Pengantar MENGGAPAI IDENTITAS KULTURAL DALAM LIMINAL SPACE
164 dapat terbentuk karena perbedaannya dengan yang lain, mereka menyadari
identitas mereka. Namun alih-alih merasa tersudut, justru mereka berhasil menciptakan wacana bahkan mitos mengenai kemurnian ras mereka di tanah
yang baru. Dengan teknologi tenuntekstil yang menghasilkan pakaian yang mereka kenakan, teknologi menciptakan kapal yang besar mereka meras lebih
berbudaya daripada penduduk pribumi. Penduduk aslilah yang akhirnya mengakui bahwa identitas mereka minder sedangkan penjajah adalah meer
2
; dan karena hal itu mereka menjadi terjajah.
Masalah yang dihadapi Terjajah atau the Other dibentuk dari ketergantungan wacana kolonial pada konsep pakem dari representasi subjek
yang tak dapat diubah. Sudah menjadi hal yang stereotip bahwa si Hitam memiliki kekurangan, primitif, kurang intelektualnya, memuja jimat, dan cacat
ras. Bhabha kemudian menguraikan fungsi dari stereotip kolonial dengan analogi konsepsi Freud tentang peran jimat bagi para pemujanya. Bila konsep
tentang kemurnian ras, tentang si Putih, konsep tentang cacat ras, tentang si Hitam menjadi jimat maka akan selalu dipercaya dan dipegang kebenarannya.
Mulailah para pemuja jimat melakukan mimikri terhadap citra yang diidealkan, citra kemurnian dan keunggulan ras.
Citra, Mimikri, dan Identifikasi
Si Hitam melakukan mimikri; ia mencoba berpikir, berbicara,
2
Kata minder dan meer berasal dari bahasa Belanda, dan hanya kata minder yang diadopsi dalam bahasa Indonedia.
165 bertingkah laku, dan bermoral seperti halnya si Penjajah. Akhirnya si Hitam
akan menghilang dan digantikan menjadi si Putih, sebagaimana ditulis oleh Fanon dalam Black Skin White Mask; pilihan psikis bagi masyarakat terjajah
tersebut tidak disepakati oleh Bhabha 1994. Dia juga tak sepakat dengan pendapat Fanon bahwa masyarakat terjajah hanyalah meniru dan tak pernah
melakukan identifikasi. Menurutnya, ada beberapa pilihan terjajah, tiga pilihan ambivalen: kamuflase, mimikri, dan kulit hitamkedok putih.
Apakah itu mimikri? Mimikri adalah hasrat untuk sesuatu yang dibaharui, the other yang dapat dikenali sebagai subjek yang berbeda baru,
yang hampir sama tetapi tak persis sama : as a subject of a difference that is almost the same, but not quite. Mimikri dapat menghasilkan identitas baru
dan juga identitas yang selalu diperbarui mengikuti citra tertinggi. Mimikri dalam pandangan Bhabha harus didekati dari sudut terjajah dan juga penjajah.
Pemikiran ini pada hemat saya sesuai dengan pendapat Sarup 2002: 3 yang mengatakan bahwa identitas selalu berproses meskipun identitas bukanlah
free-floating karena dibatasi oleh batasan dan pembatasan. Penjajah akan selalu menjaga batasan itu untuk mencapai fixity “kemurnian ras” dan terjajah
akan memenuhinya atau menolaknya. Pemikiran mimikri dapat digambarkan sebagai pertahanan yang secara persis seperti teknik kamuflase yang
diterapkan dalam medan perang kemanusiaan. Wacana mimikri dikonstruksi seputar ambivalensi. Mimikri membawa
kompromi bagi penemuan identitas seseorang one’s identity. Dalam proses
166 identifikasi dalam mimikri ada missing person dan juga space. Agar mirip
dengan yang ditiru, agar menjadi seperti yang ditiru maka pribadi aslinya harus disamarkan dan lingkungannya pun berpindah. Hal ini berefek pada
manusia peniru yang tak jarang merasakan ketidak-kerasanan unhomely di lingkungannya. Hanafi dalam Salah Asuhan tidak lagi terbiasa dengan cara
ibunya mengurus rumah. Terjajah sekaligus melakukan identifikasi diri, membentuk identitas baru ketika bermimikri. Karenanya, identifikasi
dibayangi oleh image, citra yang harus ditiru. Konsep citra yang digunakan oleh Lacan tidaklah satupasti, tetapi
mengandung ambivalensi. Ini terjadi karena citra itu sendiri berisi asumsi- asumsi. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa identifikasi tak pernah menjadi
apriori maupun produk yang selesai, tetapi sebuah proses akses yang problematik yang bertujuan pada sebuah citra totalitas. Di dalam ruang liminal
Bhabha terjadi negosiasi identitas kultural antara Barat dan Timur. Meskipun the Other sudah menentukan tingkat sasaran, sesuai prinsip
identifikasi, representasinya
selalu ambivalen
dan memperlihatkan
kekurangan. Ada perbedaan konvensional antara isi dan spirit hukum yang menampilkan ke-Liyan-anOtherness. Artinya, ketika si terjajah sudah
melakukan mimikri atau mengidentifikasikan dirinya dengan terjajah, secara hukum dia tidak disamakan dengan penjajah. Dalam keadaan ini, mimikri
mengandung resistensi. Terjajah tidaklah sepakat dengan pandangan penjajah.
Resistensi ini dilukiskan dalam dua cara: Pertama, Subjek terjajah
167 diperdayakan kembali dalam pandangan penjajah sehingga mimikri dan
proses-proses seasalsama layaknya hibridisasi berarti pula kekalahan strategis dari proses dominasi. Karena dalam mimikri terkandung negosiasi.
Mimikri bisa menjadi penanda terjadinya kolaborasikhianat. Hasil dari negosiasi ini juga memunculkan hibrid, campuran antara ideal Penjajah dan
Terjajah. Campuran ini sering menimbulkan rasa “asing” pada kedua belah pihak; ada sesuatu yang bukan Barat, tetapi juga bukan Timur. Bhabha juga
menggambarkan proses hibridisai melalui deskripsi kateketis asli tentang pemahamankesalahpahaman ironik dan subversif yang membawa sebuah
kelompok sebangsa sesama pada teks imperialis Kristen kanonik, Injil yang memiliki konsep Trinitas Mahatunggal. Pertanyaan tentang kuasa yang
menguasai tak dapat dijawab dan di sini orang Kristiani India meragukan Englishmen.
Menurut Bhabha 1994, kamuflase dapat menjadi pilihan manusia terjajah. Kamuflase ini bercampur dengan tindak mimikiri; dalam tindak
mimikri terkandung efek kamuflase, ada bagian identitas yang disembunyikan. Efek kamuflase ini tidak mengusahakan penyerasian, tetapi menghasilkan
perlawanan yang belang-belang, yang totol-totol. Mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektivitas Eropa di lingkungan kolonial yang sudah tak
murni, operasi mimikri menimbulkan efek-efek ambigu dan kontradiktif bagi penjajah dan terjajah. Proses ini dapat menghasilkan manusia berdarah Jawa,
misalnya, tetapi memiliki pendapat moral dan intelektual Eropa. Mimikri
168 adalah proses meniru atau meminjam elemen budaya tertentu sehingga
mimikri menghasilkan hibriditas.