Said sebagai peletak dasar teori Pascakolonialisme

37 Orientalisme, kekuasaan Barat, khususnya kekuasaan untuk memasuki dan menguji budaya-budaya lain dengan sekehendak hati, memperbolehkan produksi sejumlah pengetahuan tentang budaya-budaya yang lain. Proses produksi pengetahuan yang dipengaruhi orientalisme berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama. Said mengatakan bahwa seorang orientalis memiliki tugas untuk mengukuhkan Timur di mata pembacanya dan tidak berminat menggoyangkan keyakinan yang sudah mantap. Timur tidak saja disesuaikan dengan kebutuhan moral Kristen Barat, tetapi Timur juga dibatasi oleh rangkaian sikap dan penilaian-penilaian yang mengarahkan Barat pertama-tama tidak kepada sumber Timur tetapi pada karya orientalis yang lain Ibid., hlm. 84-87. Dapat dimengerti bila akhirnya muncul kesimpulan bahwa paham orientalisme menghasilkan konsep yang stereotip. Timur kemudian diproduksi secara karakteristik dalam wacana para orientalis secara bervariasisebagai: voiceless, sensual, female, despotic, irrational and backward Moore-Gilbert, 1997:39. Pandangan bahwa Timur tidak mampu berpendapat dan harus diwakili oleh Barat, Timur sensual dan bagai wanita, Timur adalah tiran, irasional dan terbelakang menjadi konsep stereotip yang selalu dijaga keberadaannya dalam wacana kolonial.

1.6.3 Pascakolonialisme Homi Bhabha: Ambivalensi dan Ruang Liminal

Said meyakini bahwa gagasan orientalisme yang tertuang dalam wacana kolonial, dalam seperangkat pengetahuan, telah melanggengkan praktik 38 kolonialisme. Said mengesankan bahwa wacana kolonial semata-mata milik penjajah dan seragam, dan ini berbeda dengan pandangan Bhabha sebagaimana disimpulkan oleh Richard King, 1999. Young 2007 menambahkan, ‘He Bhabha showed how colonial discourse of whatever kind operation not only as an instrumental construction of knowledge but also according to the ambivalent protocols of fantasy and desire.’ Bagi Bhabha, wacana kolonial merupakan hasil dari proses hibridisasi yang dipicu oleh benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan pribumi. Wacana kolonialisme karenanya memiliki ketegangan mendalam yang mengakibatkan hubungan antara kolonisator dan yang terkoloni senantiasa ambivalen.Hal ini dapat diartikan bahwa wacana kolonial, yang awalnya bermula hanya dari paham orientalisme, berkembang dan bercampur dengan pengalaman Barat ketika berada di lokasi Timur. Wacana kolonial bergerak dinamis. Hibridisasi yang terjadi dalam wacana kolonial ini bisa kita lihat ketika bangsawan Jawa dapat menjadi bupati yang tunduk di bawah pemerintahan kolonial. Hibridisasi dalam wacana kolonial ini yang melahirkan pandangan Bhabha 1994 bahwa wacana kolonial tidak seragam dan bersifat labil. Hibridisasi dalam ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebut Bhabha sebagai ruang liminal, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang bak twilight zone. Ruang ketiga dinamakan oleh Bhabha sebagai hibriditas 39 yang membangun struktur baru otoritas dan melahirkan inisiatif politik baru sehingga hibriditas menjadi suatu situs perlawanan, suatu pembalikan strategi dari proses dominasi yang mengembalikan yang terdiskriminasi menjadi mata kekuasaan Sardar dan Van Loon, 1997. Memahami teori Homi Bhabha berarti harus memahami argumentasinya mengenai ambivalensi yang membayangi hubungan terjajah dan penjajah yang dibentuk oleh wacana kolonial. Artinya, ada hal-hal yang tidak stabil, kontradiktif, dan tidak identik dalam wacana kolonial. Timur dilihat sebagai yang indah sekaligus menakutkan, akrab, tetapi asing, atau cinta, tetapi benci, dalam misi peradaban terkandung kesiapan berperang dan membunuh. Sifat ambivalensi yang melekat pada wacana kolonial itu membuka pintu interupsi bagi subjek terkoloniterjajah. Sebagaimana wacana kolonial, wacana tandingan ini pun bersifat ambivalen. Muncul konsep memuja keunggulan budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya. Wacana tandingan atau wacana pascakolonial ini, disimpulkan J. Supriyono 2004, dalam pengertian tertentu secara konsisten berada dalam ruang ambang ketiga karena kutub-kutub retorika penjajahan di satu kutub dan karakter nasional atau rasial, terus menerus dipertanyakan dan dipermasalahkan. Interupsi terhadap wacana kolonial yang tidak labil harus ditanggapi dengan mengembalikan pemahaman bahwa keunggulan dan kebenaran tertinggi hanya dimiliki oleh mereka yang memegang identitas “PutihBarat.” 40 Mereka mengusahakan kembali kepemimpinan moral dan intelektual. Pihak kolonial melemparkan seruan-seruan budaya tentang keunggulan mereka dan kekurangan masyarakat terjajah; tidak jarang cara ini juga dilakukan pihak kolonial dengan melakukan pengejekan atau mockery terhadap terjajah.Walace 1998 memberi stigma bahwa orang pribumi malas, gemar berhutangkredit bahkan gemar menghirup opium. “Citra Superioritas” sebagaimana “citra inferioritas” menjadi bagian dari konsep “fixity” wacana kolonial. Untuk memperkuat wacana kolonial yang menguntungkan kedudukan pihak penjajah maka mereka melakukan seruan-seruan tentang keunggulan budaya mereka secara berulang. Bhabha Ibid. melemparkan konsep “fixity”tentang citra keunggulan dan superioritas mereka. Fixity diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis dan kultural dalam wacana kolonial. Penjajah mengorasikan kemurnian ras Putih, asal usulnya, keunggulan budayanya dan sebagai akibatnya Terjajah menyadari ketidakmurnian rasnya. Pikiran terjajah dipaksa memasuki situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha membentuk identitas mereka mengikuti “citra superioritas” Bhabha, 1994: 82. 11 Citra atau image yang dilontarkan menandai ambivalensi dari identifikasi karena citra itu sendiri representasinya selalu terpisah secara spasial Bhabha, 1994: 51. Artinya apa yang digambarkandiidealkan dalam 11 Bhabha mengutip Fanon Black Skin White Mask tentang wacana rasis terhadap negro yang goblok, jelek, seekor binatang...