97
rumah-rumah cenderung dibangun dengan membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama dianggap sebagai tempat keramat pocci tana, biasanya kadang-
kadang terdapat rumah pemujaan saukang. Kampung lama selalu dipimpin oleh seorang matowa kepala desa beserta
kedua pembantunya disebut sariang atau parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis,
pa‟rasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua disebut arung palili untuk suku Bugis,
sedangkan orang Makassar menyebutnya karaeng Mattulada 1977,1984. Arsitektur rumah adalah rumah kayu bertiang, yang terdiri dari tiga bagian
utama, yang masing-masing mempunyai fungsi khusus yaitu : a. karaeng dalam bahasa Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian rumah di
bawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga benda-benda pusaka; b. awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam
bahasa Makassar, bagian di bawah lantai panggung dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian, kandang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman
sekarang tempat ini berubah fungsi menjadi tempat tinggal manusia Millar 1981. Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk panggung, yakni
terdapat panggung di depan pintu utama, persis di bagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat bagi para tamu untuk menunggu
sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk ke ruang tamu. Proses pembangunan rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya
menggunakan beberapa ramuan pada tiang utama yang akan didirikan, bahkan, kadang-kadang menggunakan kepala kerbau setelah kerangka rumah berdiri.
Proses semacam ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka.
4.3 Stratifikasi Sosial dan Transformasi Elite Masyarakat Bugis dan Makassar
Friedericy menggambarkan dengan jelas pelapisan masyarakat Bugis dan Makassar yang disusunnya dalam buku kesusasteraan asli Bugis dan Makassar, La
Galigo. Menurut Friedericy, masyarakat Bugis dan Makassar memiliki tiga lapisan utama: a
A na‟karaeng dalam bahasa Makassar. Lapisan ini adalah
lapisan kaum kerabat raja-raja; b To maradeka dalam bahasa Makassar, lapisan ini adalah lapisan orang merdeka; c Ata
‟, yakni lapisan budak.
98
Dalam usahanya untuk menemukan latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat, Friedericy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut
dalam La Galigo dan ia berkesimpulan, bahwa masyarakat Bugis dan Makassar pada awalnya hanya terdiri dari dua lapisan masyarakat. Sedangkan lapisan Ata
adalah hasil perkembangan sosial yang terjadi karena adanya perkembangan organisasi-organisasi sosial pribumi di Sulawesi Selatan.
Pada abad ke-20 lapisan ata dihilangkan karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari tokoh-tokoh agama. Sesudah perang dunia ke-2, arti dari
perbedaan antara lapisan karaeng, to maradeka, dan ata semakin berkurang. Dalam kehidupan masyarakat juga sudah mulai berkurang dengan cepat, walaupun masih
dipakai, akan tetapi tidak lagi mempunyai arti seperti masa lalu fase tradisional dan fase Islam modern, pada masa sekarang, makna stratifikasi social pada etnis Bugis
dan Makassar justru sering diperkecil dengan sengaja. Sebab Stratifikasi sosial lama, sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan.
Sedangkan stratifikasi sosial masyarakat Sulawesi Selatan dalam Latoa Mattulada, 1977 memberikan peranan dalam kehidupan, bukan hanya menurut
penjiwaan. Pada umumnya persekutuan orang Bugis berdasarkan prinsip genealogis atau persekutuan kekerabatan, sehingga orang Bugis dan Makassar
tidak terlalu terikat kepada wilayah tertentu dalam mencari nafkah. Orang Bugis dan Makassar dimana saja mereka berkumpul bersama-sama
dalam suatu persekutuan genealogis selalu dijumpai adanya: 1. Ajjoareng orang yang menjadi pemimpin bernama Arung Bugis dan Ponggawa Makassar
adalah tokoh yang dijadikan sumbu kegiatan integratif dan perkembangan hidup kebudayaan secara keseluruhan. Sejak Kerajaan Bone kehilangan kedaulatannya
pada tahun 1950 istilah ajjoareng pemimpin tidak lagi berarti aparat kekuasaan pemerintahan formal;
2.
Joa pengikut pada zaman dulu terdiri atas lapisan
masyarakat maradeka merdeka yang menunjukkan kesetiaan kepada ajjoareng pemimpin. Dalam proses integrasi kegiatan antar lingkaran pusat dan lingkaran
di luarnya diatur oleh Pangadereng pedoman hidup yang meliputi semua lingkaran kehidupan Mattulada, 1984; Thosiba 2002.
Sekarang tidak ada lagi arung Bugis atau pampawa ade penjaga adat dalam arti ajjoareng pemimpin, namun puncak piramida sosial diduduki oleh
99
kelompok elite baru yang terdiri atas aparat kekuasaan negara, seperti gubernur dan bupatiwalikota, golongan cendekiawan, militer dan pemilik modal. Setelah
masa penjajahan Belanda golongan elite kembali menempati kedudukan elite yang baru, dengan komposisi elite inilah yang berlangsung sampai kemerdekaan RI,
sebagai berikut: 1. Kaum Anakarung bangsawan yang setia kepada Belanda dan golongan bangsawan yang berpendidikan ambtenaar sebagai kelas utama.
2. Kaum ambtenaar gubernermen, kalangan cendekiawan yang mendapatkan pendidikan formal dan kalangan ulama Islamadat serta pemimpin gerakan sosial
sebagai kelas menengah. 3. Kaum hartawan, pedagang dan pengusaha, sebagai elite kelas dasar Mattulada 1984, Thosiba 2002.
Pelapisan sosial dalam etnis Makassar, setidaknya adalah: 1. Karaeng bangsawan, terdiri dari bangsawan murni anak tino, bangsawan setengah
murni anak sipue dan bangsawan darah anak cerak dan bangsawan rendah anak karaeng sala. 2. Tumaradeka orang biasa dari lapisan menengah yang
merdeka, terdiri dari orang baik-baik tubajik dan orang kebanyakan Tusamarak. 3. Ata abdi, sebagai lapisan bawah yang terdiri dari abdi karena
keturunan ata sossorang, abdi yang diusir dari lingkungan keluarganya ata nibuang
dan abdi yang digadaikantidak mampu bayar utang tumangngirang. Sedangkan pelapisan sosial dalam masyarakat Bugis, khususnya di Bone
adalah: 1. Bangsawan Bone anakarung to Bone terdiri dari anak bangsawan penuh anakarung matase yang terbagi lagi menjadi putra mahkota anakarung
mattola dan putraputri raja anakarung matase dan bangsawan anakarung
yang terbagi lagi menjadi bangsawan warga istana anakarung ri bolang, bangsawan separuh anakarung sipue dan bangsawan berdarah campuran anak
cerak . 2. Orang merdeka to maradeka terdiri dari kepala kaumanang to
deceng dan rakyat kebanyakan to sama. 3. Hamba ata yang terdiri dari
hamba karena keturunan ata mana dan hamba baru ata mabuang.
35
Sejak To Manurung disepakati sebagai elite sentral dalam kehidupan masyarakat, terjadi pengelompokan elite baik secara struktural dan fungsional.
Secara struktural ada kelompok elite bangsawan yang disebut Arung raja,
35
Mattulada. 1975. Latoa Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Hasanuddin Pers. hlm. 438.
100
Anakarung , Gallarang, Karaeng, Ana karaeng, Puang dan Daeng serta Matoadi,
Ulu anang dan Ampu lembang. Pada pengelompokan elite yang bersifat vertikal,
antara elite terjadi stratifikasi sesuai dengan posisi dan kekuasaan yang dimiliki dalam pemerintahan. Disamping terjadi pengelompokan elite secara struktural
terjadi pula pengelompokan secara fungsional, dimana elite dikelompokkan sesuai dengan kemampuan, kelebihan dan fungsinya dalam masyarakat. Ada kelompok
elite seperti cendekiawan dan akademisi tu caradde, pengusaha atau orang kaya tu kalumannyang,
pemberani atau pahlawan tu barani, pemimpin pemerintahan to mapparenta dan pemimpin kerohanian tu panrita. Sedangkan kelompok elite
secara fungsional lebih bersifat horizontal. Setiap orang berhak menjadi bagian dari kelompok elite sepanjang memiliki kompetensi sesuai dasar pengelompokan, tanpa
harus menjelaskan atau membedakan asal usul dan status sosial lainnya. Terbukanya peluang untuk menjadi elite bagi setiap orang, menyebabkan
munculnya berbagai pengelompokan elite di Sulawesi Selatan. Setiap elite membentuk kelompok sesuai dengan profesinya. Ada kelompok militer, pengusaha, partai politik,
suku, bangsawan, ulama dan berbagai kelompok elite lainnya. Sedangkan budaya masyarakat Bugis dan Makassar menurut sumber di
daerah penelitian, dapat dilihat dari nilai dasar budaya politiknya yang terdiri dari enam nilai yang disebut sebagai enam pegangan enam akkateneningeng, yakni;
i Konsisten ada tongeng, seseorang dapat dijadikan pemimpin karena kata- katanya dapat dipegang; ii Kejujuran lempuk, seorang raja atau pemimpin
memelihara kejujuran dan tidak mengambil hak rakyatnya; iii Ketegasan getteng,
ketegasan dan keteguhan seorang pemimpin berpegang pada prinsip sebagai pengayom masyarakat; iv Kepatutan asittinajang, seseorang diangkat
menjadi pemimpin berdasarkan kepatutan atau kepantasan, yang berhubungan dengan kemampuan jasmani dan rohani; v Saling menghargai sipakatau, antara
setiap individu dalam berinteraksi harus saling menghargai; vi Tawakal mappesona ri pawinruk seuwae, nilai religius yang menjadi pedoman seorang
pemimpin dalam bertindak, karena ada pertanggungjawaban kepada penciptanya. Selain keenam pedoman hidup yang disebut pangadereng, etnis Bugis dan
etnis Makassar, juga memegang kuat yang namanya Siri Na Pacce perasaan malu dan sepenanggungan. Siri merupakan salah satu nilai yang amat penting
101
dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang secara fenomenal mewarnai kebudayaan di seluruh suku asli di Sulawesi Selatan. Secara harfiah Siri dalam
bahasa Bugis dan bahasa Makassar berarti rasa malu, dan lebih dihayati sebagai makna kultural. Makna kultural siri diartikan sebagai sistem nilai kultural
kepribadian sebagai anggota masyarakat etnis Bugis dan Makassar. Menurut Erlington bahwa siri
‟ bagi orang Bugis merupakan tujuan hidup yang paling tinggi, karena itu penting untuk menjaga sirinya, itu sebabnya, jika
seseorang bangsawan tinggi yang cukup bijaksana dan punya keluarga besar secara otomatis punya pengaruh sosial yang besar dalam masyarakat. Karena jika
banyak orang yang bersatu karena siri maseddi siri dengannya, maka akan mendengarkan petunjuk dan nasehatnya, sebagai salah satu cara menjaga siri
harga diri keluarga atau kelompoknya. Orang Bugis dan Makassar lebih menerima nasehat dari orang tuanya atau keluarganya daripada orang lain.
Dengan alasan ini, masyarakat Sulawesi Selatan hanya mengenal dua golongan yaitu keluarga dan orang lain.
Konsep yang berpadanan dengan siri adalah Pacce Makassar, Pesse Bugis yang berarti sependeritaan. Pacce berfungsi sebagai pemersatu, penggalang
solidaritas, serta pemuliaan humanitas sipakatau sebagai motivasi kesetiakawanan sosial suku bangsa Bugis dan Makassar, sehingga bagi orang Bugis dan Makassar Siri
‟ dan Pacce adalah ikatan pemersatu dalam upaya menegakkan serta memulihkan harga diri siri .
4.4 Budaya dan Tipologi Masyarakat