Fixity” dan Interupsi : Konflik Barat dan Timur
232 pengetahuan yang tidak dimiliki oleh siswa HBS lainnya. Minke yang
mendapatkan informasi tentang teori asosiasi Snouck Hurgronje dari Miriam de la Croix menanyakannya dalam forum diskusi sekolah. Ternyata tidak ada
siswa maupun guru yang dapat menjawabnya. Ketika guru Magda Peters meminta penjelasan Minke, diskusi diberhentikan oleh direktur sekolah. Teori
asosiasi bukan pokok bahasan yang diperbolehkan dibicarakan di sekolah. Hal ini menggambarkan bahwa akses berbahasa Belanda yang dimiliki Minke telah
dipergunakannya semaksimal mungkin. Dia seperti meteor yang melesat melebihi siswa Eropa tulen.
Sikap Barat yang terancam melihat kemnajuan pribumi terekspresikan pada kebekuan wacana kolonial yang dikonstruksi seputar perbedaan tingkat
ras. Ketika tulisan Minke, dalam nama pena Max Tollenaar, dibahas dan dipuji, komentar tentang ras atau kejawaannya diungkit.
“Dia, Juffrouw,” Suurhof meneruskan,” Indo pun bukan. Dia lebih rendah daripada Indo yang tidak diakui ayahnya. Dia seorang Inlander,
seorang Pribumi yang menyelundup di sela- sela peradaban Eropa.” BM,
237. Bahkan,
strategi peniruan
masyarakat pribumi
juga dapat
membahayakan kekuasaan kolonial. Batas antara penjajah dan terjajah menjadi kabur, remang-remang. Hal ini terjadi karena manusia mimikri berada dalam
satu ruang dengan manusia yang ditiru. Proses meniru digunakan sebagai strategi untuk melakukan perlawanan atas kolonialisme. Peniruan ini akan
menggerogoti wacana kolonial yang labil dan menjadikannya limbung. Si cacat ras yang mudah diserang kini menyamarkan diri atau bahkan
233 menghilangkan kekurangannya. Kondisi ini menggelisahkan otoritas penjajah
karena mereka merasakan kehadiran “sang pelawan” yang tidak terlihat nyata. Ancaman itu serupa kekuatan yang tak terlihat, namun dapat dirasakan;
kekuatan itu semacam kawah di bawah gunung berapi yang bahayanya kurang disadari oleh penduduk di sekitarnya DSK .
Negara terkoloni, misal India dan Indonesia, memiliki ahli-ahli Indologi yang dididik khusus untuk mengurus pemerintahan di negara jajahan. Mereka
memiliki pengetahuan tentang studi-studi Timur. Di Surakarta, 1832, pernah didirikan institut bahasa Jawa Het Instituut voor de Javaansche Taal yang
sebagian besar muridnya adalah para pegawai yunior Belanda; meskipun institut ini akhirnya tutup, pengajaran bahasa dan budaya Jawa untuk para
pegawai kolonial masih berlangsung di Delft hingga tahun 1900 Margana, 2004. Dengan studi semacam itu
─termasuk penerbitan kamus dan tatabahasa Jawa
─ Belanda telah ikut mengontrol perkembangan bahasa Jawa. Menurut Inden dalam King, 2001; 175-179 wacana indologis berfungsi utuk memotret
pemikiran, institusi dan praktik bangsa India baca Timur, penulis sebagai penyimpangan dari pola perilaku yang normatif Barat; hal ini menjadikan
bangsa tersebut tunduk pada pengetahuan superior Barat. Kondisi yang dijejalkan dan diserukan secara terus menerus oleh pihak
Belanda tentang kualitas mereka dan kritik terhadap pribumi memicu mimikri. Manusia tidak selamanya rela berada di bawah. Kedua novel menunjukkan
bahwa proses mimikri ini dilakukan tidak hanya oleh pribumi, tetapi juga
234 dilakukan oleh golongan Indo. Tokoh Ida van Helderen, seorang gadis Indo,
selalu mencoba bertingkah laku layaknya Eropa tulen. Dia berusaha berbicara Belanda dengan rapi dan berpura-pura bahwa bahasa Melayunya jelek. Jamuan
nasi dan rujak juga tak disenanginya DSK: 56; KD: 57. Hal ini bisa dipahami karena Indo di Hindia Belanda sering ditempatkan dalam posisi di bawah ras
Eropa; Indo adalah half-ras. Sampai dengan paruh kedua abad ke- sembilanbelas mereka yang berdarah campuran memiliki status „paria‟,
meskipun marak hubungan antarrasial dan pergundikan antara orang Eropa dan pribumi, bahkan juga dilakukan oleh pejabat tinggi Van der Ver, 1968.
Dua tokoh Indo, Robert Suurhof dan Robert Mellema selalu mengidentifikasikan dirinya dengan Belanda. Sebisa mungkin mereka
bertingkah seperti orang Belanda, dan selalu berusaha mengingkari darah pribuminya. Suurhof yang jatuh cinta pada Annelies selalu mengingkari
keinginan memperistrinya karena citra gadis Eropa tulen yang lebih baik daripada gadis Indo. Robert Mellema selalu mengutuk darah pribumi dalam
dirinya, tetapi dengan kegilaan bapaknya dia gagal beridentifikasi. Dia tidak sekolah lagi, dia tidak menjadi pribadi yang bekerja keras. Kerja keras selalu
diserukan sebagai predikat yang melekat pada orang Eropa dan pemalas bagi orang Jawa. Robert menjadi sosok yang limbung dengan identitas dirinya.
Dalam masyarakat kolonial yang dikuasai Barat, standarisasi yang ditentukan oleh mereka menduduki status hegemoni tertinggi. Orang Eropa
berada dalam tingkatan tertinggi dalam kehidupan masyarakat kolonial karena
235 mereka memegang kekuasasaan tertinggi dalam pemerintahan kolonial.
Dengan wacana berupa kaidah-kaidah dan sistem pengetahuan, mereka mengonstruksi identitas masyarakat kolonial. Karenanya, tercipta citra totalitas
mengenai masyarakat kolonial yang ideal, citra masyarakat menuju peradaban civilisation. Program peradaban dilakukan pemerintah Hindia Belanda
dengan menggabungkan bangunan masyarakat yang mereka ciptakan dengan tatanan masyarakat yang ada sebelumnya masyarakat prakolonial. Pemerintah
Hindia Belanda telah mengundang para bangsawan, mereka adalah kelompok penguasa dalam tatanan masyarakat prakolonial, untuk memperoleh pendidikan
sekolah dan kemudian menjadi bupati. Kakak Minke adalah salah satu darinya; dia
bersekolah di
S.I.B.A. School
voor Inlandsche
Bestuur AmbtenarenSekolah Calon Pejabat Pangreh Praja Pribumi BM, 149-140 dan
siap mewarisi jabatan bupati dari ayah mereka. Para bupati adalah tangan kanan pemerintahan Belanda. Mereka harus
patuh sebagai pegawai pemerintahan Belanda, patuh pada nilai-nilai dan aturan yang ditetapkan pemerintah kolonial Belanda. Kondisi ini yang diinginkan
pemerintah kolonial: Putih adalah struktur atas dan Hitam adalah struktur bawah pemerintahan. Tanpa pimpinan orang Belanda, pribumi tidak akan dapat
maju dan mencapai peradaban modern, demikian seruan-seruan yang dilontarkan oleh para orientalis.
“Atau memang begitu macam latihan bagi calon ambtenar? Menggerayangi urusan orang lain dan melanggar hak siapa saja? Atau
kau tak diajar peradaban baru? Peradaban modern? Mau jadi raja yang bisa bikin semau sendiri, raja-raja nenek-
moyangmu?”
236 Kesebalan dan kemarahanku tertumpah-tumpah sudah BM, 139-
140. Mink,e si manusia mimikri sudah terpengaruh cita-cita peradaban Barat.
Tidak seperti kakaknya, Minke tidak pernah bercita-cita menjadi bupati maupun pejabat B.B. Dia yang mampu bersekolah hingga HBS, sekolah yang
sebenarnya diperuntukkan bagi orang Eropa, akan dengan mudah menjadi bupati. Dia juga lancar berbahasa Belanda, tidak seperti kakaknya. Dia juga
menganggap dirinya telah diajari peradaban baru, peradaban modern, yaitu menghormati privasi orang lain. Manusia semacam dia yang akan dapat
menjadi ancaman dan bahaya bagi pemerintah kolonial. Harapan tinggi memang dibebankan pada orang-orang macam Minke.
Mereka akan menjadi penyambung lidah, perpanjangan tangan kekuasaan Belanda dalam memerintah rakyat jelata.
“Minke kalau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap orang Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin
kelak kau bisa jadi orang penting. Kau bisa jadi pemuka, perintis, contoh bangsamu. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu : bangsamu
sudah begitu rendah dan hina.” BM: 162. Minke yang menyukai kata peradaban modern semestinya bangga
dengan pujian Asisten Residen Herbert de Croix. Dia yang dipandang orang Eropa sebagai pribadi yang berhasil bermimikri justru merasakan sakit hati.
Ada sisi Minke lain yang muncul :”Setiap kali ujud Jawa disakiti orang luar, perasaanku ikut tersakiti. Aku merasa sepenuhnya Jawa. Pada waktu
ketidaktahuan dan kebodohan Jawa disinggung, aku merasa sebagai orang Eropa.”BM :162. Minke mengalami kegoncangan identitas. Ketika dia
237 merasakan nyaman dalam lingkungan Eropa, segala berlangsung sebagaimana
diharapkan oleh penguasa. Sebaliknya, bila kenyamanannya sebagai pribumi terganggu dan tertindas, dia akan menjadi seorang penentang.
Rasionalitas dan Takhayul : Tegangan menuju peradaban modern
Van Oudijck merasa tidak sreg dengan Soenario karena kepercayaannya pada takhayul. Sebagai orang yang merasa dirinya seorang rasional dan praktis,
dia terganggu dengan perilaku Soenario. Berhadapan dengannya Van Oudijck tidak merasakan kenyamanan, seakan dia berhadapan dengan misteri. Selalu
ada teka-teki yang harus dipecahkannya karena dia tidak bisa mengharapkan jawaban yang transparan dari Soenario. Pribumi macam Soenario dan juga
adi knya adalah sosok yang sulit diajak mengikuti arah “peradaban Eropa”
karena tidak sejalan dengan pola pikir residen yang transparan, taktis, dan praktis.
Bupati Ngajiwa adalah pejabat yang tidak dapat dikendalikan. Dalam setiap pertemuan dia mengurus agar bisa berjudi. Ketika berlangsung pesta
balapan yang rutin dilakukan di daerahnya dia juga berjudi. Sesudah kalah berjudi, dia meminum semua anggur yang lewat pada pesta para pekerja
perkebunan di Ngajiwa. Sewaktu Van Oudijck menyapanya, setelah dia diminta tolong oleh patih untuk meredakan bupati Ngajiwa, dia malahan dicaci
maki oleh bupati DSK: 114-116. Bahkan keesokan harinya ketika residen dan kontrolir mengunjungi bupati di kediamannya, dia diam membisu dengan
238 muka masam. Dari istrinya diketahui bahwa dia harus membisu sesuai perintah
dukun. Dengan cara tersebut dia akan aman dari para musuhnya. Dengan berlindung di belakang perintah dukun, Bupati Ngajiwa telah melakukan
perlawanan terhadap Van Oudijck. Bupati Ngajiwa dan Soenario adalah dua sosok yang melawan
rasionalitas Van Oudijck. Mereka mengakui ada kekuatan lain yang tidak nampak, kekuatan yang dipandang oleh Barat sebagai tidak rasional. Mereka
mengandalkan kekuatan tersebut di atas rasionalitas, demikian menurut residen DSK: 54. Karenanya, penduduk Labuwangi membanggakan kesaktian
Soenario dan bersedia membeli air bekas mandi Soenario yang diyakini berkhasiat menyembuhkan penyakit. Bupati Ngajiwa mempercayai dukun yang
mampu memanggil kekuatan yang melindungi dirinya dari para musuhnya. Minke adalah hasil didikan sekolah Belanda; dia sosok yang berbeda
dengan Soenario. Dia mengedepankan, bahkan menuntut rasionalitas. Ia pernah mengritik pendidik Belanda karena kadangkala mereka bertindak tidak
transparan dan juga tidak rasional. Apa yang telah mereka ajarkan dalam kelas tentang kemuliaan, kejujuran, ketidakadilan, kebenaran tidak selalu diterapkan.
Ketika melihat Minke maju dalam tulisan, mengetahui bahwa dia telah mengritik ketidakadilan, mereka bersikap menjauh. Dukungan pada Minke
tidak terlihat, kecuali dari Magda Peters. Mereka melihat Minke sebagai sosok yang berbahaya. Kisah ini mengingatkan kita pada kasus Mas Marco dan
kawan-kawan.
239 Seharusnya orang-orang seperti Minke adalah pribumi yang dapat
diharapkan menjadi pendukung tujuan mulia sipilisasi. Namun, orang Eropa sendiri beragam; mereka tidaklah satu pandangan. Mimikri dijaga oleh orang
Eropa ─setidaknya pemerintah kolonial─ agar tidak melebihi batas rasa terima
kasih. Bukan pada lazimnya seorang pribumi mengritik pemerintahan, mengritik Eropa. Pribumi harus berterima kasih karena boleh ikut maju, boleh
ikut bersekolah; pribumi harus menjadi patuh sebagai ungkapan rasa terima kasih. Ibaratnya mereka adalah kere munggah mbale. Dalam bahasa Belanda
ada ungkapan wiens brood men eet, diens woord men spreekt yang berarti orang harus patuh pada mereka yang memberi rejeki. Pemerintah kolonial
adalah pengurus rejeki bagi rakyat Hindia Belanda.