibukota propinsi. Di Kecamatan Lembang setidaknya terdapat 5 Supplier sayuran dan 1 koperasi yang telah berbadan hukum yaitu 1 CV. Bimandiri, 2 Kemfarm, 3 Putri Segar, 4 Dewa family, 5 KUT Mekar Tani jaya dan 6 PD. Grace. Masing-masing supplier mendapatkan stok barang sayuran dari bandarpedagang antara ataupun dari petani-petani tertentu yang telah dibina dalam kelompok. Sedangkan KUT Mekar Tani Jaya mendapatkan barang hanya dari petani yang telah menjadi anggotanya. Jika para Supplier menjual barang dagangannya ke pasar dalam negeri, maka KUT Mekar Tani Jaya lebih memfokuskan pada pasar ekspor yaitu ke Singapura dan Jepang melalui eksportir rekanannya. Berbeda kondisinya dengan Lembang, yang berlaku sebagai supplier di Kecamatan Dongko adalah individu yang memiliki modal besar dan hubungan bisnis dengan perusahaan pengolahan seperti pabrik coklat, pabrik kopi dan pabrik pemurnian minyak nilam. Petani di Kecamatan Dongko sebenarnya lebih mudah untuk mengkases langsung para supplier dibandingkan petani Lembang. Persyaratan yang ditetapkan oleh supplier adalah mutu produk dan kejujuran petani. Pada pelaksanaannya, pedagang pengumpul lebih gesit mengumpulkan barang dagangannya dengan mendatangi petani ke lahannya masing-masing. Pada kondisi demikian, pedagang pengumpul menjadi penentu harga produk pertanian yang dihasilkan petani. Harga produk pertanian terutama sayuran segar ditingkat petani sangat fluktuatif dalam jangka waktu yang sangat pendek, akibat cepatnya penurunan 141 kualitas produk yang dipasarkan. Selain karena tekanan dari bandar, preferensi konsumen dalam membeli produk pertanian, terutama sayur dan buah, secara umum lebih tinggi untuk produk segar karena dinilai memiliki nilai gizi yang lebih baik. Namun sebagaimana sifat produk pertanian, pada umumnya justru relatif cepat mengalami kebusukan, oleh karena itu penanganan pasca panen sebelum disalurkan pada konsumen harus dilakukan secara tepat. Jika tidak dilakukan, maka penurunan harga akibat penurunan kesegaran atau mutu produk tidak dapat dihindari. Fluktuasi harga produk pertanian juga disebabkan oleh perilaku-perilaku yang bersifat spekulatif yang dilakukan oleh hampir semua pihak baik petani sendiri, pedagang, maupun pengusaha dengan alasan yang relatif bervariasi. Kondisi ini membawa implikasi pada saat harga berada pada titik terendah, petani yang paling dirugikan. Namun ketika harganya mencapai puncak, justru pedagang yang paling diuntungkan. Mekanisme kontrol dari pemerintah untuk melindungi petani sebagai produsen tampaknya belum mampu mengendalikan perilaku para spekulan tersebut. Untuk mengurangi resiko penerimaan akibat fluktuasi harga dan kegagalan panen, petani sayuran seharusnya menghindari pola tanam monokultur dan segera menggantikannya dengan pola tumpang sari. Pola tumpang sari akan menghindarkan petani dari penumpukan hasil panen yang mengakibatkan harga anjlok, pemakaian pupuk dan pestisida lebih efisien, stabilitas harga dan pasokan barang kepada supplier terjaga serta perolehan pendapatan dari penjualan hasil panen yang kontinu. Hasil survey terhadap harga produk sayuran di beberapa tingkat penjualan di Kecamatan Lembang dan sekitarnya menunjukkan bahwa harga sayuran ditingkat pedagang sangat bervariasi. Perlakuan pasca panen yang tepat seperti pembersihan, pengelompokkan dalam kualitas yang seragam, kemasan yang rapi dan penempatan pada ruangan yang sejuk terbukti dapat meningkatkan harga jual sayuran. Supermarket dapat menjual sayuran dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan pedagang pasar setelah melakukan sortir berdasarkan kualitas, pembersihan dan pemberian kemasan plastik berlabel. Pengelola supermarket berpendapat bahwa penilaian konsumen terhadap produk makanan terutama sayuran segar sangat ditentukan oleh penampilan produk dari sisi kebersihan dan kesegarannya. Hasil survey harga sayuran di wilayah Lembang dan sekitarnya terdapat pada Tabel 6.17. 142 Tabel 6.17. Harga Sayuran di Tingkat Suplier, Pasar Lembang dan Supermarket di Bandung, Tahun 2008 Harga Rp No Jenis Sayuran Suplier Pasar Supermarket 1 Zukini 4.500 5.000 11.000 2 Seledri Besar Apium graveolens 8.000 - 29.000 3 Terung Jepang Solanum sp 9.000 - 12.200 4 Brokoli Brassica oleracea var asaparagodes 7.500 9.000 21.500 5 Lettuce Lactuca sativa sp 6.000 - 9.500 6 Kubis merah Brassica oleracea sp. 23.000 - 29.000 7 Cabe Rawit Besar Capsicum annuum 35.000 40.000 45.000 8 Cabe Merah Besar Capsicum sp 17.000 18.000 19.500 9 Cabe Hijau Besar Capsicum sp 9.500 12.000 13.950 10 Slada kriting Lactuca sp 4.500 5.000 6.600 11 Kubis bunga Brassica oleracea var Botrytis forma 5.500 6.000 8.700 12 Tomat Super Lycopersicon lycopersicum esculentum 4.000 6.000 8.000 13 Sawi putih Brassica rugosa 3.000 3.000 5.750 14 Paprika hijau Capsicum annuum 7.000 8.000 12.000 15 Paprika merah dan kuning 12.000 14.000 18.000 16 Lobak Raphanus sativus 17 Wortel Super Daucus carota 4.500 5.000 8.000 18 Bawang daun Allium fistulosum 5.000 3.000 13.500 19 Buncis Phaseolus vulgaris 500 1.000 4.000 20 Labu Siam Sechium edule 500 1.000 3.800 Sumber : Wawancara sejumlah responden Berdasarkan data harga sayuran tersebut di atas, maka disarankan kepada petani untuk menanam sayuran secara tumpangsari. Hasil yang diperoleh dari penjualan beberapa jenis tanaman sayuran dalam waktu yang tidak bersamaan berguna untuk antisipasi jika harga jenis sayuran tertentu sangat rendah. Usahatani menggunakan pola tumpangsari juga lebih hemat biaya karena tingkat serangan OPTnya lebih rendah. Tabel 6.18 dan 6.19 berikut ini menunjukkan perbedaan pendapatan petani berdasarkan hasil analisis usahatani terhadap petani yang melaksanakan pola monokultur dan petani yang menanam sayuran secara tumpang sari. Dapat dibuktikan bahwa penghasilan yang diperoleh petani yang menanam secara tumpangsari lebih besar dibandingkan petani yang menanam secara monokultur. Dengan luas lahan yang lebih sempit, pola tumpang sari akan memberikan hasil panen yang lebih banyak karena pemanfaatan lahan dan penggunaan pupuk dan pestisida yang lebih efisien. 143 Tabel 6.18. Analisis Usahatani Budidaya Sayuran Secara Monokultur No Komponen Produksi Satuan Harga Rp Biaya Rp 1 Persiapan lahan 12 OH 15.000 180.000 2 Benih : Tomat 2 kantong 110.000 220.000 3 Mulsa plastik 2 gulung 400.000 800.000 4 Bambu 8 batang 5.000 40.000 6 Pupuk a. Pupuk kandang b. Pupuk kimia Urea KNO3 200 karung 120 kg 120 kg 6.000 1.200 2.000 1.200.000 144.000 240.000 7 Pestisida a. Bazoka 80 WP b. Sumo 50 EC c. Polystic 4 kg 3 kaleng 2 kaleng 40.000 30.000 15.000 160.000 90.000 30.000 8 Penanaman 3 OH 10.000 30.000 9 Pembersihan 5 OH 10.000 50.000 10 Panen 4 OH 15.000 60.000 Total Biaya C 3.244.000 Penghasilan dari panen Tomat R 4.000 kg 2.000 8.000.000 R - C 4.756.000 Keterangan: Sumber : Bp. Wijaya Mulya dusun Cilumber Luas lahan : 2.000 m 2 Masa tanam = 120 hari Penghasilan rata-rata per bulan = Rp. 1.189.000 dengan penguasaan lahan 2.000 m 2 Berdasarkan hasil pengamatan sedikitnya terdapat 10 kombinasi jenis sayuran yang ditanam oleh kelompok tani yang dibina CV Bimandiri dalam lahan yang sama secara berurutan waktunya. Kombinasi tersebut adalah : 1. Kombinasi 1: Slada keriting, Tomat, Bawang daun 2. Kombinasi 2: Slada Lettuce, Seledri besar, Bawang daun 3. Kombinasi 3: Jagung manis, Zukini, Kubis bunga 4. Kombinasi 4: Kubis, Bawang daun, Brokoli 5. Kombinasi 5: Cabe, Kubis merah, Bunga kol, Seledri 6. Kombinasi 6: Brokoli, Bawang daun,Lobak 7. Kombinasi 7: Lettuce, Bawang Daun, Brokoli, Zukini 8. Kombinasi 8: Slada kriting, Bawang daun, Jagung manis 9. Kombinasi 9: Slada lettuce, Seledri, Cabe rawit, Bawang daun, Zukini 10. Kombinasi 10: Bunga kol, Labu kuning kabocha, Zukini, Bawang daun 144 Tabel 6.19. Analisis Usahatani Budidaya Sayuran Secara Tumpang Sari No Komponen Produksi Satuan Harga Rp Biaya Rp 1 Persiapan lahan 4 OH 15.000 60.000 2 BenihBibit a. Slada Lettuce b. Bawang Daun c. Brokoli d. Zukini 3000 tan 1000 tan 2 kantong 1 kantong 25 15 55.000 55.000 75.000 15.000 110.000 55.000 3 Pupuk a. Pupuk kandang b. Pupuk kimia Urea Phonska Grand K 30 karung 70 kg 40 kg 10 kg 6000 1.200 2.500 10.000 180.000 84.000 100.000 100.000 4 Pestisida a. Serpha b. Basoka c. Promectin d. Foglam 100 ml 1 kg 50 ml 100 ml 46.000 15.000 46.000 40.000 80.000 5 Penanaman 4 OH 10.000 40.000 6 Pembersihan 8 OH 10.000 80.000 7 Panen 2 OH 15.000 120.000 Total Biaya C 1.158.000 Penghasilan Dari Panen Slada Lettuce Bawang Daun Brokoli Zukini 900 kg 450 kg 600 kg 400 kg 2.500 1.500 6.000 2.000 2.250.000 675.000 3.600.000 800.000 Penerimaan dari panen R 7.325.000 R - C 6.167.000 Keterangan: Sumber : Bp. Lili Carli dusun Ciburial Luas lahan : 1000 m 2 Masa tanam = 60 hari Penghasilan rata-rata per bulan = Rp. 3.083.500 dengan penguasaan lahan 1.000 m 2 Usahatani yang dijalankan oleh petani di Kecamatan Dongko berbeda dengan petani di Kecamatan Lembang. Petani Dongko menanam berbagai jenis tanaman seperti tanaman pangan dan industri di pekarangan maupun kebun miliknya. Meskipun dari sisi jenisnya beragam, namun ubi kayu dan nilam yang paling banyak ditanam oleh petani. Tabel 6.20. berikut ini menunjukkan hasil yang diperoleh petani dari pekarangan seluas 500 m 2 miliknya. 145 Tabel 6.20. Pendapatan Keluarga dari Pekarangan di Kecamatan Dongko No Jenis Komoditas Hasil Nilai Rupiahtahun Tanaman Perkebunan 1 Cengkeh Eugenia aromatica 4 kgbulan 2.400.000 2 Kakao Theobroma cacao 20 kgbulan 4.800.000 Tanaman Buah 1 Kelapa Cocos nucifera 150 buahbulan 4.500.000 2 Rambutan Nephelium lappaceum 60 kgtahun 1.080.000 3 Mlinjo Gnetum gnemon 30 kgtahun 60.000 4 Pete Parkia speciosa 60 kgtahun 1.200.000 5 Nangka Artocarpus heterophyllus 60 buahtahun 120.000 6 Kluwak Pangium edule 2 kgtahun 20.000 7 Alpukat Persea Americana 200 kgtahun 400.000 8 Kelengkeng Euphoria longana 50 kgtahun 300.000 Tanaman Kayu 1 Mahoni Swietenia macrophylla 6 pohon15 tahun 300.000 2 Mindi Melia azedarach 8 pohon10 tahun 240.000 Tanaman Rempah dan Obat 1 Empon-empon 15 kgtahun 75.000 Tanaman Pakan Ternak 1 Gliricidia Gliricidia sepium 300 kgbulan 3.600.000 2 Kaliandra Calliandra calothyrsus 300 kgbulan 3.600.000 Peternakan 1 Kambing PE peranakan ettawa 2 ekortahun 5.000.000 2 Ayam 6 ekortahun 300.000 Total Rptahun 27.995.000 Rata-rata Rpbulan 2.332.900 Sumber : Responden Petani Hampir setiap keluarga di wilayah Kecamatan Dongko memiliki pekarangan. Luasnya bervariasi antara 300 m 2 – 5.000 m 2 . Kepemilikan lahan pekarangan menjadi suatu hal yang wajib bagi setiap keluarga, karena berbagai jenis tanaman dan ternak yang terdapat di dalamnya menjadi sumber kebutuhan pangan dan perekonomian keluarga. Jika dihitung berdasarkan potensi produksinya, maka hasil yang diperoleh petani dari pekarangan selama ini belum optimal. Penyebab utamanya adalah penerapan teknik budidaya yang kurang tepat, namun karena jenis komoditas yang diusahakan beragam, hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain penerapan teknik budidaya yang perlu diperbaiki, kemampuan penguasaan teknik pasca panen yang dimiliki petani pun perlu ditingkatkan. Selama ini, petani menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul dalam bentuk segar atau sekedar dikeringkan menggunakan sinar matahari. Keterbatasan penguasaan teknologi pasca panen yang dimiliki petani juga mengakibatkan posisi tawar petani menjadi lemah. Hal ini mengakibatkan proses transmisi harga biasanya menjadi bersifat asimetri. Maksud dari pernyataan 146 tersebut adalah penurunan harga di tingkat konsumen diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya kenaikan harga selalu diteruskan secara lambat dan tidak sempurna. Fenomena ini jelas terlihat pada perdagangan komoditas nilam, kenaikan harga minyak nilam di pasaran tidak selalu meningkatkan harga pembelian bahan baku berupa batang dan daun nilam kering ditingkat petani. Petani menerima harga yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul given dan cenderung tidak peduli terhadap perolehan harga jual yang lebih tinggi jika perlakuan pasca panen yang dilakukan lebih baik atau dilakukan pengolahan lebih lanjut sebelum komoditas tersebut dijual. Padahal, penanganan pasca panen baik yang dilakukan petani ataupun pedagang pengumpul akan sangat menentukan keberhasilan dalam pemasaran produk pertanian hingga ke tangan konsumen. Tabel 6.21. menjelaskan perubahan harga beberapa komoditas utama di Kecamatan Dongko. Tabel 6.21. Harga Komoditas Pertanian di Kecamatan Dongko Komoditas Petani Pedagang pengumpul Home industri 1 Home industri 2 Pasar Ubi kayu Manihot esculenta 500kg 600kg 3.300kg tapioka 1.300150 gr keripik 7.000kg tiwul 1.500150 gr keripik 7.500kg tiwul 8.000 – 10.000kg kerupuk Kakao Theobroma cacao 20.000kg biji kering 24.000kg biji kering - - - Nilam Pogostemon cablin 6.500kg daun+ batang 12.000kg daun 7.500kg daun+batang 13.000kg daun 600.000 – 1.200.000 kg minyak nilam 800.000 – 1.600.000kg minyak nilam - Kelapa Cocos nucifera 2.500btr 3.300btr - - 3.500btr Kopi coffea robusta 22.000kg biji kering 28.000kg kopi - - 30.000kg kopi Cengkeh Eugenia aromatica 56.000kg 63.000kg - - 66.000kg Sumber : Responden Petani, Konsumen dan Pedagang Alasan yang dikemukakan petani terkait dengan penanganan pasca panen yang seadanya adalah karena tidak ada jaminan terhadap harga dan masih kurangnya pemahaman terhadap standar kualitas produk pertanian yang 147 berlaku. Kehadiran beberapa perusahaan yang berteknologi tinggi, dengan fasilitas pendingin cold storage seperti di Lembang ternyata juga belum mampu meningkatkan nilai tambah produk dalam arti keseluruhan, hal itu disebabkan oleh keterbatasan kapasitas yang dimiliki perusahan itu sendiri. Konsekuensi dari lemahnya penguasaan petani dalam pasca panen adalah tekanan harga yang dialami petani pada saat menjual hasil panen serta ketidakpastian pendapatan petani akibat fluktuasi harga yang tinggi. Irawan 2003 menyatakan akibat tidak adanya hubungan langsung secara institusional di antara pelaku agribisnis menyebabkan kaitan fungsional diantaranya menjadi tidak harmonis. Setiap pelaku agribisnis hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa menyadari bahwa mereka saling membutuhkan dan saling tergantung untuk dapat mengembangkan usahanya. Struktur agribisnis yang demikian menyebabkan terbentuknya margin ganda akibat rantai pemasaran yang panjang sehingga ongkos produksi yang harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal, sementara masalah transmisi harga dan informasi pasar yang tidak sempurna tidak dapat dihindari akibat tidak adanya kesetaraan posisi tawar, terutama antara petani dan pedagang. Lebih lanjut Syahyuti 1998 mengungkapkan, untuk meningkatkan posisi tawar petani dapat dilakukan melalui reduksi perilaku pedagang yang merugikan petani dengan penetapan standar kualitas, peningkatan keterjangkauan petani terhadap informasi pasar, dan peningkatan penyediaan infrastruktur. Perlakuan ini akan meningkatkan posisi tawar petani dalam hal penentuan nilai barang dan penentuan harga. Sementara itu, untuk mereduksi perilaku pedagang yang merugikan petani karena cara pembayarannya, dapat digunakan pendekatan kemitraan dengan kontrak kerja yang jelas. Terdapat pula alternatif lain untuk mengurangi perilaku pedagang yang merugikan petani, yaitu dengan melibatkan petani secara langsung dalam pemasaran. Alternatif ini efektif dilakukan apabila pelaku pemasaran adalah lembaga petani itu sendiri kelompok tani. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan alternatif perbaikan pemasaran perlu dilakukan identifikasi melalui analisis usahatani komparatif mengenai jenis- jenis tanaman mana saja yang bernilai ekonomi tingi yang secara signifikan mampu meningkatkan pendapatan serta eksperimentasi jenis-jenis tanaman inovatif yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi agroekologi masing-masing wilayah. Gambar 6.4, 6.5 dan 6.6 berikut ini menjelaskan rantai pemasaran komoditas utama di wilayah penelitian. 148 Gambar 6.4. Rantai Pemasaran Sayuran di Kecamatan Lembang Gambar 6.5. Rantai Pemasaran Ubi Kayu di Kecamatan Dongko Gambar 6.6. Rantai Pemasaran Nilam di Kecamatan Dongko Petani Bandar Supplier Pasar Kecamatan Pasar Induk HotelRestoran Konsumen dalam negeri KUDKelompok Eksportir Konsumen Luar Negeri Supermarket Petani daun dan batang nilam kering Pedagang pengumpul Industri penyulingan minyak di desakecamatan Pedagang pengumpul minyak di Kecamatan Industri Besar di Kediri, Surabaya Eksportir Petani Pedagang pengumpul Industri rumahan tapioka Industri rumahan makanan kecil Industri pengolahan tiwul instant kelompok Kelompok tani Pabrik kerupuk, makanan dll Pasar Eksportir 149 Peran lembaga pemasaran dan kemampuan untuk mendistribusikannya ke konsumen menjadi tolok ukur keberhasilan pengembangan fungsi pemasaran dalam agribisnis. Hal ini dapat dijelaskan karena fungsinya sebagai fasilitator yang menghubungkan antara defisit unit konsumen dan surplus unit produsen. Serangkaian aktivitasnya menjadi penentu besarnya margin antara harga ditingkat petani dan konsumen. Fungsi pemasaran adalah kegiatan utama yang khusus dilaksanakan untuk menyelesaikan proses pemasaran. Secara umum, fungsi pemasaran diklasifikasikan menjadi 3 yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan facilitating function. Pada dasarnya terdapat banyak bentuk lembaga pemasaran yang dapat dikembangkan di tingkat wilayah. Namur berdasarkan data dasar yang diperoleh dari wawancara dengan responden petani, terdapat 4 alternatif yang sesuai dengan kondisi di wilayah penelitian yaitu lembaga koperasi, mekanisme kerjasama dalam bentuk inti-plasma, kelompok tani yang diperluas fungsinya dan menggunakan peran bandartengkulakpedagang pengumpul. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan teknik MPE diketahui bahwa mekanisme kerjasama melalui inti-plasma mendapatkan skor yang paling besar yaitu 432,89 diikuti oleh koperasi menempati urutan kedua dengan skor 151,43. Hasil tersebut juga berlaku untuk wilayah Lembang dan Dongko. Tabel 6.22 menjelaskan hasil selengkapnya. Tabel 6.22 Penilaian Alternatif Lembaga Pemasaran Hasil Pertanian Kriteria Bobot Nilai Alternatif A1 A2 A3 A4 Informasi pasar 6 7 8 6 4 Jaminan pemasaran 5 8 9 7 6 Kontinuitas produk 4 8 9 7 4 Kemauan petani berkomitmen 7 6 8 7 3 Kualitas produk 3 7 9 8 6 Keanekaragaman produk 2 7 8 6 3 Pembinaan kepada petani 9 8 9 7 3 Akses terhadap faktor produksi 8 8 9 7 4 Skor 151,43 432,89 47,01 0,10 Rangking 2 1 3 4 Keterangan : A1 = Koperasi A3 = Kelompok tani A2 = Inti-plasma A4 = Sistem pedagang pengumpul 150 Kerjasama dalam bentuk inti-plasma untuk sentra produksi sayuran seperti di Lembang melibatkan perusahaan supplier sayuran sebagai inti, dan para petani yang tergabung dalam kelompok binaannya sebagai plasma. Pola kerjasama dalam bentuk koperasi mulai ditinggalkan karena kegagalan beberapa koperasi petani sayuran di Lembang akibat kesalahan dalam manajemen ataupun kepengurusan yang tidak profesional. Sejumlah pakar berpendapat bahwa kerjasama antara kelompok tani secara langsung dengan perusahaan pengolahan hasil pertanian lebih efektif untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi dibandingkan dengan pembentukan koperasi di tingkat Desa maupun Kecamatan. Hal ini terkait dengan diseminasi teknologi dan informasi yang biasanya lebih cepat sampai kepada petani. Aparat pemerintah daerah setempat juga menyebutkan bahwa pembinaan yang langsung dilakukan oleh para supplier kepada kelompok tani lebih berhasil. Supplier menetapkan peraturan yang tegas terhadap keanggotaan kelompok, melakukan pembinaan dan kontrol terhadap teknik budidaya yang dilakukan petani serta mengatur jenis dan waktu tanam komoditas yang diinginkan. Ketegasan dan pengaturan manajemen produksi di lapangan tersebut yang belum dapat dilaksanakan oleh koperasi-koperasi sebelumnya. Peraturan yang terkait dengan hak dan kewajiban para petani terhadap perusahaan yang menampung hasil panennya biasanya juga lebih tegas. Demikian pula dengan standar mutu yang harus dipenuhi oleh petani. Kerjasama dengan cara ini dianggap lebih dapat mendisiplinkan petani terhadap pentingnya tertib administrasi dan menjalankan usahataninya sebagai bisnis yang menguntungkan. Selama ini kerjasama dalam bentuk inti-plasma seperti yang telah disebutkan di atas, sudah mulai dikembangkan di wilayah Lembang, namun masih dalam jumlah terbatas. Perusahaan bekerjasama dengan petani yang tergabung dalam kelompok dan hanya ketua kelompok yang dapat mewakili kelompok untuk bernegosiasi dengan perusahaan. Peraturan ini ditetapkan untuk memudahkan koordinasi dengan petani dan menjaga kontinuitas dan keragaman hasil produksi. Alternatif kedua adalah kerjasama petani dalam wadah koperasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, keberhasilan KPSBU Lembang dapat menjadi contoh untuk mengembalikan kepercayaan petani kepada koperasi. Tidak selamanya cerita tentang koperasi yang hanya mengurus ekonomi rakyat 151 selalu gagal dan menyedihkan. Bila potensi ekonomi masyarakat disatukan dengan cara yang benar, tidak mustahil bisa menciptakan kekuatan ekonomi yang dahsyat. Bukan sebagai perusahaan besar, tetapi sebagai koperasi yang menghidupi dan menyejahterakan ribuan anggotanya Pemahaman terhadap peran para pelaku agribisnis dan hubungan kerja di antara mereka akan memudahkan pengambil keputusan untuk memperbaiki sistem pemasaran di wilayah masing-masing. Gambar 6.7 berikut ini menjelaskan jalur pemasaran produk pertanian, informasi produk dan sumber permodalan yang dapat dikembangkan di wilayah penelitian. Keterangan: Penjualan Informasi Pinjaman modal dan informasi Gambar 6.7. Jalur Pemasaran, Informasi dan Sumber permodalan

6.5. Sub Model Kebijakan Publik