5 Tinjauan Pustaka Objek Material

25 hanya dapat terwujud melalui demokrasi, sedangkan Couperus tampak masih meragukan keberhasilan persahabatan antara Barat dan Timur. Pembahasan ringkas terhadap DSK terdapat dalam Europa Buitengaats D’haen, 2002. Hampir semua masalah yang sering dianggap sebagai bumbu sastra Indis Hindia Belanda, seperti pergundikan, percabulan sampai materialisme, dibahas dalam novel DSK. Hal ini menjadikan DSK semacam ikhtisar sastra tentang Hindia Belanda. Dengan buku ini tampaknya Couperus ingin memperjelas masa-masa kolonialisme abad ke-20 dan prediksi bahwa kekuasaan Belanda ditakdirkan untuk berakhir. Dengan cara ini Couperus melakukan kritik yang lebih jauh terhadap kekuasaan kolonial dibandingkan dengan Multatuli dalam Max Havelaar. Kritik tentang tingkah laku orang- orang Belanda di Asia yang sudah terdengar sejak zaman VOC,tetapi tidak pernah menjadi hal yang vokal penting. Pokok pikiran tentang Verlichting Pencerahan pada akhir abad ke -18 awal abad ke-19 menimbulkan kesadaran pada beberapa orang bahwa kepentingan penduduk pribumi tidak cukup mendapatkan perhatian. Juga berkat Max Havelaar dan diskusi tentangnya pokok pembicaraan ini muncul dalam agenda politik, tetapi baru sekitar pergantian abad mulai ada suatu perubahan yang hakiki. Dasawarsa pertama abad itu berfungsi sebagai pedoman bagi politik Belanda. Dalam buku Indische Spiegel Nieuwenhuys, 1978 Couperus diulas sebagai pengarang yang pintar dalam menampilkan realita dan suasana Jawa masa itu yang mistis dan misterius. Dalam menampilkan karakter tokohnya, 26 iajuga dinilai pandai menempelkan hidung di atas bibir orang lain. Pendapat ini muncul setelah Nieuwenhuys 1978 memperkirakan tokoh dalam DSK adalah gambaran tokoh nyata, pribadi di sekitar kehidupan pengarang. Misalnya tokoh Van Oudijck adalah gambaran pamannya yang menjadi residen di Pasuruan. Nieuwenhuys Ibid. juga memperkirakan bahwa Labuwangi adalah Pasuruan, tempat Couperus dan istrinya menginap di rumah kakak iparnya seorang residen Pasuruan. Novel ini dibahas dalam kaitannya dengan kehidupanpengalaman pengarangnya dan juga orang-orang di sekelilingnya. Terdapat penelitian yang mengaitkan setting tempat novel DSK dengan lokasi sebenarnya di Pasuruan, misal ruang tamu residen, perempatan dengan jam kota di tengahnya, perahu-perahu Madura di kanal, hotel dan kampung Tosari, stasiun Pasuruan. Karin Peterson 2009, dalam bukunya In Het Voetspoor van Louis Couperus, menyertakan gambar-gambar dalam kutipan teks novel. 8 Artikel berjudul “Louis Couperus 1863-1923: De magie van het onuitsprekelijke” dalam Paradijzen van weleer Beekman, 1998 memberikan ulasan dari sudut pandang yang hampir serupa dengan ulasan sebelumnya. Ketakutannya terhadap Hindia Belanda yang gelap, pada harimau, pada hantu- hantu pada masa dia kecil banyak mempengaruhi kisah DSK. Menurut Beekman 1998, buku-buku yang dibaca oleh Couperus juga memberi 8 In Het Voetspoor van Louis Couperus Menapak Jejak kaki Louis Couperus; contoh gambar dan kutipan, silakan lihat dalam lampiran gambar. 27 pengaruh pada karya-karyanya, misalnya studi Van Hien yang diantaranya berbicara tentang jiwa-jiwa yang negatif, misal gendruwo atau gandarwa. Ulasan atas DSK oleh peneliti Indonesiadari sisi sejarah dapat dibaca dalam artikel “Studi Interdisipliner terhadap Sastra Hindia-Belanda” yang termuat dalam buku Sastra Interdisipliner oleh Margana 2003. Meskipun ada beberapa keganjilan dalam menampilkan warna lokal, Couperus dinilai Margana cukup berhasil menampilkan dan mengkritisi suatu keaslian sejarah Historical authenticity. Penelitian terhadap novel The Hidden Force, terjemahan dari DSK, dapat dilihat dalam tulisan berjudul “The secrets and danger: interracial sexuality in Louis Couperus’s ‘The Hidden Force’ and Dutch colonial culture around 1900” dalam Domesticating, Race, Gender, and Family Life in French and Dutch Colonialism Pattynama, 1998. Pendekatan yang digunakan adalah mengombinasikan historiografi kolonial colonial historiography dan analisis semiotik dengan menambahkan mode pembacaan kontrapuntal yang diajukan Edward Said. Karya sastra ini dinilai Pattynama seringkali menyajikan perbedaan antara terjajah dan penjajah secara kiasanmetafora sebagai rahasiabahaya yang tak terduga yang menyelubungi masyarakat jajahan Belanda di Hindia Timur. Tertanam dalam narasi utama yang mengeksplorasi tatanan masyarakat umum kolonial, hal ini menyingkap bagaimana arti perlawanan dihubungkan dengan rassuku, genderjenis kelamin, dan persilangan seksual dengan batas-batas yang diatur oleh keluarga. 28 Beberapa pembicaraan ringkasresensi tentang DSK muncul dalam www.studenten.samenvatting . Novel ini dipandang berhasil melukiskan suasana Timur yang mencekam dan misterius dengan setting dan jalinan cerita di dalamnya. 1.6 Kerangka Teori Novel DSK dan BM adalah dua karya sastra yang bersetting dan bercerita tentang zaman kolonial di Hindia Belanda. Banyak permasalahan dan pertentangan antara golongan penjajah dan pribumi priyayi diketengahkan dalam kedua novel itu. Dalam DSK pertentangan antara keluarga residen dan keluarga bupati, keluarga turunan Sultan Madura yang menikah dengan putri kraton Solo, berlangsung diam-diam meskipun akhirnya berbuntut pemberontakan kecil. Pertentangan dalam BM berlangsung di kalangan terpelajar, antara Minke dan pendukungnya dengan penguasa pemerintah Hindia Belanda Pengadilan Sipil. Pernikahan Minke dan Annelies yang sah menurut hukum Islam dianggap batal dalam hukum Hindia Belanda karena salah satu pengantinnya adalah warga Belanda. Pandangan-pandangan dalam kedua novel, terutama tentang konstruksi atau tuntutan citra ideal kawula kolonial dan bagaimana dipenuhi akan dibahas, dihubungkan kaitan teksnya. Novel BM adalah wacana pascakolonial yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. DSK karena ditulis oleh pihak kolonisator dan ditulis dalam bahasa penjajah maka boleh dikatakan 29 sebagai wacana kolonial. Akan tetapi karena munculnya pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa novel tersebut juga melakukan kritik terhadap kolonisator sebagaimana Max Havelaar maka tepat kiranya digunakan teori pascakolonial untuk menganalisisnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap BM. Homi Bhabha 1994, sebagai salah satu ahli kritik pascakolonial, mengungkapkan bahwa wacana kolonial dihasilkan dari benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan pribumi sehingga wacana kolonial akan selalu bersifat ambivalensi dan kontradiktif. Dari pendapat tersebut dapat dimengerti bahwa wacana kolonial tidaklah statis dan monolit, juga muncul wacana tandingan atau yang menentang wacana kolonial. Kedua karya sastra yang berasal dari pihak bertentangan −dalam konteks kolonialisme− yaitu, Hindia Belanda dan Indonesia, diteliti dengan teori pascakolonial yang dikembangkan oleh Homi Bhabha.

1.6.1 Pascakolonialisme : Wacana kolonial dan Wacana Pascakolonial

Dengan berakhirnya PD II muncul semacam kesepakatan bahwa kolonialisme oleh bangsa Eropa terhadap bangsa Asia telah berakhir di dunia. Bertolak dari hal tersebut, teori pascakolonial tidak lagi memandang pada perjuangan melawan kolonialisme dan menuntut kemerdekaan. Menurut Loomba 2003: 16, pada masa ketika kolonialisme Perancis, Inggris, dan Belanda sudah selesai, pengertian pascakolonialisme haruslah lebih luas 30 sehingga pokok tersebut mengandung pengertian pada suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme. Kata kolonialisme sendiri bertaut dengan penaklukan, penguasaan suatu wilayah, perbudakan, penindasan penduduk, pemaksaan bahasa atau penggantian budaya. Menurut Tony Day dan Keith Foulcher 2002, penggunaan pendekatan pascakolonial dalam kajian sastra dapat dianggap sebagai strategi pembacaan untuk mempelajari cara karya sastra mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial : konfrontasi antar ras, antar bangsa, dan antar budaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tak setara, yang telah membentuk suatu bagian signifikan dari pengalaman manusia sejak mula masa imperialisme Eropa. Teori pascakolonial didefinisikan sebagai karya yang dibentuk secara mendasar oleh afiliasi-afiliasi metodologis pada teori “agung” Perancis Jaques Derrida, Jaques Lacan, dan Michel Foucault dan dalam praktiknya adalah teori Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha, dan Young menyebutnya sebagai the the Holy Trinity ahli teori pascakolonial Moore- Gilbert, 1997: 1-2. Ketiganya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tiga ahli Perancis di atas dalam mengembangkan teori pascakolonial. Salah satu alasan kesuksesan orientalisme, tak diragukan lagi, adalah munculnya dua area yang sangat berbeda secara bersama-sama: post-strukturalisme, dalam Michel Foucault, dan Marxisme Barat, dalam kerangka Gramsci William dan Chrisman, 1997: 7. Pengaruh psikoanalisis Lacan nampak pada karya 31 Bhabha; menurut Young 2012 Bhabha memandang bahwa wacana kolonial beroperasi menurut protokol ambivalen antara fantasi dan keinginan fantasy and desire. Teori pascakolonial bukannya tidak mendapatkan kritik. Aijaz Ahmad dalam Moore Gilbert, 1997: 2, ahli teori Marxist dan gerakan perlawanan kolonialismeimperialisme dari India, menyerangnya dengan argumen bahwa prosedur metodologisnya berasal dari teori kritik Euro-Amerika kontemporal yang dalam sejumlah cara mundur secara politis. Bagi Aijaz Ahmad, umumnya kritik budaya Barat bertahap terlepas dari hubungan konkrit dengan perjuangan politik populer kurang lebih sejak tahun 1960-an. Loomba 2005: 15 berpendapat bahwa postkolonial atau pascakolonial dapat dipikirkan sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan- warisan kolonialisme. Akhirnya analisis wacana kolonial dan teori pascakolonial disimpulkan Williams sebagai kritik mengenai proses produksi pengetahuan tentang The Other Williams dan Chrisman, 1997: 8. Pascakolonialisme akhirnya menempati suatu posisi dalam kajian sastra. Day dan Foulcher 2002 melihat pascakolonialisme sebagai strategi pembacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut. Istilah pascakolonial, menurut mereka menunjukkan tanda-tanda dan 32 efek-efek kolonialisme dalam sastra, juga mengacu pada posisi penulis pascakolonial sebagai pribadi suara naratifnya. Kritik pascakolonial bergerak pada pembacaan teks-teks kolonial dan pascakolonial. Teks kolonial atau teks orientalis atau wacana kolonial yang dapat dijadikan objek penelitian meliputi banyak bidang, misalnya, hukum, karya seni, sejarah, dan karya sastra. Theo D’haen 2002: 12-13, profesor sastra dari universitas Leuven Belgia, mengatakan bahwa pada awalnya sastra kolonial ditulis oleh penulis tanah pertiwi kolonial dan dalam bahasa ibu mereka, dengan mata Eropa mereka melihat koloni dari pusat kekuasaan ke wilayah terjajah. Sastra pascakolonial, umumnya muncul sesudah kemerdekaan −D’haen menambahkan tidak harus demikian− dan ditulis oleh pihak mantan terjajah dalam bahasa mantan penjajah; sastra tersebut melihat dari wilayah terjajah ke pusat kekuasaan koloni dulu, yang secara de facto sering masih ada dan lingkungan sendiri. 9 Dalam sejarah sastra Indonesia, hanya segelintir sastrawan Indonesia yang menerbitkan karyanya dalam bahasa Belanda, misal Suwarsih Djojopuspito atau Kartini. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Belanda mengenai bahasa Melayu. Dalam pendekatan pascakolonial, kedua jenis karya sastra tersebut di atas dapat dibaca dengan teori pascakononial. Bagaimana kedua novel melihat 9 Isi kutipan seluruhnya : “Postkoloniale literatuur’ dateert overwegend, hoewel niet noodzakelijk, van na de onafhankelijkheid van een kolonie en is geschreven door ex- gekoloniseerden, in de taal van de ex- kolonisator. Ze kijkt vanuit de ex- koloniale periferie naar het vroegere –en vaak de facto ook nog huidige machtscentrum, en naar de eigen omgeving”D’haen 2002: 12-13.