Penerjemahan dan Penerbitan: Pendukung dan Penentang Kolonialisme

84 sastra kolonial. De Locomotief adalah pers Hindia Belanda yang pro pribumi dan aktif mencetuskan ide-ide “politik etis” Termorshuizen, 2005. Sastra Hindia Belanda meskipun berbahasa Belanda, tapi berbeda dari sastra Belanda; berbeda karena cara pandang, orang, hubungan antara manusia dan cara penyampaiannya yang lain dengan sastra Belanda Nieuwenhuys, 1978: 11. Dalam buku Sastra Hindia Belanda dan Kita disebutkan bahwa Sastra Hindia Belanda adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangsa Eropa lainnya. Tujuan pokok yang tersimpul hampir pada semua karangan sastra Hindia Belanda adalah menyampaikan kepada pembaca Belanda kisah tentang keadaan yang sebenarnya di daerah jajahan yang dulu disebut Hindia Belanda Sastrowardoyo, 1983: 11. Bentuk tulisan: buku harian, catatan perjalanan, selebaran politik, pengamatan sekitar dan kehidupannya, juga roman, cerita pendek, sketsa, lakon sandiwara dan maupun bentuk bersifat sastra yang disebut Indische belletrie sastrakarya yang Indah dari Hindia Belanda. Karena ingin menyampaikan hal yang sebenarnya, kenyataan penindasan dan kolonialisme, sastra Hindia Belanda dapat menjadi suara antikolonial. Buku Het Laat Je Niet Los Itu tidak lepaskan kamu karya Rob Nieuwenhuys 1985 berisi ringkasan karya sastra-karya sastra Belanda yang membicarakan kehidupan Hindia Belanda. Tercatat di dalamnya nama-nama 85 pengarang Belanda yang tertarik bertutur tentang Hindia Belanda :Albert van Der Hoogte, A. Alberts, Alexander Cohen, Aya Zikken, Beb Vuijk, E. Du Perron, E. Breton De Nijs, E.R. Duncan Elias, François Valentijn, F.W Junghun, F.C. Wisen, F. Springer, F. Van Den Bosch, Jacob Haafner, Johannes Olivier, J. Eijkelboom, Hans Vervoort, H.J. Friedericy, Louis Couperus, Lin Scholte, Multatuli, Maurits P.A. Daum, Maria Dermoût, M.H. Szekely- Lulofs, Margareta Ferguson, Nic. Beets, Nicolaus de Graaff, Rumphius, Vincent Mahieu, W. Walraven, Wouter Schouten. Dari nama yang disebutkan, terdapat nama pengarang yang dikenal baik di negeri Belanda maupun Indonesia, seperti: Multatuli, Louis Couperus, Rob Nieuwenhuys, P.A. Daum, E. Du Perron, M.H. Szekely-Lulofs ; pengarang-pengarang tersebut dikenal sebagai ‘pembela’ pribumi. Meskipun mereka dikenal sebagai pembela pribumi, tidak semua pengarang menempatkan orang pribumi sebagai tokoh utama. Sastrowardoyo 1983 menemukan bahwa sastra Hindia Belanda kebanyakan menempatkan orang Indonesia sebagai tokoh figuran koki, penjaga, pembawa obor, sekali menjadi tokoh penting, ia adalah gundik atau kuli seperti dalam novel- novel karya M.H. Szekely-Lulofs. Sudibyo 2008 menulis bahwa Szekely- Lulofs, lewat novel Rubber: Roman uit Deli Berpacu Nasib di Kebun Karet, menyampaikan laporan tentang kehidupan mewah komunitas diaspora kulit putih berdampingan dengan nasib kuli bumiputera yang terbelakang dan 86 tersubordinasi. 9 Di Belanda sendiri, ketertarikan orang untuk meneliti jenis sastra ini belumlah setua Indonesia merdeka. Sejak Nieuwenhuys mempublikasikan bukunya Oost Indische-Spiegel 1972 dan dicetak ulang kedua tahun 1978, jenis sastra tersebut dilirik oleh peneliti Dolk, 1996. Padahal sejak Belanda meninggalkan Indonesia karya sastra yang berbicara atau mengambil latar Indonesia atau Hindia Belanda masih ditulis oleh pengarang Belanda. Sastra Hindia Belanda hingga saat ini belum menarik perhatian Indonesia, terlebih sastra itu memang ditulis dalam bahasa Belanda Sastrowardoyo,1983. Sastra Hindia Belanda yang dibahas dari sudut kepentingan perbandingan dengan sastra Indonesia. Hasil pembahasan menurut Subagyo Sastrowardoyo dapat berbeda dari hasil para peninjau Belanda, misal, Max Havelaar dan Atheis memiliki kemiripan pola. Salah Asuhan dan Layar Terkembang menggunakan roman-roman Hindia Belanda sebagai model atau acuan bercerita. Roman dalam Kesusastraan Hindia Belanda dan Indonesia mengandung lingkungan hidup yang sama, masyarakat kolonial di zaman Belanda dengan suasana pergaulan yang khas pada waktu itu. Keduanya dibedakan pusat lakonnya, orang BelandaIndo dan orang Indonesia. Dua pandangan pengarang terhadap Hindia Belanda: menyetujui dan menentangnya. Bas Veth Het Leven in Nederlandsch-Indië mengecam kehidupan di Hindia Belanda sebagai jelmaan kesengsaraan; dua belas tahun di 9 Lihat juga artikel Sudibyo, “MENJINAKKAN KOELI: PRAKTIK-PRAKTIK DEHUMANISME TERHADAP KULI DI DELI DALAM NOVEL BERPACU NASIB DI KEBUN KARET DAN KULI KARYA MADELON SZEKELY-LULOFS” 2003. 87 Hindia dengan dua belas impian kesengsaraan: hotel kotor, pegawai korup, tak beradab, orang Cina yang serakah, dll. Dia sangat membenci tindakan pejabat Belanda yang menyuruh seorang pemuda Hindia Belanda berjalan di belakang mereka dengan membawa tali api, semacam obor, yang dilambai-lambaikan. Api itu selalu akan tersedia jika gubernurresiden meminta api untuk menyalakan cerutunya. 10 Dia juga tidak menyenangi orang Indo, bahkan dia khawatir Belanda akan dijajah orang Indo yang membanjiri Belanda. Sebaliknya, Paul Koster dalam Uit de nagelaten papieren van een Indischen Nurks Dari Peninggalan Tulisan Seorang Pengomel di Hindia, 1904 dan Henri Borel memuji Hindia Belanda dalam karangannya Een Droom Impian 1899 melukiskan keindahan pemandangan Indonesia dengan langitnya yang membiru. Dengan demikian sastra Hindia Belanda memiliki kaitan dengan sastra Indonesia dan bangsa Indonesia. Ketika memilih karya sastra yang akan masuk dalam Bianglala Sastra, Dick Hartoko mengemukakan relevansialasan pemilihan: turut mempengaruhi arus sejarah bangsa Indonesia, memberikan informasi mengenai sejarah bangsa kita, karena empati atau penghayatannya mengenai alam dan masyarakat Indonesia, karena secara objektif bermutu sastra XIII. Bianglala Sastra Indonesia, Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia, Penerbit Djambatan 1979 ini ditulis Dick Hartoko berdasarkan Oost Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys. Dengan 10 Adegan ini muncul dalam jalan-jalan sore residen Van Oudijck dalam DSK. 88 penulisan ulang ini, termuat terjemahan fragmen dari karya sastra Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Pemilihan novel Hindia Belanda Belanda yang ditinjau penerjemahannya didasarkan pada buku Bianglala Sastra Indonesia, buku Het Laat Je Niet Los, Kian Kemari, dan sumber-sumber lain misal, novel-novel terjemahan, hasil-hasil penelitian. Terdapat tiga badanlembaga pengetahuan dan kebudayaan pada zaman Hindia Belanda yang berpengaruh besar bagi penduduk Indonesia. Bahkan ketiga badan tersebut hingga sekarang masih berdiri. I. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen adalah sebuah badan yang didirikan untuk meneliti dan mengembangkan kebudayaan dan pengetahuan tentang Hindia Belanda, khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah. Didirikan tahun 1778 oleh Gubernur Jendral Reinier de Klerk di Batavia, perkumpulan ini berpindah-pindah tempat beberapa kali. Terakhir badan ini menempati gedung museum baru di Koningsplein West sekarang Jalan Medan Merdeka Barat No. 12 yang dibangun tahun 1862 karena koleksi mereka yang bertambah banyak. Tahun 1868 gedung ini dibuka untuk umum badan, dan tahun 1923 berubah nama menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen Ikatan Kesenian dan Ilmu Kerajaan di Batavia. Pada tanggal 26 Januari 1950, badan ini diubah namanya menjadi 89 Lembaga Kebudayaan Indonesia. Gedung museum terkenal dengan sebutan museum Gajah. II. KITLV Koninklijk Instituut Taal- Letter- en Volkenkunde, berdiri 1851. Badan ini hingga sekarang masih berdiri dengan nama yang sama dan bergerak dalam penelitian dan juga penerbitan buku tentang Indonesia dan Karibia. III. Kantoor voor de Volkslectuur Biro Sastra Rakyat atau Balai Pustaka, didirikan pada 1908, menelurkan juga majalah dwibulanan, Pandji Poestaka dan Sri Poestaka . Kedua majalah ini oleh Rinkes digunakan untuk menerbitkan karya-karya terjemahan. Pegawai Volkslectuur juga melayani penerjemahan untuk lembaga, misal kesehatan, kepolisian, pengadilan, atau informan negara. Henry Chambert-Loir 2009 mengemukakan bahwa sejarah penerjemahan sastra di Melayu juga di Indonesia sudah berlangsung lama. Karya-karya sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Nusantara, Melayu dan daerah, berasal dari sastra Inggris, Perancis dan juga Belanda. Penerjemahan sering dilakukan tidak langsung dari sumber aslinya, tetapi dari hasil terjemahan dalam bahasa Belanda. Roman-roman klasik versi bahasa Belanda diterjemahkan untuk kepentingan penyediaan bacaan bagi anak sekolah: Hikayat Robinson Croesoe 1875, Hikayat Sinbad 1876, Hikayat Alladin 1898 oleh A.F. von de Wall. 90 Sejarah penerjemahan di Indonesia ternyata diikuti dengan penyaduran Ibid. Hasil terjemahan bisa disesuaikan dengan masyarakat pembacanya dan tuntutan birokratif. G.W.J Drewes sangat senang dengan terjemahan Nur Sutan Iskandar karena dinilai sebagai kesempurnaan dari kombinasi kesetian teks dan penyesuaian pada budaya pribumi. Terjemahan Nur Sutan Iskandar hampir selalu dibumbui dengan hal-hal diktatis; perlu diingat dia adalah penerjemah yang bagus Penyaduran kadang juga dilakukan karena kekurangsetiaan pada teks akibat kurangnya kemampuan dalam bahasa sumber Jedamski, 2009: 171-197. Menurut saya, dalam tindakan menyadur, boleh diartikan sebagai “sensor”, sensor oleh penerbit Balai Pustaka maupun sensor oleh penerjemahnya, misal nasihat yang diselipkan oleh Nur Sutan Iskandar dalam terjemahannya. Sejak zaman Hindia Belanda, karya sastra Hindia Belanda, berbahasa Belanda, maupun karya sastra PerancisInggris, juga berbahasa Belanda telah diterjemahkan atau disadur ulang. Dari buku Sadur Chambert-Loir, 2009 pembaca memberoleh gambaran tentang penerjemahan dan penyaduran. Penulisan pengarang asli atau penerjemahpenyadur belumlah tertibkonsisten seperti sekarang. Sering nama pengarang tak dicantumkan, lain waktu nama penerjemahnya yang tidak dimunculkan. Dua tindakan juga dilakukan terhadap cerita rakyat maupun karya sastra non-Belanda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Si Djamin dan Si Djohan adalah saduran Merari Siregar terhadap Oliver Twist Charles Dickens versi Bahasa Belanda yang berjudul 91 Jan Smees saduran dari Van Maurits. Roman Charles Dickens Nelly disadur untuk Volkslectuur oleh Merari Siregar dengan judul Anak Sengsara Seorang Gadis 1920. UitvinderPenemu karya Proville juga telah disadur. Cerita rakyat Belanda Kleine en Grote Klaus disadur oleh M.Wirjadihardja dengan judul Waris dan Laris 1913. Buku karya J.H. Been disadur dengan judul Hikayat Maarten Harpertszoon Trop 1919; buku tersebut juga diterjemahkan dalam bahasa Madura penerbitan tahun 1917. Pemilihan penerjemahan terkait dengan tema petualangan, perjalanan, aksi kepahlawanan dan cerita detektif. Tema politik atau perlawanan terhadap kolonialisme tidak dibenarkan pada masa itu. Penerjemahan dan pernerbitannya akan dilakukan melalui kontrol terlebih dahulu. Peranan badanbiro kebudayaan dalam pengembangan sastra dan penerjemahan tentu tidak dapat dilepaskan. Badan tersebut yang memilih, menerbitkan dan menyebarluaskan. Pilihan penerjemahan ke dalam bahasa Melayu awalnya dibatasi oleh bacaan sumber; sumber utama adalah buku koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sedangkan jumlah penerjemah yang bagus masih belum memadai. Sebenarnya banyak bacaan yang beredar, tetapi ditulis dalam huruf Jawi; badan tersebut kekurangan tenaga. Ada juga bacaan-bacaan mengenai Islam, hal ini tak sesuai dengan Nota Rinkes dan kebijakan Volkslectuur. Karena pada sepuluh tahun pertama bacaan yang 92 diusahakan untuk pribumi masih didominasi oleh bacaan berbahasa Jawa, Sunda, dan Madura. 11 Pada masa kolonial Balai Pustaka mengeluarkan peraturan mengenai penulisan karya tertulis yang dikenal dengan Nota Rinkes. Tulisan yang diterbitkan tidak boleh berkaitan dengan politik, atau anti pemerintahan kolonial, dan tidak boleh menyinggung perasaan golongan tertentu dan juga berkaitan dengan agama, misalnya novel Salah Asuhan. Karya Abdul Muis tersebut harus diubah sesuai dengan pandangan penerbit Balai Pustaka Yudiono, 2007. Pemberian karakter buruk pada tokoh Indo, Corry, dapat menyinggung perasaan kelompok Indo. Jamil Bakar dalam Yudiono, 2007 melaporkan bahwa dalam naskah asli tokoh Corry adalah wanita Indo yang menyenangi pergaulan bebas, bahkan akhirnya terjerumus menjadi pelacur dan kemudian mati ditembak oleh langganannya. Naskah Salah Asuhan 1922 yang akhirnya diterbitkan menempatkan Corry sebagai wanita setia, dan justru suaminya, tokoh Hanafi pemuda Padang diberi citra kurang bagus. Hanafi meninggalkan istri terdahulu dan anaknya untuk menikahi Corry meskipun sering meragukan kesetiaan Corry. Tulisan dari Melati van Java, nama samaran Nicolina Maria Christina Sloot berjudul Van slaaf tot vorst, historisch romantische schets uit de geschiedenis van Java 1887-1888 telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu 11 Jedamski 2009 melaporkan bahwa Volkslectuur tidak pernah secara resmi diserahi tugas untuk menghasilkan buku-buku sekolah. Meski demikian, mereka sendiri menerbitkan beberapa buku pelajaran untuk sekolah pribumi, yang tidak selalu berupa hasil terjemahan. 93 dan dipentaskan dalam teater. Ceritanya tentang Surapati, Raja Hindu terakhir dan perang melawan Islam dan Belanda. Penerjemahnya, F. Wiggers, memberinya judul Dari boedak sampe djadi radja Jedamski, 2009. Novel tersebut, menurut Dick Hartoko 1979, telah disadur oleh Abdul Muis dengan judul Surapati dan Robert Anak Surapati. Di luar tradisi Balai Pustaka sudah ada penerbitan, bahkan sebelum Balai Pustaka berdiri. Jacob Sumardjo menyebut sastra peranakan Cina, atau sastra yang dterbitkan oleh penerbit keturunan Tionghoa, yang berbahasa Melayu Rendah sebagai embrio kelahiran sastra Indonesia Yudiono, 2007. Penerbit Tionghoa tersebut menerbitkan karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu pergaulan sering disebut sebagai Bahasa Melayu Rendah. Dengan alasan bahasa tersebut 12 , karya-karya tersebut tidak lolos dalam penerbitan Balai Pustaka Volkslectuur. Tidak hanya orang pribumi yang menulis karya-karya semacam itu, tetapi juga orang Tionghoa maupun golongan Indo. Karya tersebut seperti: Cerita Nyai Paina, Nyi Sanikem, dan Cerita Siti Aisah H. Kommer, 1900. Menurut Maman S. Mahayana 2008, banyak muncul karya yang didasarkan pada kejadian sesungguhnya sehingga tertulis keterangan di halaman depan, misal dalam novel Lo Fen Koei: “Tjerita jang betoel soeda kedjadian di pulo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opioem di Res. Benawan …” Mahayana, 2008. Tulisan serupa pada novel lain dapat dilihat pada buku Pramoedya Tempo Doeloe. 12 Rinkes mengatakan bahwa buku-buku berbahasa Melayu sangat kurang dibandingkan bahasa lainnya. Menurut pedoman Balai Pustaka kaidah bahasa Melayu yang benar berdasarkan ketentuan Tata Bahasa Melayu 1901 yang dikeluarkan Ophuijzen Jedamski, 2009: 660. 94 Berkebalikan, muncul karya yang ditulis orang pribumi, tetapi berbahasa Belanda. Satu karya ditulis oleh R.A. Kartini dalam bentuk surat- surat kepada Abendanon. Kemudian kumpulan surat-surat itu diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht, Dari Gelap Terbitlah Terang, pada tahun 1911 oleh penerbit Semarang-Surabaya-Den Haag: G.C.T. van Dorp. Buku ini pun kemudian menjadi perdebatan; muncul pertanyaan yang meragukan jati diri penulisnya. Benarkah penulisnya adalah Kartini, seorang wanita Jawa, apakah ini bukan ide dari gerakan etis? Buku lain adalah roman yang ditulis oleh Suwarsih Djoyopuspito berjudul Buiten Het Gareel dan diterbitkan oleh W. de Haan Uitgevery, Utrecht pada tahun 1940. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulisnya sendiri dengan judul Manusia Bebas, dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Djambatan pada tahun 1975. Buku yang awalnya ditulis dalam bahasa Sunda, tetapi ditulis ulang dalam bahasa Belanda karena penolakan penerbit di dalam negeri, dinilai oleh Prof. Dr. Sartono sebagai “sumber sejarah mentalitas” dan bisa menjadi inspirasi politik generasi muda Swantoro, 2002: 349-350. Penolakan untuk diterbitkan ke dalam bahasa Sunda bisa jadi terkait dengan kekhawatiran bahwa buku ini akan membawa generasi muda pada gerakan politik secara luas. Dengan ditulis dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda maka pembaca pribumi sangat dibatasi. Pembahasan sastra Hindia Belanda tentu telah dilakukan, bahkan ada yang sudah menyertakan fragmencuplikan terjemahannya. Karya 95 Nieuwenhuys atau E. Breton de Nijs, Tussen Twee Vaderlanden dan Vergeelde Portretten uit een Indische Familie-album diterjemahkan sebagian oleh H.B. Jassin dengan judul Antara dua Tananh Air dan Potret-potret Menguning atau karya Eddy du Perron Het Land van Herkomst diterjemahkan cuplikannya dengan judul Balekambang dalam Kian Kemari, 1973. Balekambang bercerita mengenai buaya-buaya yang mendiami sungai di Cikanteh yang berlubang-lubang pada dasarnya. Buaya ini sering menerkam ternak yang mendekat atau masuk ke sungai. Pernah juga seorang wanita digigit kakinya. Karena tusukan pisau dari wanita yang tepat mengenai matanya, buaya pun pergi. Tokoh ‘aku’ dalam cerita itu mengikuti keluarganya yang pindah ke daerah Balekambang dekat sungai Cikanteh. Mereka menjadi keluarga Eropa pertama yang tinggal di daerah itu. Kepandaian ibunya merawat luka dan kemampuannya berbahasa Sunda menjadikan dia populer dan disukai. Mereka berkenalan dengan tanaman beracun dan juga wayang. Kehidupan mereka yang penuh pengalaman menakjubkan dilukiskan oleh Eddy du Perron dengan menarik. 13 Dick Hartoko 1979 menerjemahkan bagian dari De Stille Kracht, bab keempat, bagian I dan II DSK, 109-112, dengan judul “Kekuatan Gaib” Ibid.. Bagian ini dipilih oleh Dick Hartoko karena dipandangnya dapat menjelaskan makna ‘de stille kracht’. Van Oudijck yang dilukiskan sebagai 13 Pada masa kini pemilihan terjemahan kemungkinan tidak lagi terkukung oleh tali kolonialisme, misal kisah tentang satria yang membawa pesan bagi raja De brief voor de koning, oleh Tonke Dragt atau kisah tentang kucing yang berubah menjadi manusia Minoes, oleh Annie. M.G. Schmidt. Selanjutnya lihat lampiran. 96 laki-laki sederhana yang hanya memercayai apa yang dilihatnya, tak memercayai adanya kekuatan supranatural pada benda-benda. Narator mengungkapkan bahwa ini akan menjadi kelemahan Van Oudijck; dia tidak akan siap bila kehidupan berjalan tidak sesuai logikanya. Di bawah permukaan yang terlihat tenang terdapat kekuatan besar, layaknya kawah di bawah gunung berapi. Di bawah ketenangan tersembunyi ancaman. Bagian dari De Stille Kracht ini juga diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo dengan judul Pacaram Kian Kemari, 1973. Penerjemahan ini dilakukan sesudah Indonesia merdeka dengan didukung oleh Kedutaan Belanda di Jakarta. Bagian ini bertutur tentang keluarga Addy de Luce, keluarga campuran, setengah Solo dan setengah Indo. Ayah Addy adalah lelaki turunan Armenia yang berkelana hingga mencapai Solo. Di kota ini dia menjadi terkenal sebagai koki dengan hidangan cabe isi yang mengesankan keluarga keraton Solo. Bahkan, ia kemudian berhasil menikahi salah satu putri Solo dan kemudian memiliki pabrik gula yang jaya dan menghasilkan banyak uang. Kehidupan mereka disebut mengikuti tradisi keluarga-keluarga Indo; di sana nampak para pelayan yang bekerja: ada yang menumbuk bedak, mengulek sambal, mengurus hewan peliharaan. Beragam makanan silih berganti dihidangkan di meja makan. Bagian cerita tersebut, Pacaram, menceritakan kemewahan kehidupan Indo, Eropa-bangsawan Solo, dan bukan kehidupan mewah dan perselingkuhan istri pejabat Belanda. Apakah ini bentuk 97 keterikatan kita pada tali hubungan Indonesia-Belanda masa lalu, mengingat proyek ini didukung Kedutaan Belanda?

2.2.5 Aturan-aturan dalam Kehidupan Sehari-hari : Pengukuhan Identitas dan Penerapan Apartheid

Masyarakat dalam novel DSK adalah masyarakat kolonial di Jawa, mulai Jawa Timur hingga Jawa Barat. Namun, setting utamanya adalah sebuah kota fiktif di Jawa Timur yang disebut Labuwangi. Sebuah nama yang terdengar di telinga saya mirip nama Banyuwangi, meskipun sementara peneliti menyakininya sebagai Pasuruan karena novel ini ditulis saat Couperus berkunjung ke Pasuruan Nieuwenhuys, 1978; Hartoko, 1979. Ada golongan masyarakat Belanda dan Eropa, masyarakat Asia yaitu, China dan Arab, masyarakat Indo atau anak-anak hasil perkawinan antar ras, dan masyarakat pribumi. Sentral cerita adalah kehidupan pejabat baik Belanda maupun pribumi yang dikelilingi oleh para pembantu atau kerabat mereka. Pemerintah kolonial Belanda juga mengatur kehidupan masyarakatnya. Menurut aturan hukum di Hindia Belanda, golongan Tionghoa masuk dalam kategori orang Timur Asia; dan pada tahun 1855 mereka dimasukkan ke European Civil Code. Permasalahan sipil diurus oleh Dewan Keadilan Eropa Raad van Justitie sedang permasalahan kriminal diurus oleh dewan keadilan orang pribumi Landraden. Bahkan pada tahun 1900 mereka harus hidup dalam kampung minoritas dan memiliki kartu tanda masuk ke daerah pedalaman Hellwig, 2007 :26. Artinya, Belanda menerapkan perbedaan kelas 98 warga untuk orang Eropa berbeda dengan bangsa lainnya. Locher-Scholten menilai sistem ini sebagai legal apartheid. Dutch colonial law recognized three distinct legal groups: so- called’European’, ‘Foreign Orientalis’ Chinese and Arab, and Natives Indonesians Officially legitimized by differences in legal needs, it resulted in ‘legal apartheid’, which took different forms in different domains Locher-Scholten, 2000: 18. Hukum kolonial Belanda mengakui tiga kelompok hukum yang berbeda: yang disebut orang Eropa, orientalis asing orang Cina dan Arab, dan Pribumi orang Indonesia, yang resmi dikukuhkan oleh perbedaan kebutuhan hukum; ini mengakibatkan “apartheid hukum”, yang mengambil bentuk-bentuk yang berbeda dalam domain yang berbeda. Pengaturan pemukiman dan penggolongan kelas masyarakat menandakan bahwa pemerintah kolonial telah memberikan cap identitas kultural pada mereka. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut dipaksa menyadari identitasnya yang berbeda dengan yang lain sekaligus menyadari hak-hak dan kebutuhannya: Saya orang China, saya orang Jawa, saya orang Arab, saya orang Eropa, dll. Orang Eropa sendiri juga dituntut oleh masyarakat Eropa Hindia Belanda untuk hidup sesuai standar Eropa. Mereka harus tetap menjaga citra orang Eropa sebagai kelas masyarakat tertinggi. Peristiwa berikut menggambarkan tuntutan tersebut. Menanggapi usulan untuk meningkatkan citra Eropa dalam majalah Java Bode, P.A. Daum Termorshuizen, 1988 menambahkannya : 1 Orang Eropa dilarang menjadi Islam dan berada di kelas III yang diperuntukkan bagi pribumi, 2 Orang Eropa yang tidak berhasil hidup di Hindia Belanda diharapkan pulang ke Belanda saja 3 Orang Eropa 99 yang tidak melaporkan pencurian yang dilakukan pembantunya harus didenda. Orang Eropa juga tidak boleh tinggal di suatu tempat yang ada orang-orang pribuminya. Orang pribumi dan juga orang Cina dilarang mengenakan pakaian Eropa. Kelompok Indo di Hindia Belanda dinilai oleh Blumberger dalam bukunya De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie 1928 sebagai unsur yang penting karena mayoritas mereka di kalangan penduduk Eropa, yang berjumlah sekitar 45 Swantoro, 2002: 13. Hellwig 2007 memberi gambaran tentang komunitas Eropa. Komunitas Eropa terdiri dari dua kelompok yaitu Eropa asli dan Eropa campuran Indo. Mereka yang Indo dibedakan: mereka yang lahir dari perkawinan resmi, mereka yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui secara sah oleh ayahnya dan berkebangsaan Eropa seperti dalam kisah BM, dan mereka yang tidak diakui oleh ayah biologisnya sehingga tetap disebut “inlander” pribumi. Karena orang Belanda totok yang baru datang dari Eropa menganggap penduduk Eropa di Hindia Belanda sebagai “orang pedalaman”, penghargaan mereka terhadap golongan Indo pun sama. Mereka juga dinilai dari warna kulit mereka, disamping dari bahasa dan pakaian yang mereka kenakan. Dalam DSK ada satu kejadian yang melukiskan bagaiman seorang Indo mencoba menyamakan kedudukannya dengan orang Eropa DSK: 54. Seorang wanita Indo, bernama Ida, yang disebut sebagai tipe nona 14 putih. Ia selalu 14 Nona adalah sebutan untuk wanita Indo. 100 mencoba bertindak sangat Eropa dengan berbicara bahasa Belanda rapi. Bahkan dia berpura-pura bahwa bahasa Melayunya tidak bagus, dan juga tidak menyenangi jamuan nasi, maupun rujak. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut hidup berdampingan, terutama dari kelompok Belanda, Indo dan pribumi Jawa. Mereka tinggal dalam rumah masing-masing, bahkan dalam kampung masing-masing, tetapi gaya hidup mereka saling mempengaruhi. Pada lingkungan bangsawan Jawa tersedia wisky-soda untuk menjamu tamu mereka. Pada lingkungan Belanda- Indo masalah takhayul ikut mewarnai hidup mereka. Dalam Het land van herkomst Tanah Asal, E. du Perron menampilkan ayah tokoh utama ayah Ducroo yang gemar pijit, mendengarkan gamelan, percaya dukun dan ilmu gaib. Kalaupun tidak memercayainya, mereka harus bertemu dengan takhayul lewat para pembantunya. Dalam novel DSK tokoh Leoni, seorang wanita asli Belanda yang lahir dan besar di Hindia Belanda, sangat terganggu oleh hal-hal mistik yang ada di Jawa. Leoni, nyonya residen, yang sangat cuek pun harus membujuk suaminya untuk memberi sedekah pada sumur yang baru sebelum digunakan. Dia juga merasakan getar ketakutan mendengar cerita kuntilanak dari pembantunya, mendengar dugaan tenung dari kabupaten. Residen yang disebut sangat logis pun harus kalah oleh mistik. 15 Doddy, anak gadisnya dari istri terdahulu 15 Hij geloofde aan een kracht, diep verborgen in de dingen van Indië, in de natuur van Java, het klimaat van Laboewangi, in het gegoochel ─ zo noemde hij het nog ─ dat de Javaan soms knap maakt boven de Westerling, en dat hem macht geeft, geheimzinnige macht,