Pembantu: Tempat Pribumi dalam ruang domestik orang Belanda

189 onbemind en hoeveel de bedienden ook van haar wisten, zij hadden haar nog nooit verraden. Het maakte haar des te brutaler. DSK: 30 Selebihnya, dia tidak takut pada para pembantu. Mbok Oerip begitu dapat dipercayainya dan sering mendapat hadiah-hadiah indah: sarung, pending emas, sebuah hiasan kebaya berpermata yang dikenakan pada dada sebagai sebuah peniti berperak dan berpermata. Karena Leoni tak pernah menggerutu, murah hati dengan gaji di muka dan memberikan kemudahan-kemudahan tertentu, –walaupun semua yang terjadi seperti dia inginkan –Leoni dicintai dan seberapa banyak para pembantu juga tahu akan dia, mereka belum pernah berkhianat. Keadaan ini membuatnya semakin brutal, KD: 30-31. Mbok Oerip adalah pembantu yang khusus melayani keperluan Leoni. Dia adalah orang yang mengetahui semua perselingkuhan Leoni karena selalu mengikuti ke manapun Leoni pergi: ke Batavia, Surabaya, ke Pacaram. Dengan hadiah-hadiah dari Leoni, ditambah karakter Leoni yang tak pernah marah, Oerip menjadi patuh tanpa syarat kepada Leoni, kepatuhan tanpa nilai kebenaran. Dia adalah pribadi yang sanggup menyimpan rahasia, sanggup untuk diam begitu lama dan menahan diri untuk bicara. Oerip menjadi orang yang ikut bertanggungjawab pada tingkah laku selingkuh dan aib di rumah residen. Locher-Scholten 2000: 97-100 menulis tentang hubungan pembantu dan majikan. Di antara semua orang Indonesia baca pribumi, pembantu menjadi orang terdekat bagi orang Eropa. Bahkan mereka bisa menjalin hubungan akrab atau bahkan intim. Pada masa kolonial ada larangan tidak tertulis bagi para majikan Eropa agar tidak memarahi pembantu: “Behaviour toward the servants should be calm, self-possessed, never angry, but always 190 resolute and superior” Ibid., hlm. 97. Para pembantu di rumah residen, juga dikarakterkan memercayai guna- guna. Orang Jawa adalah orang yang percaya takhayul, pendapat itu ada dalam pikiran Barat. Kepercayaan itu menjadikan mereka takut sehingga sejak muncul peristiwa peludahan di kamar mandi terhadap Leoni, mereka pergi meninggalkan rumah Van Oudijck begitu senja datang. Van Oudijck membiarkannya; dia hanya tetap meminta orang yang berjaga malam datang seperti biasanya. Mereka hanya berani datang bila Van Oudijck ada di rumah. Sosok Van Oudijck di mata pembantunya adalah orang yang pemberani, tetapi tak tahu apa-apa soal guna-guna. Bagi para penjaga, rumah residen sudah dipenuhi guna-guna. Setiap malam terdengar suara dentum palu dipukul di bawah atap, bahkan terjadi beberapa keanehan. Wiski yang disiapkan oleh penjaga dalam gelas berubah warna kuning berkarat. “Oppas” riep Van Oudijck na een ogenblik. “Kandjeng” “Wat heb jij geschonken in dit glas?” De man beefde, kroop weg aan Van Oudijcks voeten. “Kandjeng: het is geen vergif, bij mijn leven, bij mijn dood : ik kan het niet helpen, Kandjeng. Trap mij, dood mij : ik kan het niet helpen, Kandjeng.” Het glas zag okergeel. “Haal mij een ander glas en schenk hier in...” De oppasser ging, rillende. DSK: 187 “Oppas” panggil Van Oudijk sesaat kemudian. “Kanjeng” “Kamukah yang menuangkan minuman ini ke dalam gelas? “ Laki-laki itu gemetar, laku dhodhok di depan kaki Van Oudijck. “Kanjeng, ini bukan racun. Dengan hidup dan mati saya: jangan 191 salahkan saya, Kanjeng. Injak saya, bunuh saya, tapi ini bukan salah saya.” Gelas berwarna kuning oksidasi. “Ambil gelas lain dan tuangkan minuman di sini” Penjaga berlalu gemetar, KD: 193, dikutip dengan sedikit koreksi. Yang unik di bagian ini adalah perbandingan yang dilakukan Eva terhadap pembantunya. Dia menandai bahwa pembantu Hindia Belanda berbeda dengan pembantu di Belanda. Sebagai orang yang berasal dari keluarga kaya, dia juga mengenal pembantu dalam keluarganya di Belanda. Pembantu di Belanda berjalan-jalan berderap layaknya polisi, pembantu di Hindia lemah gemulai bahkan bisa digodanya. Dia lebih menyukai para pembantu yang ada di Hindia Belanda daripada di Belanda. 7 Zij opende de goedang, zij riep hare kokkie, bedisselde met deze het eten. De kokkie was latta, en Eva had er pleizier in de oude meid te plagen.”La...la-illa-lala” riep de kokkie schrikte en riep terug, herstelde zich ogenblikkelijk, vergiffenis smekend. “Boeang, kokkie, boeang” riep Eva en de kokkie, gesuggereerd, gooide een tetampa met ramboetans en mangistans neêr, dadelijk zich herstellende, smekende, de verspreide vruchten oprapend – en haar hoofd schuddende en smakkende met de tong. “Kom, ga meê” zei Eva tot Frans.”Anders breekt ze me straks mijn eieren. Ajo, kokkie, kloear” :Ajo, kloear” herhaalde de latta kokkie. “Alla, njonja, minta ampon, njonja, alla soeda njonja” DSK :69. Eva membuka gudang dan memanggil kokinya, mengatur jamuan makan. Koki ini latah dan Eva senang mengganggunya. “La..la-illa-lala” teriak koki terkejut dan balik berteriak, segera tersadar, memohon maaf. “Buang koki, buang,” kata Eva dan koki menurut, dilemparkannya tampah yang penuh rambutan dan manggisan. Segera dia tersadar, 7 Pembantu pernah mendapatkan tema khusus dalam pentas musik. Van Dijk 2011 mencatat adanya konser berjudul Zeebaboe lihat gambar pada lampiran. Zeebaboe adalah sebutan untuk pembantu yang mengikuti majikan berlayar, misalnya menjaga anak-anak majikan selama dalam perjalanan kembali ke Belanda dari negeri jajahan. Mereka bisa jadi kembali ke negeri mereka selepas melaksanakan tugas. 192 memohon dan memunguti buah-buah yang berceceran. Kepalanya menggeleng-geleng dan mengecap-ngecapkan lidah. “Ayo, ikut saya”, kata Eva pada Frans. “Kalau tidak nanti dia memecahkan telur-telur saya. Ayo, koki, keluar” “Ayo, keluar,” ulang si koki latah. “Alla, nyonya, minta ampun. Sudah nyonya.” ,KD: 71 . 3.2.4 Tempat Pribumi dalam “Ruang Liminal” 1 Antara pimpinan dan bawahan, antara pekerja dan majikan Dalam pemerintahan kolonial Belanda pemegang kekuasaan tertinggi adalah orang Eropa sehingga dapat dipastikan orang pribumi berkedudukan di bawahnya. Sebagian besar pribumi menjadi buruh perkebunan, pembantu rumah tangga, penjaga rumah atau kantor, atau pegawai kantor misal kantor penerbitan Balai Pustaka, polisi atau tentara, dan sebagian lagi menjadi pejabat pemerintah. Posisi mereka selalu berada di bawah kontrol pimpinan yang kebanyakan diisi oleh orang EropaBelanda. Jabatan bupati selalu dikontrol oleh residen. Ngadjiwa was een vrolijker plaats dan Laboewangi: er lag een garnizoen; uit het binnenland, van de koffie-landen, kwamen dikwijls administrateurs en employe’s eens afzakken om pret te maken; tweemaal ’s jaars hadden de races er plaats, waarvan de feestelijkheden een gehele week in beslag namen: ontvangst van de rezident, paardenverloting, bloemencorso en opera, twee of drie bals, die de feestvierders onderscheidden in bal-masqué, galabal en soirée- dansante: een tijd van vroeg opstaan en laat naar bed gaan, van in enkele dagen honderde guldens verteren met écarté en aan de totalizator...Die dagen spatte-uit de zucht tot pleizier en prettige levensvreugd; naar die dagen zagen maanden lang uit koffie-planters en suiker-employe’s;.. DSK: 112-113 Ngadjiwa adalah tempat yang lebih menyenangkan daripada Labuwangi, sebuah garnizoen terdapat di sana. Dari pedalaman tanah- 193 tanah perkebunan kopi sering datang para administrator dan pekerja yang turun untuk bersenang-senang. Dua kali per tahun ada balapan di sana yang menyita waktu satu minggu pesta: menerima residen, pengundian, pawai bunga dan opera, dua atau tiga kali pesta dansa, soirée dansante atau malam dansa gala resmi: waktu untuk bangun awal dan tidur telat, beberapa hari menghabiskan ratusan gulden dengan permainan kartu Perancis dan pada taruhan pacuan kuda. Pada hari-hari itu nafsu dilampiaskan pada kegembiraan yang menyenangkan dan menghibur. Hari-hari itu ditunggu oleh pekerja perkebunan kopi dan gula selama berbulan-bulan, KD: 116-117 Dalam kisah perjalanan keluarga Van Oudijck berkeliling Labuwangi, pembaca disuguhi kehidupan sosial Labuwangi. Labuwangi memiliki penduduk dari berbagai etnis: Cina, Arab, Indo, BelandaEropa. Daerah ini memang terletak di pelosok, tetapi awalnya memiliki banyak pabrik gula. Salah satu pabrik gula yang ada dimiliki oleh keluarga De Luce, setengah Indo dan setengah Solo di Pacaram. Setiap tahun mereka mengadakan pesta usai giling tebu. Tak kalah meriah adalah balap kuda yang diadakan dua kali per tahun di daerah Ngajiwa, bagian dari residensi Labuwangi. Di tempat ini orang Belanda akan bertemu pribumi, para pekerja akan bertemu majikan mereka dalam suasana pesta meriah. Dalam novel BM pesta serupa itu kurang dimunculkan, kecuali acara penobatan ayah Minke menjadi bupati. Hal ini jelas berbeda karena pembesar Eropa dengan cepat meninggalkan tempat acara sementara pribumi berjoget sampai pagi. Minke menamakan ruang itu sebagai simbol feodalisme; pendhapa luas adalah simbol feodalisme. Ruang menjadi tempat bawahan menyembah dan merangkak pada mereka yang dianggap lebih tinggi dan lebih 194 terhormat kedudukannya karena lebih tua, lebih kaya, atau lebih bagus darah keturunannya. Minke, yang merasa terhina karena menyembah kepada manusia sesamanya, belajar kesetaraan, belajar bahwa manusia sama martabatnya pada guru sekolah pemerintahan kolonial. Di ruang pendhapa itu kolonialisme Belanda atas orang Jawa sedang berlangsung; kolonialisme yang tampaknya diterima. Lihatlah hiasan dan gambar yang tergantung di sebuah pendhapa kebangsawanan Jawa menunjukkan bahwa kerajaan Belanda yang berkuasa atas bangsawan Jawa. Lukisan potret Ratu Wilhelmina menjadi titik perhatian di pendhapa luas itu. Bendera Triwarna, bendera merah, putih, biru, bendera kerajaan Belanda berkibar. Bunga-bungaan mempercantik ruangan itu BM: 143. Ruangan itu pun dipenuhi lagu kebangsaan Belanda, Het Wilhelmus, pada saat penobatan ayah Minke menjadi bupati BM : 143-144. Sebagian terbesar memang tidak bisa. Pribumi hanya seorang-dua. Yang lain-lain berdiri terlongok-longok mungkin menyumpahi melodi asing dan menganggu perasaan. BM : 146 2 Pelajar Pribumi sebagai Calon Pejabat Kolonial di Ruang Sekolah Sekolah, HBS Hogere Burger School, dalam novel ini menjadi tempat peradaban Eropa. Dari awal novel sudah disinggung hal ini. Sekolah Belanda adalah tempat yang dipercaya orang tua Minke dan para bangsawanelite pribumi untuk menjadikan anak mereka pintar. Kebanggaan akan membesar bila anak mereka lulus sekolah Belanda karena hal itu berarti 195 peluang kerja bagus akan terbuka. Menjadi pejabat yang lancar berbahasa Belanda berarti mendapatkan citra baru yang akan menaikkan identitas ke tingkat lebih tinggi. Kami harap kau dapat memperbaiki kelakuanmu. Kau calon pembesar. Kau dapat didikan Eropa. Semestinya dapat meneruskan sekolah lebih tinggi di Eropa. Apa kau tak ingin jadi jadi bupati?” “Tidak, Tuan Direktur.” “ Ndoro sudah lulus dalam semua-mua.” “Lulus bagaimana?” “Oh, itu kata orang, hanya kata orang . Noni.... kekayaan, kepandaian, kenalan orang-orang besar, orang Belanda, bukan sembarangan....” “Begitu kata orang?” Ya, Ndoro, dan begitu muda, ganteng, sebentar lagi jadi bupati....” BM: 274 Bagi Juki, kusir keluarga Mellema, dan rakyat pribumi kebanyakan, dekat dengan orang Belanda, lebih-lebih pembesar Belanda adalah hal yang hebat. Minke dengan kepandaiannya, dengan pendidikannya dan kebangsawanannya memiliki peluang tinggi untuk menjadi pembesar. Sekolah sekaligus menjadi sarana untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan. Tujuan ini memang telah dimaksudkan ketika sekolah didirikan bagi para pribumi. Tetapi, lulus sekolah Eropa tentu berbeda gengsinya. Ketika masyarakat tahu bahwa Minke adalah pelajar HBS yang fasih berbahasa Belanda, anak seorang bupati, maka undangan pun mengalir. Bahkan ada undangan perjodohan. Sesuai tradisi, selalu muncul pendapat bahwa anak bupati yang berpendidikan Belanda pasti akan terpilih menjadi bupati pula. 196 3 Pribumi berada dalam Kelas Hukum Terendah Minke, meski telah lulus dari H.B.S. Sebagai lulusan terbaik, dan juga punya forum privilegiatum, suatu hak khusus di dalam hukum Belanda sebagai akibat kedudukan ayahnya sebagai bupati. Namun, dia tetaplah pribumi yang menduduki kelas ketiga dalam hukum Hindia Belanda. Sidang memang menjadi agak kacau. Nyai terus juga bicara tanpa mengindahkan paluan hakim. Nyai dipaksa mengakui bahwa Annelies bukan pribumi, tapi Indo. Dan jaksa yang menggeledek muka itu : Dia Indo, Indo, dia lebih tinggi daripada kau Minke Pribumi, sekaipun punya forun privilegiatum, artinya lebih tinggi dari Nyai, kau Forum Minke setiap saat bisa dibatalkan. Tapi Juffrouw Annelies tetap lebih tinggi daripada Pribumi. BM: 322 Bak guntur berita itu datang; Annelies dan ibunya dipanggil ke pengadilan. Pengadilan menyampaikan surat pemberitahuan bahwa Pengadilan Amsterdam telah meluluskan permohonan Nyonya Amelia Mellema untuk mengurus hak-hak Ir. Maurits Mellema atas harta benda almarhum Tuan Mellema di Jawa. Ditunjukkan juga surat kuasa dari Ir. Maurits Mellema, salah satu pewaris Tuan Mellema, kepada ibunya untuk mengurus harta warisannya. Berita lain yang lebih mengejutkan adalah berita bahwa mereka juga akan menjadi wali bagi Annelies yang masih di bawah umur dan pengasuhannya akan dilakukan di Belanda. Novel BM meletakkan pribumi dalam kelas hukum yang lebih rendah daripada orang Eropa dan juga orang Indo. Nyai Ontosoroh yang menjadi ibu kandung Annelies dan ikut membidani, mengurus peternakan diabaikan peran dan haknya. Kenyataan bahwa dia telah selama belasan tahun mendampingi 197 Tuan Mellema juga tak digubris. Ir. Maurits Mellema menjadi pewaris dan wali bagi Annelies, meskipun Annelies telah menikah secara hukum Islam dengan Minke. Kemampuan berbahasa Belanda dan memahami cara hidup Belanda bukan berarti tiket untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Fouchler 2008: 106 mengungkapkan, dalam kacamata otoritas kolonial, peniruan budaya harus dikontrol agar tak melampaui batas-batas rasa terima kasih sehingga mereka menuntut otoritas yang tak pernah dimaksudkan untuk mereka. Kembali keluarga Buitenzorg menjalani sidang terakhir. Peristiwa ini menjadi berita menarik di surat kabar. Terlebih sidang berlangsung lebih emosional dibandingkan sidang kematian Tuan Mellema. Nyai Ontosoroh lebih emosional dibandingkan dalam sidang sebelumnya. Ketika pengadilan menyinggung status pernikahan Annelies dan Minke yang dianggap tidak sah menurut hukum Eropa, Nyai menjadi sangat sewot. Dia mengritik pemerintah yang tidak mempedulikan penjualan wanita pribumi kepada orang BelandaEropa, tidak mempedulikan gundik dan tuannya, tetapi malahan mengganggu perkawinan yang didasarkan cinta. Sidang menjadi panas. Pengadilan tetap memenangkan tuntutan Ir. Maurits atas perwalian Annelies. Bahkan perkawinannya dibatalkan karena tidak sesuai dengan hukum Belanda. Meski pihak ulama Islam, meski pers, ikut berbicara perkawinan tetap dibatalkan. Muncul dalam BM nama wartawan Kommer, Marteen Nijman dari S.N.vd D. yang selalu memuat tulisan Minke sejak dia 198 masih menggunakan nama samaran Max Tollenaar. Bahkan ketika mengetahui pribadi Minke sebenarnya, seorang pribumi, mereka malah mempekerjakannya sebagai pegawai S.N.vd.D. Selama persidangan Annelies tergolek sakit di tempat tidur. “Dengan akan dilaksanakannya perampasan terhadap istriku daripadaku sesuai dengan keputusan Pengadilan, bertanyalah aku pada nurani Eropa: Adakah perbudakan terkutuk itu akan dihidupkan kembali? Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari surat-surat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebagai manusia”. BM: 383. Dengan tubuhnya yang lemah, Annelies di bawa ke Belanda. Nyai Ontosoroh yang ingin mengantarnya sampai Belanda ditolak. Dia pergi dengan orang yang tak dikenalnya dan menuju negeri yang tak pernah dikenalnya pula. Hanya dengan membawa koper tua milik Nyai Ontosoroh, Annelies berangkat tanpa lagi menengok ke belakang. Sikap ini mengingatkan pembaca pada Nyai Ontosoroh yang juga tidak pernah ingin kembali kepada keluarganya; Annelies ingin juga membuang dirinya. Sekali lagi pribumi tidak berdaya bila menghadapi hukum kolonial; hal ini mengingatkan kita pada kasus antara Van Haastert dihukum 3 hari dan Mas Marco Kartodikromo divonis 2 tahun, dihukum 7 bulan yang keduanya dituduh menghimbau kebencianketidaktenangan. 8

3.3 Citra yang Mengonstruksi Identitas

Pembentukan identitas tidak terlepas dari citra yang beredar dalam 8 Perbedaan perlakuan hukum dalam kehidupan nyata masa kolonial telah dibahas pada bagian latar historis. 199 masyarakat. Ketika bayi berada dalam ‘fase cermin’ dia melihat citra dirinya dalam bayangan cermin. Bayangan itu dipahami sebagai dirinya, tetapi sebenarnya hanyalah sebuah ilusi. Seiring dengan hal itu, citra bukanlah keadaan yang sebenarnya. Citra diciptakan oleh kelompok masyarakat. Karenanya, citra tidaklah stabil dan monolit. Hal ini berakibat pada ambivalensi yang melekat pada identititas. Kata citra menunjuk juga pada gambaran, keserupaan, kemiripan dengan sesuatu hal. Citra yang beredar dalam masyarakat kolonial menempatkan kolonisator dalam gambaran manusia ideal. Mereka dicitrakan atau digambarkan: berdedikasi tinggi dalam bekerjarajin, rasional, beradab, transparan. Citra ideal ini menjadi pegangan manusia dalam melakukan identifikasi, misalnya tokoh Sanikem BM yang merasa puas jika dia telah menjadi seperti wanita Belanda. 9 Dengan melemparkan wacana yang mengusung keaslian citra Penjajah dan ketakaslian citra Terjajah tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Wacana kolonial semacam itu memang bertujuan untuk mengonstruksi terjajah sebagai kelompok populasi tipe-tipe merosot atau rendah derajat secara rasial dari asal muasalnya supaya wacana itu membenarkan penaklukan untuk membangun sistem administrasi dan instruksi Bhabha, 1994: 70. Terciptalah citra terjajah sebagai ras nonmurni, ras berderajat rendah; satu-satunya jalan perbaikan adalah mengikuti jalan ras murni. 9 Bagan tentang pencitraan terhadap tokoh Jawa dan BelandaEropa dalam kedua novel terdapat pada bab 2. 3.2 penokohan 200

3.3.1 Citra pekerja keras vs pemalas, rasionalitas vs takhayul

Bandingkan kedua kutipan dari novel BM dan DSK di bawah ini yang melukiskan sosok orang Jawa dalam fokalisasi asisten residen : malas dan percaya takhayul Gamelan itu sendiri menerjemahkan kehidupan orang Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran: membawa orang ke alam lesu yang menyesatkan, tidak ada pribadi. BM: 214 Hoe dikwijls Van Oudijck ook al te doen had gehad met het bijgeloof der Javanen, steeds maakte het hem razend, als tegenstrijdig aan wat hij noemde de wetten van natuur en leven. Ja, alleen zijn bijgeloof kon een Javaan afbrengen van het correcte spoor zijner ingeboren hoffelijkheid. Wat men hem nu ook onder het oog zoȗ willen brengen, de Regent zoȗ zwijgen, volharden in het volkomen zwijgen, hem opgelegd door de doekoe. DSK: 118-119 Betapapun seringnya Van Oudijck sudah mengenal takhayul orang Jawa, hal itu masih membuatnya berang, seperti pertentangan dengan sesuatu yang dia sebut aturan alam dan hidup. Ya, hanya dengan kepercayaan mereka seorang Jawa dapat dialihkan dari jejak yang tepat dari kesopanan yang dibawa dari lahir. Apapun yang dibawa orang kepadanya, bupati akan tetap diam, bersikeras di dalam diam sepenuhnya, sebagaimana perintah dukun, KD: 122. In de galerij ontmoetten zij de Raden-Ajoe, een klein onderdrukt vrouwtje, als een geslagen hond, een getrapte slavin. Zij naderde wenende; zij vroeg, zij smeekte vergeving DSK, 118. Di serambi mereka bertemu dengan Raden-Aju, perempuan kecil yang terkekang seperti anjing terpukul, budak terhina. Dia mendekat dengan menangis; perempuan itu memohon ampun, KD: 122 Begitulah pandangan asisten residen De la Croix tentang orang Jawa yang beranalog dengan gamelan. Orang Jawa malas mencari sesuatu yang baru; mereka hanya sekedar mengulang-ulang hal yang lama sehingga tidak menjadi maju. Lewat putrinya, dia menyampaikan harapan agar Minke dapat 201 memainkan gamelan dalam tema yang baru, tema yang tidak membawa gamelan ke dalam nada-nada ulangan dan lingkaran setan. Minke diharapkan muncul sebagai sosok baru. Dalam DSK ditampilkan narasi tentang bahasa Jawa yang sulit dikuasai oleh orang Belanda, misal nyonya residen yang hanya berbicara Melayu dengan orang pribumi. Baginya, berbahasa Jawa sulit karena halus dan penuh dengan etiket bahasa. Kehalusan bahasa Jawa dipertentangkan dengan perilaku keluarga bangsawan Jawa yang berjudi dan berteriak-teriak saling memaki. Bahkan ketika di rumah mereka ada nyonya residen yang sedang menginap, perjudian antara bupati Ngajiwa dan keluarga janda de Luce sang putri Solo tetap berlangsung DSK: 91. Melalui narator eksternal, DSK menampilkan adegan dramatik bagaimana Bupati Ngajiwa tetap menutup mulut meskipun diajak residen dan asisten residen berbicara. Narator kemudian mengungkapkan pikiran dan keheranan Van Oudijck mengenai praktik takhayul pada orang Jawa, bahkan pada bupati yang notabene sudah sekian lama berada dalam lingkungan kerja pemerintahan kolonial. Ia patuh pada perintah dukum untuk diam agar kuat dari serangan. Citra pribumi yang minder Jawa, Melayu, dan Filipina eksis pada masa kolonial Alatas, 1980: 198. Citra minder ini digabungkan dengan citra lainnya, pemadat, pencuri, tukang hutang. Citra stereotip ini cukup lama hidup karena sistem kapitalisme berperan besar menciptakannya dan juga