Kamuflase dan Resistensi oleh mimic man

267 keluarganya: istri dan anaknya. Di luar kiriman surat-surat kaleng ke rumah residen, Labuwangi juga memanas keadaannya. Telah muncul pemberontakan - pemberontakan kecil di luar pusat ibukota Labuwangi. Sesuatu juga bergolak di kalangan rakyat pribumi. Di saat Labuwangi selama dua belas hari berada dalam kesibukan yang mengharukan dan para wanita mempersiapkan pesta amal dipimpin oleh Eva Eldersma. Kepala polisi yang setiap harinya membuat laporan pendek kepada residen, beberapa hari ini tampak lebih lama menghadap residen. Di depan kantor para penjaga berbisik-bisik lebih misterius; residen menyuruh Eldersma dan Van Helderen datang; sekretaris menulis surat kepada Vermalen, sang asisten-residen, di Ngajiwa dan kepada mayor komandan garnisun. Pengawas kota semakin sering berkeliling, pada jam-jam yang tidak biasa. Pemberontakan di luar kota telah terjadi. Meski telah dipadamkan, Van Oudijck belum tenang. Dugaan mengarah pada keluarga Adiningrat; Van Oudijck menuduh Raden Ayu Sepuh yang menjadi dalangnya. Penolakan Van Oudijck untuk membatalkan usulan pemecatan rupa- rupanya telah memicu perlawanan ini. Usulan pemecatan ternyata telah menggerakkan Raden Ayu Pangeran, ibu sang bupati, untuk mendatangi Van Oudijck. Dia meminta, memohon agar residen membatalkan usulan tersebut. Residen ternyata tetap bertahan pada pendiriannya. Sang ibu berjanji, bersumpah, akan mengakhiri semua keburukan anaknya. Tetapi residen tetap bersikukuh, bahkan mengritik bahwa Raden Ayu Pangeran yang bertanggung 268 jawab dengan tidak memperingatkan anak-anaknya; sang ibu yang telah menjebloskan anak-anaknya ke jurang kenistaan. Raden Ayu mengakuinya, tetapi dengan menyebut nama almarhum suaminya, yang dicintai Van Oudijck sebagai ayah, dia tetap meminta agar pengusulan dibatalkan. Merasa permintaan ditolak, Raden ayu menangis, ditariknya cunduk dikepalanya, dibukanya kebaya satinnya dan dia ambruk di depan laki-laki Eropa. “Digapainya kaki residen dan diletakkannya di atas lehernya dan berteriak keras bahwa dia putri turunan sultan Madura akan menjadi budak selamanya jika Van Oudijck mengampuni anak laki-lakinya dan tidak mendorong keluarganya masuk ke jurang penghinaan. ” 12 Akan tetapi, pendirian Van Oudijck tetap teguh walaupun Leoni memintanya juga DSK : 125-128. Bagi residen kesalahan kerja harus dihadapi dengan tindakan rasional. Dia selalu menjaga konsistensinya; selama ini pun dia tidak pernah menggunakan pengaruhnya untuk mempermudah anaknya dalam bekerja. Meskipun Van Oudijck terganggu perasaannya oleh pertentangan diam- diam antara dirinya dan Soenario, dia memilih menutup mulutnya. Meskipun dia mengetahui bahwa ibu Soenario yang mendalangi kerusuhan karena kecewa pada pemecatan anaknya bupati Ngajiwa, dia memilih pendekatan dalam keluarga daripada cara formal menangkapnya. Dia telah belajar menutup mulut dan diam jika itu diperlukan di Hindia Belanda. Van Oudijck 12 ...greep krachtig met beide handen zijn voet, plantte die met een beweging, die Van Oudijck wankelen deed, op haar neergebogen nek en riep uit, gilde uit, dat zij, de dochter der sultans Madoera voor eeuwig zou zijn zijn slavin, dat zij swoer niets te zullen zijn dan zijn slavin, zo hij slechts deze keer nog genade had met hare zoon en haar geslacht niet stootte in de afgrond van schande,.... 269 berbicara layaknya seorang anak kepada ibunya, lembut dan sopan. Residen meminta sang ibu agar dengan kekuasaan dan pengaruhnya bekerja sama dalam kesepakatan dan cinta dengannya. Di bawah bahasa Van Oudijck yang membujuk sekaligus mengancam Raden Ayu Sepuh menyanggupinya. Permaisuri akhirnya berbicara dan berjanji, dengan suara terputus-putus dan tangis dalam hati. “Dat zij hem liefhad als een zoon, dat zij zou doen als hij verlangde, haar invloed buiten Kaboepaten in de stad zeker zou aanwenden tot stilling van deze dreigende troebelen ” Bahwa ia menyayangi van Oudijck sebagai seorang putra, bahwa ia akan melakukan apa yang diinginkannya, dan akan menggunakan pengaruhnya di luar kabupaten untuk meredakan kekeruhan yang mengacam di kota DSK, 135-136KD: 137-140. Apa yang dirasakan oleh Van Oudijck mengenai permusuhan diam-diam dari keluarga Adiningrat betul adanya. Meski pemberontakan mereda, pasar malam untuk amal gempa bumitsunami Ternate dan Halmahera berjalan lancar, keadaan di rumah Van Oudijck malahan bertambah menegangkan. Ketegangan dipicu oleh peristiwa penyiraman ludah kinangsirih pada tubuh Leoni ketika dia berada di dalam kamar mandi. Leoni yang mandi pada senjahari sangat ketakutan mendapati tubuh telanjangnya disiram oleh noda- noda kemerahan tua. Tidak dipahaminya dari mana noda itu datang. Karena panik dia kesulitan membuka pintu kamar mandi. Dia semakin bertambah panik dan berteriak-teriak memanggil mbok Oerip. Dalam keadaan telanjang bulat dia berlari ke arah kolam dan membasuh badannya di sana. 270 Peristiwa itu tidak diceritakan secara persis pada suaminya. Dia hanya menjawab telah tersandung seekor katak dan takut terkena kudis. Namun, deman Leoni beberapa hari diam-diam telah menimbulkan kecurigaannya. Van Oudijck suatu saat terlihat memasuki kamar mandi dan keluar dalam keadaan pucat pasi. Maar eens kwam hij doodsbleek uit de badkamer, met dolle, grote ogen. Hij ging echter rustig naar binnen, beheerste zich en niemand merkte iets. Tapi sekali waktu dia keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat pasi, mata besar dan nanar. Dengan tenang di masuk ke dalam, menguasai diri hingga tak seorangpun menyadari keadaannya, DSK: 183, KD: 188. Tanpa membicarakan rencananya dengan suaminya, Leoni berangkat ke Surabaya dengan membawa banyak perlengkapan. Novel ini mengungkapkan kerahasiaan-kerahasian dan juga aksi tutup mulut. Leoni rupa-rupanya terbiasa untuk tidak mengungkapkan kejadian sebenarnya pada suaminya. Kerahasian besarnya adalah berselingkuh dengan anak tirinya dan juga Addy. Dia tidak menceritakan kejadian sebenarnya di dalam kamar mandi, dia juga tidak membicarakan rencana kepergiannya ke Surabaya pada suaminya. Van Oudijck sendiri juga tidak menanyakannya. Terhadap Raden Ayu Sepuh dia juga menyimpan tuduhan. Sewaktu dia mengundurkan diri dari jabatan residen kelas satu, dia tidak membicarakannya dengan istri maupun anak-anaknya. Keadaan ini mendukung gambaran Hindia Belanda dalam selubung misteri. Peristiwa di rumah residen telah menyebar luas dan beritanya 271 terpampang di surat kabar. Sekelompok penjaga didatangkan. Polisi Labuwangi berjaga siang dan malam; pemerintahan kolonial telah disibukkan dengan perlawanan terselubung ini. Rakyat Labuwangi, terutama warga Eropa, ketakutan. Mereka merinding dengan keadaan misterius di Hindia Belanda. Over geheel Laboewangi drukte het neêr met zijne onverklaarbaarheid, die zo streed tegen het feitelijke van iedere dag.In ieder huis werd er over gesproken, al was het ook fluisterend, om de kinderen niet bang te maken, en de bedienden niet te laten merken, dat men onder de indruk was van het Javaanse gegoochel, zoals de rezident het zelve genoemd had. En een angst, een somberheid, deed de mensen ziek worden van zenuwachtig spieden en luisteren in de van geluid overvolle nachten en wademde dik donzig grauw neêr over de stad, die zich dieper scheen te verschuilen in het lover van hare tuinen, en gedurende de vochtige avondschmeringen geheel wegdook in een dof zwijgende gelatenheid en bukken onder het mysterie DSK: 190. Seluruh Labuwangi jatuh tertekan oleh hal yang tak dapat dijelaskan, yang bertentangan dengan kenyataan sehari-hari. Di setiap rumah hal itu dibicarakan dengan berbisik-bisik karena anak-anak tidak boleh ditakutkan dan para pembantu tidak dibiarkan mengetahui bahwa orang berada di bawah tekanan guna-guna, begitu residen menyebutnya. Sebuah ketakutan, kemuraman, membuat orang-orang sakit oleh karena gugup, mengintip dan mendengar malam yang penuh suara-suara dan menguapkan kabut tipis kelabu jatuh di atas kota yang tampak lebih dalam bersembunyi di bawah daun-daun di kebun-kebun mereka, dan selama senja-senja yang lembab itu bersembunyi dalam sebuah kepasrahan diam yang suram dan tunduk terhadap misteri. KD: 196. Van Oudijck adalah sosok yang selalu mencitrakan diri sebagai orang rasional, sosok yang tidak mau mengalah pada misteri digambarkan sejak dari bagian awal. Yang dilakukannya kemudian adalah memanggil bantuan keamanan. Ketika akhirnya bantuan tentara: sejumlah perwira, letnan dan bawahannya datang, teror di rumah residen berakhir. Larut malam, sesudah mereka semalaman berjaga dan masuk kamar mandi, mereka berhamburan 272 masuk ke kolam renang. Akhirnya kamar mandi tersebut dibongkar. Dibuat kesepakatan untuk tutup mulut dan tidak membocorkan kejadian yang tidak bisa diterima akal. Bahkan Eldersma tidak membicarakannya pada Eva, istrinya. Meski demikian, beberapa waktu kemudian seorang letnan muda lepas bicara. Laporan dibuat kepada Gubernur Jendral di Batavia. Dia menawari Van Oudijck untuk cuti ke Belanda, cuti yang tidak akan mempengaruhi promosi jabatan. Namun, Van Oudijck menolaknya. Segera sesudah rumah dibersihkan, dia menyurati Leoni untuk pulang. Resepsi pun diadakan. Labuwangi pulih kembali, orang-orang menamakan kejadian itu guna-guna dari bupati. Mereka lega. Dat de rezident hem gedreigd had met een verschrikkelijke dreiging, hem en zijn moeder, als niet zoû ophouden het vreemde gebeuren ─ was zeker. Dat daarna de orde in het gewone leven weêr was hersteld ─ was zeker. Gegoochel dus. Men schaamde zich nu om zijn geloof, en om zijn angst, en dat men gehuiverd had voor wat mystiek had geschenen en alleen knap gegoochel was. En men herademde en wilde vrolijk zijn, en feest volgde na feest DSK : 193. Bahwa Residen mengancamnya dengan ancaman menakutkan, padanya dan ibunya jika kejadian aneh itu tidak berhenti, itu pasti. Bahwa sesudahnya kehidupan biasa dikembalikan, itu pasti. Jadi, guna- guna. Sekarang orang malu pada kepercayaannya, pada ketakutannya, dan bahwa orang gemetaran dengan apa yang disebut mistik ternyata hanyalah guna-guna yang cerdik. Dan orang bernafas lega dan ingin bergembira dengan pesta demi pesta. KD: 199. Pada alam Hindia Belanda masyarakat Eropa terpengaruh oleh lingkungan dan gaya hidup Jawa. Dalam ruang remang-remang, ruang pertemuan dua budaya Barat-Timur pengaruh itu tidak hanya bergerak dari atas 273 ke bawah dan ditanggapi yang di bawah dengan mimikri, tetapi elemen-elemen dari bawah yang dibawa manusia mimikri memiliki imbas juga terhadap kehidupan masyarakat kolonial. Keadaan ini menciptakan budaya hibrid. Dalam konteks teori Homi Bhabha, keadaan ini membuktikan kelabilan wacana kolonial. “Biarpun tanpa ahli hukum. Kita akan jadi pribumi pertama yang melawan Pengadilan Putih, Nak, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga ?” BM: 402 Suara itu berasal dari Nyai Ontosoroh, wanita desa yang bersiteguh mempertahankan haknya sebagai ibu di pengadilan. Memang perjuangannya bisa juga dilihat dari perjuangan pribadi melawan anak tirinya. Boleh dilihat permasalahan Nyai Ontosoroh di pengadilan adalah permasalahan keluarga, yaitu hak waris. Permasalahan ini memanas karena menyangkut warisan hidup, yaitu hak asuh. Pramoedya telah mengangkat persoalan ini ke tingkat yang lebih tinggi, pengadilan Pribumi pengadilan Islam melawan pengadilan Putih. Perebutan hak waris dan hak asuh dapat dilihat dari kacamata perlawanan pribumi terhadap kolonial. Annelies menjadi hal yang dapat diperebutkan antara pribumi dan orang Eropa karena dia dimiliki keduanya; Annelies adalah “hibrid”. Dalam dirinya ada darah pribumi, darah Nyai Ontosoroh, dan darah Belanda, darah Tuan Mellema. Dia tidak bisa menjadi milik keduanya, Eropa dan Pribumi. Ketika dia menjadi Eropa, status pribuminya hilang. Peristiwa ini mengukuhkan keberadaan Eropa sebagai 274 penguasa tertinggi pada zaman Hindia Belanda. Pribumi hanyalah anak-anak jajahan... 4.9 Perbudakan Superioritas dan Inferioritas “...Dat, dat alles, wat streed, wat indruiste tegen leven en praktijk en logica...al die”--hij sloeg met de vuist op de tafel-- “al die verdomde nonsens, en die toch...die toch maar gebeurde...dat heeft het hem gedaan. Ik was er wel sterk tegen in, maar mijn kracht hielp er niet tegen. Het was iets, waartegen niets hielp. Ik weet het wel: het was de Regent. Toen ik hem gedreigd heb, is het opgehouden...” DSK: 232. “....Semuanya adalah perkelahian, sesuatu yang bertentangan dengan kehidupan, dan praktik, dan logika...semua” ─dia meninju meja─ semua omong kosong terkutuk itu, yah toh.. telah terjadi. Itu yang menentukan . Saya telah melawannya dengan baik, tapi kekuatan saya kalah. Tapi hal itu tak teratasi. Saya tahu benar: itu adalah Bupati. Ketika saya mengancamnya hal itu berakhir ...” KD: 238. Sayup-sayup terdengar roda kereta menggiling kerikil, makin lama makin jauh, akhirnya tak terdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu Wilhelmina bertahta. Kami menundukkan kepala di belakang pintu. “Kita kalah, Ma” bisikku. “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat- hormatnya.”BM: 404. Orang Barat dan Orang Timur, keduanya berada dalam lingkungan kekuasaan, sama-sama merasakan kekalahan. Dalam kerangka teori Bhabha yang membawa teori psikoanalisa Lacan, kolonisator diperbudak oleh superioritasnya dan terkoloni diperbudak oleh inferioritasnya. Mereka berada dalam konstelasi igauan narsistik tentang superioritas dan inferioritas. Penolakan atau kritikan bagi keduanya adalah ancaman. Kedua pihak diposisikan untuk terus menerus menciptakan identitas tandingan dan kondisi ini selalu memicu benturan-benturan yang sambung menyambung. 275 Minke telah gagal mempertahankan Annelies dari pengadilan Putih. Istrinya harus berada di bawah pengasuhan ibu kandung saudara tirinya. Wanita itu adalah mantan istri Mellema. Sementara pengajuan Minke untuk bersekolah ke Belanda ditolak dengan alasan budi pekerti yang kurang. Di pengadilan terungkap bahwa Minke telah tidur dengan Annelies meskipun kala itu mereka belum menikah. Dengan diplomasinya pada Raden Ayu Sepuh Van Oudijck telah mampu menghentikan guna-guna, tetapi dia tidak mampu membuktikan bahwa Bupati yang melakukannya. Persoalan hukum tidak bisa dikenakan dalam kasus ini. Dia telah menguasai bupati dan keluarganya, tetapi dirinya merasa rusak. Banyak hal yang tidak bisa dipahami terjadi di depan matanya. Dia, para mayor dan perwira telah dihujani ludah sirih yang datang begitu saja tanpa tahu darimana arah datanya. Sejak itu Van Oudijck merasakan kehadiran “sesuatu di sekitarnya, di seluruh rumahnya, sesuatu yang dirasakannya, namun tidak dilihatnya. Ini menjadi salah satu alasan pengunduran dirinya dari jabatan residen. VOC sebagai usaha dagang Belanda jelas mengharapkan keberhasilan. Kekalahan adalah kata yang harus dijauhi. Mereka datang berbekal surat keputusan Dewan Negara yang mengijinkan VOC berdagang bahkan memonopoli dan juga mendirikan benteng untuk mengukuhkan keberadaannya. Kekalahan bagi pejabat Belanda adalah hal yang mencengangkan. Mereka yang memosisikan Timur dalam tempat yang lebih 276 rendah harus mengakui bahwa dirinya kalah. Novel ini lewat penuturan tokoh- tokohnya juga menyuarakan hal-hal ironis bagi orang Belanda yang memimpikan hidup di Hindia Belanda layaknya di Belanda. Kalau ingin bertahan tinggal di Hindia, seharusnya orang Barat beradaptasi dengan cara hidup Hindia: hidup di rumah bambu dan menaman padi. Kalau tidak ide Barat dan peradaban yang diimpikan akan menemui kegagalan. Wij zijn idioot, hier, wij Westerlingen in dit land. Waarom brengen we hier geheel de nasleep van onze dure beschaving, die het hier toch niet uithoudt Waarom wonen wij hier niet in een fris bamboe-huisje, slapen op een tiker, kleden ons in een kain pandjang en chisten kabaai, met een slendang over de schouder, en een bloem in het haar DSK: 150. Kita di sini adalah idiot,orang-orang Barat yang di negeri ini. Mengapa kita berlarut-larut membawa kesini seluruh peradaban kita yang mahal, yang tidak bisa tahan di sini. Mengapa kita tidak tinggal rumah bambu yang segar, tidur di atas tikar, berbaju kain panjang dan kebaya Cina dengan selendang di atas bahu dan dengan bunga di rambut, kita toh tidak tahan untuk tinggal di sini. DSK: 153. Orang Eropa yang akan mengatur Jawa dengan peradaban mereka akan mendapat perlawanan dan kalah, demikian diiyaratkan novel ini. Pikiran tersebut tidak hanya keluar lewat dialog Van Helderen dan Eva Eldersma, narasi dari pencerita, tetapi juga pengalaman tokoh utamanya. Disebutkan dalam novel, orang-orang Barat yang datang ke Indonesia telah mengatur Hindia dengan perhitungan utama “peruntungan”DSK:73;KD:75. Banyak orang Belanda yang datang untuk menjadi kaya dan kemudian membawa kekayaannya pulang ke negeri Belanda DSK: 235; KD: 241. Orang-orang itu akan kalah, mereka akan selalu mencaci negeri yang panas ini. Mereka akan selalu menemui perlawanan di tanah Jawa ini. Van Oudijck dengan 277 pengalamannya mengakui kekalahannya; dia yang tidak mempercayai takhayul dipaksa mengakui bahwa hal itu ada. Dia percaya adanya kebencian yang mengitari dirinya keluar serupa asap hitam berminyak dari dalam tanah yang penuh ancaman kepencian, semacam pes. Dia percaya pada kekuatan yang tersembunyi di kedalaman benda-benda di Hindia, di alam Jawa, pada cuaca Labuwangi, pada guna-guna, dia masih menyebutnya guna-guna, percaya bahwa kadang-kadang orang Jawa lebih pintar di atas orang Eropa, dan hal itu memberinya kekuasaan, kekuasaan rahasia. Kekuasaan yang bukan untuk membebaskan diri dari beban, tapi kuasa untuk membuat sakit, untuk membuat merana, untuk mengganggu, untuk mengusili, menghantui secara mengerikan dan tak dapat dimengerti. Kekuatan, kekuasaan diam yang memusuhi temperamen kami, darah kami, jiwa kami, dan peradaban kami, pada apa yang kami sukai untuk kami lakukan dan pikirkan DSK: 200; KD: 206. Tanpa pemberontakan atau perang, masyarakat Jawa telah melakukan perlawanan. Dengan caranya yang terlihat menerima dan menghormat, diam- diam mereka melawan. Mereka ikut dalam pemerintahan kolonial, tetapi tidak boleh dipandang bahwa mereka patuh seratus persen. Mereka bermimikri dengan begitu luwes dan beresistensi sekaligus. 278

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dengan gaya penuturan berbeda, kedua teks, BM dan DSK, memberikan bukti bahwa karya sastra dapat digunakan untuk merepresentasikan pengalaman hidup manusia tentang kebenaran dan kenyataan dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda peralihan abad 19-20. Dengan mengambil bentuk ’fokalisator eksternal’ narrator-focalizer yang tidak diketahui identitasnya, DSK mengambil jarak dengan kehidupan tokohnya, sehingga narator dapat mengambil sikap relatif netral terhadap penjajah maupun terjajah. BM yang menghadirkan ‘fokalisator internal’ focalizer-character lebih memberikan sentuhan emosional kepada pembaca. BM menempatkan tokoh- tokoh terjajah untuk bertutur mengenai pengalaman kolonial mereka : perjuangan mereka melawan ketidakadilan penjajahan. DSK, sebagai salah satu bentuk wacana kolonial diwarnai oleh kontradiksi, oleh ambivalensi antara fantasi dan keinginan: DSK melihat Timur sebagai tempat yang indah, tetapi misterius. Novel ini mengajak pribumi bekerja sama mengikuti misi peradaban, tetapi ajakan terkendala oleh sikap yang dinilai berlawanan dengan tuntutan ideal cara kerja Eropa: berdedikasi tinggi, rajin, dan transparan. Meskipun demikian, DSK tidak mengonstruksi semua pribumi sebagai sosok yang malas berlawanan dengan kolonisator; ada 279 juga pribumi yang rajin dan ada juga orang Eropa yang malas. Dalam pandangan DSK, keberhasilan pemerintahan Hindia Belanda memakmurkan rakyatnya dapat dipenuhi oleh kawula ideal kolonial − di kedua belah pihak− yang rajin dan berdedikasi tinggi, dan transparan dalam bekerja. DSK mengritik sejumlah orang Eropa yang hanya ingin mengumpulkan kekayaan di Hindia Belanda untuk dibawa pulang ke Eropa, dan mengakui bangsawan sebagai alat meguasai rakyat jelata. Sebagai novel yang beredar pada masa kolonial Belanda, DSK adalah novel yang berani menunjukkan ‘kebobrokan’ kehidupan Hindia Belanda yang disokong oleh perilaku orang-orang elite di pemerintahan, baik pribumi maupun Belanda, dan termasuk lingkungannya, seperti keluarga dan handai taulan. BM menyajikan pengalaman kolonial pihak terjajah yang menandai bahwa cita-cita pendidikan dan peradaban yang dibawa Eropa dikotori oleh sikap tidak adil mereka sendiri terhadap pribumi dan perlakuan diskriminatif dalam hukum dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini menegaskan adanya ‘kebobrokan’, seperti yang tergambar dalam DSK. Sikap “sumangga kersa“ yang muncul dari feodalisme ikut melanggengkan kolonialisme dikritik keras dalam BM lewat penolakan Minke terhadap kesempatan menjadi bupati. Bukan hanya Barat residen Belanda yang dapat menolak jabatan tinggi DSK, tetapi juga seorang pribumi. Dengan sikap mengambil karir di luar tradisi keluarga, dan kerja keras, Minke ingin mengikis “mitos pribumi yang tidak inovatif “, sebagaimana senandung gamelan. 280 Undangan peradaban terhadap pribumi dibayangi oleh konstruksi identitas pribumi sebagai minder berlawanan dengan identitas meer orang Eropa, sehingga memunculkan sikap kamuflase, atau resistensi-mimikri. Pandangan Bhabha bahwa mimic man adalah sosok yang meniru, beresistensi, berkamuflase, terbaca dalam kedua novel. Wacana kolonial sebagai wacana dominan masa penjajahan menuntut terjajah yang terpinggirkan untuk bermimikri karena wacana tersebut dikonstruksi dalam perbedaan ras. Perlawanan terhadap konstruksi identitas dalam DSK diisyaratkan dengan mengedepankan penanda identitas pakaian dan gaya bahasa; identitas Jawa yang berbeda dari identitas Eropa. Kamuflase adalah pilihan perlawanan keluarga Soenario DSK. Di depan pihak Belanda mereka patuh dan menjalin kerjasama, tetapi secara diam-diam mengirimkan guna-guna. Jenis perlawanan transitif ini mengambil bentuk kedua, menghindari dominasi penjajah dengan mengiyakan meskipun bertindak sebaliknya. Sedangkan Minke dan Nyai Ontosoroh pada awalnya adalah manusia mimikri yang tanpa kesadaran pada aspek resistensi kemudian bergerak pada kesadaran resistensi transitif; misi peradaban yang mereka ikuti memberikan bekal pada mereka untuk melakukan resistensi. Mereka juga mendukung pendapat Bhabha bahwa mimic man telah menjadi pribadi yang berbeda dengan sebelumya yang almost the same but not quite. Mereka tetap pribumi dan tidak mungkin menjadi orang Barat sehingga keberadaannya harus dikontrol agar tidak melebihi batas terimakasih. Pengadilan kolonial 281 menyadarkan kepribumian mereka. Hasrat menduduki tempat sang Tuan dihentikan oleh hukum. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kedua novel yang membidik masa penjajahan kolonial ini menyuarakan perlawanan terhadap penjajahanBarat dengan cara yang berbeda. DSK meragukan keberhasilan pemerintah kolonial untuk tetap menguasai Hindia Belanda karena resistensi dari penduduk Jawa terhadap Barat dan ide-idenya selalu ada, meskipun bagai ‘tertidur ayam’, siap melompat bila diganggu dan diserang. Resistensi intransitif ini berubah menjadi transitif dalam bentuk guna-guna yang dikirimkan kepada keluarga residen oleh bupati Soenario yang kalem dan selalu mengiyakan residen. Suara perlawanan dalam novel DSK ini juga ditunjukkan dengan dukungan novel ini terhadap nasib tokoh utamanya, yaitu kekalahan mental tokoh utama, mengakui bahwa disamping yang transparan dan rasional, ada misteri dalam kehidupan ini. Novel ini membawa pembaca pada pemahaman bahwa kriteria Barat baca wacana kolonial bukan satu-satunya penentu dan pemenang. Kedua novel membawa ingatan bangsa Indonesia kepada isolasipengkotak-kotakan manusia berdasarkan rasketurunan mereka secara politis dan juga pembedaan fasilitas kepada mereka: pendidikan, hukum, pemukiman rasial, dan fasilitas publik lainnya. Identitas subjek kolonial telah dikonstruksi; hal ini mencirikan sifat kolonial sekaligus menyadarkan kita