Politik Etis : Tidak Semua Orientalis Seragam

75 Ranggawarsita. Semua itu dimungkinkan karena perkembangan pendidikan pribumi dan juga penguasaan bahasa Belanda. Hurgronje dalam Poesponegoro dan Notosusanto, 2008: 45 – 49 pernah menelorkan ide ‘politik asosiasi’, suatu pemikiran yang mencita-citakan tercapainya kerjasama antara golongan Eropa dan pribumi terutama priyayi berpendidikan Barat dalam masyarakat Hindia Belanda. Ikatan politik asosiasi ini dapat diwujudkan struktur atas bovenbouw, diduduki oleh pihak kolonial, dan struktur bawah onderbouw, yang diduduki oleh berbagai kesatuan etis, kultural, politik dalam masyarakat regional-tradisional. Kedua arah politik, baik etis maupun asosiasi, tampaknya memiliki sisi baik, tetapi masih bertumpu pada dipertahankannya pemerintahan kolonial Belanda. Keduanya masih bertolak pada paham bahwa Indonesia Hindia Belanda harus tetap dipimpin oleh Belanda. Dalam pola hubungan kemasyarakatan antara penjajah dan terjajah yang terbentuk memposisikan kelompok terjajah yang bersekolah akan berusaha memenuhi apa yang dituntut guru dan sekolah mereka, sekolah yang didirikan oleh pemerintahan Belanda. Semakin sempurna mereka menguasai bahasa Belanda maka akan mendekati cara hidup mereka. Bartels 1990 dalam artikelnya menggambarkan bahwa pendidikan bahasa Belanda masa kolonial dianggap oleh orang Maluku sebagai formula magis untuk mendekati Sang Tuan kolonisator, tetapi di saat yang sama menjauhkan mereka dari kelompok 76 etnis yang lain; bahkan orang tua tidak segan mengeluarkan biaya ekstra pendidikan bahasa Belanda bagi anaknya. Pribumi yang menguasai bahasa Belanda akan punya akses sosial dalam kehidupan orang BelandaEropa. Orang-orang pribumi yang akhirnya bekerja di lembaga negara atau pers Hindia Belanda, misal Balai Pustaka, KITLV, De Locomotief sebuah pers Hindia Belanda yang pro pada arah “politik etis”, menguasai bahasa Belanda: Marah Rusli, Abdul Muis, Haji Agus Salim dan Tirto Adi Soerja. Pernah ada dalam sejarah pers di Hindia Belanda 1915 artikel tandingan untuk “Kromo Buiten” dalam Indische Militair yang mengejek tentara Jawa yang ditulis oleh Darna Koesoema dalam Goentoer Bergerak, “Hanyalah seorang Jawa” berisi perbandingan uang ganti rugi dalam kecelakaan kereta api bagi seorang Inggris yang keseleo dan karyawan Jawa yang meninggal dalam selisih berlipat seribu. Termorshuizen, 2011: 160-164. Tanpa penguasaan bahasa Belanda, pribumi tidak mampu memahami artikel yang muncul dalam ratusan surat kabarmajalah di Hindia Belanda, misalnya Nieuws van den Dag N.v.d.D., Soerabaiasch Handelsblad, Bataviaasch Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, Atjehse Courant, Pasoeroean Bode dll. Pemerintah Belanda telah mengharuskan para pejabatnya menguasai bahasa Melayu, hal ini sudah disiapkan sejak calon pejabat masih berada di sekolah Indologi di Delf, tetapi surat kabar berbahasa Belanda masih beterbaran. Akhirnya, pribumi mengandalkan terjemahan dalam surat kabar 77 berbahasa Melayu dari orang-orang seperti Tirto Adi Soerja, Mas Marco Kartodikromo, dan lain-lain.

2.2.3. Pers Hindia Belanda: Artikel tebar kebencian dan medan polemik

Menyambung mengenai artikel tandingan yang ditulis oleh Darna Koesoema yang disebut di atas, kasus tersebut menjadi bukti adanya perang polemik antara orang Belanda dan pribumi. Kasus tersebut sangat menarik karena diangkat dalam agenda rapat parlemen Belanda. Secara garis besar artikel “Kromo Buiten” Termorshuizen, 2011 tersebut menuliskan karakter tentara Jawa yang berbeda dengan tentara Ambon atau Menado. Sebagai prajurit dia pengecut, tidak dapat dipercaya, tak ada ambisi dan semangat. Kemampuannya adalah merampas, mencuri ayam, kambing, uang, mengambil perhiasan dan uang dari korban tewas atau narapidana, bahkan temannya sendiri tak terkecuali, dll. Ditambahkan juga ucapan yang rasis oleh mereka : “Ini sesuai dengan tangan cokelatnya”. 7 Selanjutnya, tulis Termorshuizen Ibid. penanggung jawab redaktur Indische Militair dipanggil ke pengadilan. Dia divonis 1 hari penjara, tetapi pada akhir tahun sesudah mengajukan banding, dia dibebaskan dari tuntutan. Reaksi surat kabar Indonesia adalah marah. Artikel terjemahannya banyak diterbitkan oleh surat kabar Indonesia dan juga muncul dalam jumlah besar 7 Wat hij wel kon, was rampassen Kippen, geiten, en varken fourageeren, als hij de kans schoon ziet, geld en sieraden van gesneuvelden of gevangenen stelen, -ja hij onziet in dit opzicht zelfs zijn eigen gevallen kameraden niet - dat is een kolfje naar zn bruine hand ibid.. 78 surat pembaca bernada tersinggung. Salah satu artikel tandingan adalah karya Darna Koesoema yang dinilai menghimbau permusuhan. Ada kasus lain yang muncul berkaitan dengan Van Haastert, mantan hakim pengadilan negeri Landraad, pengadilan yang mengurusi pribumi yang menjadi redaktur Nieuws van den Dag. Menanggapi opini kelompok etis bahwa pribumi harus diangkat dia menjawab : “Inlander harus diangkat, tapi diangkat sampai tiang gantungan”. Dia menyalahkan Multatuli yang menyebabkan munculnya pelopor etis sentimentil yang turunannya saat ini menjadi hambatan terbesar pada jalannya politik kolonial yang sehat di Nusantara. Van Haastert juga mengutip kata-kata yang digunakan atasannya, Karel Wybrands, 5 tahun yang lalu 1910: “Pribumi adalah kusir yang jelek dan kasar, tukang yang ceroboh, petani keras kepala, dan terbelakang, pengawas yang malas, karyawan yang tak peduli, pemimpin keras, suka takhayul, despotischtiran, bodoh. Bukan bawahan yang mengritik, tapi atasan. Kita adalah master dan akan tetap begitu selama arah etis tidak mendapat posisi kuat.” Van Haastert divonis 3 hari penjara. Penggambaran perang pena ini oleh Termorshuizen 2011, menandakan adanya perbedaan perlakuan hukum terhadap pribumi. Vonis 3 hari penjara untuk tulisan Van Haastert, redaktur Nieuws van den Dag, membuat pers Melayu marah dan terheran-heran. Lebih-lebih bila vonis ini dibandingkan dengan vonis bagi Mas Marco Kartodikromo untuk artikelnya di media massa. Karena seri artikel-artikelnya di tahun 1915 dalam Doenia 79 Bergerak, Mas Marco diadili 7 tahun, dan berubah 7 bulan setelah naik banding. Dia dituduh sebagai orang dalam kelompok yang secara terus menerus mengimbau ketidaktenangan dalam masyarakat pribumi. Bunyi salah satu artikelnya adalah bahwa orang Belanda hanya datang ke Hindia Belanda untuk memanfaatkan keuntungan dan merugikan pribumi. Orang Eropa bugar berisi, dan pribumi tetap kurus kering atau pemerintah melaksanakan politik cerdas dengan melarangkan Indische Partij sementara membiarkan Sarikat Islam. 8 Kemudian karena tekanan dari pertemuan protes yang dihadiri banyak orang di Semarang – pertemuan ini dimotivasi oleh Sneevliet anggota ISDV– yang dihadiri oleh perserikatan Insulinde, dan juga ketidaksenangannya pada tindakan aparat, A.W.F. Idenburg memberi grasi ketika mas Marco sudah 3 bulan berada di penjara. Satu tahun kemudian Mas Marco ditahan lagi karena tulisannya berjudul “Sama Rasa Sama Rata” dalam Pancaran Warta. Dia divonis 1 tahun penjara. Menarik mengutip pembelaanya:” “Kami pribumi hanya setiap hari diejek, dihina di Soerabaiasch Handelsblad atau Nieuws van den Dag. Oleh karenanya nada kami sering menjadi tajam dan melukakan.” Meski De Locomotief menulis bahwa nada permusuhan dan perlawanan sebenarnya tak ada dalam tulisan Mas Marco, hukuman penjara tetap dijalaninya. Kisah ini membuktikan bahwa perlakuan hukum pada masa kolonial Belanda berbeda bagi orang Belanda dan orang pribumi. Karena kebangsaannya, karena 8 Gerard Termorshuizen mencatat bahwa anggota Sarikat Islam = 500 ribu orang, sedangkan Indische Partij = 7 ribu. 80 keturunannya, pribumi dihinakan dibanding orang Eropa. Tidak dapat dipungkiri, penjajahan Belanda mengandung ketidakadilan hukum. Pramoedya A. Toer 2003: 199-201 dalam Realisme Sosial dan Sastra Indonesia, pernah menulis tentang Mas Marco yang juga pernah dipenjara karena tulisan dalam Doenia Bergerak yang berisi pendapat bahwa pendirian Technische Hooge School Sekolah Tinggi Teknik atau THS tidak bisa diteruskan pemerintah. Dia menulis surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda, tertanggal 20 November 1925, menanyakan mengapa tulisan lain yang serupa tidak dipermasalahkan. THS Swantoro, 2002: 352-359, yang sekarang bernama ITB, setelah lama mendapat keraguan-keraguan berhasil berdiri 3 Juli 1920 sebagai perguruan tinggi pertama di Hindia Belanda. Kelompok “politik etis” dikaitkan dengan pers yang propribumi dan antipemerintah. Bahkan dengan tulisan mereka, kelompok “politik etis” telah dituduh sebagai orang yang menghalangi pertumbuhan sehat kehidupan politik di Hindia Belanda. Tuduhan ini menjadi serius ketika dikaitkan dengan masalah merongrong kewibawaan negara dan berakhir di penjara. Dalam tulisannya mengenai kegiatan pers Hindia Belanda, Termorshuizen 2005 dan 2011 mencatat beberapa nama yang pernah dipenjarakan karena dianggap melanggar aturan pers: P.A. Daum, J.W.Th. Cohen Stuart, H.J.Lion. Tulisan mereka boleh dikatakan terpengaruh ide-ide Multatuli. Terkait dengan Grondwet 1848, pada tahun 1854 Hindia Belanda mendapatkan peraturan baru Regeeringsreglement dan dua tahun kemudian turun peraturan tentang pers