Penerjemahan dan Penerbitan: Pendukung dan Penentang Kolonialisme
84 sastra kolonial. De Locomotief adalah pers Hindia Belanda yang pro pribumi
dan aktif mencetuskan ide-ide “politik etis” Termorshuizen, 2005. Sastra Hindia Belanda meskipun berbahasa Belanda, tapi berbeda dari
sastra Belanda; berbeda karena cara pandang, orang, hubungan antara manusia dan cara penyampaiannya yang lain dengan sastra Belanda Nieuwenhuys,
1978: 11. Dalam buku Sastra Hindia Belanda dan Kita disebutkan bahwa Sastra Hindia Belanda adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda
yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan
bangsa Eropa lainnya. Tujuan pokok yang tersimpul hampir pada semua karangan sastra Hindia Belanda adalah menyampaikan kepada pembaca
Belanda kisah tentang keadaan yang sebenarnya di daerah jajahan yang dulu disebut Hindia Belanda Sastrowardoyo, 1983: 11. Bentuk tulisan: buku
harian, catatan perjalanan, selebaran politik, pengamatan sekitar dan kehidupannya, juga roman, cerita pendek, sketsa, lakon sandiwara dan maupun
bentuk bersifat sastra yang disebut Indische belletrie sastrakarya yang Indah dari Hindia Belanda. Karena ingin menyampaikan hal yang sebenarnya,
kenyataan penindasan dan kolonialisme, sastra Hindia Belanda dapat menjadi suara antikolonial.
Buku Het Laat Je Niet Los Itu tidak lepaskan kamu karya Rob Nieuwenhuys 1985 berisi ringkasan karya sastra-karya sastra Belanda yang
membicarakan kehidupan Hindia Belanda. Tercatat di dalamnya nama-nama
85 pengarang Belanda yang tertarik bertutur tentang Hindia Belanda :Albert van
Der Hoogte, A. Alberts, Alexander Cohen, Aya Zikken, Beb Vuijk, E. Du Perron, E. Breton De Nijs, E.R. Duncan Elias, François Valentijn, F.W
Junghun, F.C. Wisen, F. Springer, F. Van Den Bosch, Jacob Haafner, Johannes Olivier, J. Eijkelboom, Hans Vervoort, H.J. Friedericy, Louis Couperus, Lin
Scholte, Multatuli, Maurits P.A. Daum, Maria Dermoût, M.H. Szekely- Lulofs, Margareta Ferguson, Nic. Beets, Nicolaus de Graaff, Rumphius,
Vincent Mahieu, W. Walraven, Wouter Schouten. Dari nama yang disebutkan, terdapat nama pengarang yang dikenal baik di negeri Belanda maupun
Indonesia, seperti: Multatuli, Louis Couperus, Rob Nieuwenhuys, P.A. Daum, E. Du Perron, M.H. Szekely-Lulofs
; pengarang-pengarang tersebut dikenal sebagai ‘pembela’ pribumi.
Meskipun mereka dikenal sebagai pembela pribumi, tidak semua pengarang menempatkan orang pribumi sebagai tokoh utama. Sastrowardoyo
1983 menemukan bahwa sastra Hindia Belanda kebanyakan menempatkan orang Indonesia sebagai tokoh figuran koki, penjaga, pembawa obor, sekali
menjadi tokoh penting, ia adalah gundik atau kuli seperti dalam novel- novel karya M.H. Szekely-Lulofs. Sudibyo 2008 menulis bahwa Szekely-
Lulofs, lewat novel Rubber: Roman uit Deli Berpacu Nasib di Kebun Karet, menyampaikan laporan tentang kehidupan mewah komunitas diaspora kulit
putih berdampingan dengan nasib kuli bumiputera yang terbelakang dan
86 tersubordinasi.
9
Di Belanda sendiri, ketertarikan orang untuk meneliti jenis sastra ini belumlah setua Indonesia merdeka. Sejak Nieuwenhuys
mempublikasikan bukunya Oost Indische-Spiegel 1972 dan dicetak ulang kedua tahun 1978, jenis sastra tersebut dilirik oleh peneliti Dolk, 1996.
Padahal sejak Belanda meninggalkan Indonesia karya sastra yang berbicara atau mengambil latar Indonesia atau Hindia Belanda masih ditulis oleh
pengarang Belanda. Sastra Hindia Belanda hingga saat ini belum menarik perhatian
Indonesia, terlebih sastra itu memang ditulis dalam bahasa Belanda Sastrowardoyo,1983. Sastra Hindia Belanda yang dibahas dari sudut
kepentingan perbandingan dengan sastra Indonesia. Hasil pembahasan menurut Subagyo Sastrowardoyo dapat berbeda dari hasil para peninjau Belanda, misal,
Max Havelaar dan Atheis memiliki kemiripan pola. Salah Asuhan dan Layar Terkembang menggunakan roman-roman Hindia Belanda sebagai model atau
acuan bercerita. Roman dalam Kesusastraan Hindia Belanda dan Indonesia mengandung lingkungan hidup yang sama, masyarakat kolonial di zaman
Belanda dengan suasana pergaulan yang khas pada waktu itu. Keduanya dibedakan pusat lakonnya, orang BelandaIndo dan orang Indonesia.
Dua pandangan pengarang terhadap Hindia Belanda: menyetujui dan menentangnya. Bas Veth Het Leven in Nederlandsch-Indië mengecam
kehidupan di Hindia Belanda sebagai jelmaan kesengsaraan; dua belas tahun di
9
Lihat juga artikel Sudibyo, “MENJINAKKAN KOELI: PRAKTIK-PRAKTIK DEHUMANISME TERHADAP KULI DI DELI DALAM NOVEL BERPACU NASIB DI
KEBUN KARET DAN KULI KARYA MADELON SZEKELY-LULOFS” 2003.
87 Hindia dengan dua belas impian kesengsaraan: hotel kotor, pegawai korup, tak
beradab, orang Cina yang serakah, dll. Dia sangat membenci tindakan pejabat Belanda yang menyuruh seorang pemuda Hindia Belanda berjalan di belakang
mereka dengan membawa tali api, semacam obor, yang dilambai-lambaikan. Api itu selalu akan tersedia jika gubernurresiden meminta api untuk
menyalakan cerutunya.
10
Dia juga tidak menyenangi orang Indo, bahkan dia khawatir Belanda akan dijajah orang Indo yang membanjiri Belanda.
Sebaliknya, Paul Koster dalam Uit de nagelaten papieren van een Indischen Nurks Dari Peninggalan Tulisan Seorang Pengomel di Hindia, 1904 dan
Henri Borel memuji Hindia Belanda dalam karangannya Een Droom Impian 1899 melukiskan keindahan pemandangan Indonesia dengan langitnya yang
membiru. Dengan demikian sastra Hindia Belanda memiliki kaitan dengan sastra
Indonesia dan bangsa Indonesia. Ketika memilih karya sastra yang akan masuk dalam Bianglala Sastra, Dick Hartoko mengemukakan relevansialasan
pemilihan: turut mempengaruhi arus sejarah bangsa Indonesia, memberikan informasi mengenai sejarah bangsa kita, karena empati atau penghayatannya
mengenai alam dan masyarakat Indonesia, karena secara objektif bermutu sastra XIII. Bianglala Sastra Indonesia, Bunga Rampai Sastra Belanda
tentang Kehidupan di Indonesia, Penerbit Djambatan 1979 ini ditulis Dick Hartoko berdasarkan Oost Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys. Dengan
10
Adegan ini muncul dalam jalan-jalan sore residen Van Oudijck dalam DSK.
88 penulisan ulang ini, termuat terjemahan fragmen dari karya sastra Belanda ke
dalam bahasa Indonesia. Pemilihan novel Hindia Belanda Belanda yang ditinjau penerjemahannya didasarkan pada buku Bianglala Sastra Indonesia,
buku Het Laat Je Niet Los, Kian Kemari, dan sumber-sumber lain misal, novel-novel terjemahan, hasil-hasil penelitian.
Terdapat tiga badanlembaga pengetahuan dan kebudayaan pada zaman Hindia Belanda yang berpengaruh besar bagi penduduk Indonesia. Bahkan
ketiga badan tersebut hingga sekarang masih berdiri. I. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen adalah
sebuah badan yang didirikan untuk meneliti dan mengembangkan kebudayaan dan pengetahuan tentang Hindia Belanda, khususnya
dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah. Didirikan tahun 1778 oleh Gubernur Jendral
Reinier de Klerk di Batavia, perkumpulan ini berpindah-pindah tempat beberapa kali. Terakhir badan ini menempati gedung
museum baru di Koningsplein West sekarang Jalan Medan Merdeka Barat No. 12 yang dibangun tahun 1862 karena koleksi
mereka yang bertambah banyak. Tahun 1868 gedung ini dibuka untuk umum badan, dan tahun 1923 berubah nama menjadi
Koninklijk Bataviaasch
Genootschap van
Kunsten en
Wetenschappen Ikatan Kesenian dan Ilmu Kerajaan di Batavia. Pada tanggal 26 Januari 1950, badan ini diubah namanya menjadi
89 Lembaga Kebudayaan Indonesia. Gedung museum terkenal dengan
sebutan museum Gajah. II.
KITLV Koninklijk Instituut Taal- Letter- en Volkenkunde, berdiri 1851. Badan ini hingga sekarang masih berdiri dengan nama yang
sama dan bergerak dalam penelitian dan juga penerbitan buku tentang Indonesia dan Karibia.
III. Kantoor voor de Volkslectuur Biro Sastra Rakyat atau Balai
Pustaka, didirikan pada 1908, menelurkan juga majalah dwibulanan, Pandji Poestaka dan Sri Poestaka . Kedua majalah ini
oleh Rinkes digunakan untuk menerbitkan karya-karya terjemahan. Pegawai Volkslectuur juga melayani penerjemahan untuk lembaga,
misal kesehatan, kepolisian, pengadilan, atau informan negara. Henry
Chambert-Loir 2009
mengemukakan bahwa
sejarah penerjemahan sastra di Melayu juga di Indonesia sudah berlangsung lama.
Karya-karya sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Nusantara, Melayu dan daerah, berasal dari sastra Inggris, Perancis dan juga Belanda.
Penerjemahan sering dilakukan tidak langsung dari sumber aslinya, tetapi dari hasil terjemahan dalam bahasa Belanda. Roman-roman klasik versi bahasa
Belanda diterjemahkan untuk kepentingan penyediaan bacaan bagi anak sekolah: Hikayat Robinson Croesoe 1875, Hikayat Sinbad 1876, Hikayat
Alladin 1898 oleh A.F. von de Wall.
90 Sejarah penerjemahan di Indonesia ternyata diikuti dengan penyaduran
Ibid. Hasil terjemahan bisa disesuaikan dengan masyarakat pembacanya dan tuntutan birokratif. G.W.J Drewes sangat senang dengan terjemahan Nur Sutan
Iskandar karena dinilai sebagai kesempurnaan dari kombinasi kesetian teks dan penyesuaian pada budaya pribumi. Terjemahan Nur Sutan Iskandar hampir
selalu dibumbui dengan hal-hal diktatis; perlu diingat dia adalah penerjemah yang bagus Penyaduran kadang juga dilakukan karena kekurangsetiaan pada
teks akibat kurangnya kemampuan dalam bahasa sumber Jedamski, 2009: 171-197. Menurut saya, dalam tindakan menyadur, boleh diartikan sebagai
“sensor”, sensor oleh penerbit Balai Pustaka maupun sensor oleh penerjemahnya, misal nasihat yang diselipkan oleh Nur Sutan Iskandar dalam
terjemahannya. Sejak zaman Hindia Belanda, karya sastra Hindia Belanda, berbahasa
Belanda, maupun karya sastra PerancisInggris, juga berbahasa Belanda telah diterjemahkan atau disadur ulang. Dari buku Sadur Chambert-Loir, 2009
pembaca memberoleh gambaran tentang penerjemahan dan penyaduran. Penulisan pengarang asli atau penerjemahpenyadur belumlah tertibkonsisten
seperti sekarang. Sering nama pengarang tak dicantumkan, lain waktu nama penerjemahnya yang tidak dimunculkan. Dua tindakan juga dilakukan terhadap
cerita rakyat maupun karya sastra non-Belanda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Si Djamin dan Si Djohan adalah saduran Merari Siregar
terhadap Oliver Twist Charles Dickens versi Bahasa Belanda yang berjudul
91 Jan Smees saduran dari Van Maurits. Roman Charles Dickens Nelly disadur
untuk Volkslectuur oleh Merari Siregar dengan judul Anak Sengsara Seorang
Gadis 1920. UitvinderPenemu karya Proville juga telah disadur. Cerita
rakyat Belanda Kleine en Grote Klaus disadur oleh M.Wirjadihardja dengan judul Waris dan Laris 1913. Buku karya J.H. Been disadur dengan judul
Hikayat Maarten Harpertszoon Trop 1919; buku tersebut juga diterjemahkan dalam bahasa Madura penerbitan tahun 1917.
Pemilihan penerjemahan terkait dengan tema petualangan, perjalanan, aksi kepahlawanan dan cerita detektif. Tema politik atau perlawanan terhadap
kolonialisme tidak dibenarkan pada masa itu. Penerjemahan dan pernerbitannya akan dilakukan melalui kontrol terlebih dahulu. Peranan
badanbiro kebudayaan dalam pengembangan sastra dan penerjemahan tentu tidak dapat dilepaskan. Badan tersebut yang memilih, menerbitkan dan
menyebarluaskan. Pilihan penerjemahan ke dalam bahasa Melayu awalnya dibatasi oleh bacaan sumber; sumber utama adalah buku koleksi Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sedangkan jumlah penerjemah yang bagus masih belum memadai. Sebenarnya banyak bacaan yang beredar,
tetapi ditulis dalam huruf Jawi; badan tersebut kekurangan tenaga. Ada juga bacaan-bacaan mengenai Islam, hal ini tak sesuai dengan Nota Rinkes dan
kebijakan Volkslectuur. Karena pada sepuluh tahun pertama bacaan yang
92 diusahakan untuk pribumi masih didominasi oleh bacaan berbahasa Jawa,
Sunda, dan Madura.
11
Pada masa kolonial Balai Pustaka mengeluarkan peraturan mengenai penulisan karya tertulis yang dikenal dengan Nota Rinkes. Tulisan yang
diterbitkan tidak boleh berkaitan dengan politik, atau anti pemerintahan kolonial, dan tidak boleh menyinggung perasaan golongan tertentu dan juga
berkaitan dengan agama, misalnya novel Salah Asuhan. Karya Abdul Muis tersebut harus diubah sesuai dengan pandangan penerbit Balai Pustaka
Yudiono, 2007. Pemberian karakter buruk pada tokoh Indo, Corry, dapat menyinggung perasaan kelompok Indo. Jamil Bakar dalam Yudiono, 2007
melaporkan bahwa dalam naskah asli tokoh Corry adalah wanita Indo yang menyenangi pergaulan bebas, bahkan akhirnya terjerumus menjadi pelacur dan
kemudian mati ditembak oleh langganannya. Naskah Salah Asuhan 1922 yang akhirnya diterbitkan menempatkan Corry sebagai wanita setia, dan justru
suaminya, tokoh Hanafi pemuda Padang diberi citra kurang bagus. Hanafi meninggalkan istri terdahulu dan anaknya untuk menikahi Corry meskipun
sering meragukan kesetiaan Corry. Tulisan dari Melati van Java, nama samaran Nicolina Maria Christina
Sloot berjudul Van slaaf tot vorst, historisch romantische schets uit de geschiedenis van Java 1887-1888 telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu
11
Jedamski 2009 melaporkan bahwa Volkslectuur tidak pernah secara resmi diserahi tugas untuk menghasilkan buku-buku sekolah. Meski demikian, mereka sendiri menerbitkan
beberapa buku pelajaran untuk sekolah pribumi, yang tidak selalu berupa hasil terjemahan.
93 dan dipentaskan dalam teater. Ceritanya tentang Surapati, Raja Hindu terakhir
dan perang melawan Islam dan Belanda. Penerjemahnya, F. Wiggers, memberinya judul Dari boedak sampe djadi radja Jedamski, 2009. Novel
tersebut, menurut Dick Hartoko 1979, telah disadur oleh Abdul Muis dengan judul Surapati dan Robert Anak Surapati.
Di luar tradisi Balai Pustaka sudah ada penerbitan, bahkan sebelum Balai Pustaka berdiri. Jacob Sumardjo menyebut sastra peranakan Cina, atau
sastra yang dterbitkan oleh penerbit keturunan Tionghoa, yang berbahasa Melayu Rendah sebagai embrio kelahiran sastra Indonesia Yudiono, 2007.
Penerbit Tionghoa tersebut menerbitkan karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu pergaulan sering disebut sebagai Bahasa Melayu Rendah.
Dengan alasan bahasa tersebut
12
, karya-karya tersebut tidak lolos dalam penerbitan Balai Pustaka Volkslectuur. Tidak hanya orang pribumi yang
menulis karya-karya semacam itu, tetapi juga orang Tionghoa maupun golongan Indo. Karya tersebut seperti: Cerita Nyai Paina, Nyi Sanikem, dan
Cerita Siti Aisah H. Kommer, 1900. Menurut Maman S. Mahayana 2008, banyak muncul karya yang didasarkan pada kejadian sesungguhnya sehingga
tertulis keterangan di halaman depan, misal dalam novel Lo Fen Koei: “Tjerita jang betoel soeda kedjadian di pulo Djawa dari halnja satoe toean tana dan
pachter opioem di Res. Benawan …” Mahayana, 2008. Tulisan serupa pada novel lain dapat dilihat pada buku Pramoedya Tempo Doeloe.
12
Rinkes mengatakan bahwa buku-buku berbahasa Melayu sangat kurang dibandingkan bahasa lainnya. Menurut pedoman Balai Pustaka kaidah bahasa Melayu yang benar berdasarkan
ketentuan Tata Bahasa Melayu 1901 yang dikeluarkan Ophuijzen Jedamski, 2009: 660.
94 Berkebalikan, muncul karya yang ditulis orang pribumi, tetapi
berbahasa Belanda. Satu karya ditulis oleh R.A. Kartini dalam bentuk surat- surat kepada Abendanon. Kemudian kumpulan surat-surat itu diterbitkan
dengan judul Door Duisternis tot Licht, Dari Gelap Terbitlah Terang, pada tahun 1911 oleh penerbit Semarang-Surabaya-Den Haag: G.C.T. van Dorp.
Buku ini pun kemudian menjadi perdebatan; muncul pertanyaan yang meragukan jati diri penulisnya. Benarkah penulisnya adalah Kartini, seorang
wanita Jawa, apakah ini bukan ide dari gerakan etis? Buku lain adalah roman yang ditulis oleh Suwarsih Djoyopuspito
berjudul Buiten Het Gareel dan diterbitkan oleh W. de Haan Uitgevery, Utrecht pada tahun 1940. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penulisnya sendiri dengan judul Manusia Bebas, dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Djambatan pada tahun 1975. Buku yang awalnya
ditulis dalam bahasa Sunda, tetapi ditulis ulang dalam bahasa Belanda karena penolakan penerbit di dalam negeri, dinilai oleh Prof. Dr. Sartono sebagai
“sumber sejarah mentalitas” dan bisa menjadi inspirasi politik generasi muda Swantoro, 2002: 349-350. Penolakan untuk diterbitkan ke dalam bahasa
Sunda bisa jadi terkait dengan kekhawatiran bahwa buku ini akan membawa generasi muda pada gerakan politik secara luas. Dengan ditulis dalam bahasa
Belanda dan diterbitkan di Belanda maka pembaca pribumi sangat dibatasi. Pembahasan sastra Hindia Belanda tentu telah dilakukan, bahkan ada
yang sudah
menyertakan fragmencuplikan
terjemahannya. Karya
95 Nieuwenhuys atau E. Breton de Nijs, Tussen Twee Vaderlanden dan
Vergeelde Portretten uit een Indische Familie-album diterjemahkan sebagian oleh H.B. Jassin dengan judul Antara dua Tananh Air dan Potret-potret
Menguning atau karya Eddy du Perron Het Land van Herkomst diterjemahkan cuplikannya dengan judul Balekambang dalam Kian Kemari, 1973.
Balekambang bercerita mengenai buaya-buaya yang mendiami sungai di Cikanteh yang berlubang-lubang pada dasarnya. Buaya ini sering menerkam
ternak yang mendekat atau masuk ke sungai. Pernah juga seorang wanita digigit kakinya. Karena tusukan pisau dari wanita yang tepat mengenai
matanya, buaya pun pergi. Tokoh ‘aku’ dalam cerita itu mengikuti keluarganya yang pindah ke daerah Balekambang dekat sungai Cikanteh. Mereka menjadi
keluarga Eropa pertama yang tinggal di daerah itu. Kepandaian ibunya merawat luka dan kemampuannya berbahasa Sunda menjadikan dia populer
dan disukai. Mereka berkenalan dengan tanaman beracun dan juga wayang. Kehidupan mereka yang penuh pengalaman menakjubkan dilukiskan oleh
Eddy du Perron dengan menarik.
13
Dick Hartoko 1979 menerjemahkan bagian dari De Stille Kracht, bab keempat, bagian I dan II DSK, 109-112, dengan judul “Kekuatan Gaib”
Ibid.. Bagian ini dipilih oleh Dick Hartoko karena dipandangnya dapat menjelaskan makna ‘de stille kracht’. Van Oudijck yang dilukiskan sebagai
13
Pada masa kini pemilihan terjemahan kemungkinan tidak lagi terkukung oleh tali kolonialisme, misal kisah tentang satria yang membawa pesan bagi raja De brief voor de
koning, oleh Tonke Dragt atau kisah tentang kucing yang berubah menjadi manusia Minoes, oleh Annie. M.G. Schmidt. Selanjutnya lihat lampiran.
96 laki-laki sederhana yang hanya memercayai apa yang dilihatnya, tak
memercayai adanya kekuatan supranatural pada benda-benda. Narator mengungkapkan bahwa ini akan menjadi kelemahan Van Oudijck; dia tidak
akan siap bila kehidupan berjalan tidak sesuai logikanya. Di bawah permukaan yang terlihat tenang terdapat kekuatan besar, layaknya kawah di bawah gunung
berapi. Di bawah ketenangan tersembunyi ancaman. Bagian dari De Stille Kracht ini juga diterjemahkan oleh Trisno
Sumardjo dengan judul Pacaram Kian Kemari, 1973. Penerjemahan ini dilakukan sesudah Indonesia merdeka dengan didukung oleh Kedutaan
Belanda di Jakarta. Bagian ini bertutur tentang keluarga Addy de Luce, keluarga campuran, setengah Solo dan setengah Indo. Ayah Addy adalah lelaki
turunan Armenia yang berkelana hingga mencapai Solo. Di kota ini dia menjadi terkenal sebagai koki dengan hidangan cabe isi yang mengesankan
keluarga keraton Solo. Bahkan, ia kemudian berhasil menikahi salah satu putri Solo dan kemudian memiliki pabrik gula yang jaya dan menghasilkan banyak
uang. Kehidupan mereka disebut mengikuti tradisi keluarga-keluarga Indo; di sana nampak para pelayan yang bekerja: ada yang menumbuk bedak, mengulek
sambal, mengurus hewan peliharaan. Beragam makanan silih berganti dihidangkan di meja makan. Bagian cerita tersebut, Pacaram, menceritakan
kemewahan kehidupan Indo, Eropa-bangsawan Solo, dan bukan kehidupan mewah dan perselingkuhan istri pejabat Belanda. Apakah ini bentuk
97 keterikatan kita pada tali hubungan Indonesia-Belanda masa lalu, mengingat
proyek ini didukung Kedutaan Belanda?