21 berpenduduk padat seperti di Jawa, ketiga kawasan tersebut sulit untuk
dipisahkan. Sehingga dalam pengelolaannya, aspek lindung, budidaya dan masyarakat menjadi tiga hal yang saling terkait dalam kesatuan harmoni
pembangunan. Pendekatan kawasan digunakan untuk mengembangkan, melestarikan,
melindungi dan mengkoordinasikan program pembangunan yang akan dilaksanakan demi terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena pengembangan kawasan untuk pertanian di dataran tinggi terus meluas di Jawa.
Wikantika dan Agus 2006, telah membuktikan bahwa berdasarkan Landsat ETM Enhanced Thematic Mapper terjadi perluasan pemanfaatan lahan kering
di kawasan Puncak bagian barat seluas 7.411 ha hanya selama periode Mei – Desember 2001.
Kawasan budidaya yang dimanfaatkan untuk pertanian membentuk sebuah ekosistem buatan yang disebut sebagai agroekosistem. Agroekosistem
merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan makanan,
serat, bahan bakar dan produk lainnya bagi konsumsi dan pengolahan manusia Reijntjes et al., 1992. Studi mengenai agroekosistem secara holistik, termasuk
semua elemen lingkungan dan manusia disebut agroekologi. Kamus bebas Wikipedia menegaskan bahwa agroekologi adalah ilmu yang menerapkan
konsep dan prinsip ekologi untuk perencanaanmodel, pembangunan, dan pengelolaan pertanian berkelanjutan. Sedangkan Francis et al., 2001
mendefinisikan agroekologi sebagai integrative study yang mempelajari sistem produksi pangan yang meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Oleh karena
itu di dalam mengelola sebuah kawasan budidaya untuk usahatani seharusnya memperhatikan ketiga aspek tersebut dalam kesatuan yang terintegrasi.
2.3.2. Rawan Erosi
Kegiatan budidaya tanaman semusim di dataran tinggi dengan kemiringan lereng yang cukup besar sangat rentan terhadap erosi dan longsor.
Selain kemiringan lereng, erosi tanah juga dipengaruhi oleh hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah dan penutupan tanah land cover.
Permasalahan lain yang dihadapi lahan pertanian dataran tinggi di daerah tropis seperti halnya Indonesia adalah produktivitas lahan yang rendah, usahatani yang
berisiko tinggi terhadap bencana alam dan rendahnya pendapatan rata-rata
22 petani. Semua faktor tersebut bekerja secara simultan dan tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Kondisi yang marginal seperti demikian menyebabkan kesulitan untuk petani mengadopsi dan mengembangkan
teknologi pertanian konservasi Gatot et al., 1999. Kegiatan usahatani yang menerapkan budidaya intensif tanpa
memperhatikan teknik-teknik konservasi tanah secara tepat semakin
mempercepat terjadinya erosi. Erosi menimbulkan dampak yang sangat luas. Kerusakan dan kerugian tidak saja dialami oleh petani di daerah hulu, tetapi juga
oleh masyarakat di daerah yang dilewati aliran air. Erosi tanah di lokasi usahatani on-site dapat menyebabkan hilangnya kapasitas produktivitas dan
hilangnya kemampuan tanah untuk menyimpan air. Kerusakan di daerah hilir off-site ditandai dengan meningkatnya sedimentasi yang mengakibatkan
terjadinya pendangkalan sungai, situ, waduk dan merusak sistem tata air serta saluran irigasi Papendick et al., 1986. Di Jawa hampir semua sungai, situ atau
waduk mengalami sedimentasi yang tinggi. Tanah ataupun lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki dua
fungsi utama bagi produksi pertanian yaitu 1 sebagai sumber unsur hara bagi tanaman, dan 2 tempat akar tumbuh, tempat air tersimpan dan tempat unsur
hara di tambahkan. Menurun atau hilangnya kedua fungsi tanah tersebut disebut sebagai degradasi tanah Arsyad, 2006. Menurunnya fungsi tanah pertama
dapat diperbaiki dengan pemupukan, tetapi menurunnya fungsi tanah kedua tidak mudah diperbaiki, memerlukan waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun
untuk memperbaikinya. Salah satu penyebabnya adalah erosi. Erosi adalah peristiwa pengikisan tanah oleh angin, air atau es. Erosi
dapat terjadi karena sebab alami atau disebabkan oleh aktivitas manusia Penyebab alami erosi antara lain adalah karakteristik hujan, kemiringan lereng,
tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal. Erosi yang disebabkan oleh aktivitas manusia
umumnya disebabkan
oleh adanya
penggundulan hutan,
kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan Wikipedia, 2007.
Menurut Hogarth et al., 2004 air hujan merupakan penyebab utama terjadinya erosi di lahan miring. Besarnya erosi ditentukan oleh lamanya waktu
hujan, jumlah air hujan per satuan waktu dan kemiringan lahan. Menurut Ananda dan Herath 2003, erosi di negara berkembang disebabkan oleh interaksi
23 kompleks antara beberapa aspek seperti tekanan penduduk, kemiskinan,
dinamika lingkungan dan lemahnya fungsi kelembagaan lokal. Salah satu cara mengembalikan kesuburan tanah di bagian hulu adalah
mengangkut kembali sedimen tanah yang terbawa melalui badan air ke tempat asalnya. Pengembalian kesuburan tanah dengan cara ini salah satunya
dilakukan di Korea. Tingginya laju erosi di lahan pertanian “Alphine Belt” di bagian atas kota Seoul telah memaksa petani setempat untuk selalu
menambahkan tanah subur bersumber dari sedimentasi erosi sedalam 10 – 15 cm setiap 3 – 5 tahun sekali sebagai pengganti lapisan top soil yang hilang Choi
et al., 2003. Erosi tidak hanya berdampak pada degradasi lahan, melainkan juga
berpengaruh terhadap ketersediaan air permukaan. Dampak buruk dari erosi ada dua yaitu dampak di tempat kejadian erosi on-site dan dampak di luar
tempat kejadian erosi off-site. Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan olah yang kaya hara dan bahan organik, meningkatkan
penggunaan energi untuk berproduksi, menurunnya produktivitas lahan dan pemiskinan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site meliputi berkurangnya
alternatif penggunaan lahan, timbulnya dorongan untuk membuka hutan untuk pertanian dan meningkatnya kebutuhan dana untuk konservasi. Dampak
langsung erosi off-site adalah pelumpuran atau sedimentasi dan pendangkalan badan air, tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan, menghilangnya
mata air dan memburuknya kualitas air, kerusakan ekosistem perairan, kehilangan nyawa oleh banjir dan longsor serta meningkatnya areal, frekuensi
serta lamanya banjir di musim hujan dan meningkatnya ancaman kekeringan pada musim kemarau. Dampak tidak langsung erosi off-site adalah kerugian
sebagai akibat memendeknya umur guna waduk dan saluran irigasi serta tidak berfungsinya badan air lainnya Arsyad, 2006.
Hasil penelitian Ripa et al., 2006 menyimpulkan telah terjadi pendangkalan dan pencemaran danau Vico di Italia oleh fosfat yang berasal dari
areal pertanian Hazelnut di bagian hulu. Untuk mengurangi laju erosi yang sangat tinggi di areal pertanian tersebut, peneliti kemudian membuat model
GLEAMS groundwater loading effect of agricutural management system agar danau Vico tidak terus mengalami pendangkalan dan eutrofikasi.
Di Indonesia, dampak buruk dari proses erosi tanah tidak hanya dialami oleh lahan-lahan pertanian saja, melainkan dialami juga oleh kawasan hutan,
24 daerah permukiman, daerah industri yang sedang dibangun, daerah
pertambangan, dan sebagainya. Di areal pertanian sendiri, proses erosi banyak terjadi pada lahan berlereng yang dikelola untuk budidaya tanaman semusim
namun mengabaikan tindakan-tindakan konservasi tanah Abdurachman dan Sutono, 2002.
Pendapat tersebut mendukung hasil penelitian Magrath dan Aren 1989 yang menyebutkan bahwa erosi yang berlangsung terus menerus dan
terakumulasi, tidak hanya mengakibatkan longsor di areal pertanian, namun juga menimbulkan kerusakan di daerah hilir di luar lokasi usahatani. Kerusakan
yang terjadi di daerah hilir antara lain berupa peningkatan volume sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai, situ, waduk dan saluran irigasi.
Hampir semua sungai, situ, danau dan waduk yang terdapat di pulau Jawa mengalami sedimentasi yang parah. Bahkan sejak tahun 1986, telah ditemukan
bahwa jumlah kehilangan tanah di lahan kering Jawa Barat yang disebabkan oleh erosi adalah sebesar 144,3 tonhath kondisi ini berakibat pada penurunan
kapasitas produktivitasnya sekitar 0 – 12th. Dilaporkan pula bahwa sejak tahun 1990 – 2000 laju erosi yang terjadi di desa Langensari Lembang berkisar
antara 141 - 221 tonhath Uchida et al., 2002. Erosi tanah yang berlangsung terus menerus juga menyebabkan
hilangnya pendapatan petani dan meningkatkan risiko yang harus ditanggung oleh petani marginal. Dampak erosi tanah pada penurunan produktivitas akan
lebih besar terjadi pada daerah beriklim tropis daripada beriklim sedang, karena daerah tropis mempunyai tanah yang relatif rentan dan curah hujan yang tinggi.
Pada daerah berkembang, biaya degradasi lahan akan 15 lebih tinggi dari produk nasional kotornya Barbier dan Bishop, 1995.
Menurut Papendick et al., 1986 besarnya nilai T tolerable for erosion maksimum yang diperbolehkan adalah sebesar 11 tonhatahun. Pendapat ini
diperkuat oleh Arsyad 2006 yang menyarankan penggunaan nilai T tersebut untuk menghitung besarnya erosi yang masih diperbolehkan.
Sutono et al., 2003 menyatakan bahwa lahan sawah sebagai pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan lahan kering
yang terdapat di dataran tinggi. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi pada lahan sawah lebih rendah 0,3 – 1,5 tonhath dibandingkan dengan lahan
dataran tinggi 5,7 – 16,5 tonhath. Oleh karena itu, konversi lahan sawah akan meningkatkan laju erosi lahan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk
25 pemeliharaan bendungan, pendalaman sungai dan saluran air serta situ
penampungan air, karena erosi yang berasal dari dataran tinggi akan meningkat. Menurut Sitorus 2004, penurunan produktivitas usahatani lahan kering
dataran tinggi tersebut karena adanya kendala dalam pemanfaatannya untuk pertanian yaitu: 1 kendala fisik-relief dengan lereng curam berbukit sampai
bergunung yang peka terhadap erosi dan longsor, 2 berkurangnya kesuburan tanah karena erosi sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan, 3 kendala
sosial budaya keluarga petani yang mempunyai sifat individualisme yang tinggi. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah degradasi lahan terus berlanjut
diakibatkan oleh erosi dan eksploitasi lahan secara berlebihan. Memperhatikan kendala tersebut, maka pengembangan pertanian di lahan pegunungan perlu
memperhatikankan beberapa hal utama, yaitu: kondisi sosial ekonomi petani, karakteristik lahan berlereng, kesesuaian jenisvarietas yang akan dikembangkan
dan teknik konservasi yang harus dilaksanakan. Penelitian Dasiharjo 2004 menunjukkan bahwa kegiatan usahatani di
daerah hulu sungai Cikapundung Jawa Barat sampai tahun 2004 masih cukup menguntungkan dengan BC-ratio 3,33, tetapi untuk jangka panjang apabila tidak
dilakukan tindakan konservasi akan menurunkan pendapatan usahatani seiring dengan semakin tipisnya lapisan tanah permukaan. Pujiharti 2007,
merekomendasikan teknologi untuk pengelolaan lahan kering berkelanjutan adalah pola usaha tanaman-ternak sapi yang menerapkan pola pergiliran
tanaman, penggunaan pupuk berimbang dan menggunakan pupuk kandang. Alternatif lain yang ditawarkan yaitu membangun tampungan-tampungan
air reservoirs di lahan miring untuk menampung air hujan dan air limpasan dari permukaan yang lebih tinggi Gatot et al., 1999. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dengan adanya tempat penampungan air tersebut, petani dapat menanam dua kali lebih sering dan jenis tanaman yang ditanam dapat diganti
dengan tanaman-tanaman yang bernilai ekonomi tinggi seperti cabe, bawang atau semangka. Selain itu, air dari tampungan juga dapat dimanfaatkan untuk
ternak dan perikanan darat.
2.3.3. Low External Input for Sustainable Agriculture LEISA