4. Tujuan dan Manfaat Penelitian: Teoretis dan Praktis
23 disajikan di bawah ini. Dalam buku Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam
Novel-Novel Mutahkhirnya karya Koh 1996 pembahasan terhadap BM dilakukan bersama tiga novel lainnya tergabung dalam tetralogi Bumi
Manusia. Keempat novel dikaji dengan pendekatan ekstrinsik secara umum dan sosiologi sastra secara khusus. Dalam kajian ini latar belakang dan
pemikiran Pramoedya terhadap permasalahan kemasyarakatan dan dunia serta perkembangan pandangan dunia digunakan untuk membahas tetralogi BM.
Dihasilkan kesimpulan bahwa keempat novel mengedepankan perlawanan terhadap kuasa penjajah.
Pendapat serupa dikemukakan oleh Savitri Scherer 1981 dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan sebagai buku tiga tahun kemudian.
Menurut Scherer 2012: 142, BM telah melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan juga pertanyaan tentang siapa yang
membuat hukum dan siapa yang diuntungkan dengan hukum itu. Lewat jurnal Sosiohumanika, Noor dan Faruk 2003 mengemukakan bahwa Minke dalam
BM menjadi figur yang mewakili perlawanan pribumi, bermula dari tahap mimikri yang dilaluinya dalam sistem pendidikan kolonial.
Penelitian secara intertekstualitas pascakolonial terhadap tokoh Nyai Ontosoroh dalam BM Pramoedya dan Nyai Dasima dalam Nyai Dasima
karya G. Francis pernah dilakukan oleh Katrin Bandel 2003. Disebutkan dalam penelitian tersebut, Nyai Ontosoroh adalah respon terhadap Nyai
Dasima.Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai perempuan yang menjadikan
24 status nyai sebagai pengetahuan dan kesadaran baru, berbeda dengan Nyai
Dasima yang digambarkan lemah dan tergantung pada laki-laki. Pembahasan terhadap BM bersamaan dengan Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi
dilakukan dengan cara pasca-kolonial oleh Pamela Allen 2004.Novel Pramoedya tersebut dikaitkan dengan permasalahan kolonial: pemindahan
tempat, identitas dan hibridisasi atas Nyai Ontosoroh dan tokoh Minke. Pembahasan BM juga dilakukan oleh Tineke Hellwig yang termuat dalam
buku In The Shadow of Change 2003. Novel tersebut dibahas bersama-sama dengan 24 novel-novel Indonesia yang lain, seperti Gadis Pantai, Layar
Terkembang, Burung-Burung Manyar. Secara garis besar penelitiannya menggunakan pendekatan kritik feminis dengan menerapkan pembacaan
secara diakronis. Pembahasan terhadap novel Bumi Manusia dilakukan dengan melihat kedudukan wanita dalam masyarakat kolonial Belanda.
Dalam artikel berjudul “Life is not a scientific manual” Geert Onno Prins 2008, membandingkan DSK 1900 dan Passage to India 1924 karya
E.M. Foster. Prins menyimpulkan bahwa kedua novel masing-masing memiliki tiga tema: drama Mrs. Quested, drama koloni, persahabatan
Passage to India dan perjuangan antara nasib dan hasrat, perselisihan tak teratasi Barat dan Timur, antara wanita dan laki-laki DSK. Konfrontasi
antara Timur dan Barat menjadi benang merah yang membedakan kedua novel tersebut: Foster mempercayai persahabatan antara Barat dan Timur yang
25 hanya dapat terwujud melalui demokrasi, sedangkan Couperus tampak masih
meragukan keberhasilan persahabatan antara Barat dan Timur. Pembahasan ringkas terhadap DSK terdapat dalam Europa Buitengaats
D’haen, 2002. Hampir semua masalah yang sering dianggap sebagai bumbu sastra Indis Hindia Belanda, seperti pergundikan, percabulan sampai
materialisme, dibahas dalam novel DSK. Hal ini menjadikan DSK semacam ikhtisar sastra tentang Hindia Belanda. Dengan buku ini tampaknya Couperus
ingin memperjelas masa-masa kolonialisme abad ke-20 dan prediksi bahwa kekuasaan Belanda ditakdirkan untuk berakhir. Dengan cara ini Couperus
melakukan kritik yang lebih jauh terhadap kekuasaan kolonial dibandingkan dengan Multatuli dalam Max Havelaar. Kritik tentang tingkah laku orang-
orang Belanda di Asia yang sudah terdengar sejak zaman VOC,tetapi tidak pernah menjadi hal yang vokal penting. Pokok pikiran tentang Verlichting
Pencerahan pada akhir abad ke -18 awal abad ke-19 menimbulkan kesadaran pada beberapa orang bahwa kepentingan penduduk pribumi tidak cukup
mendapatkan perhatian. Juga berkat Max Havelaar dan diskusi tentangnya pokok pembicaraan ini muncul dalam agenda politik, tetapi baru sekitar
pergantian abad mulai ada suatu perubahan yang hakiki. Dasawarsa pertama abad itu berfungsi sebagai pedoman bagi politik Belanda.
Dalam buku Indische Spiegel Nieuwenhuys, 1978 Couperus diulas sebagai pengarang yang pintar dalam menampilkan realita dan suasana Jawa
masa itu yang mistis dan misterius. Dalam menampilkan karakter tokohnya,