203
3.3.2 Keluarga Indo, Citra Verindisching, dan Hibridisasi
Dalam kedua novel DSK maupun BM ditampilkan keluarga Indo yang makmur hidupnya: satu keluarga bergerak dalam bisnis gula dan
berdarah bangsawan Solo dari pihak wanita, satu keluarga bergerak dalam peternakan sapi perah dan pihak wanita adalah anak seorang pekerja
administrasi perkebunan tebu. Wanita bangsawan janda de Luce, DSK bukanlah wanita yang dijual oleh ayahnya karena posisi dan uang, sedangkan
wanita yang lain Nyai Ontosoroh, BM telah ditukar dengan posisi kasir oleh ayahnya. Sanikem, nama gadis wanita itu telah menikah dengan kepala
administratur karena posisi kasir yang diimpikan ayahnya.
10
1 Citra Verindisching : Kemerosotan gaya hidup ala Eropa
Meski memiliki kisah yang berbeda, kedua keluarga Indo tetap kurang disukai oleh orang Eropa. Mereka dianggap mencemari kemurnian ras Eropa,
juga merusak kebiasaan orang Eropa. Kemerosotan gaya hidup mereka diistilah-populerkan verindischen. Bagi Eropa percampuran Eropa dan
pribumi dalam pernikahan bukanlah hal yang disukai. Percampuran itu terasa menodai kemurnian identitas Eropa. Bahasa Belanda akan berganti menjadi
bahasa pecok; bahasa Belanda yang bercampur dengan bahasa pribumi.
10
Nieuwenhuys telah mengumpulkan foto-foto orang-orang Belanda, juga keluarga Indo, di Hindia Belanda dalam buku Komen en Blijven, Tempo Doeloe─een verzonken wereld,
Fotografische documenten uit het oude Indië 1870-1920 1998.
204 Ada alasan utama Van Oudijck menolak Addy de Luce. Dia
menginginkan menantu yang berdarah Eropa tulen bagi anak perempuannya. Terlebih lagi dia tidak menyukai keluarga De Luce yang merosot cara
hidupnya dari cara hidup Eropa. In zijn dochter was ook wel Indies bloed, maar hij wilde een
volbloed Europeaan voor schoonzoon. Hij haatte al wat halfras was. Hij haatte de de Luces, en al de verbinnenlandste, Indische, quasi-Solo
tradisi van hun Patjaram. {...} Hij haatte alle manieren van oude Indische familie, en hij haate Addy: een jonge, zogenaamde employe,
maar die niets uitvoerde, dan nalopen al wat vrouw, meisje, meid was. DSK: 198
Dalam diri anaknya memang ada darah Indis, tapi dia ingin orang Eropa tulen sebagai menantu laki-laki. Dia membenci suku campuran.
Dia membenci de Luce dan semua hal pedalaman, Indis, tradisi Solo dari Pacaram. {...} Dia membenci semua cara Indis kuno, dan dia
membenci Addy de Luce : anak muda pegawai perusahaan, tetapi tak melakukan apapun selain bersenang-senang dengan semua wanita,
gadis, pelayan wanita, KD: 203
Sebagai gadis yang digambarkan sangat cantik, Annelies tak
diinginkan oleh Robert Suurhoof karena darah pribumi dalam dirinya BM.
Padahal, Suurhof sendiri adalah pemuda Indo. “Mengapa tak kau ambil semua untuk dirimu sendiri? Santapan
pagi dan dewi itu? “Aku? Ha-ha. Untukku – hanya dewi berdarah Eropa tulen” Jadi
dewi yang akan kami kunjungi adalah gadis Indo, Peranakan, Indisch. Robert Suurhof – sekali lagi kuperingatkan : yang kupergunakan
bukan nama sebenarnya – juga Indo. Waktu mamanya, seorang wanita Indo juga, hendak melahirkan, ayahnya, juga Indo, membawanya ke
Tanjung Perak, naik ke atas kapal Van Heemskerck yang sedang berlabuh, melahirkan ke sana, ia bukan hanya kawula Belanda, tetapi
mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Begitulah sangkanya, tapi belakangan aku tahu lahir di atas kapal Hindia Belanda tidak
membawa akibat apa-apa. BM: 9.
Kelarga Mellema maupun De Luce adalah keluarga yang sukses secara
205 material. Dalam jamuan makan mereka, selalu berdiri beberapa pembantu
yang siap dipanggil. Keluarga De Luce awalnya adalah pemilik penggilingan tebu yang sukses. Mereka pernah hidup dalam kejayaan dan bergelimangan
harta. Ferdinand de Luce adalah bangsawan Perancis dari Mauritius yang menikahi putri dari kerabat keraton Solo karena dia telah mengesankan
keluarga keraton Solo dengan keahliannya memasak hidangan cabe isi. Het huis, gebouwd aan de fabriek, in de maal-tijd dreunende van het
machine-gedruis – het stoomboot-schroefgeluid – was ruim en met den oude, ouderwetse meubels gemeubeleerd: de lage houten bedden met
vier gesculpteerde klamboe stijlen, de tafels met dikke poten , de wipstoelen met bizonder ronde ruggen, – alles zoals men het niet meer
zou kunnen kopen, alles zonder een moderne tint, behalve –het elektrische licht in de voorgalerij DSK: 77-78
Rumah yang dibangun sangat dekat pada pabrik dan pada waktu penggilingan dipenuhi suara deru mesin itu –bunyi bolang-baling
kapal– luas dan diisi dengan perabot-perabot tua yang kuno, ranjang kayu rendah dengan empat tiang kelambu yang diukir, meja berkaki
tebal, kursi goyang dengan sandaran yang sangat bundar. Semua perabot ini tak dapat dibeli lagi dan tanpa rasa kemodernan kecuali
lampu listrik di serambi depan, itupun hanya selama penggilingan, KD: 82
Meski tidak lagi sekaya saat Ferdinand de Luce hidup, keluarga itu masih dikelilingi banyak pembantu. Bila anggota keluarga ini menonton
balapan di Ngajiwa, tiap nyonya akan keluar dengan diiringi seorang babu. Keluarga ini juga sering menerima tamu, terbuka bagi siapa pun; kamar inap
banyak tersedia. Sepanjang hari minuman dingin, kue-kue, rujak disajikan oleh tiga orang pembantu yang dikhususkan untuk hal tersebut DSK: 77.
Keadaan ini memberi gambaran bahwa usahawan, pemilik penggilingan tebu
206 Hindia Belanda yang sukses memiliki gaya hidup mewah.
Ruang tanpa isi tidak memiliki makna. Kegiatan, barang-barang yang mengisi ruang menghadirkan makna tersendiri. Ruang makan dalam rumah
keluarga De Luce adalah ruang yang diisi makna kemewahan dan gengsi. Tradisi makan di keluarga De Luce di Pacaram ini lebih mewah daripada acara
makan di rumah residen, bila dilihat dari jumlah hidangan yang disajikan. Keluarga ini hidup dalam tradisi Indis lama yang penuh dengan kemewahan:
rumah besar dengan banyak pembantu atau pelayan. Istri Ferdinand de Luce, ayah Addy, yang disapa dengan Raden Ayu Pangeran sekarang sudah tua dan
hidup dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Pabrik gula telah surut cahayanya, namun keluarga itu masih mencoba mempertahankan tradisi keluarga Indo
yang sekarang sudah mulai pudar akibat pergaulan berfrekuensi tinggi dengan Eropa. Hidup mereka masih dikelilingi para pelayan dan kemewahan
makanan. Lewat narator, atau fokalisator eksternal pembaca mengetahuinya. Hier was het nog, dat de rei der schotels aan de rijsttafel geen einde
nam; dat een lange rei bedienden ─de een na de ander ─ weêr een andere sajoer, weêr een andere lodèh, weêr een andere ajam plechtig
ronddiende, terwijl, achter de dames gehurkt, de baboe’s in een aarden tjobè sambal wreven naar de verschillende smaken en eisen der
verwende verhemeltetjes. Hier was het nog de gewoonte, dat, als de familie de races bijwoonde te Ngajiwa, elk der dames verscheen met
een baboe achter zich, langzaam, lenig, plechtig; de ene baboe met een bedak-potje, de andere met een pepermunt-bonbonniere ─ een
binocle, een waaier ─ een flacon, als een hofstoet met rijks- insigniën. DSK: 77
Di sini pun hidangan di meja makan masih tersaji tiada putus- putusnya; barisan panjang para pembantu bergiliran membawakan
dengan khidmatnya sayur lain dan lodeh yang lain lagi. Ada juga yang