Fantasi dan Hasrat Kolonial

252 Ontosoroh telah mengingkari tempat asalnya dengan menolak bertemu kedua orang tuanya selamanya. Dia telah membuang tempat asalnya dan menggantinya dengan tempat yang baru, dengan identitas baru. Sikap ini memberi dorongan besar untuk belajar bahasa Belanda, untuk mengikuti ajaran Tuan Mellema, guru laki dan tuannya meskipun semuanya dijalaninya dengan kewaspadaan dan kekhawatiran. Dia yang awalnya merasa diterima dan dihargai dalam ruang-liminal kecilnya, sekarang marah besar. Hakim telah melemparkan dia kembali ke tempat asalnya, hunian pribumi. The fantasy of native is precisely to occupy the masters place while keeping his place in the slaves avenging anger Bhabha, 2004: 44. 7 Nyai yang dilempar dari tempatnya, melontarkan kemarahan dan dendam pada orang kolonial yang menjadikannya gundik. Ia tidak berhenti berbicara dalam persidangan. Dia menolak perlakuan sidang yang menekan hubungan Minke dan Annelies. Selama dia menjadi gundik tidak pernah hukum Eropa mengungkitnya. Apakah karena Tuan Mellema seorang Eropa, sedangkan Minke seorang pribumi, tanya Nyai Ontosoroh. Dia diingatkan oleh pengadilan akan posisinya sebagai pribumi dan harus megakui bahwa Annelies adalah Indo yang memiliki kedudukan lebih tinggi darinya. Minke yang memiliki forum privelegiatum pun tetaplah seorang pribumi. “Siapa yang menjadikan aku gundik? Siapa yang membikin mereka jadi 7 Fantasi pribumi adalah menempati tempat sang tuan sementara mempertahankan tempatnya dalam dendam kemarahan sang budak. 253 nyai-nyai? Tuan-tuan bangsa Eropa, yang dipertuan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? Dihinakan? Apa Tuan-Tuan menghendaki anakku jadi gundik? BM: 322. Kemampuan berbahasa Belanda diraihnya bukan tanpa pengorbanan; semua diperolehnya dengan harga dendam dan kebencian yang masih bercokol di hatinya. Dia mendendam pada ketidakadilan sekaligus pada pelakunya. Tidak dianggapnya lagi kedua orang tuanya. Reaksinya itu membuktikan dendamnya. Baginya, orang tuanya tidak lain adalah perpanjangan tangan kolonial. Ia mendendam sebagai seorang gundik, sebagai seorang pribumi yang dijualbelikan dalam masyarakat kolonial, meskipun banyak orang mengirikan keadaannya. Dendam ini menjadikan dirinya pribadi yang keras, bahkan pada anak-anaknya sendiri. “Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada ayahmu. Didikannya tentang harga diri dan kehormatan telah jadi kerajaan dalam diriku. Dia tak lebih dari Sastrotomo dan istrinya. Kalau cuma sampai di situ bobotnya dalam menghadapi ujian sekecil itu, tanpa dia pun aku dapat urus anak-anakku, dapat lakukan segalanya seorang diri. Betapa sakit diriku. BM: 107. Luapan perasaan tersebut diungkapkan oleh Nyai Ontosoroh sesudah menyaksikan Mellema tidak dapat mempertahankan diri dari tuduhan dan serangan anaknya, Ir. Maurits Mellema. Dia terpukul oleh tuduhan anak dari istri pertamanya, dan melupakan Nyai Ontosoroh, wanita yang telah menemaninya selama ini. Empat hari kemudian Nyai mengambil Annelies 11 tahun dari sekolah dasarnya untuk membantu dirinya mengurus perusahaan: “Perusahaan tak boleh rubuh sia-sia. Dia adalah segalanya di mana kehidupan kita menumpang. Dia adalah anak pertamaku, Ann, abang tertua bagimu, 254 perusahaan ini” BM: 108. Pembelaan Robert pada ayahnya, dengan mengatakan bahwa ayahku bukan pribumi, membuat Nyai tak mempedulikan anak laki-lakinya itu, yang saat itu berumur 14 tahun. “Dua bulan setelah peristiwa itu Robert lulus dari E.L.S. Dia tak pernah memberitakan pada Mama, dan Mama tidak ambil peduli. Ia keluyuran ke mana-mana. Permusuhan diam-diam antara Mama dan abangku berjalan sampai sekarang. Lima tahun. BM: 110. “Jangan lupakan hari ini, Ann. Begitu macamnya papamu dulu datang, dan harus kuanggap lenyap dari kehidupanku. Begitu juga abangmu pada hari ini. Dia sedang mengikuti jejak Tuan. Biar. BM: 197. Melalui kacamata tokoh lain, perwatakan Nyai Ontosoroh dibuka. Lihatlah penuturan dokter Martinet, dokter pribadi keluarga tersebut. Menurutnya, Annelies yang dekat dengan ibunya selalu menyimpan kekhawatiran terhadap ibunya. “Hati kecilnya tidak mempercayai kelestarian sikap ibunya. Setiap saat dia menunggu datangnya ketika ibunya meledak dan memutuskan diri daripadanya.” “Hmm.” “Mama wanita bijaksana, Tuan.” “Tak ada yang dapat pungkiri. Tapi hati kecil Annelies tidak yakin. Boleh jadi dengan diam-diam ia menilai ibunya lebih terpaut pada perusahaan daripada dirinya. Ini pembicaraan khusus antara Tuan dan aku saja. Yang lain tak perlu tahu. Tuan mengerti.”BM : 224. Dendam Nyai pada mereka yang menjadikan dirinya gundik tidak pernah surut. Terlebih karena usahanya untuk menikah dengan Tuan Mellema gagal. Bahkan pembaptisan bagi Annelies dan Robert ditolak oleh gereja. Akhirnya, dengan pengakuan Tuan Mellema bahwa Annelies dan Robert adalah anaknya, mereka menjadi warga Belanda; keadaan ini justru 255 memisahkan mereka secara formal dengan Nyai. Semua hal ini menambah dendam Nyai Ontosoroh. Waktu Magda Peters berkunjung, emosi itu keluar; waktu di Pengadilan Nyai pun meledak karena masalah ini. “Antara aku dengan Tuan Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum . Antara anakku dengan Tuan Minke ada cinta-mencintai yang sama-sama tulus. Memang belum ada ikatan hukum. Tanpa ikatan itu pun anak-anakku lahir, dan tak seorang pun yang keberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku. Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus?” BM: 321; cetak tebal dari saya. Wanita pada jaman penjajahan sudah ikut dalam perlawanan. Dalam perang Aceh kita mengenal nama Cut Nyak Dien. Kegaguman seorang wanita pengarang berkebangsaan Belanda M.H.Szekely-Lulofs terhadapnya membuahkan karya sastra berjudul Tjoet Nja Dien. Nama Khristina Martha sebagai pejuang wanita Maluku juga disebut dalam novel karya Johan Fabricius berjudul De schreeuw van de Witte Kakatoe. Novel yang telah diterjemahkan oleh H.B. Jassin 1980 dengan judul Teriakan Kakatua Putih berkisah tentang anak laki-laki dari residen Belanda yang selamat dari peperangan pemberontakan Patimura. 4.7 Islam dan Pengingkaran Kedua novel menyebut Islam sebagai unsur yang bertentangan dengan kolonial. Islam jelas berbeda dengan agama Kristiani yang dibawa oleh Belanda, tetapi juga memiliki kesamaan kisah tentang nabi-nabi terdahulu. Mereka memiliki kisah Adam, AIbraham, Daud. Dalam kesamaannya, keduanya mengandung wacana tandingan. Misalnya, kisah tentang siapa yang 256 dikorbankan AIbraham: Iskhak atau Ismail. Islam menganggap babi sebagai makanan haram, Kristiani tidak. Dapat dimengerti bahwa kolonial Belanda yang juga memiliki zending penyebaran agama Kristen atau missionaris penyebaran agama Katolik mendapatkan perlawanan dari Islam di negeri ini. Agama Kristiani sendiri dengan jelas mengatakan bahwa Yesus satu-satunya jalan menuju keselamatan. Dengan kata lain, tidak ada cara lain menuju keselamatan jiwa atau surga, hanya menjadi kristiani manusia akan selamat. Kristiani maupun Islam akan dengan mudah mengatakan bahwa orang yang tidak memeluk agama mereka adalah kafir. Novel BM menampilkan para ulama yang membela perkawinan Islami Minke-Annelies dari serangan hukum perkawinan Belanda kolonial. DSK menyebutkan gerakan Pan-Islam, dan secara simbolik Islam ditampilkan dalam ancaman hantu berwujud haji putih, de witte hadji dan Islam dikritik dalam penghormatan berlebihan pada sekumpulan haji yang baru pulang dari Mekah.Penghormatan itu membuat merinding tokoh utama novel ini. Kolonisator dikuasai oleh kekhawatiran pada gerakan perlawanan subversif pribumi dan Islam. Relasi budaya antara terjajah dan penjajah di Indonesia lebih bersifat kompleks karena Nusantara sendiri memiliki banyak suku dan kebudayaan yang berbeda. Lebih kompleks lagi bila terkait dengan agama. Dalam kedua novel muncul pertentangan antara pribumi dan penguasa yang terkait dengan agama, yaitu Islam dan Kristen. Dalam Minke persoalan muncul ketika 257 perkawinan Islam antara Minke dan Annelies dibatalkan. Secara tidak langsung hal ini berkaitan dengan agama Islam tetapi dengan status Annelies, warga Belanda, yang masih berada di bawah umur dalam hukum Belanda. Umur 16 dalam hukum adatIslam saat itu bukanlah halangan untuk menikah. Agama Kristen akhirnya dipeluk juga oleh sebagian masyarakat Jawa. Tentu saja perlu penerimaan dari masyarakatnya dan juga adaptasi. Homi Bhabha 1994: bab 6 memberikan gambaran tentang penyebaran agama Kristen di India 1817. Orang-orang Kristen di India tetap menjadi vegetarian; mereka bersedia dibaptis dan mengikuti tata cara Kristen, tetapi menolak sakramen. Alasannya adalah orang- orang Kristen Eropa makan sapi. Orang India Kristen menuntut Injil lokal bagi mereka. Dalam konteks agama Katolik Indonesia dikenal dengan adanya inkulturasi. Hal ini memiliki arti bahwa orang Katolik di Jawa mengunakan blankon, menyenandungkan tembang dalam beribadat di gereja, bahkan mereka pun tetap melaksanakan kenduri yang akan disambung dengan doa secara Katolik. Inkulturasi boleh dipandang sebagai strategi Barat yang lembut untuk masuk ke dalam lingkungan pribumi. Bagi segolongan orang Islam di Hindia Belanda, orang Eropa adalah kafir, mereka tidak mengenal Tuhan yang Esa. Pendapat ini menjadi salah satu alasan untuk berperang dengan penjajah. Dalam novel DSK 1900 permasalahan Islam secara serius asosiakan sebagai suatu ancaman. Dalam novel ini haji yang berjalan-jalan dengan tulban di kepalanya menjadi 258 ancaman bagi otoritas kolonial. Bahkan, sosok haji berbaju putih sering diimajinasikan dengan hantu yang membuat merinding. Setiap kali Doddy van Oudijck melihat kelebat orang berjubah dan bertulban putih dia menjadi gemetaran. Dia juga membayangi rumah keluarga De Luce; dia berkelebat di waktu malam ketika Leoni bermain asmara dengan Addy de Luce. Oerip sang pembantu menyebutnya haji putih, haji tak baik, “Oerip, buiten, luisterde even. En zij wilde, glimlachende, zich leggen te slapen, dromende van de mooie sarongs, die de Kandjeng haar morgen zou geven, toen zij even schrikte en over het erf zag lopen, en verdwijnen in de nacht, een hadji met witte tulband...” DSK, 90, Mbok Oerip di luar, mendengarkan sesaat. Seraya tersenyum dia hendak berbaring tidur, memimpikan sarung indah yang besok akan diberikan Kanjeng kepadanya. Tiba-tiba dia kaget dan melihat ada yang berjalan di kebun menghilang dalam kepekatan malam: seorang haji bertulban putih. Oerip selalu mengingatkan tentang de witte hadji yang berbahaya, “Nona Dody heeft hem zien lopen, de witte hadji Dat is niet een goede hadji, de witte hadji… Dat is een spook. Twee maal heeft de nonna hem gezien, op Patjaram en hier…Hoor Kandjeng” Nona Doddy melihatnya berjalan, haji putih Itu bukan haji baik, haji putih… Itu hantu. Dua kali nona melihatnya, di Patjaram dan di sini…Dengar Kandjeng” DSK, 170. Doddy ditampilkan sebagai putri residen yang takut akan haji putih. Ze rilde, ze sidderde en ze smeekte:”Addy, Addy, neen...neen..ik durf niet verder..ik ben bang, dat de 259 gardoe ons ziet, en dan daar loopt...een hadj i.met een witte tulban op” Tapi..si gadis bergetar, menggigil dan memohon :”Addy, Addy, tidak Addy...saya tak berani lebih jauh. Saya takut..bahwa penjaga gardu melihat kita dan...di sana berjalan...haji putih mengenakan tulban putih.DSK, 88; KD, 90. Setelah membaca laporan penelitian Darban UGM, 1989-1990, hal. 67- 71 tentang peranan Islam dalam perjuangan bangsa Indonesia, saya mengaitkan ketakutan itu dengan pemberontakan petani yang dipimpin para haji. Ada pemberontakan yang berdampak relatif mendalam bagi otoritas kolonial dan meninggalkan kengerian, yaitu pemberontakan Cilegon 1888. Para pemberontak yang terbagi dalam beberapa rombongan bergerak dalam pakaian putih-putih dengan dipimpin para haji. Mereka menyerbu rumah asisten residen, jaksa dan pejabat-pejabat lainnya. Penyerbuan ini juga membuahkan pembunuhan atas istri dan anak-anak para pejabat. Pemberontakan Cilegon tentu bukan satu-satunya. Tercatat beberapa pemberontakan di Jawa: Gerakan bagus Jedik di Solo 1939, Gerakan Sarip Prawirasentana di Yogya 1840, Gerakan Kyai Hasan Maulani di Cirebon 1842, juga gerakan Islam di Kedu 1843, Rembang 1846, Kudus 1847, dan lainnya Darban, Ibid. Kita juga jangan melupakan perang Diponegoro, meski tak seliar Cilegon, yang menguras banyak keuangan Belanda. Perang umat Islam dalam kelompok kecil, menurut Darban Ibid. rata- rata memiliki modus bahwa perang melawan Belanda adalah perang melawan 260 kafir, disamping alasan ketidakadilan, pajak, kerja paksa, atau penolakan libur kerja rodi selama bulan puasa. Dalam novel DSK, tokoh Van Oudijck merasakan bahwa tatapan mata Soenario menyimpan dendam pada seorang Belanda yang kafir, anjing Kristen tak bertuhan. Rupa-rupanya novel ini telah meramalkan kemerdekaan yang dipelopori oleh pemberontakan yang berasal dari gerakan Islam. Ramalan ini telah diisyaratkan dalam bab satu; gerakan Pan-Islam telah muncul di Hindia Belanda. Zij voelden dat niet in hun ratelende rijtuig, van hun kinderjaren aan die atmosfeer gewoon en niet gevoelig meer voor het sombere geheim, dat was als het naderen van een zwarte macht, die hen ─ overheerers met hun kreolenbloed ─ altijd en altijd had aangeademd, zodat zij ze nooit zouden vermoeden. Mischien als Van Oudijck nu en dan in de couranten las over het pan-islâmisme, dat hem iets aanzweemde of de zwarte macht, het sombere geheim even opende voor zijne diepste gedachte DSK, 40. Mereka tidak merasakannya dalam derap kereta yang berderak keras, dari masa kanak-kanak mereka terbiasa dengan suasana itu dan tidak lagi peka terhadap rahasia suram, yang seperti mendekati kekuatan gelap, yang selalu dan senantiasa menghembuskan mereka ─penguasa dengan darah kreol─ sehingga mereka tidak pernah akan menduganya. Mungkin, ketika Van Oudijck sekali-sekali membaca di koran tentang pan-Islam 8 yang mendekatkan dia pada hal itu atau kekuatan gelap, sesaat kerahasian suram terbuka bagi pikiran terdalamny.a KD: 40. Novel ini mengungkapkan bahwa ancaman Islam tidaklah disadari adanya oleh mereka yang telah hidup, dan bahkan mereka yang lahir di Hindia Belanda. Novel ini tidak menampilkan cerita pemberontakan Islam sehingga bisa dikatakan novel ini tidak secara transparan menyebut bahwa Islam berada di belakang pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial. 8 Lihat Kuntowidjoyo, Raja Priyayi dan Kawula, Yogyakarta: Ombak, 2006 261 Ketika Van Oudijck mengantar kepergian Eva hingga stasiun Garut, mereka bertemu dengan rombongan haji yang pulang dari Mekkah. Para haji digambarkan sebagai persona yang begitu penuh percaya diri, bangga dan sadar akan nilai mereka: “...laatdunkend de lippen zich dicht trokken, in nieuwe glanzende jassen, goudgele en purperen samaren, die vielen aanzienlijk bijna neêr tot de voeten DSK : 237. 9 Para kerabat yang menyambutnya saling berebutan dan dorong untuk menyalami para haji, atau menciumi jubah mereka. Muncul suara-suara terpesona yang terkadang diselingi suara pekikan dan teriakan tinggi. Narator mengungkapkan bahwa para haji tak melihat perjuangan mereka, bahkan dengan angkuh, khidmat, dan tenang membiarkan tangan mereka, pinggiran jubah mereka diciumi oleh siapa saja. Peristiwa penyambutan haji oleh para kerabatnya menjadi fenomena tersendiri di dalam novel ini. En vreemd was het in dit land van diep de geheimzinnig sluimerend mysterie, in dit volk van Java, dat zich als altijd verborg in het geheim van zijn ondoordringbare ziel ─ wel onderdrukt maar toch zichtbaar, te zien rijzen een extaze, te zien oogstaren een dronkene dweping,. 10 .. Sebuah penggambaran yang meriah, agung, sekaligus 9 bibir ditutup rapat dengan angkuh, dalam jas-jas baru mengkilap, pakaian panjang putih keemasan dan keungu-unguan yang jatuh menjuntai hampir mencapai kaki 10 Dan betapa aneh di negeri yang diselubungi misteri penuh rahasia, di dalam masyarakat Jawa ini, yang selalu tersembunyi dalam kerahasiaan jiwanya yang tak tertembus ─ tertekan walaupun tak tampak, terlihat sebuah ekstase yang meningkat, terlihat pandangan mata dari sebuah fanatisme memabukkan KD, 224. 262 mengagetkan. Peristiwa penyambutan itu dinarasikan dalam suasana pendewaan kepada mereka yang telah melihat makam Nabi : kekaguman yang terungkap dengan suara pesona yang lirih, tiba-tiba digantikan pekikan kemenangan yang tak tertahan lagi; pekikan yang kemudian mereda dan tenggelam kembali dan melebur dalam suara-suara. Penyambutan haji baru dipandang dalam novel ini sebagai fanatisme memabukkan; fanatisme dan memabukkan adalah dua kata yang mengandung makna berlebihan. Peristiwa penyambutan haji baru dipahami sebagai bagian dari mistik, sebagai bagian dari kekuatan alam Hindia Belanda. Melalui kedua tokoh tersebut, persona dari Barat, novel ini mengatakan bahwa sesuatu yang tidak selaras dengan mereka terasa sebagai suatu perlawanan. Para haji dielu-elukan serupa itu memberikan kesan wingit dan itu menakutkan mereka. Penyambutan haji ditutup dengan epilog yang mengakhiri novel ini, Eva dan Van Oudijck saling bertatapan mata; mereka berdua merasa telah mengalami hal yang sama di Jawa ini; sesuatu akan mistik di Jawa yang tersembunyi pada alamnya, yang terlihat diam... Zij voelden het beiden, het onuitzegbare: dat wat schuilt in de grond, wat sist onder de vulkanen, wat aandonst met de verre winden meê, wat aanruist met de regen, wat aandavert met de zwaar rollende donder, wat aanzweeft van wijd uit de horizon over de eindeloze zee, dat wat blijkt uit het zwarte geheimoog van zielgeslotene inboorling, wat neêrkruipt in zijn hart en neêr hurkt in zijn nederige hormat, dat wat knaagt als een gift en een vijandschap aan lichaam, ziel, leven van de Europeaan, wat stil bestrijdt de overwinnaar en hem sloopt en laat kwijnen en versterven, heel langzaam aan sloopt, jaren laat kwijnen, en hem ten laatste doet versterven, zo nog niet dadelijk tragisch dood gaan: zij voelden het beiden, het Onuitzegbare.... DSK : 238 263 Mereka berdua merasakannya, yang tak terkatakan: bahwa apa yang tersembunyi di tanah, apa yang berdesis di bawah gunung-gunung api, apa yang ikut berdesir bersama angin dari jauh, apa yang berdesing bersama hujan, apa yang bergemuruh bersama guntur yang meluncur berat, apa yang melayang dari horison di atas laut tak berujung, apa yang tampak dari mata rahasia hitam dari jiwa tertutup kaum bumiputera, apa yang merangkak dalam hatinya dan berjongkok dalam hormatnya yang rendah hati, apa yang mengerat bagai racun dan permusuhan pada tubuh, jiwa, hidup orang-orang Eropa, apa yang menentang pemenang dengan diam dan menghancurkan dan membiarkannya merana dan mati, lambat laun hancur, bertahun-tahun dibiarkan merana, dan pada akhirnya membunuhnya, dengan begitu belum mati tragis: keduanya merasakannya, yang Tak Terkatakan.... KD: 244-245. Ketika pernikahan Minke dan Annelies dibatalkan maka isu ras dan agama terungkit ke atas. Persoalan kewarganegaraan Annelies dan faktor umur yang dijadikan alasan pengadilan tidak dikedepankan. Penolakannya tidak mempertimbangkan hukum Islam yang telah mengesahkan perkawinan Minke dan Annelies. Dari jendela kamar Annelies terdengar mereka tak henti-hentinya mengutuk dan menyumpahi keputusan Pengadilan Putih sebagai kafir, durhaka, terkutuk dunia dan akhirat. Dari pagi sampai siang mereka menguasai pelataran sekitar rumah kami BM, 340. Persoalan agama terangkat ke permukaan karena Minke dan Annelies menikah secara Islam BM. Pernikahan tersebut diketahui banyak orang karena dilangsungkan dengan meriah. Lima sapi jantan muda dan tiga ratus ayam dipotong. Semua kereta di pertanian Buitenzorg dihiasi kertas berwarna. Dengan pernikahan yang sangat meriah itu, pembatalan pernikahan oleh pengadilan juga menarik perhatian banyak orang. Meskipun ulama telah mendatangi kantor Pengadilan Surabaya, mereka tidak bisa memenangkan perkara Minke-Annelies. Hukum Islam di Hindia 264 Belanda, meski Islam sudah memiliki Mahkamah Agung Islam di Surabaya, tetap berada di bawah hukum Eropa, hukum kolonial Belanda. Bila pribumi dan orang Eropa terlibat peristiwa hukum, maka orang Eropa akan mendapat perlindungan lebih daripada pribumi. Hukum Eropa atau hukum Putih yang akan ditetapkan dalam masalah ini.

4.8 Kamuflase dan Resistensi oleh mimic man

Kamuflase dilukiskan sangat bagus dalam DSK, sedangkan dalam BM resistensinya lebih terbuka. Ia secara verbal mampu mengungkapkan penolakan maupun kritikannya dalam bahasa penguasa. Resistensi Minke yang awalnya intransitif bergerak ke arah transitif. Minke kecil, yang selalu meniru sikap guru Eropanya karena mereka adalah yang terbaik menurut orang tuanya, selalu merasakan adanya serangan dari teman-teman sekolahnya. Minke yang telah mengikuti panggilan peradaban menyadari rasa perlawanan dalam dirinya terhadap sikap dan pendapat Belanda. Minke dengan kelancaran bahasa Belandanya, secara verbal, mampu menangkis serangan dari orang- orang di lingkungan HBS. Bupati Soenario dan keluarganya selalu berkomunikasi dengan orang Belanda dalam bahasa Melayu. Gegoochel dus. Men schaamde zich nu om zijn geloof, en om zijn angst en dat men gehuiverd had voor wat mystiek had geschenen en alleen knap gegoochel was. En men herademde en wilde 11 vrolijk zijn, en feest volgde na feest DSK, 193. 11 Pada teks asli, kata wilde hanya dicetak miring sementara kata-kata lainnya tidak dicetak miring. 265 Jadi, guna-guna. Sekarang orang malu pada kepercayaannya, pada ketakutannya, dan bahwa orang gemetaran dengan apa yang disebut mistik ternyata hanyalah guna-guna yang cerdik. Dan orang bernafas lega dan ingin bergembira dengan pesta demi pesta. KD, 199 . Guna-guna telah digunakan oleh keluarga Bupati untuk melawan Residen. Mereka melawan dengan cara terselubung. Artinya mereka tidak menyatakan diri telah mengirimkan guna-guna. Cara ini teryata cukup ampuh memporak-porandakan kehidupan residen. Selain itu, pada awalnya juga menggelisahkan masyarakat Eropa di Labuwangi. Ketidaksenangan dan ketidaksetujuan tak selamanya terungkap, tetapi tersimpan rapat. Sebagai bupati, Soenario adalah bawahan Van Oudijck; dia tunduk pada sistem pengangkatan dan pemecatan dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Meski Van Oudijck selama ini dekat dengan almarhum Bupati Adiningrat dengan bersapa layaknya bapa dan putra, juga mengenal lama Soenario, dia akan berlaku sebagai residen sejati. Pejabat yang bertindak miring harus segera diluruskan. Mengatasi judi dan korupsi Bupati Ngajiwa, adik Soenario, residen meminta bantuan Soenario. Sebagai bupati, Soenario tunduk pada residen, sebagai manusia pribumi dia menyimpan kebencian pada Van Oudijck. Di depan Van Oudijck dia menjajikan kepercayaan dalam hidup dan mati, tetapi di belakang Van Oudijck dia menentangnya. Dari sudut pengisahan orang ketiga, autodiegetic, dapat dilihat bahwa Soenario tetap menunjukkan sikap tenang, meski diam-diam kepalanya memanas. 266 De Regent boog. Hij was olijfbleek van een stille geheimzinnige woede, die als een kratervuur in hem werkte. Zij ogen, achter in Van Oudijcks rug, priemden met een mysteri van haat de Hollander toe, de minne Hollander, de burgerman, de onreine hond, de goddeloze Christen, die niet had aan te roeren met enige voeling van zijn vuile ziel iets van hem, van zijn huis, van zijn vader, van zijn moeder, van hunne oer-heilige edelheid en adel...ook al hadden zij altijd gebogen onder de druk van wie sterker was...DSK: 56. Bupati membungkuk. Dia pucat pasi karena kemarahan yang dirahasiakan dalam diam; kemarahan serupa kawah api yang membara di dalamnya. Di belakang punggung Van Oudijck matanya menusuk dengan sebuah misteri kebencian untuk orang Belanda, orang Belanda yang jahat, pegawai pemerintah, anjing yang haram, orang Kristen yang tak bertuhan, yang dengan jiwa kotornya tak boleh meyentuh sesuatu darinya, dari rumahnya, dari ayahnya, dari ibunya, kemuliaan suci dan kebangsawanan mereka yang turun temurun...walaupun mereka selalu tunduk di bawah yang lebih kuat...KD: 57. Pertentangan tersebut membuahkan juga pandangan Van Oudijck atas perwatakan Soenario. Van Oudijck menilai Soenario tidak transparan, tak mudah ditebak. Keadaan ini mengganggu Van Oudijck yang menginginkan rekan kerja yang rasional. Soenario bukanlah orang rasional. Telah tersiar kabar bahwa Bupati Soenario di kalangan rakyatnya termasyhur kesaktiannya. Di kabupaten, para wanita diam-diam menjual air siramanmandi Soenario yang diyakini mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Alur menambahkan ketegangan dengan munculnya surat-surat kaleng. Kini Van Oudijck dalam suasana hati yang murung; ada dua hal yang mengganggu: surat-surat kaleng tentang istrinya dan fakta bahwa Bupati Ngajiwa mungkin harus dipecat. Sebenarnya surat kaleng bukan hal baru bagi kantor residensi. Selalu ada surat yang menodai asistennya, kontrolirnya, atau bawahan lainnya. Akan tetapi, surat kaleng akhir-akhir ini telah memfitnah 267 keluarganya: istri dan anaknya. Di luar kiriman surat-surat kaleng ke rumah residen, Labuwangi juga memanas keadaannya. Telah muncul pemberontakan - pemberontakan kecil di luar pusat ibukota Labuwangi. Sesuatu juga bergolak di kalangan rakyat pribumi. Di saat Labuwangi selama dua belas hari berada dalam kesibukan yang mengharukan dan para wanita mempersiapkan pesta amal dipimpin oleh Eva Eldersma. Kepala polisi yang setiap harinya membuat laporan pendek kepada residen, beberapa hari ini tampak lebih lama menghadap residen. Di depan kantor para penjaga berbisik-bisik lebih misterius; residen menyuruh Eldersma dan Van Helderen datang; sekretaris menulis surat kepada Vermalen, sang asisten-residen, di Ngajiwa dan kepada mayor komandan garnisun. Pengawas kota semakin sering berkeliling, pada jam-jam yang tidak biasa. Pemberontakan di luar kota telah terjadi. Meski telah dipadamkan, Van Oudijck belum tenang. Dugaan mengarah pada keluarga Adiningrat; Van Oudijck menuduh Raden Ayu Sepuh yang menjadi dalangnya. Penolakan Van Oudijck untuk membatalkan usulan pemecatan rupa- rupanya telah memicu perlawanan ini. Usulan pemecatan ternyata telah menggerakkan Raden Ayu Pangeran, ibu sang bupati, untuk mendatangi Van Oudijck. Dia meminta, memohon agar residen membatalkan usulan tersebut. Residen ternyata tetap bertahan pada pendiriannya. Sang ibu berjanji, bersumpah, akan mengakhiri semua keburukan anaknya. Tetapi residen tetap bersikukuh, bahkan mengritik bahwa Raden Ayu Pangeran yang bertanggung