Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
4 terisolasi, tetapi sebuah produk kesadaran kolektif; seorang seniman dimediasi
oleh institusi sosial dan ekonomis yang mempengaruhi mode produksi. Dari zaman masa penjajahan hingga kini telah terbit ratusan karya
sastra berbahasa Belanda tentang Hindia Belanda yang kemudian disebut sebagai sastra Indis atau sastra Hindia Belanda. Keberadaan sastra Hindia
Belanda di satu pihak menjadi semacam bukti penyebaran sastra Belanda ke belahan dunia, di pihak lain menambah daftaran novel yang berbicara
mengenai Hindia Belanda Indonesia tempo dulu. Sastra Indis menempatkan Hindia Belanda baca Timur dalam kenangan dan menjadi tanah yang
dirindukan sekaligus dikritiknya. Karya sastra Indis yang ditulis atau terbit sebelum masa kemerdekaan, misalnya karya Multatuli Max Havelaar, 1860,
P.A. Daum uit de suiker in de tabakdari Gula ke Tembakau, 1883, E. du Perron: Het land van herkomstTanah Asal 1935. Sastra yang terbit sesudah
kemerdekaan: Rob Nieuwenhuys dengan nama samaran E. Breton de Nijs dalam Vergeelde Portrette 1954 atau Bayangan Memudar 1975, Hella
Haasse 1918-2011 dengan novel-novelnya tentang Hindia Belanda: Oeroeg 1948, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama, Heren
van de Thee 1986, dan Sleuteloog2002, diterjemahkan dengan judul Mata Kunci 2010. Bahkan muncul penulis yang lahir sesudah zaman kemerdekaan,
misalnya Marion Bloem lahir tahun 1952 atau Alfred Birney lahir pada tahun 1961 dengan novelnya Vogels Rond een Vrouw tahun 2002
diterjemahkan dengan judul Lalu Ada Burung.
5 Informasi sastra Hindia Belanda dapat dirunut dari pengarang Belanda
maupun Indonesia. Dalam dua tulisan Rob Nieuwenhuys, Oost-Indische Spiegel 1978 dan juga Tussen Twee Vaderlanden 1967 dapat diperoleh
lebih banyak informasi tentang buku-buku sastra Hindia Belanda, bahkan yang tidak cukup dikenal dalam sastra Indonesia. Buku Oost-Indische Spiegel
tersebut telah disadur oleh Dick Hartoko menjadi Bianglala Sastra 1979. Dua buku yang lain misalnya, Sastra Hindia Belanda dan Kita karya Subagyo
Sastrowardoyo 1983 dan buku Kian Kemari 1973 yang diterbitkan oleh Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.
Pihak pribumi Indonesia tidak mau ketinggalan menuliskan pengalaman kehidupan kolonial dalam karya sastra; tulisan mereka dalam
bahasa Melayu bermunculan. Dalam Tempo Doeloe Pramoedya, 2003 dapat ditemukan cerita-cerita berbahasa Melayu-pasar tentang kehidupan masa
kolonial. Kisah hidup seorang Nyai yang dituangkan ke dalam karya sastra dapat dibaca dalam Kesustraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia
karangan Boen Thio Tjin 2001. Novel Sitti Nurbaya dan Salah Asoehan juga menggunakan setting masa kolonial. Seorang pengarang Indonesia, Suwarsih
Djojopuspito, bahkan menuliskannya dalam bahasa Belanda. Tulisan berjudul Buiten Het Gareel yang kemudian diterjemahkan oleh pengarangnya sendiri
dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia Bebas bercerita tentang perjuangan orang Indonesia masa pra-kemerdekaan untuk memajukan
6 pendidikan
bagi bangsanya
sendiri. Pramoedya
juga menuangkan
pemikirannya tentang masa kolonial Belanda dalam karya sastranya.Buku pertama, Bumi Manusia 1980, dari tetraloginya dengan jelas menanggapi
zaman itu. Claudio Magris menyatakan bahwa filosofi dan religi menformulasikan
kebenaran, sejarah menentukan fakta, tetapi sastra –seni pada umumnya – bercerita kepada kita bagaimana dan mengapa manusia mengalami kebenaran
dan fakta tersebut.
4
Karya sastra dapat dipandang sebagai produk masyarakatnya yang keberadaannya tidak terlepas dari dunia realita. Kondisi
ini mengundang pertanyaan tentang kaitan antara keduanya sehingga terbuka dunia realita berdampingan dengan dunia sastra Chamamah, 1994. Berkaitan
dengan penjajahan dan imperium, Said 1993: XII-XXII, sebagai peletak dasar kritik pascakolonial memandang bahwa novel penting dan menjadi satu-
satunya objek estetika yang menarik untuk dipelajari karena memiliki kaitan dengan masyarakat-masyarakat Inggris dan Perancis dalam hemat saya juga
Belanda. Novel adalah bentuk budaya yang penting perannya dalam pembentukan sikap, acuan, dan pengalaman imperial sehingga mengabaikan
novel atau mengabaikan pengalaman tumpang tindih antara bangsa Barat dan Timur adalah meninggalkan apa yang penting dari dunia di abad lampau.
Artinya, karya sastra sebagai bagian dari narasi yang ikut berperan dalam
4
Dikutip dari surat edaran Nederlands letterenfonds Dutch foundation for literature “Filosofie en religie formuleren waarheden, geschiedenis stelt de feiten vast, maar
literatuur –kunst in het algemeen –zegt ons hoe en waarom mensen die waarheden en die feiten beleven.
7 pembentukan acuan dan sikap masyarakatnya penting untuk dipelajari. Karya
sastra yang menyuarakan kehidupan masa kolonial mengandung peran mempertegas maupun memperlemah paham kolonialisme.
Mempertegas paham
kolonialisme dapat
dilakukan dengan
memperlemah pihak pribumi. Dalam beberapa roman berlatar belakang perkebunan Deli wanita pribumi ditampilkan sebagai pribadi yang minder.
Zonneveld 2002 mengatakan bahwa karya sastra tersebut menyoroti para Nyai sebagai wanita penggoda yang berperan besar terhadap demoralisasi
pejabatpegawai perkebunan Belanda. Motif-motif lain yang juga dapat ditemukan pada banyak roman Deli adalah puas diri, pemikiran yang dangkal,
materialisme dan sikap acuh tak acuh dari lingkungan perkebunan. Pergundikan dan persaingan antara wanita Indo dan Eropa menghasilkan
drama percintaan. Penulis Carry van Bruggen yang mengawali karirnya sebagai penulis di Deli menuangkan kesannya dalam karyanya Goenoeng
Djati 1909 yang bertema sentral demoralisasi di Deli. Van Bruggen secara simpatik memperkenalkan seorang administrator tinggi, Administrator Kolff,
yang berkeinginan menikah dengan wanita Eropa, tetapi tidak dapat melepaskan diri dari pengurus rumah tangganya yang bertahun-tahun sudah
hidup bersamanya. Dia sering merasa muak dan berusaha melepaskan diri dari wanita Jawa itu, tetapi kembali dia dikuasai lebih kuat dan bertambah kuat;
pengaruh wanita itu bertambah; sensualitas yang gaib yang akhirnya akan mendemoralisasinya D’haen, 2002.
8 Novel-novel semacam Goenoeng Djati, bersamaan dengan teks-teks di
luar sastra –misal tulisan jurnalistik- menjadi semacam narasi yang digunakan untuk mempertegas jati diri penjajah. Mereka menjadi bagian dari bacaan yang
dikontrol pihak penguasa; pihak yang digerakkan oleh pemikiran orientalisme, pemikiran tentang Timur. Bacaan tersebut menjadi semacam panduan
bagaimana mereka harus menghadapi Timur dan mengurus Timur menjadi semacam pedoman. Bahkan zaman Hindia Belanda terdapat sekolah khusus
memerintah Timur, yang disebut Indologi. Semua gagasan tentang Timur disebut sebagai orientalisme. Suatu gagasan yang ikut menjaga kelangsungan
praktik kolonialisme. Said menilai bahwa dalam konsep orientalisme Timur ditempatkan sebagai pihak yang lemah, terbelakang dan tidak mampu
berbicara. Mereka harus dikonstruksi, diatur dan juga diwakili. Dengan hasil penelitiannya atas sejumlah besar teks yang ada dalam
masa kolonialisme, Said 1979 membuahkan kritikan tajam terhadap pemikiran orientalisme; orientalisme disebutnya sebuah wacana. Said Ibid.
memndang bahwa orientalisme membuahkan konsep dan pandangan yang menyangkut hubungan Timur dan Barat. Timur dianggap sebagai bagian
integral dari peradaban dan kebudayaan material Eropa karena Timur telah membantu mendefinisikan Eropa Barat sebagai imaji, idea, kepribadian dan
pengalaman yang berlawanan dengannya. Dengan menggugat wacana Timur sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan yang mempunyai landasan ideologis
9 dan kepentingan-kepentingan kolonial, Said dipandang sebagai peletak konsep
dasar pemikiran pascakolonial. Sejak tahun 1778 di Hindia Belanda telah didirikan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1851 kemudian muncul KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde di Leiden, berdiri
Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur 14 September 1908 di Jakarta yang berubah menjadi Volkslectuur, 1917. Badan-badan di atas
meneliti budaya dan mengembangkan pengetahuan tentang Timur, dan juga menyediakan, mengontrol bacaan untuk bumiputera di negara jajahan. Dari
hasil kerja lembaga-lembaga tersebut gambaran tentang Hindia Belanda akan terbentuk; lembaga tersebut melahirkan banyak orientalis.
Badan-badan tersebut mendukung pendapat Said 1979:2 bahwa Timur menjadi bagian intergral dari peradaban dan kebudayaan Eropa yang
ditampilkan oleh orientalisme secara budaya dan bahkan ideologis sebagai suatu mode of discourse dengan lembaga-lembaga, perbendaharaan bahasa,
studi kesarjanaan, lambang-lambang dan doktrin-doktrin yang mendukungnya, bahkan birokrasi kolonial dan gaya-gaya kolonialisme. Karenanya, wacana
orientalisme dengan dukungan tradisi, kekuasaan, dan modus penyebaran pengetahuan telah menciptakan “mitos” dan “stereotip” tentang Timur yang
dikontraskan dengan Barat. Muncul dikotomi Barat dan Timur, minoritas dan mayoritas, pusat dan pinggiran yang bersifat hierarkis dan juga bermakna tidak
adil dan menindas. Citra sebagai pelopor peradaban yang disematkan pada
10 Eropa membenarkan mereka dalam mengolonisasi, menguasai atau
menjinakkan “Yang Lain” Budianta, 2002; Noor dan Faruk, 2003. Pembalikan Said terhadap oposisi biner tersebut akhirnya menghasilkan
idealisasi terhadap wacana pascakolonial, sifat wacana pascakolonial adalah resistensi, penggugatan, atau penolakan terhadap penindasan Budianta,
1998:3. Alatas 1980 secara khusus meneliti teks orientalisme yang ada di
Hindia Belanda, Malaysia dan Filipina. Dia memfokuskan perhatian pada permasalahan mitos pribumi malas yang beredar dan mendukung kolonialisme
Belanda di Hindia Belanda, kolonialisme Inggris di Malaysia dan kolonialisme Spanyol di Filipina. Keengganan pribumi bekerja di ladangbidang pendukung
kapitalisme menghasilkan mitos pribumi malas. Mitos-mitos yang menunjukkan keminderan pribumi: malas, tukang kredit, peminum, pemadat,
pencuri ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme .
Dengan mitos dan stereotip, kolonisator merasa berhak mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka.
Citra tentang pribumi juga dipakai oleh Belanda untuk menuntut penerapan kebijakan tertentu di suatu wilayah. Dalam buku karya Marieke
Bloembergen 2011: 45 dilaporkan bahwa residen Surabaya meminta pada pemerintah agar pengawasan keamanan di Surabaya, sekitar tahun 1890-an,
harus ditingkatkan oleh polisi karena adanya orang-orang Madura yang
11 memasuki Surabaya, yang notabene lebih kasar dibandingkan orang Bantam
atau Banten yang masuk ke Batavia. Mitos pribumi tidak selamanya diterima begitu saja oleh pribumi.
Karya sastra yang kemudian ditulis oleh pengarang Indonesia sebut pihak terjajah dapat memberikan citra yang berlawanan dengan yang diberikan oleh
pihak penjajah sehingga dapat menjadi alat perlawanan terhadap pihak kolonial. Karya sastra bertema masa kolonial yang ditulis oleh bangsa
Indonesia mencitrakan Nyai berbeda dengan roman-roman Deli yang ditulis penulis wanita Belanda. Nyai dalam Cerita Nyi Paina yang termuat dalam
Tempo Doeloe dicitrakan berbeda dari nyai dalam Goenoeng Djati.Karya tersebut dapat dipandang sebagai karya sastra yang mengandung perlawanan
karena tokoh nyai Paina dalam novel tersebut dengan keberaniannya mencari cara untuk menggagalkan sistem pernyaian. Cerita Nyi Paina menceritakan
perjuangan perempuan pribumi yang dijual ayahnya kepada pejabat Belanda untuk mempertahankan status dan pangkatnya. Meski menerima ternyata
diam-diam dia memberontak dengan melumuri tubuhnya dengan wabah cacar yang saat itu belum diketemukan obatnya. Toean Briot akhirnya tewas karena
cacar yang ditularkan Paina dan dengan demikian ia bebas kembali ke desanya. Kisah serupa Nyi Paina ini akan dapat ditemukan dalam karya
Pramoedya Bumi Manusia. Seorang wanita yang juga keponakan dari Nyai Ontosoroh memilih risiko terkena wabah cacar untuk menghindarkan diri dari
pejabat perkebunan yang ingin memungutnya paksa.
12 Sistem pernyaian dan pergundikan diduga menjadi salah satu akibat
langsung dari sistem kapitalisme perkebunan yang dibawa Belanda. Para pejabat perkebunan dan pejabat swasta Belanda memelihara perempuan
pribumi untuk dijadikan gundik Christanty, 1994:25. Pergundikan yang terjadi menciptakan wacana bahwa perempuan pribumi adalah pemuas nafsu
lelaki Eropa. Gambaran ini setidaknya banyak terungkap dalam karya sastra Indonesia baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan yang bertema
pernyaian, misal Nyai Dasima, Cerita Rossina, Cerita Nyai Ratna, Hikayat Siti Mariah, Nyai Soemirah, Bumi Manusia.
Bhabha 1994 membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu bersifat ambigu, polisemik sehingga konstruksi dirinya maupun
mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan bertentangan. Spivak juga menambahkan bahwa wacana kolonial bukanlah
sesuatu yang tertutup dari kemungkinan resistensi. Bahkan wacana itu sendiri dapat melawan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan efek yang
berkebalikan dengan kehendak kekuasaan, yaitu efek yang memberdayakan bagi masyarakat terjajah dalam Faruk, 2007. Bisa terjadi juga, karya sastra
yang ditulis oleh masyarakat kolonial justru mengritik masyarakat penjajah. Beberapa novel yang ditulis oleh orang Belanda, dalam bahasa
Belanda, dan terbit pada zaman tersebut mengritik sistem kolonialisme, misal Kraspoekol Willem van Hogendorp, Koeli, Rubber Madelon H. Szekely-
Lulofs, De Stille Kracht Louis Couperus dan tentu saja Max Havelaar.
13 Novel-novel tersebut kebanyakan juga menampilkan orang pribumi sebagai
tokoh penting dalam karya sastra, bukan sekedar bujang penjaga pintu, atau babu yang mengulek sambal terasi.
Di Indonesia, bahkan di dunia, novel Max Havelaar yang selalu dikaitkan dengan citra antikolonial Dewi, 2007; Faruk, 2007, sedangkan
novel De Stille Kracht tidak. Novel ini menampilkan tokoh wanita Belanda yang bercitra miring, seorang istri residen yang berselingkuh dengan anak tiri
dan lelaki-lelaki lainnya. Suatu citra yang tidak berbeda dengan citra Nyai yang digambarkan dalam roman Deli. Bahkan, oleh Zonneveld 2002 :133-
159 novel tersebut dinilai mengritiktingkah laku orang-orang Belanda di Asia; kritikan yang dilontarkannya bahkan dinilai lebih mendalam tentang
kehidupan masyarakat kolonial Belanda daripada Max Havelaar karya Multatuli. Gambaran ringkas cerita DSK dapat dilihat dalam Bianglala Sastra
oleh Dick Hartoko 1979 atau Kian Kemari 1973. Novel ini sedang dalam proses difilmkan format layar lebar oleh Paul
Verhoeven, sutradara Basic Instinct 2011
5
dengan mengambil lokasi shooting di Thailand meskipun berlatar Hindia Belanda. Apakah ini terkait
dengan adegan telanjang atau isu mistik dan Islam yang ada dalam novel DSK.DSK juga pernah difilmkan sebagai serial TV Belanda pada tahun 1977
5
Berita bahwa film ini terancam gagal direalisasikan pernah muncul di media televisi dan kemudian secara langsung saya diinformasikan oleh museum Couperus, 2012. Alasan
kegagalan adalah dana. Dari beberapa proyek film yang diajukan Verhoeven, DSK termasuk film yang tidak mendapat dukungan finansial mencukupi. Contoh skenario film DSK yang
ditulis oleh Gerard Soeteman terlampir skenario saya dapatkan dari museum Louis Couperus di Den Haag.
14 dan sempat menghebohkan karena adegan telanjang pemainnya. Ketua Badan
Sensor Film Indonesia juga mengritik keras film ini karena menurutnya, film ini mengesankan Indonesia yang tidak mementingkan pakaian Hartoko,
1979. Film yang akan muncul dapat menjadi bahan penelitian baru terkait dengan kreativitas karya sastra ikranisasi.
Novel ini meramalkan kekalahan Belanda akibat perlawanan oleh penduduk dan munculnya kekuatan Islam. Dalam pertentangan dingin antara
residen dan keluarga bupati, Residen Van Oudijck berada di atas angin. Keluarga residen kemudian diceritakan diganggu oleh kekuatan gaib, oleh
sesuatu yang misterius. Mereka juga ditakutkan oleh munculnya kelebat bayangan haji berjubah dan bertulban putih yang melintasi kediaman mereka.
Kekuatan misterius, kekuatan Timur yang sulit dikendalikan oleh nalar: hujan batu kerikil, semburan ludah bersirih. Hal ini seakan-akan menggambarkan
peperangan kekuasaan antara Barat dan Timur yang tersembunyi, pertentangan antara keluarga residen penjajah dan keluarga bupati terjajah.
Sebagaimana De Stille Kracht, novel Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer juga membidik jaman kolonial Hindia Belanda pada
masa peralihan abad kesembilanbelas - abad keduapuluh. Bila De Stille Kracht menampilkan anak residen –Theo yang berdarah Indo dari ibunya– yang
meniduri ibu tirinya, Bumi Manusia menghadirkan Robert Mellema pemuda Indo yang tega memperkosa adik kandungnya. Pada bagian yang lain dalam
De Stille Kracht muncul Indo lain, yaitu Addy de Luce, pekerja yang tak gigih
15 dan malas sebagaimana Theo, sekaligus seorang playboy. Mengapa pandangan
miring terhadap kelompok Indo zaman Hindia Belanda bermunculan? Hunter dalam Clearing Space 2002 pernah menulis artikel berjudul “Indo as other,
identity, anxiety, and ambiguity in “Salah Asoehan”. Tulisan tersebut mengesankan bahwa bagi kelompok kolonisator, Indo adalah juga The Other.
Permasalahan ini menjadi hal yang menarik bila dibahas lebih lanjut. Bila De Stille Kracht atau DSK mengetengahkan tokoh wanita
Belanda, seorang istri Eropa, yang berselingkuh dengan beberapa pria, seorang wanita yang citranya tidak jauh berbeda dengan nyai dalam Goenoeng Djati
maka Bumi Manusia atau BM menampilkan seorang Nyai yang mencoba menjadi wanita terhormat dalam kemampuan dan keterbatasannya. Memang
menarik melihat tokoh Nyai dalam Bumi Manusia BM. Sebagai seorang nyai, Nyai Ontosoroh tampil sebagai perempuan yang cerdas dan mandiri. Ia
menjadi bukti bahwa wanita pribumi bukanlah wanita yang hanya memiliki daya tarik seksual dengan moral rendah. Pramoedya, menurut Koh 1996
berhasil memaparkan kekuatan citra wanita yang akan bangkit bila ditindas oleh ketidakadilan sistem penjajah.
Meskipun Nyai Ontosoroh adalah wanita kuat,
6
dia tetaplah tokoh wanita yang akhirnya dikalahkan oleh hukum pemerintahan kolonial. Hukum
yang berpihak pada kelompok penguasa non-pribumi. Keberanian dan
6
Dalam kajiannya Gerard Termorshuizen 1996 menyebut dia sebagai de mondige nyai nyai yang berani dan tangkas berbicara. Senada dengan Termorshuizen, Katrin Bandel 1996
menyebut Ontosoroh sebagai nyai yang tidak lemah dan tergantung pada laki-laki sebagaimana nyai Dasima.
16 perlawanan Nyai Ontosoroh untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya
akhirnya harus dikalahkan. Hal ini berangkat dari hukum Belanda yang menyatakan bahwa hubungan Nyai Ontosoroh dan Mellema adalah
perselingkuhan.Kekalahan yang justru mendudukkan hukum kolonial pada tempat yang tidak manusiawi. Dalam novel Pram tersebut Nyai Ontosoroh
mengungkapkan pada Annelies bahwa dia telah diakui secara sah sebagai anak bapaknya, tetapi harus kehilangan seorang ibu secara hukum BM: 98.
Koh 1996: 70-93 menulis bahwa lewat Minke dan watak-watak lain dalam tetralogi Bumi Manusia, gambarancitra pemberontakan, terutama
terhadap ketidakadilan kolonial, dapat ditemukan. Menurut Koh, Pramoedya ingin menyokong nasionalisme yang menolak kuasa penjajahan. Berkaitan
dengan pengertian wacana perlawanan resistensi, Lo dan Gilbert Budianta, 2002:62 menulis, jika dalam proses dekolonisasi terjadi pembalikan posisi
dan perlawanan, prosesnya menjadi tidak sederhana dan drastis; perlawanan kemudian didasarkan atas struktur ganda, seringkali bersikap kontradiktif,
tidak selalu mudah dipilah karena bersifat tidak lengkap, tidak selesai, ambigu, dan seringkali berkompromi dengan aparatus yang ingin dibongkarnya. BM
adalah novel yang mengungkap perlawanan bangsa Indonesia terhadap pihak kolonial Belanda.
Dengan melihat bahwa wacana kolonial maupun wacana perlawanan dapat bersifat ambigu sehingga menghasilkan banyak tanggapan maka
penelitian dilakukan terhadap dua novel yang boleh dikatakan berseberangan.
17 Bhabha 1994 mengungkapkan bahwa hubungan terjajah dan penjajah adalah
kompleks. Ketika terjajah dihadapkan pada pemahaman tentang kemurnian ras untuk si putih, dia mencoba mengidentifikasikan dengan dirinya. Dengan
menolak untuk sepakat dengan pendapat Fanon dalam Bhabha, 1997 bahwa hanya ada dua pilihan psikis bagi terjajah: menjadi putih atau menghilang,
Bhabha Ibid. mengajukan tiga konsep: kamuflase, mimikri, dan kulit hitamkedok putih. Karenanya, bagi Bhabha dalam tindak mimikri terkandung
resistensi terjajah; terjajah menjadi mirip ‘putih’ yang dilekati resistensi. Kedua novel, DSK karya Louis Couperus dan BM karya Pramoedya,
yang satu novel ditulis oleh anggota masyarakat penjajah dan satu lagi ditulis oleh anggota masyarakat terjajah. Satu novel menampilkan seorang Nyai, satu
novel menampilkan seorang “mevrouw” Nyonya Belanda. Kedua novel ini sama-sama melukiskan kehidupan keluarga Indo dalam kadar yang berbeda.
Istri terdahulu Van Oudijck atau ibu Theo dan Doddy adalah wanita Indo. Kedua novel juga menyebut tentang Islam selain masalah guna-guna di Jawa.
Kedua novel bersetting utama Jawa Timur: novel DSK ini bersetting Labuwangi, sebuah kota fiktif di Jawa Timur sedangkan BM mengambil
setting Wonokromo. Keduanya juga menyebut kota-kota lain, Batavia, Bogor. Keberadaan kedua novel tersebut menimbulkan ketertarikan penelitian:
bagaimana karya
sastra digunakan
oleh pihak-pihak
bertentangan PenjajahBarat dan TerjajahTimur merepresentasikan pengalaman kolonial
Hindia Belanda.
18 Tulisan ringkas terhadap kedua novel, semacam pendahuluan dari
penelitian ini, pernah saya kirimkan dalam Atavisme vol. 13, No.2, Desember 2010 dengan judul “Jejak Perlawanan dalam Novel Bumi Manusia dan De
Stille Kracht”.
7
Tulisan tersebut difokuskan pada perlawanan terjajah pada penjajahan yang muncul di dalam kedua novel dan mengaitkannya dengan
mimikri yang dilakukan Minke dan Ontosoroh. Mimikri dalam DSK tidak
disinggung, meskipun dalam novel tersebut juga muncul perlawanan lewat mimikri kamuflase. Bagaimana citra dan identitas kultural terbentuk dalam
masyarakat kolonial tidak dibahas dalam artikel itu. Tulisan di atas juga tidak memberi ruang pada pembahasan latar historis kedua novel, padahal salah satu
alasan meneliti kedua novel adalah kesamaan latar historisnya. Pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana tuntutan
identitas kawula kolonial ideal dipenuhi dalam kehidupan masyarakat kolonial Hindia Belanda, dan bagaimana sifat-sifat resistensi yang melekat dalam
tindak mimikri kolonial direpresentasikan dalam kedua novel. Sebelum membahas resistensi, latar historis kedua novel disajikan –hal yang tidak
disinggung dalam tulisan saya sebelumnya– kolonialHindia Belanda dan Indonesia. Kedua novel dibandingkan, dibahas dengan pendekatan
pascakolonial dan dengan melaksanakan analisis struktural naratif.
7
Untuk mendukung disertasi ini, saya menerjemahkan DSK ke dalam Bahasa Indonesia dan telah diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta dengan judul Kekuatan Diam 2011.
19