Pascakolonialisme : Wacana kolonial dan Wacana Pascakolonial

32 efek-efek kolonialisme dalam sastra, juga mengacu pada posisi penulis pascakolonial sebagai pribadi suara naratifnya. Kritik pascakolonial bergerak pada pembacaan teks-teks kolonial dan pascakolonial. Teks kolonial atau teks orientalis atau wacana kolonial yang dapat dijadikan objek penelitian meliputi banyak bidang, misalnya, hukum, karya seni, sejarah, dan karya sastra. Theo D’haen 2002: 12-13, profesor sastra dari universitas Leuven Belgia, mengatakan bahwa pada awalnya sastra kolonial ditulis oleh penulis tanah pertiwi kolonial dan dalam bahasa ibu mereka, dengan mata Eropa mereka melihat koloni dari pusat kekuasaan ke wilayah terjajah. Sastra pascakolonial, umumnya muncul sesudah kemerdekaan −D’haen menambahkan tidak harus demikian− dan ditulis oleh pihak mantan terjajah dalam bahasa mantan penjajah; sastra tersebut melihat dari wilayah terjajah ke pusat kekuasaan koloni dulu, yang secara de facto sering masih ada dan lingkungan sendiri. 9 Dalam sejarah sastra Indonesia, hanya segelintir sastrawan Indonesia yang menerbitkan karyanya dalam bahasa Belanda, misal Suwarsih Djojopuspito atau Kartini. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Belanda mengenai bahasa Melayu. Dalam pendekatan pascakolonial, kedua jenis karya sastra tersebut di atas dapat dibaca dengan teori pascakononial. Bagaimana kedua novel melihat 9 Isi kutipan seluruhnya : “Postkoloniale literatuur’ dateert overwegend, hoewel niet noodzakelijk, van na de onafhankelijkheid van een kolonie en is geschreven door ex- gekoloniseerden, in de taal van de ex- kolonisator. Ze kijkt vanuit de ex- koloniale periferie naar het vroegere –en vaak de facto ook nog huidige machtscentrum, en naar de eigen omgeving”D’haen 2002: 12-13. 33 hegemoni kolonial dan perlawanannya, bagaimana novel kolonial mengonstruksi Timurdan bagaimana novel pascakolonial membalas konstruksi tersebut.Sebagaimana dikemukakan oleh Day dan Foulcher 2002 di atas, pascakolonialisme adalah strategi pembacaan yang membantu identifikasi sifat-sifat kolonialisme dalam teks sastra. Beberapa penelitian terhadap kedua jenis karya sastra, misalnya dilakukan oleh Faruk 2007. Faruk meneliti sastra kolonial yang diterjemahkan dan diedarkan pada masa kolonialisme Hindia Belanda, The Count of Monte Cristo, Robinson Crusoe dan menyandingkan Max Havelaar, baik dengan Hikayat Kadiroen maupun Siti Nurbaya dan menemukan alusi- alusi pada sastra Indonesia terhadap Max Havelaar. Faruk menilai Max Havelaar bersikukuh bahwa intervensi pemerintah Belanda akan menyelesaikan penindasan dan kemiskinan di Jawa, Hikayat Kadiroen melihat bahwa kemerdekaan dan kekuatan rakyat Indonesia yang mampu menuntaskannya. Pembahasan serupa, yang berbicara tentang kedua jenis sastra, juga dilakukan oleh O’Reilly dalam Postcolonial Literature 2007 atau dikumpulkan oleh Theo D’haen 2002 sebagai editor dalam Europa Buitengaats, Koloniale en postkoloniale literaturen in Europese talen Jilid 1 dan Jilid 2. Novel-novel seperti Heart of Darkness Joseph Conrad, Robinson Crusoe Daniel Defoe, 1719, Passage to India E.M. Foster yang membicarakan tokoh ‘White’ and ‘Black’ dan relasi mereka termuat dalam 34 pembahasan O’Reilly. Pembahasan novel-novel berikut juga dapat dilihat pada buku D’haen: The Tempest W. Shakespeare, 1611, Kim dan Jungle Books Rudyard Kipling, Jane Eyre Charlotte Bronte, 1847, Midnight’s Children Salman Rushdie, 1981. Buku D’haen berisi pembahasan karya sastra dari negara-negara bekas penjajah dan terjajah, mulai dari Hindia Belanda, 10 Antillia Belanda, Suriname, Perancis, Karibia, Haiti, Kongo Belgia, Canada, Brasil, Portugis, Inggris, India, dan lain-lain.

1.6.2 Said sebagai peletak dasar teori Pascakolonialisme

Menyebut pascakolonialisme berarti menyadari adanya pengertian kolonialisme di dalamnya. Kolonialisme dapat disimpulkan sebagai penaklukan dan penguasaan pendudukan atas tanah dan harta penduduk, dan segala tindakan untuk mewujudkan dan mempertahankannya seperti pemaksaan, perbudakan, penindasan penduduk, pemaksaan bahasa dan penggantian budaya hingga memunculkan kompleks inferioritas dalam diri masyarakat terjajah lewat perbedaan warna kulit dan budaya. Meskipun begitu, kolonialisme dapat bertahan selama ratusan tahun, sebagaimana halnya di Indonesia yang berlangsung ratusan tahun. 10 Europa buitengaats,Koloniale en postkoloniale literaturen in Europese talen, sesuai judul bukunya ‘Meninggalkan Eropa, Sastra Kolonial dan Pascakolonial dalam Bahasa-bahasa Eropa’, pembicaraan sastra Indonesia hanya sedikit, sekali lagi misalnya, buku Soewarsih Djojopuspito, Buiten het gareel 1940. Pemerintah kolonial Belanda tidak menerapkan kewajiban penggunaan bahasa Belanda untuk pribumi sebagaimana Inggris atau Perancis. 35 Kolonialisme dapat bertahan lama karena dalam praktiknya kolonialisme dapat dihubungkan dengan konsep hegemoni, pengaruh besar atau kuasa atas yang lain, suatu bentuk kepemimpinan. Konsep hegemoni, menurut Said 1979: 6-7 menilai ideologi sebagai medium yang dapat dipakai untuk menyampaikan gagasan tertentu sehingga gagasan tersebut dipercaya kebenarannya lihat juga Loomba, 2005: 30-31. Hegemoni tersebut memberi daya tahan bagi kolonialisme, disamping adanya pemikiranilmu tentang Timur atau gagasan orientalisme yang terus mendampingi kolonialisme. Said yang telah meneliti teks-teks yang berbicara tentang Timur menarik benang merah bahwa kolonialisme berkaitan erat dengan orientalisme, dengan pemahaman dan pengetahuan tentang Orient atau Timur; gagasan tentang Timur seperti yang disusun oleh para orientalis telah ikut menjaga kelangsungan kolonialisme beratus tahun. Orientalisme adalah suatu cara untuk memahami Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa, suatu cara orang Eropa memahami dunia Timur berdasarkan pengalaman mereka. Timur bagi mereka adalah dekat karena merupakan tempat koloni; Timur bahkan telah membantu mereka mendefinisikan Barat yang dipahami berbeda dengannya. Barat memiliki idea, imaji, kepribadian yang berlawanan dengan diri mereka. Misalnya, pandangan tentang orang Arab; orang Arab dinilai sebagai pribadi yang mudah dikecoh, perpura-pura, licik, tidak penyayang binatang. Dalam tulisan di koran Hindia Belanda, jurnalis Karel Wybrands 36 menyetujui aksi punale terhadap orang Jawa; mereka memang perlu dipukul agar rajin bekerja karena mereka orang-orang yang malas Termorshuizen, 2011. Dengan menggugat wacana Timur sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan yang mempunyai landasan ideologisdan kepentingan- kepentingan kolonial, Said dipandang sebagai peletak dasar teori pascakolonial. Orientalisme pada akhirnya harus dilihat sebagai sebuah wacana, yaitu serangkaian gambaran dan tindakan yang membentuk satu realitas yang dianggap benar, obyektif mengenai Timur; suatu pandangan yang akan memberikan kekuatan dan ketahanan pada orientalisme. Realitas Timur adalah berbeda dengan realitas Barat: kebiasaannya, warna kulitnya, budayanya. Timur adalah tempat penuh romansa dengan makhluknya yang eksotik, kenangan dan pengalaman yang indah. Timur harus dipahami memiliki keterbatasan dan kelemahan sehingga membutuhkan kekuatan dan pengetahuan Barat. Dalam pandangan orientalisme, Timur siap untuk diatur kembali, diperintah, dikuasai, direkonstruksi. Orientalisme difokuskan pada apa yang disebut colonial discourse, wacana kolonial, yaitu macam bentuk-bentuk tekstual dalam mana Barat memproduksi dan menyusun pengetahuan tentang budaya-budaya dan area- area non metropolitan, khususnya yang berada dibawah kontrol kolonial Said, 1979. Satu dari wawasan Foucault yang penting mengenai proyek Said adalah implikasi mutual dari kekuasaan dan pengetahuan. Dalam konteks 37 Orientalisme, kekuasaan Barat, khususnya kekuasaan untuk memasuki dan menguji budaya-budaya lain dengan sekehendak hati, memperbolehkan produksi sejumlah pengetahuan tentang budaya-budaya yang lain. Proses produksi pengetahuan yang dipengaruhi orientalisme berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama. Said mengatakan bahwa seorang orientalis memiliki tugas untuk mengukuhkan Timur di mata pembacanya dan tidak berminat menggoyangkan keyakinan yang sudah mantap. Timur tidak saja disesuaikan dengan kebutuhan moral Kristen Barat, tetapi Timur juga dibatasi oleh rangkaian sikap dan penilaian-penilaian yang mengarahkan Barat pertama-tama tidak kepada sumber Timur tetapi pada karya orientalis yang lain Ibid., hlm. 84-87. Dapat dimengerti bila akhirnya muncul kesimpulan bahwa paham orientalisme menghasilkan konsep yang stereotip. Timur kemudian diproduksi secara karakteristik dalam wacana para orientalis secara bervariasisebagai: voiceless, sensual, female, despotic, irrational and backward Moore-Gilbert, 1997:39. Pandangan bahwa Timur tidak mampu berpendapat dan harus diwakili oleh Barat, Timur sensual dan bagai wanita, Timur adalah tiran, irasional dan terbelakang menjadi konsep stereotip yang selalu dijaga keberadaannya dalam wacana kolonial.

1.6.3 Pascakolonialisme Homi Bhabha: Ambivalensi dan Ruang Liminal

Said meyakini bahwa gagasan orientalisme yang tertuang dalam wacana kolonial, dalam seperangkat pengetahuan, telah melanggengkan praktik