Penamaan dan Pengaturan Ruang Umum sebagai Simbol kekuasaan DSK dan BM
180 lampu minyak bertangkai. Gedung itu adalah sositet Concordia. KD:
9.
Batavia sebagai kota idaman kolonial menjadi kota dingin dan rakus. Lewat tokoh Eva kita melihat harapan orang Eropa tentang Batavia. Batavia,
tempat Gubernur Jendral berdiam, diidamkan orang Eropa sebagai pusat peradaban yang berorientasi Eropa dengan kehangatan matahari dan
keramahan Hindia Belanda. Tetapi kenyataannya, Batavia menjadi kota yang sedingin Eropa dan penghuninya dipenuhi kekhawatiran tentang uang, ambisi
untuk pulang ke Eropa dalam keadaan kaya raya. Keinginan orang untuk bertatap muka, lewat fokalisasi tokoh Eva, telah
berkurang. Di rumah keluarga Harteman yang dikunjungi Eva, setiap harinya terdengar dering telepon dan suara obrolan lewat telepon. Kebiasaan yang
belum ada di Labuwangi. Dalam pandangan tokoh Eva, Batavia adalah kota membosankan. Batavia tidak seperti dalam bayangannya yang terkenal sebagai
kota Eropa di Timur: “Het was of al die huizen, somber, trots hunne witte zuilen, hunne façaden van grootsheid, als gezichten vol zorg fronsten met een
beslommering, die zich verbergen wilde achter het voornaam doen van brede bladeren en palmgroepen” Seolah semua rumah itu suram, walaupun dengan
pilar-pilar putihnya, tameng-tameng kebesaran mereka, bagaikan wajah-wajah yang berkerut penuh kekhawatiran, yang ingin bersembunyi di balik gerak
bergengsi daun-daun lebar dan pohon-pohon palma. Keinginan Belanda untuk menciptakan Eropa di Hindia Timur telah gagal, demikian difokalisasi oleh
181 Eva.
Pada siang hari yang panas jalanan sepi; para lelaki berada di kantor dan para perempuan berada di rumah sedang sibuk menelepon kenalan
mereka. Ketika usai makan malam maka mereka mulai mengikuti resepsi di rumah kenalan. Tampak ada kehidupan di tempat resepsi, tampak lampu
dinyalakan terang di tempat itu. Selebihnya remang dan sepi berada di rumah- rumah yang lain. Eva bertemu orang-orang muda, laki-laki putih dengan muka
pucat penuh kekhawatiran. En in de oude stad, in de oude notabele woningen der eerste
Hollandse kooplieden, nog gebouwd op de vaderlandse wijze, met eikenhouten trappen naar verdiepingen, nu in de Oostmoesson, vol
hangende van een dikke benauwende warmte, als een tastbaar element, dat niet te doorademen was, bogen zij zich over hun werk, ziende
tussen hun dorstige blik en de witte woestijn hunner papieren, steeds de dauwende fata-morgana van die toekomst, de lavende oaze van
hunne materialistische hersenschim: binnen zoveel tijd geld en dan weg, weg...naar Eropa. DSK: 222-223
Dan di kota tua, dalam rumah-rumah terkemuka yang sudah tua dari para anggota dagang Belanda pertama, yang dibangun dengan gaya
seperti di Belanda, dengan tangga-tangga dari kayu jati, saat ini di musim kemarau, dipenuhi dengan hawa panas yang begitu pengap,
bagaikan sebuah elemen nyata, yang tak dapat diendus, mereka terbungkuk-bungkuk di atas pekerjaan mereka, melihat di antara
pandangan penuh dahaga dan padang pasir putih kertas-kertas mereka, fatamorgana berembun dari masa depan, oase pelepas dahaga khayalan
materialistis mereka: dalam beberapa waktu mendapatkan uang dan kemudian pulang, pulang...ke Eropa..., KD: 229, cetak tebal dan
perubahan dari saya .
2 Pemukiman-pemukiman Rasial di Labuwangi
BM tidak memberikan gambaran tentang pemukiman yang memisahkan kelompok masyarakat berdasarkan ras sebagaimana DSK,
182 meskipun keduanya berada di wilayah Jawa Timur. Mengikuti perjalanan
residen Van Oudijck dan keluarganya mengelilingi kota Labuwangi, pembaca mendapatkan fokalisasi ruang sosial dan penataannya melalui narator bukan
tokoh. Mereka berangkat dari kompleks rumah residen yang dihuni deretan rumah-rumah besar dengan kebunnya yang luas. Rumah-rumah tersebut
dipisahkan oleh bulevar yang diteduhi pohon-pohon besar. Di dekat kompleks perumahan itu terdapat sekolah, gereja, apotek, gedung sositet. Keluar dari
pusat kota mereka melintasi deretan rumah-rumah pribumi, Cina dan Arab. Sesudah 1830, artinya Hindia Belanda mulai dikenalkan dengan
cultuurstelsel, pemisahan tata ruang di kota kolonial ditentukan dalam undang-undang. Penduduk dari bermacam-macam etnis tidak tinggal
bersama-sama dalam satu tempat.
4
Sistem paspor atau kartu identitas diberlakukan, misalnya pada tahun 1835 muncul keluarga etnis Cina tidak
bisa meninggalkan wilayah mereka tanpa ijin khusus. Tahun 1843, sistem wilayah diterapkan: kelompok etnis diwajibkan dengan UU tinggal di
wilayah tertentu, maka muncul kampung Cina Pecinan dan kampung Arab kampung Ampel di Surabaya misalnya. Pada tahun 1845 ditentukan bahwa
hunian pribumi di bawah pimpinan bupati pribumi, dan hunian Eropa di bawah pimpinan residen Belanda. Meski demikian secara keseluruhan
semuanya berada dalam kendali pemerintahan Belanda. Sistem pemerintahan
4
Goenawan Mohammad Tempo, 2009 menyebutkan bahwa pribumi juga dilarang masuk ke kamar bola, yang memang hanya diperuntukkan bagi orang Eropa. Sistem isolasi ini
disebutnya sebagai apartheid. Seorang wartawan senior NOVA, Ad van Liempt dalam acara BVN-TV juga menyebut hal yang sama 24 April 2012.
183 ini diilustrasikan dengan bagus dalam Max Havelaar. Bahkan pada tahun
1854 di dalam peraturan pemerintah ditentukan bahwa kelompok-kelompok etnis yang berbeda, Eropa, Cina, Asia lainnya mendapatkan sistem
pemerintahan dan hukum sendiri. Alasannya adalah melindungi penduduk pribumi terhadap eksploitasi dan mempertahankan sistem hukum tradisional
adat. Munculnya kampung Pecinan dan Ampel beserta peraturannya
menandakan bahwa Belanda menguasai ruang publik pada masa kolonialisme. Lewat pengamatan Van Oudijck, pembaca diantar untuk
melihat keikutsertaan masyarakat golongan Cina maupun Arab dalam kehidupan Hindia Belanda. Ketika berjalan-jalan Van Oudijck melewati
perkampungan Cina di Jawa Timur, Labuwangi, yang kebanyakaan dipenuhi dengan rumah-rumah besar, rumah para mantan pedagang opium. Disebut
mantan karena perdagangan opium sudah tidak lagi dipegang oleh golongan mereka, tetapi diatur oleh pemerintah Hindia Belanda. Dilukiskan betapa
besar-besar rumah mereka, rumah tembok yang diplester rapi dan teliti, rumah dengan hiasan-hiasan merah kuning menyemarakkan dan menghidupkan
perkampungan Cina DSK: 39. Muntolib 2008 telah mencatat bahwa meskipun orang Cina sempat
dibatasi gerakannya ─sekitar tahun 1910 sistem wijken dan passen-stelsel telah dihapuskan─ mereka adalah mitra dagang Belanda. Mereka diberi
tanggung jawab pada perdagangan antar pulau bersama dengan kelompok
184 etnis lainnya, Arab atau India. Pribumi diberi jatah pada perdagangan skala
kecil. Senada dengan Gunawan Mohammad, Muntolib dengan tegas mengatakan bahwa sistem wijken dan passen-stelsel sistem pemukiman dan
sistem pas adalah cikal bakal dari apartheid
5
di Afrika. Bandingkan dengan penggambaran perkampungan orang-orang Arab
di bawah ini. Kemeriahan, lewat hiasan berwarna-warni dan sikap tubuh, tidak tampak pada perkampungan mereka. Meskipun orang Arab juga
menjadi mitra dagang Belanda, dalam novel ini mereka ditampilkan sebagai ancaman samar-samar; mereka yang mengancam adalah Islam.
..., want toen het rijtuig de Arabische wijk inreed ─ huizen als andere, maar somber, maar stijlloos, maar fortuin en existentie
verborgen achter dichte deuren; in de voorgalerij wel stoelen, maar de heer des huizes somber gehurkt op de grond, onbewegelijk, met zwarte
blik het rijtuig achtervolgende ─ scheen dit stadsgedeelte nog tragischer geheimzinnig dan het notabele Laboewangi en scheen het onuitzegbare
mysterie uit te donzen als iets van de Islâm, dat zich verspreidde over de héle stad, of het de Islâm was, die de fatale melancholie van
levensgelatenheid
uitduisterde in
de huiverende,
geluideloze avond...DSK: 40
..ketika kereta memasuki daerah Arab, rumah-rumah seperti yang lain, tetapi suram, tanpa gaya; kekayaan dan keberadaan tersembunyi di
belakang pintu-pintu tertutup, di serambi depan memang ada kursi-kursi, tetapi tuan rumah berjongkok di lantai, tanpa bergerak, dengan tatapan
kelam mengikuti gerakan kereta. Pada bagian kota yang masih lebih rahasia dari Labuwangi yang terkemuka, tampak misteri tak terkatakan
yang menyelimuti, seakan sesuatu dari Islam tersebar di seluruh kota, seperti Islam yang menggelapi melankolik fatal dari kepasrahan hidup
dalam malam tak bersuara dan menggigil, KD:40.
Melewati perkebunan Cina, Van Oudijck mengritik pemborosan lahan
5
Apartheid adalah kata Belanda yang berarti pemisahan; sebagaimana kata tsunami, kata apartheid menjadi kata bahasa dunia.
185 yang digunakan untuk mengubur orang mati.
Eensklaps waren de huizen gedaan en langs een brede weg strekten Chinese graven zich uit, rijke graven, de grasheuvel met gemetselde
ingang ─ingang van dood─ opgehoogd in de symboolvorm van het vrouwelijk orgaan: uitkomst van leven, ─ruim grasveld er om heen: de
ergernis van Van Oudijck, die berekende hoeveel bouw wel voor kultuur verloren was door die begraafplaatsen der rijke Chinezen. DSK: 40
Tiba-tiba, sesudah deretan rumah habis, muncul kuburan Cina yang terbentang luas sepanjang jalan, kuburan-kuburan mewah, gundukan
rumput dengan pintu masuk yang diplester –jalan masuk kematian –yang ditinggikan dalam simbol bentuk organ perempuan: jalan keluar
kehidupan. Padang rumput yang luas di sekelilingnya: sesuatu yang mengganggu menurut Van Oudijck yang telah menghitung seberapa
banyak lahan pertanian yang hilang untuk penguburan orang Cina yang kaya itu, KD: 40.
Pada masa ini di kota pribumi banyak dibangun rumah residen, gedung sositet, gereja-gereja, markas-markas, toko-toko, fasilitas hidup, rumah
tinggal untuk para militer, pejabat, dan komunitas Eropa. Cultuurstelsel memang dikonsentrasikan pada perolehan keuntungan batig slotbatig saldo.
Sebagai contoh, di Banyumas masa G. de Seriere, mantan pendeta pertanian diperluaskan, terutama indigo, penanaman kopi dipindahkan dari pantai ke
pegunungan, teh dan kayu manis ditanam. Semuanya memberi hasil sukses; infrastuktur jalan, jembatan, gudang diperbarui, bahkan penjara dan rumah
residen diperbaiki. Keuntungan dari cultuurstelsel dapat dikatakan lebih banyak menguntungkan kantong negara daripada rakyat pribumi Fasseur,
1997: 41-49. Kekuasaan Belanda menjadi semakin mantap di Nusantara. Sistem
pertanian dan bisnis pertanian yang berkembang telah menyerap banyak
186 tenaga kerja dan juga ketergantungan. Pemerintahan kolonial Belanda juga
berkuasa atas para bangsawan, lebih-lebih karena merekalah yang biasanya menjadi bupati. Bupati yang diangkat oleh pemerintah Belanda bila
bermasalah boleh diusulkan oleh residen untuk dipecat. Fasseur Ibid. hlm. 25 mencatat adanya duabelas pemecatan bupati di Jawa antara tahun 1838-
1848 dengan berbagai sebab: dakwaan keterlibatan dalam pembunuhan terhadap seorang wanita Eropa pejabat pemerintahan, percobaan pembunuhan
terhadap pribumi yang hilang ingatan, penyelundupan opium. Pengangkatan bupati di ruang pendhapa penobatan yang diberi simbol-
simbol kekuasaan Belanda dan juga nyanyian kebangsaan Belanda muncul dalam BM; peristiwa dan proses pemecatan terhadap bupati Ngajiwa telah
digambarkan dalam DSK . Pendopo itu telah diubahnya menjadi arena dengan titik berat pada
potret besar Sri Ratu Wilhelmina, dara cantik yang pernah aku impikan...BM, 147
Di belakang mereka di pelataran sana, duduk berbanjar para lurah dan punggawa, di atas tikar. Protokol, patih B., mulai membuka acara.
Gamelan padam setelah ragu sebentar, seperti ditekan tenaga gaib. Lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, dinyanyikan. Orang berdiri.
Sangat sedikit yang ikut menyanyi. Sebagian besar memang tidak bisa. Pribumi hanya seorang-dua. BM: 146