Gambaran Singkat Perlawanan dalam Karya Sastra

229 tersendiri.

4.3 Fixity” dan Interupsi : Konflik Barat dan Timur

Barat datang membawa peradaban bagi Timur yang masih tertinggal. “Jadi untuk pertama kali kebijaksanaan kita mendapat ujian dan tantangan. Walau demikian bukan karena ujian dan tantangan itu kita harus mengambil langkah peninjauan, tetapi karena nurani orang Eropa kita yang bernama humanisme, nenek moyang dan sekaligus peradaban Eropa dewasa ini.” BM, 327. Wat hij nu wilde bereiken, was een doel, waarvan de idee sproot uit zijne mensenlijkheid, uit het edele van hemzelve. Wat hij nu wilde bereiken was een ideaal van Westerling in het Oosten, en van Westerling, die het Oosten zag, zoals hij het zien wilde en alleen zien kon DSK, 121. Apa yang saat ini ingin dicapainya, adalah sebuah tujuan, yang idenya berasal dari sisi manusiawinya, dari sifat mulia yang ada dalam dirinya, apa yang sekarang ingin dicapainya adalah sebuah angan –angan, sebuah angan –angan dari seorang laki - laki Barat di neger iTimur, dan dari seorang laki-laki Barat, yang melihat dunia Timur, sebagaimana ia ingin dan hanya dapat melihatnya. KD, 124-125. Kedua ungkapan tersebut bersumber dari dua orang Eropa: direktur kepala tempat Minke bersekolah dan Residen Van Oudijck. Keduanya mengungkapkan adanya sisi nurani Eropa yang akan membawa peradaban Eropa di Jawa. Dengan alasan itu, Minke dipanggil kembali ke sekolah. Residen yang memiliki hubungan baik dengan bupati terdahulu, bangsawan Jawa, merasa terpanggil untuk menyelamatkan keluarga Adiningrat yang terperosok pada judi: “...tujuan ambisinya adalah kebangkitan keluarga Jawa itu” KD, 124. Orang-orang yang terlibat dalam arahgerakanpolitik etis pada masa itu memiliki kemuliaan untuk menyokong Hindia Belanda dan pribumi. 230 Sikap yang menyokong orang Jawa tidak selamanya berasal dari keikhlasan. En de Westerling, prat op zijn macht, op zijn kracht, op zijn beschaving, humaniteit, troont hoog, blind, egoist, eigendachtig tussen al de ingewikkelde raderen van zijn autoriteit, ...Dan orang Barat bangga terhadap kekuasaannya, kekuatannya, peradabannya, humanitasnya, bertahta tinggi, buta dan egois diantara semua roda gigi otoritasnya..DSK, 111;KD, 115. Kebanggaan diri meliputi orang-orang Barat; kebanggaan ini menjadikan diri mereka bersikap sebagai pelopor peradaban bagi Timur yang dipandang masih terbelakang. Citra sebagai pelopor dan superioritas harus dijaga agar fixity wacana kolonial terjaga. Wacana kolonial bertumpu pada perbedaan ras, etnis, agama, dan budaya sebagai bagian dari aparatus kekuasaannya. Muncul paham stereotip bahwa si Hitam memiliki kekurangan, primitif, kurang intelektualnya, memuja jimat, dan cacat ras. Biila kemurnian ras si Putih dan cacat ras si Hitam dipercaya kebenarannya, mimikri dilakukan. Agar konsep tersebut terjaga kepastiannya, konsep diserukan secara berulang-ulang. Tindakan ini justru memperkuat dugaan bahwa wacana kolonial memiliki sifat labil dan selalu dapat diinterupsi oleh wacana tandingan. „Si Hitam‟ di sini boleh dibaca sebagai orang Asia, pribumi, dan „si Putih ‟ boleh dibaca orang Eropa, Penjajah. Artinya, si Hitam yang beridentifikas idengan bermimikri memenuhi tuntutan dari penguasa kolonial, juga termasuk orang Cina dan Arab yang menjadi penduduk Hindia Belanda. 231 Pada masa pemerintahan kolonial orang-orang nonpribumi diharuskan tinggal di luar pemukiman pribumi. Mereka juga punya kartu identitas khususID card. Pemukiman mereka terkonsentrasi pada daerah pecinan untuk orang Cina, daerah Ampel untuk orang Arab DSK: 38-41; DSK dengan apik telah melukiskan pemukiman-pemukiman tersebut lewat fokalisasi tempat oleh narator dan juga tokoh cerita, Van Oudijck. Dengan mengikuti perjalanan keluarga Van Oudijck pembaca diajak melihat suasana pemukiman- pemukiman tersebut. Pemukiman Arab berkesan muram, pemukiman orang Cina berkesan hidup oleh hiasan-hiasan berwarna-warni. Kelabilan wacana kolonial terbukti dengan proses interaksi antara penjajah dan terjajah yang tidak selamanya mendukung tujuan wacana kolonial. Mimikri yang terjadi tidak selalu disertai kepatuhan pada sang Tuan. Pada saat manusia mimikri dikritik keterbelakangannya, perasaan terluka dan melawan muncul hal ini terjadi pada Minke. Perilaku manusia mimikri ini serupa pertahanan serangga secara biologis. Meskipun tidak ada rencana atau intensi sengaja, perlawanan yang muncul dalam mimikri ini efektif. Akhirnya, mimikri yang didorong oleh kepercayaan pada kepemilikan cacat ras justru menjadi senjata yang melukai wacana kolonial. Manusia mimikri merasa berada dalam tingkat sama, berperilaku sama dengan manusia yang ditiru. Berbekal ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh kolonial, mereka juga mulai berani mengritik, menginterupsi peradaban Barat. Minke sebagai manusia mimikri bahkan memegang informasi dan 232 pengetahuan yang tidak dimiliki oleh siswa HBS lainnya. Minke yang mendapatkan informasi tentang teori asosiasi Snouck Hurgronje dari Miriam de la Croix menanyakannya dalam forum diskusi sekolah. Ternyata tidak ada siswa maupun guru yang dapat menjawabnya. Ketika guru Magda Peters meminta penjelasan Minke, diskusi diberhentikan oleh direktur sekolah. Teori asosiasi bukan pokok bahasan yang diperbolehkan dibicarakan di sekolah. Hal ini menggambarkan bahwa akses berbahasa Belanda yang dimiliki Minke telah dipergunakannya semaksimal mungkin. Dia seperti meteor yang melesat melebihi siswa Eropa tulen. Sikap Barat yang terancam melihat kemnajuan pribumi terekspresikan pada kebekuan wacana kolonial yang dikonstruksi seputar perbedaan tingkat ras. Ketika tulisan Minke, dalam nama pena Max Tollenaar, dibahas dan dipuji, komentar tentang ras atau kejawaannya diungkit. “Dia, Juffrouw,” Suurhof meneruskan,” Indo pun bukan. Dia lebih rendah daripada Indo yang tidak diakui ayahnya. Dia seorang Inlander, seorang Pribumi yang menyelundup di sela- sela peradaban Eropa.” BM, 237. Bahkan, strategi peniruan masyarakat pribumi juga dapat membahayakan kekuasaan kolonial. Batas antara penjajah dan terjajah menjadi kabur, remang-remang. Hal ini terjadi karena manusia mimikri berada dalam satu ruang dengan manusia yang ditiru. Proses meniru digunakan sebagai strategi untuk melakukan perlawanan atas kolonialisme. Peniruan ini akan menggerogoti wacana kolonial yang labil dan menjadikannya limbung. Si cacat ras yang mudah diserang kini menyamarkan diri atau bahkan