Pers Hindia Belanda: Artikel tebar kebencian dan medan polemik

80 keturunannya, pribumi dihinakan dibanding orang Eropa. Tidak dapat dipungkiri, penjajahan Belanda mengandung ketidakadilan hukum. Pramoedya A. Toer 2003: 199-201 dalam Realisme Sosial dan Sastra Indonesia, pernah menulis tentang Mas Marco yang juga pernah dipenjara karena tulisan dalam Doenia Bergerak yang berisi pendapat bahwa pendirian Technische Hooge School Sekolah Tinggi Teknik atau THS tidak bisa diteruskan pemerintah. Dia menulis surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda, tertanggal 20 November 1925, menanyakan mengapa tulisan lain yang serupa tidak dipermasalahkan. THS Swantoro, 2002: 352-359, yang sekarang bernama ITB, setelah lama mendapat keraguan-keraguan berhasil berdiri 3 Juli 1920 sebagai perguruan tinggi pertama di Hindia Belanda. Kelompok “politik etis” dikaitkan dengan pers yang propribumi dan antipemerintah. Bahkan dengan tulisan mereka, kelompok “politik etis” telah dituduh sebagai orang yang menghalangi pertumbuhan sehat kehidupan politik di Hindia Belanda. Tuduhan ini menjadi serius ketika dikaitkan dengan masalah merongrong kewibawaan negara dan berakhir di penjara. Dalam tulisannya mengenai kegiatan pers Hindia Belanda, Termorshuizen 2005 dan 2011 mencatat beberapa nama yang pernah dipenjarakan karena dianggap melanggar aturan pers: P.A. Daum, J.W.Th. Cohen Stuart, H.J.Lion. Tulisan mereka boleh dikatakan terpengaruh ide-ide Multatuli. Terkait dengan Grondwet 1848, pada tahun 1854 Hindia Belanda mendapatkan peraturan baru Regeeringsreglement dan dua tahun kemudian turun peraturan tentang pers 81 Drukpersreglement yang menjadi semacam alat sensor pemerintah. Banyak protes maupun diskusi-diskusi yang muncul : kebebasan pers, pengaruh pers bebas yang dapat menghasut penduduk pribumi, dan pembelaan bahwa pers tetaplah pembuka informasi. Termorshuizen, 2005: 11-25 .

2.2.4 Penerjemahan dan Penerbitan: Pendukung dan Penentang Kolonialisme

Kebutuhan buku bacaan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah sekolah dan murid. Pada tahun 1908 telah berdiri Komisi Untuk Sekolah Bumiputera dan Bacaan Rakyat Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur yang disingkat Volkslectuur dan akhirnya dikenal dengan nama Balai Pustaka. Badan ini memiliki fungsi untuk mengontrol bacaan rakyat dengan menentukan pilihan pengadaan buku-buku bacaan. Disamping itu badan ini juga melakukan sensor terhadap naskah yang masuk, baik sensor isi maupun bahasa. Hanya buku yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi sebagaimana yang mereka tetapkan yang boleh diterbitkan. Badan ini Swantoro, 2002 : 56 telah mendapatkan subsidi pemerintah Hindia Belanda sebesar 100.000-400.000 gulden setiap tahunnya untuk menyediakan bacaan yang diharapkan menjauhkan pribumi dari perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Lebih lanjut Swantoro membandingkan nilai subsidi dalam hitungan harga beras per liter pada masa itu dengan tahun 2001; dia mendapatkan angka subsidi sebesar 62,5 milyar rupiah. 82 Akan tetapi, rupa-rupanya penanganan buku bacaan tidak selamanya berjalan mulus sesuai dengan harapan pemerintahan kolonial. D.A. Rinkes pada tahun 1975 melaporkan bahwa ada sebuah buku yang dicetak 10.000 eksemplar, oleh Depot yang menangani distribusi hanya didistribusikan sebanyak 20 buah. Sesudah tiga puluh tujuh tahun −buku yang tidak disebutkan judulnya− ditemukan sisanya masih berada di dalam gudang Jedamski, 2009: 258. Hal ini mengindikasikan bahwa proyek kolonial untuk memfungsikan bacaan rakyat dan mengontrolnya tidak berjalan mulus karena hal teknis. Menurut Loomba 2003: 96-97, Orientalisme menempatkan naskah- naskah literer sebagai medan perang kolonialisme karena bahasa dan sastra bersama-sama adalah bagian dari ciptaan otoritas kolonial. Lebih jauh dia menyimpulkan bahwa naskah-naskah literer penting bagi pembentukan wacana-wacana kolonial justru karena mereka bekerja secara imajinatif dan berpengaruh terhadap orang-orang sebagai individu-individu. Hal ini dapat diartikan bahwa novel sebagai bagian dari naskah literer dapat menjadi pendukung maupun penentang kolonialisme. Novel-novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tentu sudah melalui proses sensor peraturan yang dikenal dengan nama Nota Rinkes; persyaratan Nota Rinkes adalah buku tidak mengandung unsur antipemerintah Belanda, tidak menyinggung golongan masyarakat tertentu dan juga agama Yudiono, 2007: 71-72. Di luar tradisi Balai Pustaka muncul sejumlah novel terbitan penerbit swasta yang kemudian 83 dipandang pemerintah Belanda sebagai bacaan liar lihat Tempo Doeloe oleh Pramoedya, 2003. Said 1995: 45 sendiri menulis bahwa berkaitan dengan imperium novel menjadi satu-satunya objek estetika, karya seni dan ilmu pengetahuan yang patut dihargai, dikagumi dan sangat menarik untuk dipelajari. Novel, sebagai bagian dari kebudayaan dan sebagai salah satu pendukung kolonisasiimperialisme, dapat dipandang sebagai representasi subjektif tentang kenyataan; novel merepresentasikan kenyataan-kenyataan kolonisasi penindasan, pe’lain’an atau othering, pemaksaan yang telah tersaring dalam pandangan subjektif pengarang yang akan dipengaruhi oleh pandangannya tentang “timur” dan “the other”. Said 1979: 5-9 juga menilai bahwa orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan juga budaya Timur. Timur ditimurkan bukan semata-mata karena didapati dalam keadaan “bersifat Timur”, tetapi karena dapat dijadikan Timur. Hubungan Barat dan Timur tercipta bukan karena kebutuhan imajinasi, tetapi oleh hubungan kekuatan, dominasi, dan berbagai derajat hegemoni yang kompleks sehingga hal ini harus dipahami dan dipelajari dengan melihat konfigurasi kekuatannya. Karya Said dianggap oleh ahli sastra lain melupakan dua hal: tidak semua karya orientalis adalah seragam dan sama, juga tidak semua Barat sama dan statis Loomba, 2003: 63-64; Sarup, 2002: 161. Kondisi ini dapat diketahui dengan melihat adanya perlawanan praktik kolonialisme pada karya para orientalis maupun karya 84 sastra kolonial. De Locomotief adalah pers Hindia Belanda yang pro pribumi dan aktif mencetuskan ide-ide “politik etis” Termorshuizen, 2005. Sastra Hindia Belanda meskipun berbahasa Belanda, tapi berbeda dari sastra Belanda; berbeda karena cara pandang, orang, hubungan antara manusia dan cara penyampaiannya yang lain dengan sastra Belanda Nieuwenhuys, 1978: 11. Dalam buku Sastra Hindia Belanda dan Kita disebutkan bahwa Sastra Hindia Belanda adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangsa Eropa lainnya. Tujuan pokok yang tersimpul hampir pada semua karangan sastra Hindia Belanda adalah menyampaikan kepada pembaca Belanda kisah tentang keadaan yang sebenarnya di daerah jajahan yang dulu disebut Hindia Belanda Sastrowardoyo, 1983: 11. Bentuk tulisan: buku harian, catatan perjalanan, selebaran politik, pengamatan sekitar dan kehidupannya, juga roman, cerita pendek, sketsa, lakon sandiwara dan maupun bentuk bersifat sastra yang disebut Indische belletrie sastrakarya yang Indah dari Hindia Belanda. Karena ingin menyampaikan hal yang sebenarnya, kenyataan penindasan dan kolonialisme, sastra Hindia Belanda dapat menjadi suara antikolonial. Buku Het Laat Je Niet Los Itu tidak lepaskan kamu karya Rob Nieuwenhuys 1985 berisi ringkasan karya sastra-karya sastra Belanda yang membicarakan kehidupan Hindia Belanda. Tercatat di dalamnya nama-nama