Lacan Psikoanalisis dan konsep mimikri Bhabha

44 tentang cara kerja hewan yang bermimikri. Mimikri oleh hewan digunakan sebagai tindakan pertahananperlindungan diri dengan cara menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Bagi Lacan dalam Bhabha, 1994, mimikri kolonial analog dengan pertahanan serangga; mereka dapat bertahan hidup dengan melakukan adaptasi tinggi dengan alam sekitarnya, sebut misalnya bunglon dan gurita yang berubah warna sepertilingkungan sekitarnya, atau ikan dan katak di kutub utara yang membeku padat di musim dingin agar tetap hidup. Bahkan, ada seekor katak ini meniru suara katak jantan lain yang memanggil pasangannya dan begitu katak betina muncul, dia ‘menerkamnya’. Lacan mengartikan bahwa dalam peniruan mimikri muncul efek kamuflase dan resistensi terjajah yang berada dalam level ketidaksadaran. Hasrat dapat dipahami sebagai keinginan pada kepemilikan identitas. Sebagaimana menurut psikoanalisa Lacan, bayi selalu melihat yang lain untuk “kepenuhannya” sehingga menjadi yang utuh. Hasrat dilahirkan oleh adanya kekurangan lack; konsep lack ini mendapat sebutan sebagai ibu kandung hasrat.Identitas dalam pandangan Lacan terbentuk dalam ruang sosial, dengan demikian identitas diri yang menandakan keberadaan di antara yang lain juga menandakan perbedaan dengan yang lain. Hasrat subjek kolonial muncul dari kekurangan. Bhabha Jefferess, 2008: 36 berpendapat bahwa subjek kolonial selalu bergerak mengitari poros stereotip dan dalam tindak pengingkaran dan fiksasi, subjek kolonial dikembalikan pada narsisme imajiner dan identifikasinya pada ego ideal adalah putih dan utuh. 45 Akhirnya dalam relasi penjajah dan terjajah yang tidak setara, Otherness menjadi objek hasrat dan ejekan; otherness menghadirkan artikulasi perbedaan yang terisi dalam keaslian dan identitas. Sebaliknya, Bhabha mengatakan hasrat terjajah adalah menduduki tempat sang Tuan. Dia berusaha memenuhi citra ideal tertinggi, citra superioritas yang dimiliki sang Tuan. Untuk memenuhi “kepenuhan diri” dia selalu melihat pada pribadi yang lain. Akhirnya, bila si Putih diperbudak oleh superioritasnya, si Hitam diperbudak oleh inferioritasnya. Perbudakan inferioritas memicu mimikri dalam diri si minder. Mimikri kolonial adalah hasrat untuk sesuatu diperbarui, the Other yang dapat dikenali sebagai subjek berbeda; yang hampir sama tetapi tak sepenuhnya sama. Menyinggung lagi tentang ambivalensi, rupa-rupanya wacana mimikri juga dikonstruksi seputar ambivalensi: ada kesamaan sekaligus perbedaan, meniru sekaligus mengingkari. Lacan dalam Bhabha, 1994 mengingatkan mimikri seperti kamuflase; ia bukanlah harmonisasi dari represi perbedaan, tetapi sebuah bentuk persamaankemiripan. Hasil dari mimikri adalah identitas tambal sulam belang-belang dan karena bukan harmonisasi, maka mimikri menjadi ancaman: mengungkapkan ambivalensi wacana kolonial dan mengacaukan otoritas wacana kolonial. Pengertian mimikri kolonial selanjutnya diperkenalkan Homi Bhabha 1994 sebagai konsep yang berisi tindakan yang tidak sekedar meniru-niru, tetapi juga mengandung perlawanan. Jacques Derrida dalam Bhabha, 1994 46 menegaskan bahwa tingkah laku meniru bukanlah sekedar menjiplak sebuah fenomena, ide, atau sosok yang ada, tapi juga membentuk sesuatu dengan membayangkan membawa fantasme tentang sesuatu yang asli dan merupakan asal muasal. Dalam tindak mimikri yang membentuk sesuatu maka sebenarnya hal asli, otentik tak dapat dikontrol lagi. Pribadi baru yang terbentuk selalu “hampir sama, tetapi tak sepenuhnya sama”. Di atas telah disinggung bahwa pengawasan tidak menjamin tercapainya fixity. Permintaan subjek penjajah untuk diakui demand for recognition adalah gagal justru karena adanya mimikri, adanya penyesuaian. Pribumi meniru pemikiran dan pendapat penjajah, dia mengangguk-angguk mengiyakan, “Ya, ya..”. Penjajah merasa diakui keberadaan dan menjadi puas. Akan tetapi, ketika melihat bahwa pribumi tidak melakukan hal seperti yang dilakukan, dia merasa terganggu dan terancam. Pihak kolonial pun merasa dirongrong otoritasnya, tetapi mereka tidak memahami kondisi ini. Mengenali mimikri, bagi Bhabha Bart Moore-Gilbert, 1997: 130-140, harus didekati dari dua kubu: yang ditiru dan yang meniru dan pengertian mimikri dapat digambarkan sebagai pertahanan yang mirip dengan teknik kamuflase dalam medan peperangan. Lebih lanjut Moore- Gilbert 1997 menyebut, persepsi Bhabha tentang transitive resistance diilustrasikan dalam dua cara.Cara pertama, subjek terjajah diberdayakan dalam pergaulanpengawasan penjajah colonizers gaze. Cara ini nampak sebagai proses hibridisasi dan mimikri sebagainama untuk pembalikan strategi proses 47 dominasi. Yang terjajah dan terdiskriminasi menjadi mata kekuasaan. Carakedua, subjek terjajah menolak panggilan diberdayakan dan mendestabilkan otoritas kolonial dalam cara berbeda secara efektif. Artinya mereka berusaha menghindari permintaan penjajah yang ingin diakui dominasinya atas mereka dengan cara mengiyakan, dan dengan tersenyum mengakui keunggulan pikiran penjajah, atau dalam istilah lain ABS asal bapak senang. Penjajah pun dibingungkan dengan kondisi ini karena The Othertidak melakukan hal-hal yang disetujui. Bhabha 1994: 86 mengungkapkan bahwa dalam area antara mockery dengan mimicry, proses perbaikan dan misi sivilisasi terancam oleh pandangan penggantian dari disipliner ganda mimikri kolonial yang bersifat ambivalen; kolonisatorberkeinginan untuk mereformasi atau mencipta The Other yang dapat dikenali sebagai subjek yang berbeda, yang sama tetapi tak persis sama almost the same, but not quite. Lebih jauh Bhabha mengungkapkan bahwa efek mimikri pada otoritas kolonial adalah mendalam dan mengganggu karena mimikri pada saat yang sama dapat menjadi kemiripan dan ancaman. Ambiguitas mimikri akhirnya juga menimbulkan gangguan identitas The Other. Mimikri dapat diartikan sebagai tanda dari artikulasi ganda, atau sebuah strategi kompleks dari perbaikan, pengaturan dan disiplin yang melekat pada strategi dominan untuk perbaikan, pengaturan dan disiplin. Strategi tersebut menetapkan The Other sebagaimana hal itu memvisualisasikan 48 kekuatan kolonial Bhabha, ibid., 86. Mereka yang sudah mirip dengan pihak yang lebih tinggi statusnya, seperti Minke yang berpakaian Belanda dan bersekolah di Belanda dan lancar berbahasa Belanda, seakan memiliki posisi status yang sama dengan mereka. Minke adalah subjek yang sudah dikuasai oleh pihak Belanda; dia biasa berpikir dengan pikiran orang Belanda. Mimikri ini juga menyiratkan kelemahan kedudukan si pelaku mimikri; perilaku mimikri dilakukan karena yang ditiru dianggap meer lebih dan si peniru adalah minder kurang.

1.6.5 Sastra Banding sebagai dasar metode perbandingan

Saya membandingkan representasi kehidupan masa kolonial dan perlawanannya dalam dua novel yang berbeda bahasa dan berbeda nasionalitas pengarangnya, yaitu novel Bumi Manusia, berbahasa Indonesia, karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1980 meskipun bersetting awal abad 1900 dan DSK karya Louis Couperus yang terbit dalam Bahasa Belanda untuk pertama kalinya pada tahun 1900. Metode perbandingan dilakukan dengan menerapkan pendekatan pascakolonial karena satu novel dapat dikatakan berasal dari pengarang pihak- terjajah dan yang lain dari pengarang pihak-penjajah. Penelitian ini diharapkan memperkaya kajian kesusastraan pada umumnya. Diungkapkan oleh Aziz 2001: 162 bahwa kemunculan kesusastraan pascakolonial telah membuka 49 objek kajian sastra bandingan ke arah bermacam-macam karya sastra yang berasal dari geografis dan budaya yang berbeda. Membandingkan dua karya sastra yang berasal dari pihak- pihak yang bertentangan pengganti sebutan penjajah dan terjajah akan menjadi hal yang penting bagi perkembangan kesusastraan maupun hubungan antarbangsa. Edward Said 1995: 22 -52 mengatakan bahwa mengabaikan atau melupakan pengalaman tumpang tindih atau saling ketergantungan wilayah-wilayah budaya tempat penjajah dan terjajah hidup berdampingan dan saling berperang melalui proyeksi maupun geografi, narasi, dan sejarah yang bertentangan berarti meninggalkan apa yang penting dari dunia di abad lampau. Menghubungkan dengan gagasan Goethe tentang Weltliteratur – hal yang penting bagi para sarjana kesusastraan komparatif pada awal abad keduapuluh – Said berpendapat bahwa berbicara tentang kesusastraan komparatif berarti membicarakan interaksi kesusastraan dunia antara satu dengan yang lain. Rene Wellek dan Austin Warren 1990 mengemukakan tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum, dan sastra universal. 50 Guillen 1993 menyebutkan adanya tiga model perbandingan supranasionalitas atau perbandingan yang melampaui batas-batas negara: model A, B, dan C. Model A, studi fenomena dan kumpulan-kumpulan supranasional, imply internationality, yang mengisyaratkan adanya kontak genetis atau relasi lain antara pengarang dan proses terkait untuk membedakan ruang lingkup nasional atau premis-premis budaya umum. Ini berarti bahwa model ini mencari hubungan historis antara karya sastra-karya sastra yang dibandingkan. Hubungan itu bisa berarti sebuah karya adalah gubahan karya yang lain atau sebuah karya terpengaruh secara tematik. Model B, yang bebas genetis genetically independent, mengisyaratkan bahwa karya sastra-karya sastra yang dibandingkan bebas dari hubungan sejarah penciptaan, bebas secara genetis. Adanya kemiripan antar mereka bukan disebabkan oleh pengaruh-mempengaruhi. Model lain muncul ketika fenomena bebas genetis memperbaiki supranasional yang sungguh-sungguh sesuai dengan prinsip- prinsip dan maksud yang berasal dari teori sastra. Studi Barat-Timur menawarkan secara khusus keuntungan yang bernilai dan berpengharapan dalam penyelidikan yang didasarkan pada model C ini. Model C ini mengijinkan adanya dialog antara unity dan diversity yang menstimulasi komparatisme untuk memusatkan konfrontasi terbuka dari kritikansejarah dengan teori; atau pengetahuan mengenai puisi dan puitis. Model ini penting tidak hanya karena cocok dan memberi harapan pada perkembangan studi EastWest, tetapi juga karena penekanannya pada premis-premis teoretis yang 51 membawa kita pada ambang peran teori sastra sebagai generator dari model- model investigasi. Jost 1974 menyebut bahwa penyelidikan komparatif dibagi dalam 4 bidang dasar: pengaruh dan analogi; aliran dan trends; genre dan bentuk; dan motif, tipe dan tema. Sedikit berbeda dengannya, Kazim 1996 menambahkan satu bidang sehingga ada lima bidang kajian sastra banding: 1 Tema dan motif, 2 genre dan bentuk form, 3 aliran movement dan angkatan, 4 hubungan karya sastra dan ilmu pengetahuanagamakarya seni, teori sastra, sejarah sastra, dan teori kritik sastra. Model B yang dipilih dengan alasan, meskipun satu sastra berasal dari Timur Indonesia dan satu lainnya dari Barat Belanda, keduanya membidik setting waktu dan tempat yang sama yaitu East Hindia Belanda atau Indonesia tempo dulu. Hal ini dapat diartikan bahwa perbandingan tidak mempermasalah asal muasal kemiripan atau pengaruh-mempengaruhi kedua karya sastra. Sejarah penciptaan kedua novel tidak akan disinggung. Perbandingan difokuskan pada bidang yang terkait dengan tema dan motif kedua karya sastra. Bagaimana tokoh dan urutan cerita dibangun untuk mengemukakan tema resistensi pribumi terhadap kolonial. Sasaran utama penelitian ini adalah pembacaan pascakolonial terhadap novel-novel dua novel yang bersetting penjajahan di Hindia Belanda, maka pada dasarnya perbandingan digunakan sebagai alat bantu metode agar tidak ada bahasan penting terlewatkan. Analisis perbandingan terhadap struktur