Pengantar MIMIKRI dan RESISTENSI

223 bahwa kemampuannya tidak kalah dengan kemampuan yang ditiru. Daya kompetisinya menjadi senjata untuk bertahan bahkan untuk menyerang. Dengan sifat wacana kolonial yang labil, setiap saat Barat perlu mengulang- ulang seruan budaya yang mempromosikan tujuan memperadabkan Timur sekaligus menyerang cacat ras yang dimilikinya; Timur selalu dibandingkan dengan Barat yang memiliki kemurnian ras. Perulangan ini diharapkan menciptakan stereotip dan keyakinan yang dipegang pribumi seperti mereka memegang „jimat‟. Namun, kelabilan wacana kolonial tidak bisa diingkari sehingga muncullah sifat ambivalensi dalam mimikri, efek kamuflase dalam mimikri dan juga unsur perlawananresistensi dalam mimikri. Menurut Moore-Gilbert 1997: 130-140, ada dua bentuk resistensi: transitif dan intransitif. Resistensi intransitif adalah ambivalensi dari otoritas kolonial adalah robekan antar aimajiner otoritaskolonial danperforma pengalaman kolonial; resistensi ini merupakan bagian dari perubahan- perubahan pada semua bahasa yang pada hakikatnya tak bebas, khususnya melalui proses-proses repetisi dan translasi. Dalam kesimpulan saya resistensi transitif ini muncul dari sifat wacana kolonial sendiri yang mengandung dan mengundang. Semakin liar atau agresif wacana kolonial itu maka sifat inisiasi perlawanannya semakin tinggi . Bentuk resistensi intransitif membuka peluang bagi resistensi transitif danoleh Moore Gilbert Ibid., bentuk resistensi yang dikemukakan Bhabha dimasukkan ke dalam resistensi transitif. Resistensi yang terbentuk dalam 224 undangan pemulihan agensi penduduk asli tersebut muncul dalam dua cara. Pertama, resistensi oleh pribumi yang memenuhi panggilan peradabansivilisasi. Kedua, penduduk menolak mengakui otoritas penjajah dengan menghindari pengakuan itu secara efektif. Sekali lagi, untuk itulah diperlukan fixity atau pemakeman pada konsep yang mengonstruksi terjajah. Konsep yang akan menjadi semacam jimattakhayul; konsep yang dipercaya kebenarannya, meski sebenarnya tak mengandung kebenaran. Homi Bhabha 1994: 66-75 membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu bersifat ambigu, polisemik sehingga konstruksi dirinya maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Bisa terjadi juga karya sastra yang ditulis oleh masyarakat kolonial justru mengritik masyarakat penjajah. Karenanya, wacana kolonial tetaplah tergantung pada konsep ketetapankebekuan konstruksi ideologis keYanglainan. Bhabha Ibid. menegaskan bahwa ketetapan fixity dalam wacana kolonial ini diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis, kultural, bahwa Si Hitam berbeda dengan si Putih, terjajah berbeda dengan penjajah; Timur berbeda dengan Barat. Mimikri : Mockery dan Hibriditas Gambaran yang muncul dalam wacana kolonial adalah gambaran kekurangan terjajah. Kekurangan ini haruslah menjadi semacam takhayul, 225 jimat, yang dipercaya kebenarannya, entah terbukti atau tidak. Kenyataan bahwa dalam area mimikri ada mockery tak dapat dihindari: mereka yang diejek atau merasa diejek akan melakukan mimikri melakukan peniruan pada citra yang diidealkan. Sekali lagi, seperti yang dikatakan Lacan via Homi Bhabha, 1994 mimikri bukanlah harmonisasi dari represi perbedaan, tetapi sebuah bentuk persamaanproses menyamakan, proses memiripkan, atau proses mengopi. Proses pengopian identitas oleh manusia menghasilkan identitas baru yang mirip, tapi tak sama persis. Karenanya, mimikri selalu memiliki unsur perlawanan, kamuflase, penyembunyian identitas di balik topeng identitas baru, bahkan dalam wacana tandingan dari kubu manusia mimikri bisa juga muncul ejekan balasan yang tersembunyi. Mimikri telah mengaburkan batas antara budaya Penjajah dan Terjajah. Terjadilah tumpah tindih antara satu budaya dengan budaya lain dan terwujud menjadi budaya baru. Penggabungan dua bentuk tersebut memunculkan sifat- sifat baru, tetapi sekaligus meniadakan sifat-sifat lama keduanya. Bhabha 1994:2-4 menyebutnya hibriditas, sebuah ruang baru, ruang ketiga. Karena benturan kepentingan atau suasana agonistikkompetitif antara Terjajah dan Penjajah tetap ada, budaya hibriditas juga menyimpan ambivalensi: tampak sebagai bentuk adaptasi, tetapi sekaligus mengekspresikan perlawanan. Dalam kerangka Bhabha Ibid.; Sardar dan Van Loon, 2001, hibriditas merupakan suatu situs perlawanan, atau suatu pembalikan strategis dari proses dominasi yang mengembalikan Terjajah menjadi mata kekuasaan. 226

4.2 Gambaran Singkat Perlawanan dalam Karya Sastra

Perlawanan kolonialisme mendapatkan tempatnya dalam karya sastra. Karya sastra Hindia Belanda yang paling dikenal oleh bangsa Indonesia –di antara karya-karya Hindia Belanda- adalah Max Havelaar karya Multatuli. Novel ini telah memotret ketidakadilan pemerintahan Belanda, terutama melalui kisah Saijah dan Adinda Dolk, 1996.Mengikuti jejak Multatuli, Boeka, nama samaran dari P.C.C. Hansen, menulis roman-romannya dengan tema kemiskinan dan kesengsaraan rakyat pribumi. Dia menjadi pembela pribumi orang Jawa dari prasangka orang Belanda sebagai orang malas, apatis, fatalistik, tunduk-tunduk, dsb. Hartoko, 1979; Bloomberg, 2009. Tengoklah juga tulisan dari Madelon Hermina. Szekely-Lulofs berjudul Koeli dan Rubber yang memotret kehidupan masyarakat pribumi di Deli atau Njoet Nja Dien yang menghadirkan pahlawan wanita Aceh Hartoko, op.cit., hlm. 215. Novel perlawanan terhadap kolonialisme ternyata juga ditulis oleh orang-orang BelandaEropa bahkan sebelum Max Havelaar yang menggegerkan Belanda. William van Hogendorp, bekas residen Rembang yang kemudian bertugas sebagai administrator gudang di Kepulauan Onrust, pada 1780 telah menulis Kraspoekol of de Slavernij Kraspoekol or the Dismal Consequences of Excessesive Severity toward Slaves, yang secara terang- terangan menentang perbudakan di Hindia Belanda. Dikisahkan seorang Nyonya bernama Kraspoekol yang memukul bahkan menyiksa para pembantunya, jika mereka dianggap melakukan kesalahan. Akhirnya dia mati 227 di tangan pembantunya yang kalap karena tak diijinkan untuk cuti menikah. Novel ini adalah peringatan bagi para nyonya di Batavia yang memperlakukan pembantunya sebagai budak. Pengarang Indonesia juga menuliskan novel yang melawan kolonialismepenjajahan sejak penjajahan itu masih berlangsung. Student Hijo 1919, Rasa Mardika 1924 karya Mas Marco dan Hikayat Kadirun 1924 dan Bebasari 1926 karya Rustam Effendi telah menyuarakan perlawanan kolonialisme Belanda. Ketiga pengarang tersebut bersama R.A. Kartini disebut oleh Bakri Siregar sebagai juru bicara kesadaran sosial Yudiono, 2007:35. Namun sayang, tulisan Kartini pada zaman penjajahan masih belum dinikmati oleh banyak orang Indonesia karena ditulis dalam bahasa Belanda. Dalam buku Tempo Doeloe, Pramoedya telah menghimpun novel-novel dalam tradisi bahasa Melayu Rendah yang ditolak oleh Volkslectuur . Lembaga kolonial Belanda pada masa itu telah menetapkan pemakaian bahasa Melayu Riau sebagai bahasa standar sehingga karya berbahasa Melayu pasaran tidak akan diterbitkan. Selain itu, dilihat dari temanya maka karya-karya tersebut juga telah melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. Catat saja Nyi Paina. Tokoh dalam novel tersebut telah menolak menjadi gundik seorang Belanda dengan menciumi orang-orang yang sakit cacar sebelum menemui si Belanda. Akhirnya si Belanda meninggal oleh penyakit tersebut. Perlawanan terhadap penindasan dalam karya sastra cukup mendapat perhatian sastrawan kita 3 3 Perlawanan terhadap penindasan tentu saja tak hanya dilakukan terhadap Belanda, tetapi 228 Sesudah kemerdekaan novel-novel yang bersetting Hindia Belanda atau masa revolusi peralihan masih bermunculan. Novel Burung-Burung Manyar karya Mangunwijaya yang menampilkan perjuangan Teto meraih jati dirinya. Sebagai pemuda Indo yang mengalami kekejaman Jepang, ia memutuskan menjadi KNIL karena baginya pemerintahan Soekarno adalah hasil bentukan Jepang, juga karena alasan ibunya. Novel ini seakan melengkapi pendapat Bhabha dan novel Bumi Manusia, bahwa penjajahan selalu menyisakan masalah bagi manusia bahkan ketika penjajahan itu sendiri sudah berakhir. Dalam kenyataan masa kita boleh menengok kasus Rawagede belum lama berselang. Pemerintah Belanda pada masa kini mengaku bersalah dalam keterlibatan mereka terhadap pembunuhan massal, 431 orang, di Rawagede. Pemerintah Belanda telah memberikan gantirugi sebesar 20.000 Euro kepada 9 korban yang masih hidup Kompas, 2012 dan Volkskrant.nl, 2011. Di belakang peristiwa ini masih antre sejumlah peristiwa serupa yang mengintip hubungan Indonesia- Belanda pada masa kolonial „45-49‟. 4 Homi Bhabha 1994; lihat juga bab terdahulu pernah mengungkapkan bahwa dalam kerangka pascakolonialitas, barat harus berkonfrontasi dengan sejarahnya, arus gelombang pascaperang, para pengungsi, sebagai naratif asli atau indigenous internal hingga identitas nasionalnya. Berkaitan dengan Belanda-Indonesia, kelompok orang Maluku, mantan KNIL, juga membawa warna persoalan juga terhadap pendudukan Jepang. Kita tengok karya Idrus, misal Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma yang menggambarkan keadaan morat-marit di Jawa karena Jepang. 4 Saat ini kasus Westerling sedang dituntut oleh para korbannya dengan pengacara yang juga mengurus kasus Rawagede, Lisbeth Zegvelt. 229 tersendiri.

4.3 Fixity” dan Interupsi : Konflik Barat dan Timur

Barat datang membawa peradaban bagi Timur yang masih tertinggal. “Jadi untuk pertama kali kebijaksanaan kita mendapat ujian dan tantangan. Walau demikian bukan karena ujian dan tantangan itu kita harus mengambil langkah peninjauan, tetapi karena nurani orang Eropa kita yang bernama humanisme, nenek moyang dan sekaligus peradaban Eropa dewasa ini.” BM, 327. Wat hij nu wilde bereiken, was een doel, waarvan de idee sproot uit zijne mensenlijkheid, uit het edele van hemzelve. Wat hij nu wilde bereiken was een ideaal van Westerling in het Oosten, en van Westerling, die het Oosten zag, zoals hij het zien wilde en alleen zien kon DSK, 121. Apa yang saat ini ingin dicapainya, adalah sebuah tujuan, yang idenya berasal dari sisi manusiawinya, dari sifat mulia yang ada dalam dirinya, apa yang sekarang ingin dicapainya adalah sebuah angan –angan, sebuah angan –angan dari seorang laki - laki Barat di neger iTimur, dan dari seorang laki-laki Barat, yang melihat dunia Timur, sebagaimana ia ingin dan hanya dapat melihatnya. KD, 124-125. Kedua ungkapan tersebut bersumber dari dua orang Eropa: direktur kepala tempat Minke bersekolah dan Residen Van Oudijck. Keduanya mengungkapkan adanya sisi nurani Eropa yang akan membawa peradaban Eropa di Jawa. Dengan alasan itu, Minke dipanggil kembali ke sekolah. Residen yang memiliki hubungan baik dengan bupati terdahulu, bangsawan Jawa, merasa terpanggil untuk menyelamatkan keluarga Adiningrat yang terperosok pada judi: “...tujuan ambisinya adalah kebangkitan keluarga Jawa itu” KD, 124. Orang-orang yang terlibat dalam arahgerakanpolitik etis pada masa itu memiliki kemuliaan untuk menyokong Hindia Belanda dan pribumi.