Hindia Belanda dalam Perspektif Louis Couperus dan Pramoedya Ananta Toer

149 penguasa. Rakyat Jawa yang dijajah seakan rela dan menaruh hormat alami kepada penguasa, yaitu pemerintah Belanda. Dan sebagai pembuka jiwa visi artistiknya adalah karakter orang Jawa: keluwesannya, keanggunannya, salamnya dan tarinya, kebangsawanannya, yang sering nampak pada keturunan bangsawan yang berasal keluarga bangsawan tua, dan keluwesan diplomatis dan termodernisasi dari keluarga yang menghormati secara alami, dan pasrah di bawah penindasan penguasa yang pita emas penghiasnya membangkitkan rasa hormat alami orang Jawa. DSK: 46; KD, 47 . 26 Kerelaan in juga ditunjukkan dengan munculnya tokoh almarhum Bupati Adiningrat yang bekerja loyal, berdedikasi tinggi, dan disiplin sebagai bupati, atau pegawai Pangreh Praja. Tokoh ini muncul dalam ingatan Residen Van Oudijck kepada beliau. Pujian tinggi selalu diberikan kepadanya. Bahkan dalam novel ini muncul kritikan dari sementara orang yang menyindir bahwa residen ingin mengangkat keluarga Jawa. Bahkan istrinya sendiri tidak mempedulikan perhatian Van Oudijck pada keluarga bupati tersebut dan keluarga bupati lainnya: Apa pedulinya pada politiknya, politik seluruh Belanda, yang dengan senang hati menghargai keluarga ningrat Jawa, yang dengan mereka penduduk telah dikuasai? Apa pedulinya pada Van Oudijck yang memikirkan pangeran sepuh yang mulia, merasakan kemurungan akan kejatuhan yang tampak pada anak-anaknya. KD: 96; DSK: 93, ‘nya’ adalah Van Oudijck. 27 26 als een openbaring van artistieke vizie was haar geweest het karakter van de Javaan: zijne sierlijkheid, zijn gratie, zijn groet en zijn dans, zijn voorname aristocratie, zo duidelijk dikwijls afstammeling van edel geslacht, van een oer-oude adel, en zich modernizerend tot diplomatische lenigheid, van nature aanbiddend het gezag, en noodlottig gerezigneerd onder het juk van die heersers, wier gouden galonnen zijn ingeboren eerbied verwekken. 27 Wat deerde haar zijn politiek, dat gehele Hollandse politiek, die zo gaarne in waardig aanzien houdt de Javaanse adel door welke zij de bevolking regeert? Wat deerde haar of Van Oudijck, denkende aan de oude nobele Pangéran, weemoed voelde om de zichtbare ondergang zijner kinderen? 150 Novel ini diciptakan dan juga memiliki latar ketika “politik etis” sudah disuarakan. Lewat tokoh Leoni ada suara ketidakpedulian pada keluarga Jawa, pada semangat balas budi. Namun, lewat tokoh Van Oudijck kepedulian ini muncul. Dia begitu bersemangat untuk mengembalikan kejayaan keluarga ningrat almarhum Adiningrat yang selalu dianggapnya sebagai “ayah”. Usaha ini akhirnya berhenti dengan pengunduran dirinya dari jabatan residen; dia menemukan bahwa tidak semua orang Jawa mau mengikuti cara pemerintahan Belanda. Dia mundur setelah menemukan perlawanan dari keluarga yang ingin diangkatnya dan juga ketidakpahamanya pada hal-hal irasional di alam Jawa. Novel DSK tidak meletakkan tokoh semua pribumi asli dalam sosok malas −hal ini dapat dilihat kembali pada sub bab penokohan. Selain bupati Adiningrat muncul para pembantu yang bekerja rajin, misalnya, para pembantu di rumah Eva Eldersma, istri sekretaris residen Labuwangi. Satu orang yang menduduki tempat itu, yaitu bupati Ngajiwa lihat bab II. Ia ditampilkan sebagai orang yang berkarakter sebagaimana mitos pribumi yang beredar pada masa kolonial: malas, peminum, tukang kreditberhutang, penjudi, pemadat dan main perempuan; dalam ajaran Jawa dia melakoni ma-lima. Yang menarik dalam DSK ini, nama bupati Ngajiwa tidak disebutkan sebagaimana nama bupati Labuwangi. Bupati Soenario ini adalah kakak kandung bupati Ngajiwa. Dia tidak melakoni ma-lima sebagaimana adiknya, meskipun dinilai residen sebagai pejabat yang kurang bekerja keras bagi kepentingan rakyat, tidak 151 transparan dan percaya takhayul. Sikap kerja ini tidak seperti sikap almarhum ayahnya. Dalam penelitian Alatas 1980, ada fakta bahwa citra orang Jawa sebagai orang malas sangat kuat pada masa kolonial. Juga dalam karya Rijcklof Volkert van Goens tentang Amangkurat I dan masyarakat Jawa yang disebutnya fanatik, kikir, malas, suka mencuri, dan tak dapat mengendalikan nafsu birahinya Sudibyo, 2001. Rupa-rupanya, novel DSK ini tidak sepaham dengan bahwa orang Jawa semuanya malas. Orang Eropa yang malas pun ada, misal istri dan anak laki-laki residen, juga tokoh Indo Addy de Luce. Bagi novel ini, kemalasan bisa muncul dalam pihak Eropa maupun pribumi. Kemalasan adalah sikap tidak menguntungkan dan menghancurkan hubungan antara Belanda dan pribumi. Kerjasama antara pejabat Belanda dan pejabat pribumi, antara pejabat Barat dan Timur, belum berhasil dalam novel ini. Van Helderen, karyawan Van Oudijck, yang tidak pernah melihat Eropa karena dilahirkan dan dibesarkan di Hindia Belanda mengritik sikap orang Eropa yang rewel tentang Hindia Belanda. Mereka yang ingin membawa semua peradaban dan cara hidup Barat di Hindia Belanda pasti akan kerepotan. Juga orang yang hanya ingin berhasil dan kaya di negeri tropis ini akan selalu mengeluh DSK: ; KD: 150. Cara ini menguatkan sikap narator, atau pengarang, yang menuduh orang Barat datang ke Hindia dengan alasan menjadi kaya. 152 Eva Eldersma menyaksikan kekhawatiran orang Eropa di Batavia Jakarta, kota Eropa di Timur jauh, yang bekerja dalam ketakutan tidak bisa memenuhi tujuan mereka: menjadi kaya di Hindia dan pulang ke Eropa. Eva melihat arus laki-laki kulit putih ke kota: warna muka putih, pakaian putih dan tatapan pucat, pucat karena khawatir, tatapan pucat jauh ke depan penuh kekhawatiran dan permenungan akan masa depan, yang mereka lihat sepuluh atau lima tahun ke depan: pada tahun itu, seberapa yang diperoleh, dan kemudian pergi, pergi dari Hindia, ke Eropa. Itu adalah demam yang berbeda dari malaria, yang membongkar mereka dan yang mereka rasa membongkar tubuh-tubuh mereka yang tak pernah bisa menyesuaikan diri, jiwa-jiwa mereka yang tak pernah bisa menyesuaikan diri, sehingga ketika hari itu berlalu, yang mereka inginkan hanya berjalan ke hari esok, dan ke hari berikutnya,- hari-hari, yang membawa mereka lebih dekat dengan tujuan mereka, karena mereka diam-diam takut mati sebelum tujuan itu tercapai. Arus laki-laki itu mengisi tram-tram dengan kematian putih mereka: banyak di antara mereka, sudah kaya, tetapi belum cukup kaya untuk tujuan mereka. KD: 228. Apa yang diungkapkan tokoh utama novel ini tentang tujuan sementara orang Eropa mengumpulkan kekayaan di Hindia Belanda? Anda telah melakukan banyak hal bagi saya; Anda adalah puisi di Labuwangi. Hindia yang malang...yang mereka caci maki tak ada habisnya. Tanah ini toh tak dapat membantu, bahwa ada orang-orang Kaninefaten 28 yang datang ke tanahnya, semua penakluk-penakluk barbar yang hanya ingin kaya dan pergi. Dan jika mereka kemudian tidak menjadi kaya maka mereka mencacinya: Panas, sesuatu yang telah diberikan Tuhan sejak awal mula. Yang kedua adalah ketiadaan makanan bagi jiwa dan ruh... Jiwa dan ruh dari Kaninefaat. Tanah yang malang yang begitu dicaci pasti akan berpikir : “Pergilah ” KD: 241 ;DSK: Van Oudijck bukan orang yang bertujuan pulang ke Eropa membawa kekayaan. Akhir cerita novel ditutup oleh keputusan Van Oudijck untuk 28 orang- orang yang mencari kekayaan di seberang lautan 153 ‘menolak’ kesempatan menjadi residen kelas I di Batavia; dia tidak pulang ke Belanda, tetapi tinggal di Garut dengan istri barunya, putri seorang mantan mandor perkebunan. Dalam pertemuan dengan Eva Eldersma terucap kecintaan residen kepada Hindia Belanda: ”Tanah ini merampas saya, sekarang saya miliknya” KD: 237 dan kritik terhadap orang Belanda yang hanya ingin kaya dan beruntung di negeri ini boleh pulang lihat kutipan di atas. Meskipun tidak memahami hal-hal irasional, dia tetap mengakui tangan kekuasaan, takdir dan Tuhan, yang bekerja. Mereka juga tidak takut oleh ‘haji putih’ maupun gerakan Pan-Islami, karena ada kekuatan lain yang berkuasa. “En in het voelen ervan, tegelijk met weemoed van hun afscheid, dat zo dadelijk dreigde, zagen zij niet, te midden der golvende, deinende, gonzende menigte, die als eerbiediglijk voortstuwde de gele en purperen voornaamheden der uit Mekka terugkerende hadji’s −zagen zij niet die ene grote witte, rijzen boven de menigte uit en kijken met zijn grijnslach naar de man, die hoe hij ook zijn leven geademd had in Java, zwakker was geweest dan Dát …DSK: 238. Dan pada saat merasakannya, bersamaan dengan kesedihan dari perpisahan mereka, yang sudah di depan mata, mereka tak melihat, di tengah-tengah kerumunan yang mengombak dan mengalun, yang bagai gerakan hormat haji-haji berpakaian kuning dan keunguan yang baru kembali dari Mekah - mereka tak melihat satu yang putih besar yang muncul di atas kerumunan dan melihat dengan senyum menyeringai ke Van Oudijck, yang bagaimanapun ia telah hidup di Jawa, lebih lemah dari pada Itu...KD: 245. DSK menampilkan usaha ibu bupati mencegah pemecatan putranya sebagai bupati. Dengan mengiba-iba dia memohon pada residen, dan ketika usaha itu tidak berhasil, dia bersumpah sebagai putri keturunan Sultan Madura 154 bersedia menjadi budak selamanya jika Van Oudijck membatalkan usulan pemecatan DSK: 123-128. …stortte zij neêr voor de voeten van de European, greep krachtig met beide handen zijn voet, plantte die met één beweging, die Van Oudijck wankelen deed, op haar néérgebogen nek en riep uit, gilde uit, dat zij de dochter de sultans van Madoera voor eeuwig zoû zijn zijn slavin, dat zij zwoer niets te zullen zijn dan zijn slavin…DSK: 125. Dengan gerakan menyentak yang hampir membuat Van Oudijck terjatuh dia tapakkan kaki Van Oudijck di atas lehernya; dan dengan keras dia berteriak bahwa dia putri keturunan Sultan Madura untuk selamanya akan menjadi budaknya, bahwa dia bersumpah tidak akan menjadi yang lain selain menjadi budaknya,.. KD: 130. Dalam BM ditampilkan hal sebaliknya, bukan pemecatan melainkan penobatan ayah Minke menjadi bupati. Dari penobatan itu tergambar bahwa posisi menjadi bupati masih menjadi kebanggaan dan idaman pada masa itu. Minke ditempatkan pengarang sebagai tokoh bangsawan yang menolak jabatan bupati. Beberapa kali hal itu diungkapkannya: ketika berbicara dengan ibu maupun kakaknya, kepada kepala sekolahnya, dan juga kepada keluarga De la Croix. Sikapnya menolak pemikiran bahwa anak bangsawan akan menjadi bupati, anak bangsawan akan menjadi sekutu pemerintahan kolonial. Minke juga memiliki seorang kakak yang bersekolah di SIBA, sekolah calon ambtenar pribumipangreh praja. Dalam keluarganya Minke adalah dua bersaudara, sebagaimana Bupati Soenario dan adikknya. Sebagai adik dia memiliki sosok yang giat belajar bekerja, tidak berjudi maupun mabuk- mabukan sebagaimana bupati dari Ngajiwa. Minke diposisikan Pramoedya sebagai anggota keluarga bangsawan yang tidak manja maupun fanatik, dan juga tergantung pada petangan dan takhayul untuk menentukan keberuntungan 155 hidup. Dia juga bekerja semasa bersekolah, bersama Jean Marais, dan tidak mengandalkan kiriman uang keluarga untuk menopang hidupnya. Feodalisme yang mengagungkan perbedaan kedudukan atau kastanisasi ditolaknya. Seorang pelayan wanita menghidangkan susu coklat dan kue. Dan pelayan itu tidak datang merangkak-rangkak seperti pada majikan Pribumi. Malah dia melihat padaku seperti menyatakan keheranan. Tak mungkin terjadi pada majikan Pribumi: dia harus menunduk, menunduk terus. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain BM: 20; lihat juga BM: 133-135. Novel BM ingin menolak stigma bahwa semua pribumi malas atau juga kelompok Indo pun malas. Dia juga menolak stigma bahwa bangsawan Jawa adalah keluarga manja. Lewat sosok Annelies kita diantar untuk melihat kerja keras seorang gadis Indo mengurus pekerjaan, bahkan dalam usianya yang sangat belia. Berbeda dengan DSK, novel BM ditulis pada masa sesudah Indonesia merdeka. Tentu saja informasi tentang jalannya kolonialisme lebih banyak, juga keadaan Hindia Belanda kemudian, yang berubah menjadi Indonesia. Sosok Pramoedya dikenal sebagai pengarang yang intens terhadap masalah kemanusiaan, keadilan, dan dia tidak takut untuk menentang arus bila itu diyakininya benar. Pada akhir masa penjajahan Belanda, akhir tahun 1940-an dia pernah dipenjarakan sampai akhirnya masuk pulau Buru GoGwilt, 2006, Pramoedya juga banyak menulis novel yang terkait dengan pengalaman hidupnya dan pengalaman ketidakadilan. Ada satu tulisannya berjudul Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Toer, 2007 yang bertutur tentang para gadis remaja dari pulau Jawa yang dijadikan pelacur pada masa 156 Jepang. Sebagian dari para wanita itu tinggal di kampong di pulau Buru; di pulau itu para tapol bertemu dengan mereka. Koh 1996: 60 dalam penelitiannya menyebut bahwa tetralogi pulau Buru Bumi Manusia karya Pramodya menggambarkan perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan kolonialisme Belanda, pergerakan kebangkitan bangsa, dan juga peranan wanita dalam peralihan jaman. Dalam wawancaranya dengan Andre Vitchek dan Rossie Indira 2006: 1-22 dengan tegas Pramoedya menyatakan sikap menentang kolonialisme dan peran Jawanisasi dalam kolonialisme, ”Saya dibesarkan dalam keluarga yang beraliran nasionalis kiri, yang tentu saja tidak setuju dengan sistem kolonial. Saya dididik dalam suasana ini. Apa yang kami impikan adalah sebuah negara merdeka dan demokratik.” Bagi Pramoedya, sikap dalam budaya Jawa yang menonjol, yaitu taat dan setia pada atasan memelihara kolonialisme. Disamping itu, fasilitas bebas hukuman penjara bagi bangsawan Jawa yang melakukan kejahatan adalah bentuk undangan ‘pelanggaran hukum’ dari pemerintah kolonial. Membaca BM kita dikesankan oleh kritikan terhadap feodalisme, kritikan terhadap golongan bangsawan. Sikap Minke dengan jelas mengemukakan hal ini. Kritikan juga terlontar lewat penilaian karakter cerita De la Croix yang membandingkan karakter orang Jawa dengan bunyi gamelan yang berputar-putar tanpa inovasi. 29 Meskipun mengakui kebenaran itu, hati 29 Sorotan tentang gamelan juga muncul dalam DSK 2007:38 : ”In de verte klonken de enkeltonige klanken van de gamelan, weemoedig, als van een waterheldere glazen piano, met 157 Minke menjadi sakit karenanya. Dia tetap bangga sebagai pribumi. Ada unsur kontradiktif juga dalam diri Minke: dia mengagungkan pendidikan Eropa, tetapi mengritik perilaku orang Eropa di Hindia Belanda yang tidak sesuai dengan isi pengajaran mereka; dia mengritik feodalisme dan bangsawan Jawa, tetapi mencintai kepribumiannya. Keberhasilan Minke sebagai lulusan terbaik Surabaya, mengalahkan orang BelandaEropa adalah jawaban terhadap ulasan De La Croix. Dia seorang penulis andal, dia memiliki cita-cita di luar tradisi keluarga. Minke adalah sang pemula; seorang inisiator yang tidak terjerat dalam ulangan-ulangan gamelan. 30 Cerita Minke menentang pendapat Eva Eldersma tentang orang Jawa yang tunduk pada dijajah, mereka seakan rela dan menaruh hormat alami kepada penguasa, yaitu pemerintah Belanda. Kita tidak boleh melupakan fakta sejarah, para bangsawan Jawa ikut berperan dalam roda pemerintahan kolonialisme Belanda. Fakta ini diangkat dalam BM maupun DSK. Hal ini memiliki arti bahwa sedikit banyak mereka terlibat dalam praktik kolonialisme, atau lebih pahit terlibat dalam penjajahan Belanda. Terlepas proses hegemoni, citra superioritas-inferioritas, atau perlawanan bangsawan terhadap kolonialisme, keterlibatan itu berlangsung cukup lama. Ketika kemudian Indonesia merdeka, kalangan bangsawan juga terlibat dalam pemerintahan Indonesia merdeka. Keterlibatan ini diperlukan karena pengalaman mereka dan pasti juga pendidikan dan kepandaian mereka. telkens er tussen een diepe dissonant..” Di kejauhan berbunyi tetabuhan gamelan yang sendu, seruapa sebuah piano kaca sejernih air, dengan ketukan berulang diantara sebuah disonansi yang dalam. 30 Tengok Pramoedya A. Toer, Sang Pemula Jakarta: Hasta Prima, 1995. 158 Bagi BM, yang ditulis Pramoedya sesudah masa kemerdekaan, kritik terhadap feodalisme bangsawan adalah kritikan pada sikap ‘sumangga kersa’ terhadap pemimpin kolonial yang tidak adil maupun peringatan terhadap bangsa Indonesia juga pejabat negara yang masih memegang ‘sumangga kersa’ dan masih tidak memutus sejarah gelap kolonialisme Belanda. Sikap tersebut tidak dapat diterapkan dalam hubungan antarnegara yang berdaulat. BM mulai diceritakan oleh Pramoedya tahun 1970-an ketika menghuni penjara Koh, 1996. Saat itu dia sedang mengalami ketidakadilan dari pemerintah Orde Baru. Saya mengatakan demikian karena dia dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan di negara yang sudah merdeka. Bahkan dia juga dibebaskan dengan cara yang sama. Dalam novel BM, Minke juga mengalami ‘pengadilan’ tanpa proses peradilan. Ketika berlangsung persidangan penuntutan hak waris dan asuh Ir. Maurits Mellema atas peninggalan ayahnya, terungkap bahwa Annelies telah tidur satu kamar dengan Minke. Sesudahnya Minke menjadi bulan-bulanan dan dikeluarkan dari sekolah Hal ini dapat dilihat pada pembahasan analisis struktural di atas. Masa kolonialisme Belanda juga memungkinkan perlakuan hukum yang diskriminatif terhadap warganya. BM tetap menjadi bentuk protes pada ketidakadilan hukum dan pemerintah, terutama masa kolonialisme, dan pada akhirnya juga masa kemerdekaan yang masih menyisakan tempat bagi ‘cara liar’ dalam hukum dan peradilan. 159 Novel BM menolak bentuk dehumanisasi: penjualan Sanikem oleh ayahnya dan pembelian Sanikem oleh Tuan Mellema, pembiaran pergundikan dan praktik hukum pernikahan campuran, antaragama dan antar-ras pada masa kolonial Belanda, perlakuan diskriminatif terhadap pribumi, dan pemeliharaan sikap ‘sumonggo kersa’ menyerah pada penguasa kolonialisme. Hellwig 2007: 39 mengungkapkan bahwa sesudah tahun 1884, hukum memperbolehkan perkawinan campuran berbeda agama, tetapi formalitas dan biayanya yang diminta membuat orang Eropa enggan menghabiskan waktu dan uang untuk mengurusnya sehingga mereka memilih melanjutkan pergundikan daripada mengakhirinya dengan menikah. Dalam BM ditampilkan protes Nyai Ontosoroh di pengadilan karena negara telah membiarkan pergundikan maupun penjualan gadis remaja terjadi di depan mata mereka. Negara kolonial malahan mengganggu pernikahan Islam yang resmi antara Minke dan Annelies bab III dari disertasi ini. Kedua novel merepresentasikan masa kolonialisme Belanda, memberi gambaran bagaimana manusia mengalami kehidupan kolonialisme. Kedua novel masih mengangkat tokoh sentral dari area para pejabat pemerintah dan keluarganya atau para pengusaha. Keduanya juga memberikan kritikan pada kehidupan tokoh-tokohnya, mereka keluarga elite pejabat maupun pengusaha memiliki kehidupan mewah, bahkan brutal, dengan judi, perselingkuhan dalam keluarga DSK, atau pergundikan, perkosaan dalam keluarga, pelacuran BM. Dengan menampilkan tokoh utama, Minke yang terjajah, sebagai narator, BM 160 secara menyentuh digunakan oleh Pramoedya untuk menolak dehumanisasi, diantaranya penindasan dan kolonialisme. Sebagai novel yang mengritik kehidupan kolonial, DSK memberi jarak antara narator dan peristiwa kolonialisme dengan menempatkan narator eksternal narator pengamat sehingga mengesankan ketidakterlibatan pengarangnya dalam kolonialisme. 161

BAB III MENGGAPAI IDENTITAS KULTURAL DALAM LIMINAL SPACE

3.1 Pengantar

Bhabha dalam Moore-Gilbert, 1997: 114 menilai bahwa hubungan antara penjajah dan terjajah lebih kompleks dan penuh nuansa daripada yang dikesankan oleh Said maupun Fanon. Hal ini terutama dikarenakan oleh psikis yang pola sirkulasi kontradiktifnya berpengaruh dalam hubungan kolonial misalnya, hasrat, serta rasa takut dalam diri Yang Lain. Bagian ini membahas hubungan antara Terjajah dan Penjajah yang terekspresikan dalam perang tanding pembentukan identitas : melalui pengaturankepemilikan ruang, pembentukan citra, dan busana. Homi Bhabha dalam Location of Culture 1994 mengemukakan gagasan “ realm of beyond” sesuatu atau semua halaspek yang melampaui suatu objeksubjek dalam kolonialisme, dalam hubungan terjajah dan penjajah. Menurutnya dalam beyond ada eksplorasi, semacam gerakan lasak yang menjangkau kanan kiri dan sekitarnya. Artinya, banyak aspek yang mempengaruhi hubungan antara penjajah dan terjajah: psikis, budaya, politik, identitas, dll. Tengoklah hubungan antara negara pertama dan ketiga, dimana negara pertama adalah bekas penjajah dan negara ketiga adalah negara yang dahulu terjajah, yang masih meninggalkan jejaknya. Misalnya, Gubernur DIY 162 menggunakan surat yang ditulis Ratu untuk mempertahankan status keistimewaan DIY, atau kasus Malaysia dan kesultanan Sulu yang menyinggung surat sewa tanah oleh pemerintahan kolonial Inggris. Selain itu, Bhabha Ibid. hlm. 19-20 meyakini bahwa di dalam bahasa dan ekonomi politis ada legitimasi untuk menghadirkan relasi-relasi eksploitasi dan dominasi dalam divisi diskursif antara dunia pertama dan dunia ketiga, Barat dan Timur, Selatan dan Utara. Menurutnya, ada nilai surplus yang menghubungkan kapital dunia pertama pada pasar dunia ketiga melalui rantai divisi tenaga kerja internasional dan kelas komprador nasional. Dalam sejarah Hindia Belanda, VOC sebagai sebuah multinasional usaha dagang pertama juga mentranspor tenaga kerja dari Indonesia ke India, Srilanka, ke Suriname, atau sebaliknya. Mereka memperkerjakan tenaga-tenaga dari dunia ketiga, sedangkan kendali kapital tetap dipegang oleh VOC di Hindia Belanda dan WIC West Indische Compagnie di Suriname dan Karibia. Dalam kaitan dengan masa kolonial, Bhabha Ibid. hlm. 6 juga berpendapat bahwa Barat sendiri harus berkonfrontasi dengan sejarah pascakolonialnya sendiri; mereka harus bercerita tentang arus gelombang migran, pascaperang, dan para pengungsi, sebagai naratif asli atau indigenous internal hingga indentitas nasionalnya. Oleh karenanya, pascakolonialitas menjadi peringatan bermanfaat dari relasi neo-kolonial yang gigih di dalam kekuasaan dunia baru dan divisi multinasional buruh. Untuk melukiskan hubungan yang kompleks antara penjajah dan 163 terjajah, Bhabha 1994 dan 2003 menyebutkan ruang antara, in-between, sebuah liminal space, ruang antara, yang remang-remang, yang menandai proses interaksi simbolik. Ruang ini dilukiskan semacam stairwell, ruang sekitar tangga penghubung lantai bawah dan atas. Area remang-remang ini menjadi jalan setapak yang menghubungkan terjajah dan penjajah atau jaringan ikat yang membangun perbedaan antara mereka, si Hitam dan si Putih. Di tempat ini semua perbedaan antara mereka dipamerkan, diperlihatkan. Tempat itu akhirnya menandai perbedaan kedudukan mereka, “perbedaan identitas” mereka, sekaligus menjadi tempat negosiasi. Berada dalam lingkungannya sendiri, si Hitam hanya melihat kesamaan antara dirinya dan sesamanya: pemikiran, gaya, aksen, atau bahasa. Namun, ketika dia berada di luar lingkungannya, berada di tanah baru, atau dalam pertemuan antara dirinya dengan orang Putih, dia melihat perbedaan yang ada di antara mereka. Dia mempertanyakan identitasnya, dan merasa tergoda untuk mewujudkan kemurnian ras; dia merasa tidak setara dengan si Putih. Kesadaran akan perbedaan, akan ketidakmurnian ras menggelisahkan si Hitam. Akhirnya, dia terdorong, dipaksa memasuki liminal space 1 . Dalam kasus kolonialisme penjajah adalah migran, mereka berpindah dari tanah asalnya menuju tanahnya sendiri. Sebenarnya merekalah yang keluar dari lingkungan mereka sendiri dan menemukan orang – orang yang berbeda dengan dirinya. Sebagaimana dikemukakan Sarup 2002 identitas 1 Istilah stairwell dan liminal space diadopsi Bhabha dari Rene Reggen 164 dapat terbentuk karena perbedaannya dengan yang lain, mereka menyadari identitas mereka. Namun alih-alih merasa tersudut, justru mereka berhasil menciptakan wacana bahkan mitos mengenai kemurnian ras mereka di tanah yang baru. Dengan teknologi tenuntekstil yang menghasilkan pakaian yang mereka kenakan, teknologi menciptakan kapal yang besar mereka meras lebih berbudaya daripada penduduk pribumi. Penduduk aslilah yang akhirnya mengakui bahwa identitas mereka minder sedangkan penjajah adalah meer 2 ; dan karena hal itu mereka menjadi terjajah. Masalah yang dihadapi Terjajah atau the Other dibentuk dari ketergantungan wacana kolonial pada konsep pakem dari representasi subjek yang tak dapat diubah. Sudah menjadi hal yang stereotip bahwa si Hitam memiliki kekurangan, primitif, kurang intelektualnya, memuja jimat, dan cacat ras. Bhabha kemudian menguraikan fungsi dari stereotip kolonial dengan analogi konsepsi Freud tentang peran jimat bagi para pemujanya. Bila konsep tentang kemurnian ras, tentang si Putih, konsep tentang cacat ras, tentang si Hitam menjadi jimat maka akan selalu dipercaya dan dipegang kebenarannya. Mulailah para pemuja jimat melakukan mimikri terhadap citra yang diidealkan, citra kemurnian dan keunggulan ras. Citra, Mimikri, dan Identifikasi Si Hitam melakukan mimikri; ia mencoba berpikir, berbicara, 2 Kata minder dan meer berasal dari bahasa Belanda, dan hanya kata minder yang diadopsi dalam bahasa Indonedia.