284
Apa yang dikemukakan oleh Dg Ngai dan Dg Ngalli menunjukkan bahwa peranan symbol yang mulai menurun disebabkan karena terjadinya pembangunan
di tingkat desa yang sangat massif melalui pemerintah, Muhammadyah dan Kosgoro, yang dipelopori oleh keluarga YL.
Penggunaan kuasa dan uang tidak sepenuhnya dipakai pada level mikro desa, kecuali di Desa Benteng Tellue Kabupaten Bone. Di desa ini pembentukan
elitnya menggunakan tiga intrumen sekaligus; simbol budaya, kuasa dan uang, dan berlangsung terutama pada fase sekularisme. Temuan ini sesuai dengan
penjelasan ERW, tokoh pemuda desa Benteng Tellue; ―Di desa ini, pemimpinnya harus kuat, harus memiliki kekuatan,
kekuasaan dan harus bisa membantu masyarakat. Sampai sekarang kami masih mengharapkan dipimpin oleh keluarga Ambe PG dan
keturunannya. Hanya keluarga Ambe PG yang bisa menjaga keamanan dan yang bisa menolong masyarakat di sini. Keluarga keturunan Ambo
PG sudah dibekali dengan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Keturunannya sudah menjadi symbol kekuatan dan pelindung bagi
masyarakat di sini, mereka suka membantu dan baik hati, menolong masyarakat yang susah. Untuk menjadi pemimpin di desa Benteng
Tellue seseorang harus berani, punya harta untuk membantu masyarakatnya yang susah, dan mendapat berkah dari Allah. Kalau
tidak memiliki syarat itu, umurnya pasti pendek
‖ Hasil Wawancara tanggal 12 Oktober 2009.
Dari penjelasan di atas, nampak keluarga klan PG sebagai elite sentral di Desa Benteng Tellue memiliki kualifikasi sebagai; kuasa berani melindungi
rakyatnya dari gangguan pihak luar dan dari dalam, memiliki uang harta untuk menolong masyarakat yang susah dan seakan-akan telah mendapatkan petunjuk
khusus dari Tuhan untuk menjadi pemimpin, hal dapat dihubungkan sebagai symbol yang sengaja diciptakan melalui politik wacana oleh keluarga PG.
7.2.3 Makna Simbol Budaya, Kuasa dan Uang
Jika dianalisis dari cara kedua etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa merespon dan memaknai atau memberikan etika terhadap simbol budaya, kuasa
dan uang yang berkaitan dengan proses pembentukan elite, ditemukan bahwa keduanya memiliki cara yang berbeda, kendati terdapat sejumlah kesamaan.
Berikut adalah etik dan makna yang mereka berikan terhadap simbol budaya, kuasa dan uang.
285
ELEMEN BUGIS
MAKASSAR
Attachment terhadap
Monarkhism Mengalami metamorfosis ke dalam
negara Terlokalisir di Gowa
Etika Cara membangun
jaringan Fleksibel dengan budaya luar aras
makro, tetapi kaku dan tertutup ke dalam aras mezzo dan mikro.
Kaku dengan budaya luar aras makro, tetapi luwes ke dalam aras mezzo dan
mikro.
Makna Uang
Memiliki kultur entrepreneurial ethics Materialisme adalah unsur yang
sangat penting Belum memiliki kultur entrepreneurial
ethics materialisme unsur yang
penting Kuasa
Kesejahteraan lebih utama dari kekuasaan Kekuasaan untuk
kapitalisasi kesejahteraan ekonomi Kekuasaan lebih utama dari
kesejahteraan Kekuasaan dikapitalisasi untuk ekspansi kekuasaan
Simbol etnis Identitas etnis adalah instrumental
untuk membangun kekuasaan Identitas etnis tidak dieksploitasi
sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan
Gambar 7. Etik dan makna simbol budaya, kuasa dan uang bagi etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa
Gambar 7 tentang etik dan makna atas simbol budaya, kuasa dan uang, etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa memiliki etik dan makna yang berbeda dalam
menafsirkan simbol budaya, kuasa dan uang sebagai instrumen yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan elite. Misalnya, etika dalam membangun
jaringan, etnis Bugis Bone dikenal lebih adaptif, fleksibel, koorporatif dengan system dan budaya luar, akan tetapi sangat tertutup system politiknya secara
internal pada level mezzo dan mikro. Para aristocrat atau elite Bone di dalam membangun hubungannya dengan massa, terutama dalam konteks politik
kekuasaan, mereka sangat menjaga keaslian darah kebangsawanan mereka. Kondisi ini menyulitkan kalangan massa atau sub-elite di Bone untuk menembus
struktur kekuasaan. Akibatnya, governing elite maupun non-governing elite di Bone didominasi oleh kalangan aristokrat putra asli Bone.
Menurut tokoh masyarakat Bone, AAN mantan anggota DPRD Makassar dan DPRD Sulsel beberapa periode, sikap flexibilities dan kemampuan adaptasi
menghadapi budaya luar dan sangat tertutupnya dalam membangun struktur kekuasaan local di Bone, sangat dipengaruhi oleh factor pendidikan dan budaya
paternalistic, ia menuturkan;
286
―Orang-orang Bone bisa survive dimana saja. Orientasi mereka di luar Bone, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa selalu mau
menjadi pemimpin, ini karena pengaruh pendidikan yang mereka sudah capai. Dalam tradisi orang Bone tidak boleh ada dua ayam jago dalam
satu kandang. Akan tetapi, jika terjadi interaksi atau bertemu untuk berkompetisi antara kalangan bangsawan dengan rakyat biasa, maka
pasti rakyat biasa akan mengalah dan tunduk pada patronnya yang keturunan bangsawan. Itu sebabnya rakyat biasa dari Bone yang mau
maju dan menjadi pemimpin pasti akan meninggalkan Bone, karena yang bisa berkuasa di Bone adalah dari kalangan bangsawan saja.
Masyarakat Bone tidak rela dipimpin oleh kalangan sesamanya, mereka hanya tunduk pada kalangan bangsawan. Jadi untuk bisa menjadi elite
di luar Kabupaten Bone, mereka harus adaptif dan fleksibel dengan
budaya luar.‖ Hasil wawancara tanggal 18 Pebruari 2011. Apa yang dijelaskan oleh Altin Noor, menunjukkan etnis Bugis Bone
berada dalam struktur social yang hirarkis dan paternalistic. Kalangan massa atau sub-elite memberikan penghargaan besar terhadap elitenya, khususnya pada elite
kekuasaan politik. Fleksibilitas dan kemampuan adaptif yang dimiliki masyarakat Bone
menghadapi system luar, dan tertutupnya pola hubungan mereka dalam membangun komunikasi politik local pada level mezzo dan mikro, sangat berbeda
dengan respon yang diberikan oleh etnis Makassar Gowa yang relatif lebih kaku, sangat menjaga purifitas budaya lokal, dan sulit sekali berkorporasi dengan
system dan budaya luar. Akan tetapi secara internal pada aras mezzo dan mikro, elite-elite etnis Makassar Gowa sangat flexible dan terbuka pada kelompok sub-
elite dan massa dalam membangun hubungan politik kekuasaannya. Tentang hal ini, MPR mantan anggota DPRD Sulsel dan mantan Ketua Bappeda Kabupaten
Gowa menjelaskan; ―Sebagai bangsa yang pernah berjaya dan besar, orang Gowa terlalu
percaya diri dengan kebesarannya. Mereka bangga dengan budayanya. Perasaan itu menguasai sebagian besar masyarakat Gowa, itu sebabnya
mereka sulit sekali beradaptasi dengan budaya luar. Sesungguhnya diantara mereka sangat terbuka, saling kritik, egaliter dan tidak
paternalistic. Akan tetapi mereka tidak mengikuti perkembangan yang ada. Orang Gowa juga terlambat memasuki arena pendidikan.
Kesadaran pentingnya pendidikan baru tumbuh 20 tahun terakhir. Akibatnya sulit sekali bersaing di luar Kabupaten Gowa. Sedikit sekali
orang Gowa yang bisa menembus panggung kekuasaan tingkat nasional dan propinsi.
‖ Hasil wawancara pada 12 Januari 2011.
287
Cara mereka memandang makna terhadap uang juga berbeda. Etnis Bugis Bone sudah memiliki kultur etik entrepreneurship yang cukup tinggi, sehingga unsur
materialisme menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Menjaga martabat kesejahteraan ekonomi keluarga adalah bagian dari konsep sirri-nya etnis
Bugis Bone. Sedangkan etnis Makassar Gowa, secara cultural, belum memiliki etik entrepreneurship
yang kuat, sehingga pandangan terhadap materialisme tidak berkaitan dengan siri
‟-nya. Itu sebabnya, nilai utama etnis Makassar Gowa lebih mendahulukan solidaritas ketimbang hirarkisme, oleh karena itu, faktor pacce
merasakan penderitaan orang lain sangat kental pada masyarakat etnis Makassar Gowa dibandingkan dengan perasaan prestise ekonomi dan kesejahteraan hidup.
Etnis Bugis Bone memaknai kekuasaan sebagai alat untuk melipatgandakan kesejahteraan dan prestise kehidupan. Dalam pandangan ini, kesejahteraan lebih tinggi
nilainya dari pada kekuasaan. Dengan kata lain etnis Bugis Bone mendahulukan kesejahteraan daripada kekuasaan. Sedangkan etnis Makassar Gowa menjadikan
kekuasaan sebagai alat untuk kapitalisasi kekuasaan, kekuasaan menjadi alat untuk memperluas kekuasaan itu sendiri. Itu sebabnya etnis Makassar Gowa cenderung
melakukan ekspansi kekuasaan kolonialisasi sejak era tradisionalisme hingga dikalahkan oleh VOC dan Arung Palakka pada 1669 pertengahan era Islam modern.
Bagi etnis Makassar Gowa, kekuasaan lebih tinggi nilainya daripada materialism ekonomi. Menurut Sosiolog Unhas Dr. M. DWS, MA, kecenderungan ini berkaitan
dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masing-masing etnis. Lebih lanjut Dr. M. DWS, MA mengatakan;
―Etnis Bugis pada umumnya, khususnya orang Bone hidup dengan struktur social yang hirarkis dan paternalistic. Dengan struktur
masyarakat seperti itu, memungkinkan berkembangnya penghargaan yang tinggi terhadap individu tertentu yang dijadikan sebagai patron,
dari penghargaan terhadap individu yang tinggi kemudian apa yang disebut in-group favoritism. Itu sebabnya mengapa orang Bugis Bone
lebih kuat prinsip
siri‟ harga diri dan martabat pribadi dibandingkan dengan perasaan
pace‟ merasakan penderitaan orang lain. Kesejahteraan ekonomi memiliki uang dan harta benda yang banyak
berhubungan dengan kekuasaan individual. Kesejahteraan individual merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat Bone. Dengan kata lain,
kesejahteraan ekonomi lebih penting daripada yang lain, termasuk kekuasaan politik. Mungkin spirit inilah yang mendorong orang Bugis,
288
khususnya Bugis Bone memiliki etik entrepreneurship. Kekuasaan bisa dicapai melalui kesejahteraan ekonomi. Hasil wawancara tanggal 5
Pebruari 2011.
Simbol budaya dan identitas etnis digunakan secara baik oleh etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa untuk membentuk diri mereka sebagai elite.
Meskipun elite Bugis Bone lebih piawai mengelola identitas etnis menjadi instrumen penting untuk meraih kekuasaan. Sedangkan etnis Makassar Gowa
belum optimal mengeksplorasi identitas etnis untuk dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.
Kemampuan orang Bone memanfaatkan identitas etnis sebagai symbol budaya untuk meraih posisi elite pada panggung kekuasaan yang lebih tinggi,
berkaitan dengan keberhasilan kelompok elite bangsawan Bone merawat eksistensinya dan menjaga hubungan baik dengan massa. Hal yang sama
diungkapkan oleh A. BH Pejabat Eselon II Pemprov Sulsel, berasal dari Bone seperti berikut;
―Keberhasilan elite politik Bone menjaga hubungan baik dengan massanya menjadi modal dasar bagi mereka untuk mengeksplorasi
symbol budaya dan identitas etnisnya sebagai alat yang ampuh untuk meraih kekuasaan politik. Keberhasilan ini dipicu oleh keunggulan
individu kalangan aristocrat Bone dari aspek pendidikan dan ekonomi. Pada umumnya, bangsawan Bone jauh sebelum Indonesia merdeka
sudah sangat sadar akan pentingnya pendidikan. Elite politik Bone yang pada umumnya berasal dari kalangan bangsawan selalu mendapat
dukungan kuat dari massanya. Sampai saat ini bangsawan Bone masih tetap eksis secara politik dan ekonomi, dan tetap menjadi patron bagi
massanya.‖ Hasil wawancara tanggal 18 Pebruari 2011. Elite-elite politik Gowa tidak mampu memanfaatkan identitas etnis dan
symbol budaya sebagai alat untuk meraih posisi politik dan kekuasaan. Keadaan ini bersamaan dengan menurunnya peranan politik kalangan elite dari aristocrat
Gowa. Penurunan fungsi politik banyak dipengaruhi oleh semakin tidak kompetitifnya sumberdaya elite dari bangsawan Gowa, seperti yang diungkapkan
oleh JR pejabat eselon II Pemprov Sulsel, berasal dari Kabupaten Gowa sebagai berikut;
289
―Kalangan Istana bangsawan Gowa pada saat menjelang kemerdekaan Bangsa Indonesia justru berkoalisi dengan Belanda. Masyarakat Gowa
menilai mereka bagian dari penjajah. Meskipun tidak semua kalangan istana berhubungan baik dengan Belanda, karena beberapa kalangan
Istana lari dari Istana untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal kedua yang membuat fungsi elite politik Istana Gowa semakin
merosot, karena mereka terlena dengan ke-serba-adaan yang diwariskan oleh Istana, sehingga mereka menjadi pemalas. Mereka juga tidak
memperhatikan pentingnya pendidikan. Keadaan inilah yang menjadi pemicu secara umum, mengapa elite-elite Gowa sangat sulit beradaptasi
dengan budaya luar, dan akhir sulit mencapai posisi kekuasaan yang
lebih tinggi.‖ Hasil wawancara 10 April 2010. Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa etnis Bugis Bone dan
etnis Makassar Gowa memiliki arena dan cara yang berbeda untuk mendapatkan posisi kekuasaan.
Etnis Bugis Bone telah mencapai panggung kekuasaan di luar sistem sosial Bone Sulsel Sulsel, dengan menggunakan karakter yang adaptif, flexible dan
transaksional terhadap budaya luar. Sedangkan etnis Makassar Gowa masih bermain di dalam wilayah local Gowa dan Sulsel dengan prinsip politik lokal
yang dianutnya. Hal lain yang menyebabkan perbedaan respon makna dan etik terhadap
simbol budaya, kuasa dan uang dalam proses pembentukan elite pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa dikarenakan oleh adanya perbedaan fase
transformasi pemikiran dan tindakan politik yang terjadi antara dua etnis tersebut. Untuk melihat secara jelas fase perjalanan budaya kekuasaan etnis Bugis
Bone dan Makassar Gowa, terutama bagaimana mereka memanfaatkan simbol budaya, kuasa dan uang untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi, dapat
dilihat pada tabel 17. Tabel berikut juga akan menjelaskan bagaimana kecenderungan atau ciri pokok budaya politik dua etnis dalam meraih kekuasaan,
dan bagaimana mereka melakukan ekspansi kekuasaan politik.
290
Fase Perjalanan Budaya Bugis Fase Perjalanan Budaya Makassar
T ra
dis io
na l
F eud
ali
sme Is
la m
- M
o derni
sme Seku
la ris
me T
ra dis
io na
l
F eud
ali
sme Is
la m
- M
o derni
sme Seku
la ris
me
C ir
i p ok
ok b
ud ay
a po
liti k
yan g
do m
in an
Penggunaan simbol
budaya yang sangat
tinggi. Memper-
tahankan merebut
sumberdaya ekonomi
tanah subur
Penguatan peranan
aristokrasi pendidikan
kapitali- sasi
sumber- daya eko-
nomi aliansi dengan
budaya luar Transaksio-nal
Mempertahan kan aristokrasi
kekuasaan lokal.
Memperkuat dunia usaha
Penggunaa n simbol
budaya Okupasi
sumberdaya potensial
tanah subur pada
lain Agama dan
penguatan aristokrasi
Bertahan dengan
system lokal.
Aristokrasi meluruh
digantikan oleh
kapitalisasi kekuasaan
lokal
Pem an
faa tan
s im
bo l b
ud ay
a
un tu
k m
em per
-
oleh k
ek uasaan
Penggunaan Simbol
budaya yang tinggi
melalui mitos
Simbol budaya
mulai meluruh
digantikan oleh tanah
Aristokrasi menjadi
pusat kekuasaan.
aliansi dengan
system luar Aristokrasi
terus dilanggeng-
kan. Kapitalisasi
simbol budaya untuk
ekonomi kesejahtera-an
melalui arena global
Peng- gunaan
Simbol budaya
yang tinggi melalui
mitos Simbol
budaya tetap eksist
di tambah dengan
perdaganga n antar
pulau dan negara
Pergeseran simbol
budaya tradisional
menjadi simbol
budaya islamis
Simbol budaya
terus tereduksi
digantikan oleh system
ideologi politik
ekonomi global
Pem an
faa tan
u an
g
dalam p
en ca
paian kek
uasaan Sangat
minim Belum
menjadi instrumen
yang ber- pengaruh
Instrumen penting
Instrumen yang sangat
penting dalam skala massif
Sangat minim
Sudah mulai
dalam skala kecil
Instrumen yang sangat
penting Instrumen
yang sangat penting
dalam skala terbatas
C ar
a- ca
ra m
elak uk
an
ek sp
an si k
ek uasaan
po liti
k Penciptaan
mitos dan simbol
– simbol
kekuasaan Penciptaan
system patron-
client .
Perkawinan politik
Koalisi aliansi
Intelektua- litas
Kesejah- teraan
ekonomi Transaksio-nal
Networking aliansi
Aristokrasi Hybridisasi
budaya politik ekonomi
Penciptaan mitos dan
simbol kekuasaan
Patron- client
. Penaklukan
melalui penyebaran
Islam Memper-
tahankan identitas
budaya lokal.
Koeksis- tensi
Networking Intelek-
tualitas Ekonomi
Jejaring aliansi
Hybridisasi budaya
politik
Gambar 8. Fase perjalanan budaya kekuasaan politik dan ekonomi etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa
Memperhatikan gambar 8 di atas, khususnya pada cara-cara etnis Bugis dan Makassar melakukan ekspansi kekuasaan politik dan ekonomi, terjadi
kecenderungan dan kesadaran yang sama akan pentingnya hibridisasi budaya politik antar etnis pada aras makro. Sedangkan pada level mezzo, tidak terjadi
291
intervensi kekuasaan antar etnis untuk saling mengatur dan mendominasi, yang terjadi pada level mezzo adalah koeksistensi budaya politik. Meskipun etnis Bone
lebih awal menyadari pentingnya peranan uang ekonomi, koalisi, aliansi dan kemampuan intelektualitas. Instrumen tersebut terjadi pada etnis Bugis Bone sejak
periode Islam modern. Sedangkan etnis Makassar Gowa baru mengalami instrumen tersebut pada fase sekularisme. Hal yang serupa dikemukakan oleh
SYL governing elite; ―Sebagai keluarga besar Sulsel, saya sangat sedih ketika etnis Mandar
Mamuju, Polmas dan Majene memisahkan diri dari Sulsel menjadi propinsi Sulbar. Untuk menjaga kesatuan dan soliditas Sulsel yang
dilahirkan dari keragaman etnis Bugis, Makassar dan Toraja, di masa yang akan datang, kita membutuhkan konsep kehidupan bermasyarakat
yang mampu secara permanen mengikat system social dan budaya yang dianut oleh setiap komunitas dan etnisitas yang ada. Kita
mengharapkan ―Sulsel Baru‖ yang lahir dari persilangan budaya social yang didasari atas kesadaran bersama yang saling menguntungkan
semua kalangan masyarakat. Pada saat yang sama kita akan terus menghidupkan dan mengawal tumbuhnya budaya local masing-masing
komunitas, sebagai ciri khas. Tapi pada level propinsi kita membutuhkan konsep
untuk menjadikan ―Sulsel Baru ‖ yang lebih baik.‖ Pidato pada 16 Maret 2007 di Makassar.
Meskipun SYL tidak secara eksplisit menyebut konsep hibridisasi budaya politik, akan tetapi makna dari pidatonya jelas sekali adalah upaya menemukan
identitas baru bagi masyarakat Sulsel yang memiliki keragaman budaya, bahasa dan system sosial. Secara kultural, tawaran semacam ini akan mampu meredam
gejolak social yang disponsori oleh semangat politik primordial. Pada fase sekularisme, etnis Bugis Bone sudah memasuki perilaku politik
dan ekonomi yang bersifat transaksional. Etnis Bone pada masa tersebut semakin ―lentur‖ memainkan peranan pada aras makro provinsi dan Sulsel. Beberapa
actor yang berasal dari etnis Bone yang menjadi pemain pada panggung
kekuasaan makro pada fase sekularisme antara lain adalah; Jenderal MJ, JK, Letjen. A. GLB , AM, AS, AAM, NH, dan AM. Menurut AYP Anggota DPRD
Sulsel, kelahiran Bone, ―kelenturan‖ dan kemampuan adaptif yang dimiliki orang Bone, karena pengaruh factor pendidikan dan budaya politik.
―Sejak kecil keluarga besar di Bone sudah mengirim kami ke Makassar untuk belajar pada sekolah yang terbaik. Interaksi dengan berbagai
kelompok social masyarakat di Makassar memaksa saya dan keluarga
292
dari Bone untuk ―open mind,‖ beradaptasi dengan system luar. Dari keadaan ini, kami menjadi orang yang bisa bergaul dengan semua
kalangan. Selain itu, orangtua kami selalu berpesan untuk menghormati dan menghargai orang lain, dan tidak eksklusif
.‖ Hasil Wawancara 21 September 2009.
Salah satu k ata kunci dari ―kelenturan‖ sikap politik yang dimiliki orang
Bone dipengaruhi oleh factor pendidikan. Selain itu, tata nilai yang dipraktekkan di dalam berinteraksi dengan masyarakat luar ikut memicu sikap adaptif yang
melekat pada aktor-aktor politik dari Bone. Faktor pendidikan dan nilai budaya inilah yang mengantar sejumlah aktor elite Bone mampu menembus panggung
kekuasaan nasional dan propinsi. Pada periode yang sama periode sekularisme, etnis Makassar Gowa baru
memasuki kesadaran intelektualitas, jejaring, dan aliansi kekuasaan. Hasil dari kesadaran ini baru melahirkan actor yang bermain pada panggung kekuasaan makro
antara lain; Ryas Rasyid dan SYL. ―Keterlambatan‖ ini direspon positif oleh
IYLgoverning elite dari Gowa, ia mengatakan; ―Ini menjadi agenda jangka panjang saya pribadi dan pemerintah
Kabupaten Gowa, untuk mendorong masyarakat menjadi masyarakat yang memiliki daya saing kuat, mampu berkompetisi pada level
propinsi dan nasional pada semua aspek; politik, ekonomi, intelektual, professional dan lain-lain. Saya berharap 15 tahun yang akan datang
sumberdaya manusia Gowa sudah mulai bermain di pentas nasional. Saya sudah mulai agenda ini lima tahun lalu. Selama ini elite-elite
Gowa, terutama dari kalangan bangsawan terlena dengan sejarah masa lalu, mereka lupa kalau dunia luar system luar mengalami perubahan
yang sangat besar dan cepat, ini mempengaruhi psikologi social masyarakat. Mereka tidak sempat menyesuaikan diri, bahkan gagal
beradaptasi dengan system luar. Akibatnya sangat sedikit orang Gowa
yang mampu memasuki panggung nasional.‖ Hasil wawancara tanggal 11 Mei 2011.
Merujuk pada pandangan IYL, faktor yang palingng besar pengaruhnya terhadap keterlambatan masyarakat Gowa memasuki panggung kekuasaan yang
lebih tinggi adalah factor pendidikan kualitas sumberdaya manusia. Ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan lain lebih disebabkan oleh
kualitas sumberdaya yang terbatas.
293
7.3 Hibridisasi Budaya Politik Pilihan Masa depan