Kemiripan dan Ancaman Resemblance dan Menace

248 yang mengalir di tubuhnya. Eropa tak boleh lupa bahwa banyak sumbangan Asia pada ilmu pengetahuan, misal angka nol. Kalau Asia tidak memiliki tradisi nama keluarga, bukan berarti mereka hina, tetapi karena tidak atau belum membutuhkan. Diskusi dibubarkan Direktur sekolah. Minke merasa dijauhi oleh teman-temannya, bahkan oleh Jan Dapperste, seorang pribumi yang dipungut pendeta Belanda, yang selalu menumpang keretanya. Diskusi-sekolah bubar. Kecuali Juffrouw Magda Peters nampaknya semua sengaja menjauhi aku. Tak ada yang berseru seperti biasanya. Tak ada tawa. Tak ada yang berlarian berebut dulu. Semua berjalan sarat penuh pikiran. BM, 240. Minke adalah sosok yang disebut dalam ilustrasi surat kabar sebagai De gevaarlijke soort. Minke menjadi pribadi yang membahayakan, dia adalah Max Tollenaar seorang penulis pribumi yang menggunakan nama samaran dan bahasa Belanda. Dia orang yang memiliki akses masuk ke dalam pikiran dan kebijakan penguasa kolonial. Dia juga pribumi yang diharapkan oleh Belanda dan keluarganya menjadi bupati, tetapi tidak ingin mau meskipun jalan itu terbuka lebar BM, 149. Artinya, Minke tidak ingin masuk menjadi tangan kanan pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan sebagai Max Tollenaar, Minke menjadi oposan pemerintahan kolonial. “Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin.” “Tidak? Aneh. Ya, sesuka hatimulah. Jadi kau mau jadi apa? Kalau tamat kau bisa jadi apa saja, tentu.” “Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda.” BM, 138. Dengan kesadaran akan peradaban baru, Minke menolak feodalisme, termasuk beristri lebih dari satu. Dia tidak bisa merasa menjadi pribadi yang 249 “bebas” bila harus mengikatkan dirinya pada feodalisme. Sikap ini secara agak radikal ditunjukkannya dengan menolak menjadi bupati. Minke telah berhasil memenuhi harapan Belanda, yaitu menuju peradaban baru, tetapi sekaligus menjadi penentangnya. Pendidikan yang diharapkan menjadi sarana pembentukan tangan kanan pemerintahan kolonial justru menjadi senjata yang melawan otoritas wacana kolonial.

4.6 Fantasi dan Hasrat Kolonial

Wacana kolonial juga digerakkan oleh ambivalensi antara fantasi dan hasrat. Eropa berkeinginan untuk memperadapkan pribumi, tetapi mereka memiliki fantasi bahwa pribumi adalah takhayul, malas, menakutkan, dll. Bhabha mengatakan bahwa dalam relasi kolonial fantasi kolonisator adalah memperoleh ruang, sedangkan fantasi pribumi adalah menduduki tempat sang Tuan. Sanikem, sebagai Nyai Ontosoroh, telah menjadikan dirinya sebagai wanita yang berkemampuan sama dengan wanita Belanda. Identifikasi pada kualitas wanita Eropa berkelas dijalaninya agar dirinya pantas di samping Mellema, sang Tuannya. Sebagai wanita yang telah dijual oleh ayahnya, Sanikem telah mampu merubah dirinya menjadi wanita yang berbeda dari sebelumnya, dari Sanikem yang buta huruf menjadi Nyai Ontosoroh yang berpengetahuan luas. Bila dahulu dia takut-takut berbicara dan bersikap, sekarang menjadi wanita yang berani berbicara. Dia pun sempurna berbahasa Belanda, suatu perolehan yang 250 jarang diperoleh wanita pribumi pada saat itu. Beberapa waktu setelah tulisan Kartini, Door Duisternis tot Licht, dipublikasikan polemik pun bergulir tahun 1921: benarkah penulisnya perempuan pribumi, tidakkah tulisan itu ditulis oleh wanita Eropa? Polemik muncul pada Soerabaiasch Handelsblad, De Locomotief, dan De Archipel Post pers terakhir ini menulis bahwa ide Kartini diciptakan oleh gerakan etis Termorshuizen, 2011 : 178-181. Kartini hidup tahun 1879 sampai 1904. Ini berarti dia berusia 19 tahun pada tahun 1898, selisih satu tahun dengan usia Minke saat itu. Arti lain adalah wanita pribumi yang berbahasa dan menulis dalam bahasa Belanda pada masa tersebut masih diragukan. Indentifikasi pada perempuan Eropa rupa-rupanya di jalaninya ters menerus sebagai hasrat menjadi orang Eropa. Tiada henti-hentinya Sanikem bertanya pada suaminya kemajuan apa yang sudah dicapainya. Herman Mellema selalu menjawab bahwa Nyai lebih mampu daripada rata-rata wanita Belanda, apalagi yang peranakan BM: 96. Namun, rupa-rupanya Nyai tidak gampang dipuaskan, masih saja dia bertanya. Hasrat menyamakan diri tiada berhenti justru karena cacat yang melekat pada posisinya sebagai gundik, berasal dari sikap mindernya. Sanikem selalu merasa perlumengonfirmasi kemajuan dari proses mimikrinya untuk mencapai kepenuhan dalam dirinya . Sudahkah aku seperti wanita Belanda? Papamu hanya tertawa ngakak, dan: Tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tak perlu. Kau cukup seperti sekarang. Biar begitu kau lebih cerdas dan lebih baik daripada mereka semua” Ia tertawa mengakak lagi BM: 97. Nyai Ontosoroh puas karena telah memenuhi harapan suaminya; dia 251 telah menjadi tangan kanan suaminya dalam mengurus perusahaan. Nyai merasa dihargai dan ditempatkan sejajar dengan suaminya. Nyai merasa telah berada di tempat sang Tuan. Merasa amankan dia? Tidak Pengalamannya telah menghasilkan endapan balas dendam dan kekhawatiran. Dia menyimpan uang gajinya sebagai jaga-jaga bila Tuan Mellema kembali ke Belanda dan meninggalkannya. Dia sebenarnya tidak berumah; dia tidak kerasan dengan rumah pribuminya di Tulangan dan juga tidak nyaman dengan tempat tinggalnya di Buitenzorg. Dalam novel ini muncul sikap yang mendukung bahwa mimikri tidaklah menghasilkan pribadi yang sama dengan sosok yang ditirunya. Kemajuan, kepintaran, kemampuan berbahasa Belanda tidak harus dimaknai sebagai kemiripan pribadi dengan orang Belanda. Kemiripan yang dicapai terbukti tidak selalu mendatangkan penghargaan dari orang Belanda yang “memberadabkan” Timur. Pramoedya menyajikan adegan di pengadilan, hakim menolak Nyai Ontosoroh menjawab pertanyaannya dalam bahasa Belanda. Di mata hukum kolonial saat itu pribumi harus tetap berada di tempat pribumi. Dengan suara lantang dalam Belanda tiada cela –di bawah larangan hakim yang memaksanya menggunakan bahasa Jawa, serta ketukan palu – laksana air bah lepas dari cengkeraman taufan ia bicara: BM, 321. Dalam pembahasannya Homi Bhabha 1994 mengemukakan konsep “unhomely”. Nyai Ontosoroh telah terlepas dari lingkungannya dan berada dalam kondisi unhomely, kondisi dimana identitasnya telah terpecah. Nyai 252 Ontosoroh telah mengingkari tempat asalnya dengan menolak bertemu kedua orang tuanya selamanya. Dia telah membuang tempat asalnya dan menggantinya dengan tempat yang baru, dengan identitas baru. Sikap ini memberi dorongan besar untuk belajar bahasa Belanda, untuk mengikuti ajaran Tuan Mellema, guru laki dan tuannya meskipun semuanya dijalaninya dengan kewaspadaan dan kekhawatiran. Dia yang awalnya merasa diterima dan dihargai dalam ruang-liminal kecilnya, sekarang marah besar. Hakim telah melemparkan dia kembali ke tempat asalnya, hunian pribumi. The fantasy of native is precisely to occupy the masters place while keeping his place in the slaves avenging anger Bhabha, 2004: 44. 7 Nyai yang dilempar dari tempatnya, melontarkan kemarahan dan dendam pada orang kolonial yang menjadikannya gundik. Ia tidak berhenti berbicara dalam persidangan. Dia menolak perlakuan sidang yang menekan hubungan Minke dan Annelies. Selama dia menjadi gundik tidak pernah hukum Eropa mengungkitnya. Apakah karena Tuan Mellema seorang Eropa, sedangkan Minke seorang pribumi, tanya Nyai Ontosoroh. Dia diingatkan oleh pengadilan akan posisinya sebagai pribumi dan harus megakui bahwa Annelies adalah Indo yang memiliki kedudukan lebih tinggi darinya. Minke yang memiliki forum privelegiatum pun tetaplah seorang pribumi. “Siapa yang menjadikan aku gundik? Siapa yang membikin mereka jadi 7 Fantasi pribumi adalah menempati tempat sang tuan sementara mempertahankan tempatnya dalam dendam kemarahan sang budak.