Dinamika Politik Desa Di Kabupaten Gowa Desa Manjapai Dan

214 Amat menarik untuk dibedah dengan membandingkan peranan kekuasaan politik antara dua Desa yang berbeda etnis Desa Benteng Tellue di Bone dengan Desa Manuju Kabupaten Gowa yang memiliki kemiripan posisi geografis, akan tetapi berbeda di dalam memberikan kontribusi kekuasaan politik pada era dan fase yang sama. Desa Benteng Tellue di Bone yang tidak memiliki tradisi kekuasaan politik pada fase-fase; tradisional, feudalism dan Islam modern, tiba- tiba sejak pertengahan Orde Baru sampai saat ini mampu melahirkan elite-elite baru. Sebaliknya, Desa Manuju yang pernah ―berjaya‖ secara politik pada beberapa fase sebelum Orde Baru dan Sekularisme, justru mengalami penurunan peranan dalam kemampuannya memproduksi elite-elite baru, baik pada untuk level mezzo maupun makro. Untuk melihat berbagai hal yang berbeda atau hal yang sama yang terjadi pada masing-masing etnis dan Desa, berikut ini diuraikan proses interaksi sosial masing-masing Desa sampel penelitian, dan prilaku elite pada setiap Desa sampel.

6.4.1 Dinamika Politik Desa Di Kabupaten Gowa Desa Manjapai Dan

Desa Manuju Sepintas Tentang Daeng Di Desa Manjapai Desa Manjapai adalah Desa yang dibentuk dari pecahan Desa Jipang. Jipang pada awalnya adalah bangkala yang dipimpin oleh Karaeng Bangkala Jipang yang mempunyai tiga Jannang teritori yaitu jannang Kaluarrang, jannang Salajo, dan Jannang Data. Perubahan dari sistem bangkal ke sistem Desa dimulai pada saat Orde Baru mulai memerintah Indonesia yang menjadi kepala desa pertama adalah Faharuddin Dg. Nyonri yang berlatar belakang Militer pada pemilihan pertama ada dua kandidat yaitu Syamsuddin Dg. Erang yang berlatar belakang Guru. Faharuddin Dg. Nyonri adalah kemanakan dari YL sedangkan Syamsuddin Dg. Erang adalah generasi ke empat dari kepala Jannang Data Pamaessengi. Kecamatan Bontonompo pada saat itu diperintah oleh YL sebagai BUTER di Bontonompo setingkat danramil, ketika itu Karaeng Bangkala Dg. Narang sebagai Bangkala Jipang sedangkan Dg. Sufu sebagai Jannang Data. Pada masa Orde Baru Bangkala Jipang diubah menjadi Desa Jipang. Pemerintahan Desa Jipang pertama dipimpin oleh Fahruddin Dg. Nyonri sampai pemekaran 1989 215 menjadi Manjapai, Jipang dan Salajo. Fahruddin Dg. Nyonri kemudian digelar menjadi Karaeng Bangkala ri Timboro selama menjabat menjadi kepala desa. Menurut Basarang Dg. Tata, orang tua dari Fahruddin Dg. Nyonri bapak adalah saudara dengan YL asal dari dusun Karebassae dan Allu Sengka dan menikahi perempuan Jipang yang keturunan darah biru Bangkala Jipang. Nama Manjapai sendiri diambil dari nama daerah di dusun data yang mempunyai luas 8 ha persegi, menurut sumber di desa ini, Manjapai adalah daerah dari karaeng Manjapai, penamaan ini diberikan oleh YL untuk mengenang salah satu pahlawan dari Manjapai yaitu Karaeng Manjapai. Disini juga ada kuburan yang ditengarai adalah kuburan dari Karaeng Manjapai yang menurut kepercayaan masyarakat bahwa Karaeng Manjapai menghilang, kuburan adalah penanda daerah tempat dia menghilang. Kepala Desa Manjapai yang pertama ditunjuk adalah anak dari Fahruddin Dg. Nyonri yaitu Nirwan Dg. Gassing. Nirwan Dg. Gassing memerintah selama 12 tahun dimulai dari 1989 dengan masa 1 tahun persiapan 6 tahun definitif dan periode pertama 1997 setelah dilakukan pemilihan dengan mencarikan pasangan lawan yaitu Dg. Untung dari dusun karebase agar tidak terjadi pemilihan melawan kotak kosong. Nirwan Dg. Gassing memerintah satu periode selama 6 tahun. Pada periode ini Desa Manjapai di kategorikan sebagai IDT indeks Desa tertingal. Menanam jagung dilakukan untuk menjadi komoditas produksi petani dimulai pada saat SYLmenjadi camat di Bontonompo dengan memulai pola tanam 3 kali, 2 kali jagung, sekali padi dan mengenalkan system perairan PMA. Pada pemilihan kepala desa tahun 2003 Nirwan Dg. Gassing diganti dengan kepala desa Safaruddin Dg. Nai sekretaris Desa dengan pemilihan sebanyak 4 calon yaitu: i Rahman Dg. Naba Dusun Kaluarrang, ii Dg. Maro Dusun Karebasse, iii Nirwan Dg. Gassing Dusun Karebasse, iv Saifuddin Dg. Nai Dusun Data. Saifuddin Dg. Nai sendiri adalah keturunan ketiga dari Jannang Data yaitu Dg. Sufu dan adik dari Samsudding Dg. Erang yang dulunya bertarung dengan kepala desa pertama Jipang Faharudding Dg. Nyonri. Menurut informasi masyarakat di Manjapai kekalahan dari Nirwan Dg. Gassing karena adanya keluarga yang maju dari Karebasse yaitu Dg. Maro. 216 Saifudding Dg. Nai menjadi kepala desa selama 6 tahun terhitung sejak tahun 2002 – 2007. Pemilihan kepala desa pada tahun 2007 terdapat 5 kandidat kepala desa yaitu : i Dirwan Dg. Fata dusun Kaluarang, ii Faharudding Dg. Lao dusun data, iii Mappo Dg. Liwang dusun data, iii Jamaluddin Dg. Tawang dusun Karebasse, iv Saifudding Dg. Nai‘ dusun data. Pemilihan itu kemudian menetapkan kembali Saifuddin Daeng sebagai Nai kepala desa Manjapai. Total luas wilayah Desa Manjapai adalah; i Kaluarrang 71,26 ha, ii Data 239,33ha. iii Karebasse 62,73ha, dan iv Jannaya 79,75ha, Jadi luas keseluruhan adalah : 453,07 ha persegi. Secara administratif, Desa ini memiliki empat Dusun dengan kepala dusun masing-masing: i Dusun Kaluarrang Hansur Naim Daeng Ngempo, ii Dusun Data Hamzah Daeng Beta, iii Dusun Karebasse Saifudding Daeng Ngalle, iv Dusun Janayya Harsyad Daeng Tompo. Untuk memastikan keberlangsungan pembangunan Desa, Desa Manjapai mengangkat anggota Badan Pengawas Desa BPD, yang direkrut dari masing- masing dusun sebanyak dua orang; i Abdu Rasyid Dg. Joyo dusun Kaluarrang, ii H. Sulaiman Dg. Pasang dusun Kaluarrang, iii H. alig Dg. Nyonri dusun Data, iv Abdullah Dg. Nya‘la dusun Data, v Syamsuddin Dg. Muntu dusun Karebasse, vi Syaifuddin Dg. Tiro Dusun Jannaya, vii Mustadir Dg. Sikki Dusun Jannaya, viii Abdu Rahman Dg. Rangka Dusun Karebasse, dan ix Arsyad Dg. Jaya dusun Data. Dusun Di Manjapai Desa Manjapai berada di kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa, memiliki empat dusun. Dusun-dusun ini secara politik memiliki interest yang berbeda antara satu dusun dengan dusun lain. Karakter politik yang berbeda-beda kemudian terimplementasi pada pilihan politik berdasarkan aliran keluarga dan kesamaan latar belakang pemahaman politik. Dusun Kaluarrang Dusun Kaluarrang dulunya adalah satu jannang tersendiri yang di gabung dengan Jannang Data, kemudian dijadikan satu dusun tersendiri di dalam Desa Manjapai. Sehingga karakteristik dusun ini sangat berbeda dengan dusun lainnya. 217 Dusun Kalluarang termasuk maju secara ekonomi ini dilihat dari struktur bangunan rumah penduduk dan tingkat kesadaran pendidikan penduduk di dusun ini. Warga dusun Kaluarrang adalah warga masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran Muhammadiyah. Itu sebabnya, masyarakat di dusun ini memiliki kesadaran yang kuat terhadap dunia pendidikan. Di dusun ini simbol-simbol budaya tidak memiliki pengaruh yang cukup berarti. Ajaran Islam dikerjakan dengan rasionalitas yang tinggi dibanding dengan warga dusun-dusun lainnya. Muhammadiyah memasuki wilayah ini pada awal 1950-an, yang dipelopori oleh: Mancu Daeng Nyampa, Baco Daeng Tola, dan Basarang Daeng Nawang. Dampak yang paling kuat dari pengaruh Muhammadyah pada masyarakat adalah pada pendidikan dan tatacara ibadah. Kekuatan ekonomi di Desa ini ada pada koperasi simpan pinjam “Karaenta Data” pada awal berdirinya koperasi ini dimotori oleh perempuan Aisyia‘ah perempuan Muhammadiyah kemudian di kembangkan dan dibina oleh KOSGORO cat-di provinsi saat itu KOSGORO dipimpin oleh NYL dan mendapatkan dana bantuan sebesar lima 5 juta Rupiah. Sebagai pendiri dan pengelola koperasi H. Kamiluddin Dg. Fata. Koperasi ini memiliki pabrik penggilingan beras terbesar di Manjapai dan sebagai distributor pupuk di 2 kecamatan di Takalar kabupaten tetangga dulunya, Takalar merupakan bagian dari Kabupaten Gowa. Koperasi ini juga sekaligus sebagai pengumpul dan membeli hasil pertanian masyarakat, baik anggota koperasi maupun bukan anggota. Dusun ini dipimpin secara turun temurun oleh keluarga Hasanuddin Dg. Nompo sejak tahun 1970. Kemudian pada tahun 1980, Rumalang Dg. Ambo menggantikan saudaranya Hasanuddin Dg. Nompo. Pada tahun1998, Rumalang Dg. Ambo digantikan oleh Hamnur Naing Dg. Empo kemanakan dari Rumalang Dg. Ambo sampai sekarang. Dusun Data Salah satu jannang yang digabung di Desa Manjapai adalah Dusun Data, dusun Data merupakan pusat pemerintahan dari Desa Manjapai. Dusun ini adalah dusun paling luas di Desa Manjapai, sebelum digabung menjadi satu Desa, dusun ini memiliki wilayah Karebasse dan Jannaya. Penduduk disini sangat kuat ikatan kekeluargaannya dan masih memelihara budaya kebersamaan dan saling 218 membantu. Salah satu budaya yang masih eksis adalah Akkorongtigi. Sebuah budaya saling memberi pada saat seseorang sedang melaksanakan hajat dalam keluarganya, misalnya menikahkan keluarganya, sunatan dan lain. Akkorongtigi memberi pengaruh kebersamaan dan ikatan emosional yang kuat antara penduduk dusun Data. Selain diikat dari hubungan kekeluargaan yang kuat, dusun secara politik terkonsolidasi pada keluarga Safaruddin Dg. Nai kepala desa. Karena kepala desa adalah keturunan keempat dari dua mantan Jannang Data yaitu Pamessengi dan Dg. Sufu, yang dulunya adalah pemilik tanah di dusun Data. Sehingga hampir semua keputusan sosial dan politik dikembalikan kepada keluarga kepala desa. Sebagian besar penduduk adalah petani, dan pemilik tanah adalah H. Dg. Bella imam dusun dan Ali Dg.Nyonri saudara kepala desa, keduanya mempersewakan lahan untuk diolah dengan pembagian hasil. Untuk memperkuat ekonomi dusun ini, pada tahun 2009, telah didirikan koperasi simpan pinjam yang beranggotakan 25 orang anggota tetap, yang dipimpin oleh kemanakan Kepala Desa. Dusun Data setidaknya telah dipimpin oleh tiga orang; Sahabat Dg. Taba; Parawansa Dg. Sese; Hamzah Dg. Beta. Ketiga kepala dusun ini tidak memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat, seperti yang terjadi pada dusun Kaluarrang. Dusun Karebasse Dusun ini secara teritorial adalah bagian dari dusun Data sebelum dipecah menjadi Desa Manjapai, di dusun inilah tempat kelahiran YL sehingga di dusun ini terdapat rumah pribadi dari keluarga YL. Pengaruh politik dari keluarga YLsangat kuat di dusun ini. Di dusun ini pula berkembang mitos bahwa pemimpin besar akan lahir dari keturunan YL. Terpilihnya SY Lsebagai Gubernur Sulsel dan Ikhsan YLsebagai Bupati Gowa, semakin memperkuat mitos-mitos di Karebasse. Bentuk lain dari mitos yang berkembang di dusun ini adalah, kepercayaan masyarakat terhadap Bungo Tallua tempat yang menurut keyakinan masyarakat bisa mendatangkan berkah buat yang mandi dan meminum airnya. Bungo Tallua sendiri adalah sumur kembar yang konon airnya selalu seimbang. Diceritakan oleh warga Karebasse, pada moment-moment tertentu yang dinilai penting oleh warga, 219 mereka akan meminum air dan mandi di Bungo Tallua, harapannya agar semua hajat mereka tercapai. Sumber ekonomi dusun ini adalah komoditi jagung, kacang-kacangan, dan sayuran. Semua produk pertanian dusun Karebasse dijual ke Makassar oleh pedagang pengumpul. Dusun ini berada sekitar 20-an kilometer dari Makassar. Dusun Jannaya Dusun Jannaya adalah dusun yang awalnya menjadi teritori dari jannang atau dusun Data dan menjadi dusun yang berbatasan langsung dengan Desa Bategulung. Dusun ini mempunyai ikatan politik yang sangat kuat dengan Dusun Data. Hubungan ini lahir dan berkembang dari ikatan kekeluargaan, antara dusun Jannaya dengan dusun Data. Hubungan baik ini mereka selalu perlihatkan pada setiap ada hajatan politik, misalnya pada setiap pemilihan kepala desa. Salah satu pendukung kuat dari kepala desa sekarang adalah kepala dusun Jannaya. Ikatan lain yang membuat dua dusun ini memiliki hubungan emosional adalah antara kepala dusun dengan kepala desa, sama-sama mengembangkan tarekat Khalwatyah. Penduduk di dusun ini mengelola pertanian selain menanam jagung juga menanam tanaman palawija. Selain itu, dusun ini menjadi produsen batu merah batu bata terbesar di Desa Manjapai. Simbol, Kuasa, dan Uang dalam Politik di Desa Manjapai Masyarakat Desa Manjapai masih memelihara beberapa simbol-simbol budaya dan masih berpengaruh dalam mengatur pola prilaku masyarakat yang ada di Desa Manjapai. Simbol-simbol budaya yang ada di Desa Manjapai yang masih berpengaruh adalah : 1. Pammuntuli, Adat-istiadat untuk mengundang para elite dan pemimpin Desa, untuk menghadiri acara tertentu yang dilaksanakan oleh warganya. Prosesinya, bosara mampan berisi penganan dibungkus kain putih yang dibawa oleh tujuh perempuan dengan pakaian adat diiringi oleh Ganrang Pakkarena, menuju rumah para karaeng atau elite lainnya, untuk menyampaikan undangan tersebut. 220 2. Akkorongtigi Prosesi mengumpulkan sumbangan dari warga keluarga dengan cara permintaan terbuka, untuk membantu keluarga yang sedang melaksanakan hajat besar dalam keluarganya. Dimulai dengan mempersiapkan mampan berisi beras, daun siri h dan Bihun-Lassa bahasa Makassar-, semua itu mewakili makna seperti; beras mewakili simbol kesejahteraan, Lassa subur-bahasa Makassar menandakan simbol kesuburan dan semua hal, diikat dengan daun siri h. Setelah imam dusun membacakan doa, selanjutnya memukul mampan dengan sendok sebanyak tiga kali sebagai tanda panggilan untuk memberikan sumbangan untuk diletakkan di atas mampan, nama-nama penyumbang kemudian dicatat, agar orang-orang yang menyumbang mendapatkan hak yang sama manakala mereka menunaikan hajat dalam keluarganya. 3. Ziarah kuburan karaenta Data Raja Gowa ke sebelas Dalam setiap tahunnya ada prosesi ziarah bersama yang dilakukan oleh keluarga jannang Data sebagai penghormatan, menurut kepercayaan masyarakat bahwa yang berhak memimpin Desa Manjapai adalah yang mendapat restu dari Karaengta Data. Makanya pada saat Kepala Desa Safaruddin Dg. Nai ingin menjadi kepala desa dia mengunjungi makam Karaengta Data. 4. Pa‟daengan Pa‟daengan di belakang nama seseorang dalam adat Makassar membedakan tentang posisi dalam masyarakat yang hanya mempunyai nama satu kata adalah kelas kasta nomor dua karena orang tua mereka adalah menjadi pengikut dari orang besar. Namun di masyarakat soal ini sudah tidak kelihatan dengan jelas kecuali dengan melihat pada silsilah keturunan dari seseorang. Kasta nomer dua tidak berhak menjadi pemimpin di Desa Manjapai. 5. Baju Zirah atau Perang Menurut kepercayaan masyarakat, baju zirah atau perang ini adalah kepemilikan Karaengta Data yang diwariskan kepada keturunannya. Informasi lain adalah baju jirah ini adalah milik dari Karaeng Manjapai yang menghilang dimana tempat menghilangnya ditemukan baju zirah tersebut. 221 Menurut keyakinan masyarakat Desa Manjapai, terdapat dua jenis benda yang mempunyai asal yang sama akan tetapi terdapat di dua tempat yang berbeda yaitu, Tombak dan Bambu yang ada di Desa Jipang. Dalam ritual tahunan biasanya diperingati sebagai “tomangganggongi ri jipang” dan cinde tameng perang di Allu Desa Sengka disebut sebagai “Anrong guru Allu sengka” 6. Bungo Tallua sumur kembar di dusun Karebasse Sumur kembar adalah dua sumur yang selalu memiliki takaran air dalam sumur itu selalu seimbang antara sumur yang satu dengan sumur yang lain. Bagi masyarakat dusun Karebasse, sumur yang bisa mendatangkan berkah bagi masyarakat ini, pada waktu-waktu khusus selalu ada proses pemberian sesaji dan biasanya selalu dimulai dengan menyabung ayam. Menurut masyarakat ditempat itulah YLberlindung waktu dikepung oleh tentara Belanda dan konon atas berkat tempat itu sehingga dia selamat, juga waktu YLsakit di Jakarta dengan membawakan air dari sumur itu baru ia sembuh dari sakitnya. Tradisi Muhammadiyah dan Tarekat Khalwatiah Tradisi Muhammadiyah masuk ke Desa ini ketika Desa ini masih berstatus Jannang Kaluarrang sejak tahun 1950-an dimana yang menjadi pelopor adalah Mancu Daeng Nyampa, Baco Daeng Tola menduduki jannang Kaluarrang, Basarang Daeng Nawang. Pengembangan pendidikan dengan mendirikan sekolah Tsanawiah Muhmmadiyah dan melakukan pembaharuan ke-Islaman di dusun Kaluarrang Desa Manjapai, sehingga banyak tempat yang dulu dianggap keramat sudah tidak ada lagi di dusun ini. Pengaruh Muhammadiyah di dusun ini juga ,memberikan dampak peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, karena relatif lebih terbuka pada perubahan dari luar terutama untuk pendidikan. Secara politik dan ekonomi, kepala dusun, imam Desa dan pelaku ekonomi Desa adalah aktor- aktor yang memelopori pengembangan Muhammadiyah. Dalam setiap moment politik, pemilihan kepala desa misalnya, selalu terdapat kandidat kepala desa yang diusung dari dusun ini. Selain tradisi Muhammadyah, berkembang pula Khalwatiah Syech Yusuf yang berpusat di Gowa. Tarekat ini diyakini memiliki keunggulan dalam meningkatkan spirit ketauhidan meng-esakan Allah. Para pengikut tarekat 222 Khalwatyah pada umumnya memiliki kemampuan supra-natural yang sulit dianalisis secara rasional. Kuasa Kepemimpinan politik di Desa ini sangat dipengaruhi oleh simbol-simbol budaya yang menjadi keyakinan masyarakat Manjapai terhadap pemimpinnya. Simbol-simbol itu kemudian dimanipulasi oleh orang-orang tertentu biasanya kelompok atau keluarga tertentu yang mengendalikan simbol-simbol tersebut, misalnya keluarga yang menyimpan benda-benda tertentu seperti baju perang, tombak dan bambu. Dengan menyimpan benda-benda tersebut, mereka dianggap paling berhak untuk memimpin di Desa itu. Atau mereka mendapat justifikasi untuk menjadi pemimpin. Kuasa dalam konteks penelitian ini adalah adanya intervensi varian-varian tertentu di dalam memperkuat posisi seseorang atau kelompok orang dalam usahanya mengendalikan lingkungannya untuk menuju pada apa yang dikehendakinya. Karena itu, kuasa bisa berupa intervensi manusia dan atau alam pada seseorang untuk memperkokoh posisi kekuasaanya. Desa Manjapai bisa disebut sebagai desanya klan YL. Masyarakat memberikan penghormatan yang tinggi kepada klan YL karena klan inilah yang memberikan perubahan sosial dan ekonomi di Desa Manjapai. Mulai pada saat YL menjadi BUTER setingkat danramil dengan menempatkan militer dan keluarganya sebagai kepala desa , Keberadaan koperasi ―Karaengta Data‖ yang dipelopori oleh NYL yang saat itu menjabat sebagai ketua Kosgoro Sulawesi Selatan. Tidak hanya itu, ketika SYL menjabat sebagai camat Bontonompo, ia melakukan perubahan pola bertani, sehingga produktivitas pertanian masyarakat meningkat tajam. Loyalitas masyarakat di Manjapai dan sekitarnya sudah dibuktikan pada berbagai momentum politik yang melibatkan klan YL. Ketika SYL menjadi calon Gubernur dan calon ketua Golkar Sulsel, mobilisasi massa yang sangat fanatik datang dari daerah Bontonompo dan sekitarnya, terutama dari Desa Manjapai. Pada sejumlah momentum politik, para elite di Desa Manjapai sudah terbiasa dengan menggunakan kekuatan supra-struktur. Misalnya melakukan 223 presuare kepada lawan politik dengan menggunakan premanisme. Kasus pemilihan kepala desa Manjapai tidak terlepas dari model politik premanisme. Kepala dusun Data Hamzah Dg. Beta, dinilai oleh banyak masyarakat Manjapai sebagai aktor penting menggerakkan kelompok premanisme. Dia dikenal memiliki jaringan preman di wilayah selatan Sulsel, mulai dari Gowa sampai Bulukumba. Peranan premanisme selalu bersanding dengan uang. Ketika politik menggunakan preman untuk mencapai tujuannya, maka saat yang bersamaan, sang aktor harus menyiapkan uang mendukung tujuannya. Kepala Desa terpilih Saifuddin Dg. Nai mengakui, keterlibatan kemanakannya dalam menyokong dirinya dengan uang sangat berarti dalam upayanya meraih posisi kekuasaan di Desanya. Selain ponakannya, kepala desa terpilih juga dibantu operasionalnya oleh Kaimuddin Dg. Fata seorang pengusaha di Desa Manjapai. Uang dan preman tidak saja dibutuhkan untuk memenangkan seseorang menjadi kepala desa, tetapi untuk meloloskan seseorang di lembaga legislative juga membutuhkan uang. Kondisi ini menjadi fakta politik di Desa Manjapai pada Pemilu 2009. Kondisi ini menjadikan politik di Desa Manjapai bersifat kontraktual. Politik yang bersifat kontraktual biasanya akan menguntungkan kelompok yang memiliki kapital dan modal produksi seperti tanah. Tuan tanah di Desa Manjapai menjadi tokoh kunci pada setiap momentum politik seperti pemilihan kepala desa dan Pemilu. Tuan tanah dengan konsep kontraktual bisa memaksa penyakap, petani penggarap atau pekerja sawahnya untuk memenangkan kandidat tertentu. Budaya Akkorongtigi juga ikut menentukan preferensi masyarakat terhadap seseorang, karena budaya ini sesungguhnya mengandung dua pesan sekaligus; tolong menolong atau membangun solidaritas sosial dan utang piutang. Semakin tinggi nilai pertolongan seseorang, maka semakin besar preferensi orang yang ditolong kepada penolongnya. Dalam konteks ini, budaya Akkorongtigi, ikut berkontribusi memberikan pola atau model politik di Desa Manjapai. Selain itu semua, faktor Muhammadyah dan Tarekat Khalwatyah memberi pengaruh yang memadai dalam politik di Desa Manjapai. 224 Tentang Karaeng Di Desa Manuju Salah satu literatur yang memuat informasi sejarah Manuju adalah buku kecil yang berjudul ‗Sejarah kerajaan Borisallo dan Manuju‘ yang ditulis oleh Zainuddin Tika dan kawan-kawan 2008. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa kerajaan Borisallo dan kerajaan Manuju adalah dua kerajaan bersaudara dalam kerajaan Gowa yang masuk menjadi anggota Bate Salapanga sejak tahun 1565, yakni masa Raja Gowa XII I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa. Selanjutnya, keanggotaan Borisallo dan Manuju dalam Bate Salapanga diperkuat pada masa pemerintahan I Mallingkaang Daeng Nyonri pada tahun 1894 dan bahkan di sebutkan hingga hari ini Zainuddin Tika, dkk, 2008. Bila merujuk pada buku kecil tersebut, maka informasi seputar Kekaraengan Manuju baru dapat ditelusuri eksistensinya pada tahun 1900 saat Manuju menjadi salah satu anggota Bate Salapanga dengan gelar ‗Karaeng‘ di mana delapan di antaranya adalah Gallarang Mangasa, Gallarang Tombolo, Gallarang Saumata, Gallarang Sudiang, Gallarang Paccellekang, Karaeng Pattallassang, Karaeng Bontomanai, dan Karaeng Borongloe. Informasi ini sejalan dengan tuturan lisan dari warga dusun Panyikkokang salah satu dusun di Desa Manuju yang menyebutkan bahwa keberadaan ‗Karaeng Manuju‘ setidaknya dimulai tahun 1900 atau akhir tahun 1890-an. Menurut Jamaluddin kepala dusun Panyikkokang, Desa ini adalah area yang terdiri dari orang biasa bukan keturunan karaeng dan bukan pula area ata‟ atau budak dari karaeng. Bahkan bila merunut pada tradisi lisan yang diceritakan oleh nenek buyut mereka, gallarrang Manuju awalnya tidak diperintah oleh seorang Karaeng. Karaeng yang datang pertama kali ke Manuju adalah nenek buyut dari Karaeng Malaganni yakni nenek dari Karaeng Sigollo Karaeng Toa yang berasal dari Lantang di Kabupaten Takalar dan masa itu diperkirakan pada tahun 1900an 127 . Pendapat ini tentu masih perlu ditelusuri kebenarannya sebagaimana penjelasan pada buku kecil yang juga membutuhkan pembuktian 127 Wawancara dengan Jamaluddin Kepala Dusun Panyikkokang, Desember 2009. 225 verification sebagaimana dikutip di atas. Namun sebagai sebuah pendapat, informasi yang tersimpan dalam memori orang-orang Panyikkokang ini menggambarkan realitas berbeda bahwa kekaraengan adalah sebuah sistem yang datang belakangan dan cengkeraman kuasa yang ditanamkan di wilayah Kecamatan Manuju hingga sekarang ini adalah sebuah proses panjang yang tidak lahir begitu saja. Membicarakan Manuju lebih jelas dapat ditelusuri setelah masa kemerdekaan, khususnya setelah terbitnya UU darurat Nomor 1 tahun 1957 tentang pemerintahan daerah untuk seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 18 Januari 1957. Disusul kemudian diberlakukannya UU No. 9 tahun 1959 sebagai penjabaran UU sebelumnya. Saat itu, Gowa sebagai sebuah kerajaan dalam sistem swapraja berubah menjadi kabupaten atau daerah tingkat II dalam sistem swatantra. Demikian pula, wilayah kecil lainnya baik yang berbentuk gallarrang maupun karaeng atau dengan nama lainnya berubah menjadi distrik atau setingkat Kecamatan, dan kampung berubah menjadi Desa. Kemudian, berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri nomor. U.P. 7224 tanggal 6 Februari 1957, Andi Ijo dikukuhkan sebagai kepala daerah Gowa yang meliputi 12 distrik yang dibagi dalam empat lingkungan kerja, yakni Gowa Utara, Gowa Timur, Gowa Selatan, dan Gowa Tenggara Zainuddin Tika, 12 : 2008. Pada tahun 1961, ungkapan distrik dalam sistem pemerintahan daerah berganti Kecamatan dan Kabupaten Gowa membawahi delapan Kecamatan yang meliputi: i Kecamatan Tamalate; ii Kecamatan Panakkukang; iii Kecamatan Bajeng; iv Kecamatan Palangga; v Kecamatan Bontonompo; vi Kecamatan Tinggimoncong; vii Kecamatan Tompobulu; viii Kecamatan Bontomarannu Dua Kecamatan Gowa yakni Kecamatan Tamalate dan Panakkukang pada tahun 1971 diserahkan kepada pemerintah kotamadya Ujung Pandang berdasarkan keputusan PP nomor 511971 tentang perluasan kotamadya Makassar sebagai ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. konsekuensinya, Kabupaten Gowa juga dimekarkan dan terbentuk dua Kecamatan yakni Kecamatan Sombaopu dan Kecamatan Parangloe yang memiliki dua distrik, yakni Borisallo dan Manuju. 226 Pada tahun 1972, camat pertama Parangloe adalah Magguliling Daeng Gassing dan wakil camat adalah Malaganni Daeng Bila Karaeng Manuju. Beberapa tahun kemudian, camat Parangloe meninggal dunia dan Karaeng Manuju kemudian menjadi camat kedua Kecamatan Parangloe. Karaeng Manuju sendiri, yang lahir tahun 1923 di Lanna, Kecamatan Parangloe di usia belia 14 tahun sudah diangkat sebagai nitimpasa Karaeng Manuju oleh masyarakat Toddo Tujua tujuh negeri kecil di Manuju tahun 1937 di salah satu dusun yang kini sudah tenggelam oleh proyek bendungan Bili- Bili, Po‘rong. Ia menggantikan posisi Syamsuddin Daeng Lalang yang menduduki posisi Karaeng Manuju. Saat Malaganni Daeng Bila menjabat sebagai Karaeng Manuju, pasang surut peristiwa dihadapinya. Satu dari peristiwa penting dan tak terlupakan oleh warga adalah saat wilayah Manuju menjadi markas pasukan DITII pimpinan Kahar Muzakkar, yakni rezimen Momok Hitam yang saat itu dikomandoi oleh Kahar Muang. Basis Momok Hitam ada di dusun Tassese kini telah menjadi Desa dan beberapa kali didatangi dan diperangi oleh militer Indonesia tentara Brawijaya. Menurut tuturan warga, pada suatu waktu, Kahar Muang menuju kota Makassar yang diduga menyerahkan diri kepada pemerintah RI dan kemudian pasukan Kahar Muzakkar karena menganggap ini sebuah bentuk pengkhianatan lalu membakar dusun Tassese yang berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini. Pada tahun 2003, dua Kecamatan baru di Kabupaten Gowa disetujui oleh pemerintah pusat, yakni Kecamatan Barombong dan Kecamatan Manuju. Saat itu, bupati Gowa Drs. H. Hasbullah Jabbar menetapkan H. Abdul Rauf Karaeng Kiyo, S.Sos., MSi., lurah Lanna menjadi camat Manuju pertama. Saat itu, wilayah Kecamatan Manuju meliputi Desa Manuju, Desa Bilalang, Desa Moncongloe, Desa Pattallikang, dan Desa Tamalatea. Tidak lama setelah itu, Karaeng Kiyo diangkat menjadi kepala bagian Tata Pemerintahan dan camat berikutnya dipegang oleh Marzuki Daeng Angga, S.Sos mantan camat Parangloe. Kini Kecamatan Manuju telah memekarkan beberapa Desa di antaranya Desa Tana Karaeng dan Desa Tassese lihat tabel 14. 227 Tabel 12. Desa dan Kepala Desa di kecamatan Manuju No Nama Desa Kepala Desa 1 Manuju Karaeng Naba 2 Tassese Karaeng Unjung 3 Moncongloe M. Haris Karaeng Sila 4 Tana Karaeng Saharuddin 5 Pattallikang Isbandar 6 Tamalatea Muhammad Saleh 7 Bilalang Syahrir Karaeng Saung Sumber: Data Kecamatan 2008 Pada masa camat Abdul Rauf Karaeng Kiyo, ia memperkenalkan Manuju sebagai wilayah yang layak bagi investor untuk berbisnis. Salah seorang yang kemudian tertarik untuk berinvestasi di sana adalah mantan Wakapolri Letnan Jenderal Polisi JM yang telah membuka lahan perkebunan seluas 20 hektar lebih. Lahan di Desa Manuju dan sekitarnya memang baik ditanami tanaman seperti durian ottong, rambutan dan sebagainya. Kini, Desember 2009, saat memasuki wilayah Kecamatan Manuju, mulai terpampang beberapa baliho yang memperlihatkan Karaeng Kiyo bersanding dengan IYL sebagai calon wakil bupati Gowa periode 2010 – 2015. Posisi Karaeng nampaknya akan terus beranjak dari lurah, camat, kepala bagian, lalu wakil bupati. Apakah ini sebuah upaya lebih mengukuhkan kuasa kekaraengan di Manuju khususnya dan Gowa pada umumnya? Berbicara mengenai Manuju kontemporer, maka tak lepas dari seorang tokoh Manuju yang bernama Malaganni Daeng Bila Karaeng Manuju 1923 – 2003 128 . Karaeng Manuju mantan kepala distrik Manuju 1950 -1970 memiliki 21 anak dari tiga istri; empat anak di antaranya bernama Karaeng Naba kini kepala desa Manuju, Karaeng Kiyo mantan camat Manuju, kini Kabag Pemerintahan dan 128 Karaeng Manuju adalah anak dari Karaeng Sigollo atau Karaeng Toa. Nenek Karaeng Manuju adalah Karaeng Bila dan ibu dari Karaeng Bila adalah bangsawan asal Tinggi Moncong. 228 kandidat wakil bupati dari calon bupati IYL untuk periode 2010 -2015 129 , Malawanggang Karaeng Bella kepala adat Karaeng Manuju, dan Karaeng Kila adalah tokoh penting di level Desa maupun Kecamatan hingga Kabupaten. Karaeng Malaganni sepupu satu kali dengan istri Kahar Muang komandan resimen DITII; Momok yang bernama Karaeng Sunggu menetap di Desa Tassese. Sedangkan Karaeng Nompo sepupu satu kali dengan Karaeng Jalling yang merupakan sepupu dua kali dengan Karaeng Kiyo kepala bagian pemerintahan pemda Gowa, calon wakil bupati bersanding dengan IYL. Karaeng Jalling adalah ayah dari Karaeng Lalang kepala desa terlama di Desa Manuju dan kini salah satu anaknya bernama Nasrun Karaeng Romo yang kini menjabat sebagai sekretaris Desa Manuju di mana kepala desanya kini adalah Karaeng Naba anak dari Karaeng Malaganni. Karaeng Lalang dan Karaeng Kiyo adalah sepupu dua kali. Karaeng Lalang: Kepala Desa yang Keras dan Tegas Drs. Syamsul Hilal Karaeng Lalang 60 —selanjutnya disebut Karaeng Lalang —adalah kepala desa Manuju pertama yang menjabat pada tahun 1964 saat ia masih berusia 14 tahun. Saat itu, baru saja terjadi peralihan sistem pemerintahan dari ‗gallarrang‘ dan ‗kampung‘ menjadi kecamatan dan Desa. Sebelumnya, kepala pemerintahan di kampung Manuju dipegang oleh Pajonga Karaeng Bani dan dengan pimpinan adatnya Malaganni Daeng Bila, yang juga dikenal sebagai Karaeng Manuju. Hingga pemilihan kepala desa dalam konteks aturan baru untuk pertama kalinya di mana calon kepala desa adalah Karaeng Lalang dan Karaeng Bani yang saat itu menjabat sebagai ‗Gallarrang Manuju‘. Melalui negosiasi keluarga sesama karaeng, pada dasarnya Karaeng Bani sudah ‗mengalah‘ dengan mengatakan bahwa ia akan bekerja di pabrik Kertas Gowa. Keputusan itu disosialisasikan kepada warga Desa dan akhirnya suara mayoritas berhasil diraih oleh Karaeng Lalang. Sejak saat itu, Karaeng Lalang terus memerintah Desa Manuju hingga tahun 2008 kecuali antara tahun 1976 – 1984 Desa Manuju dipimpin oleh anggota 129 Pada akhirnya karaeng Kiyo tidak terpilih sebagai pasangan wakil bupati Ichsan Yasin Limpo. 229 kepolisian yang bernama Ahmad Sitaba yang ditunjuk oleh pemerintah Kabupaten. Alasan pergantian itu simpang siur. Menurut pengakuan Karaeng Lalang, saat itu pemilihan kepala desa dilakukan melalui mekanisme penunjukan sementara beberapa informan menyebutkan bahwa ada kasus yang dihadapi oleh Karaeng Lalang sehingga posisinya sebagai kepala desa digantikan oleh Ahmad Sitaba. Adapun mengenai kasus dimaksud tak ada satupun informan ingin menjelaskan. Tipikalnya yang keras dan tegas membuat kepemimpinannya nyaris tanpa kontrol sama sekali baik secara kelembagaan melalui Lembaga Musyawarah Desa LMD di masa Orde Baru maupun Badan PerwakilanPermusyawaratan Desa BPD di masa Orde Sekularisme maupun dari individu warga Desa Manuju sendiri. Pada 1984, saat masa kepemimpinan Ahmad Sitaba berakhir terjadi pemilihan kepala desa kembali. Saat itu ada lima kandidat diantaranya Haji Mile masyarakat biasa, Matte Imam Desa, Ahmad Sitaba incumbent, Karaeng Bella anak Karaeng Malaganni, dan Karaeng Lalang. Namun dalam seleksi hanya dua orang yang lolos yaitu Karaeng Bella dan Karaeng Lalang. Sementara tiga calon lain termasuk Ahmad Sitaba tidak lolos seleksi Berkas karena tidak dapat rekomendasi dari Kodim Kabupaten Gowa. Dalam Pemilihan Kepala Desa tersebut Karaeng Lalang menang dengan memperoleh Suara sekitar 1000 dan Karaeng Bella hanya berkisar 348 suara. Kemenangan Karaeng Lalang diuntungkan oleh kurang dikenalnya Karaeng Bella oleh masyarakat Desa Manuju. Menurut Karaeng Lalang, Karaeng Bella menetap lama di Makassar, sementara dirinya menetap di Desa Manuju, bahkan menjadi kepala dusun Desa Tassese saat itu. Pada tahun 1992, masa jabatan Karaeng Lalang berakhir, namun karena alasan tertentu belum ada penjelasannya dia diminta oleh pemda Gowa menjabat sebagai pelaksana tugas selama dua tahun sampai diadakan pemilihan kepala desa kembali. Pada pelaksanaan pemilihan kepala desa tahun 1994 Karaeng Lalang kembali maju sebagai calon kepala desa Manuju. Kembali ia berhadapan dengan keluarganya sesama karaeng, yakni Abdul Latif Karaeng Beta. Karaeng Beta adalah Seorang Pegawai Kantor Kecamatan Parangloe, putra Karaeng Emba saudara Karaeng Manuju. Jadi, Karaeng Beta adalah kemenakan Karaeng Manuju dan Sepupu dari Karaeng Lalang Sendiri. 230 Karaeng Beta memanfaatkan jaringan keluarga besar untuk memenangkan pemilihan terutama melalui peran ayahnya, Karaeng Emba yang menetap di Desa Manuju. Namun karena popularitas Karaeng Lalang begitu kuat, membuat ia kembali memenangkan pemilihan ini dengan suara berkisar 1400. Karaeng Beta sendiri hanya meraih sekitar 300 suara dengan formasi pemilih sebagian besar dari rumpun keluarga kekaraengan Manuju saja. Berbagai konflik yang terjadi selama proses pemilihan misalnya antar pendukung diselesaikan secara kekeluargaan dengan peran para orang-orang tua mereka atau karaeng Manuju bersaudara. Pada masa ini, sebenarnya Karaeng Lalang banyak menetap di Sunggu Minasa karena sedang menjadi anggota ‗Tim Sembilan‘ dalam proyek pembangunan Bendungan Bilibili di mana salah satu dusunnya, yakni dusun Po‘rong adalah titik pembangunan DAM tersebut. Ia lebih banyak mengorganisir proses pemindaha n penduduk di dusun Po‘rong dan ganti rugi atas tanah dan tetumbuhan di atas lahan tersebut kepada pihak manajemen pembangunan DAM. Ia sendiri tidak menyangka dirinya akan memenangkan pilkades periode ini karena memang dia memberi kebebasan kepada Karaeng Beta untuk berkampanye, tapi nyatanya ia kembali menang. Masa jabatan Karaeng Lalang yang berlangsung delapan tahun berakhir pada 2002. Hajatan pemilihan kepala desa dilangsungkan kembali. Lagi-lagi Karaeng Lalang bersaing dengan anggota keluarga Karaeng, yakni Karaeng Sijaya, seorang mantan kepala desa Belaponranga yang kalah dalam pemilihan kepala desa di Desanya. Namun, nasib yang sama juga menimpa Karaeng Sijaya, kekalahan, dengan jumlah suara hanya berkisar 300, sementara Karaeng Lalang mencapai lebih seribu suara. Pada periode tahun 2002 berdasarkan aturan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, masa jabatan seorang kepala desa dikurangi dua tahun dan tinggal enam tahun dan hanya dapat dipilih untuk dua periode saja. Artinya karaeng Lalang tak berhak lagi ikut dalam pemilihan kepala desa berikutnya. Pada tahun 2008 masa jabatan Karaeng Lalang pun berakhir namun menurutnya sendiri bahwa tujuh bulan sebelum masa jabatan tersebut berakhir ia telah mengundurkan diri dan diganti seorang pelaksana tugas yang ditunjuk oleh camat Manuju. Mengenai alasannya ia menyatakan bahwa kondisi kesehatannya telah 231 menurun, bahkan menderita sakit. Hal tersebut membuat badannya tampak lebih kecil dibanding sebelumnya yang tinggi besar, kekar, ditambah suara keras dengan sorot mata yang tajam menjadikannya kepala desa yang begitu berwibawa dan membuat segan atau takut orang-orang ketika berhadapan ataupun berbicara dengannya. Menurut Karaeng Kila adik Karaeng Naba, kepala desa Manuju periode ini tampilan fisik tinggi besar seperti itu pulalah yang membuat Karaeng Lalang seperti punya kharisma, khususnya di hadapan keluarga dan warga Desa Manuju serta orang-orang yang mengenalnya secara dekat. Karaeng Lalang tidak merasa memiliki ‗karomah‘ atau ilmu khusus semisal ilmu mistis untuk mempengaruhi orang di luar dirinya. Karaeng Lalang adalah putra tunggal dari dua bersaudara dari pimpinan Gallarrang Tassese sebelumnya yang bernama Mangngu Karaeng Jalling Saudara dari Karaeng Manuju. Ia lahir pada tahun 1949 di Desa Tassese dan menempuh pendidikan dasarnya di SD setempat dan melanjutkan pendidikan selanjutnya di SMP Jongaya dan SMA PGRI Panakkukang sebelumnya adalah wilayah Gowa. Bahkan, di periode akhir jabatannya sebagai kepala desa Manuju, ia dapat menyelesaikan pendidikannya di tingkat universitas, yakni Universitas 17 Agustus 1945, pada tahun 1994. Karaeng Lalang mempersunting Hajjah Norma Karaeng Te‘ne 67 yang juga sepupu satu kalinya, putri dari Jalang Kara Karaeng Bundu dan Nona Karaeng Ranga. Kini, Karaeng L alang dan Karaeng Te‘ne memiliki Sembilan cucu dari keempat anaknya. Putra sulung adalah Nuhung Daeng Sigollo alm yang menikah dengan Nurliah Daeng Romba istri pertama dan Hasnaeni Daeng Ngai istri kedua, tinggal di Kolaka. Pasangan dari istri pertama memiliki seorang putri yang bernama Nur Hikmah dan dari pasangan istri kedua lahir cucu Karaeng Lalang lainnya yang bernama Herung dan kini menetap di Kolaka bersama ibunya. Putra kedua, Syarifuddin Daeng Gassing 40 adalah seorang kapten yang menikah dengan Ana Daeng Paning dan memiliki dua anak, yakni Cici dan Ranggong Karaeng Romo. Dari putra ketiga karaeng Lalang, yakni Nasrun Daeng Romo 37 yang kini menjadi sekretaris Desa Manuju yang menikah dengan Andi Asriani istri pertama lahir tiga cucu Karaeng Lalang yang bernama Andi 232 Manuntungi, Andi Haeruni, dan Andi Sri. Dari istri kedua yang bernama Sukina lahir putri mereka yang bernama Tiara. Sedangkan, anak keempat Karaeng Lalang adalah Nilawati Daeng Sanga 34 yang menikah dengan Supriadi Karaeng Rani lahir cucu Karaeng Lalang bernama Fahri. Karaeng Lalang dikenal sebagai pemuda yang ‗rewa‘ bukan saja di lingkungan Manuju, tetapi juga di Sungguminasa bahkan Makassar. Sebagai kepala desa, prinsipnya adalah mengusung ‗api‘ dan ‗air‘. Bila ia melihat anggota masyarakatnya malas turut serta bergotong royong, maka ia akan mendesaknya dengan cara mendatangi langsung dan menegurnya. Bahkan, ia tidak segan-segan memukul warga yang malas atau mengusir kerumunan pemuda yang minum minuman beralkohol. Ketika Desa Manuju dan Desa Tassese masih berada dalam satu wilayah, dia membantu imam dusun mendisiplinkan warga yang sedang belajar mengaji dan shalat dengan cara mengawasi mereka. Itulah prinsip ‗api‘ yang sedang dia terapkan. Sementara, bila keadaan warga sedang membara seperti adanya konflik antar warga ia hadir mendinginkan suasana dengan prinsip ‗air‘nya. Sebagai kepala desa, ia juga memiliki prestasi tertentu seperti sebagai kepala desa berprestasi yang mampu menyetor uang pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan PBB kepada pemerintah Kabupaten Gowa secara tepat waktu dan full. Akibat prestasi itu, karaeng Lalang diberi kesempatan ke Jakarta oleh bupati Gowa. Desa Manuju juga pernah menjuarai lomba Desa urutan ketiga. Prestasi ini diperolehnya setelah belajar di Desa Tanaberu, Bulukumba saat ia bersama 29 kepala desa lainnya studi banding ke sana di tahun 1993 dan tahun berikutnya dia mengikuti jejak Desa Tanaberu sebagai Desa terbaik untuk urusan penagihan PBB. Desa Manuju telah diperintah oleh tiga kepala desa, sebelum Karaeng Lalang adalah Pajonga Karaeng Bani dan setelah Karaeng Lalang, mengingat persoalan administrasi tidak bisa menjabat setelah dua periode maka pemilihan kepala desa dilanjutkan oleh Karaeng Naba dalam pemilihan kepala desa yang tanpa lawan di tahun 2008. Dusun Pannyikkokang: Dusunnya orang-orang biasa 233 Dusun Pannyikkokang adalah sebuah dusun yang berbeda dari dusun lainnya di Desa Manuju. Dusun ini berbatasan dengan Desa Tassese. Sebuah Desa yang menurut orang Tassese lebih banyak dihuni oleh ‗orang-orang biasa‘ dan mengidentifikasi diri mereka sebagai orang kebanyakan to sama‟. Pun demikian dengan dusun Pannyikkokang, juga menyimpan cerita lisan bahwa dusun ini adalah dusun bagi ‗orang-orang biasa‘ yang memiliki harga diri di tengah dominasi kepemimpinan karaeng di Desa ini. Muhammad Sakir Bacca‘ usia 55, kepala dusun Pannyikkokang, 1985- 1996 dan Jamaluddin usia 57, kepala dusun Panyyikkokang periode 1976 – 1984 dan 1994 – sekarang, menceritakan banyak hal tentang keberadaan orang-orang Pannyikkokang dan dinamika pemerintahan tingkat dusun selama masa kepemimpinan kepala desa Manuju, khususnya pada periode Karaeng Lalang 1964 – 1976 dan 1984 – 2008. Pada masa Muhammad Sakir Bacca‘, kepemimpinannya ditandai oleh maksimalisasi peran kepala dusun dalam menyelesaikan persoalan hingga konflik antar warga secara kekeluargaan. Saat itu, banyak keputusan yang diambilnya tanpa perlu melibatkan kepala desa secara langsung. Kuncinya adalah lebih proaktif dalam memerintah warganya. Naiknya Sakkir Bacca‘ sebenarnya di luar dugaannya, karena saat pemilihan melalui musyawarah dusun berlangsung, ia sedang berada di Sungguminasa ibu kota Kabupaten Gowa . Saat itu, tahun 1985 dia adalah seorang ‗sariang‟ atau pembantu kepala dusun sejak tahun 1968. Saat itu, terjadi kekosongan kepala dusun di Pannyikkokang dan diusulkan oleh warga empat calon kepala dusun, di mana salah satu calon itu adalah dirinya. Menurut warga saat itu, kepala dusun haruslah orang yang benar-benar memahami budaya dan perilaku warga Pannyikkokang. Oleh karena itu, walaupun ia tidak sedang berada di dusun saat itu, karena warga menilai dirinyalah orang yang tepat maka dipilihlah dirinya sebagai kepala dusun baru dan memerintah dusun Pannyikkokang hingga 1996. Sakkir Bacca‘ memiliki prinsip dalam memerintah warganya, yakni lebih mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Menurutnya, pemerintah adalah pemimpin dan memimpin seluruh 234 karakter yang ada dalam areanya, baik itu orang-orang baik, jahat, kaya, miskin, cantik dan cacat dan lain sebagainya tanpa kecuali . Mereka adalah ‗milik kepala dusun‘ dan untuk itu wajib melayani mereka secara adil dan jujur. Jika ada masalah yang dihadapi oleh anggota masyarakat dusun Pannyikkokang, maka sebisa mungkin tidak perlu ditangani oleh kepala desa. Untuk memenuhi prinsip kepemimpinannya, maka ia tidak pernah ragu untuk mendatangi pihak yang berkonflik dan mencari jalan keluar sebaik mungkin melalui musyawarah untuk mufakat. Bagi warga yang tidak dapat membaca dan menulis, ia siap membantu membacakan segala keputusan atau menuliskan kesepakatan bila dianggap perlu dalam menyelesaikan masalah. Jamaluddin, seorang kepala dusun yang kritis dalam memandang dinamika pemerintahan Desa memaparkan bahwa dusun Pannyikkokang adalah area yang bebas dari pengaruh kekaraengan. Mereka bukan masyarakat budak dari para karaeng tapi justru sering datang untuk membantu bila keluarga karaeng ada keperluan seperti untuk keperluan pesta. Jauh sebelumnya, di kisaran tahun 1900- an atau akhir tahun 1890-an, berdasarkan penuturan yang terus terjaga secara turun temurun tradisi lisan, karaeng pertama yang datang di area ini adalah dari Takalar Lantang, yakni kakek buyut Karaeng Sigollo Karaeng Toa yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Karaeng Bila dari pihak ibu. Nanti pada masa Malaggani Daeng Bila Karaeng Manuju yang lahir di Manuju menjadi pelanjut kepemimpinan adat Karaeng Manuju, Bila merujuk pada buku ‗sejarah kerajaan Borisallo dan kerajaan Manuju‘, maka secara formal Karaeng Manuju merujuk pada sistem pemerintahan lokal, semisal Kecamatan Manuju barulah disebut pada tahun 1900, di mana Karaeng Manuju menjadi salah satu anggota Bate Salapanga atau lembaga legislative dalam pemerintahan kerajaan Gowa. Delapan di antaranya adalah Gallarrang Mangasa, Gallarrang Tombolo, Gallarrang Saumata, Gallarrang Sudiang, Gallarrang Paccellekang , Karaeng Pattalassang, Karaeng Bontomanai, dan Karaeng Borongloe. Sementara, sebelumnya, di tahun 1894 sewaktu Sultan I Malingkaang Daeng Nyonri menjadi raja Gowa, perjanjian antara pemerintah kolonial Belanda dengan raja Gowa yang turut ditandatangani oleh perwakilan 235 Sembilan wakil satu Karaeng dan delapan Gallarang tidak termasuk Karaeng Manuju Zainuddin Tika, dkk, 2008: 9. Lebih lanjut, Jamaluddin mengungkapkan bahwa pada masa negeri ini masih terbagi dalam toddo‟ negeri kecil bukanlah orang yang memiliki garis keturunan karaeng yang menjadi pemimpin atau toddo‟. Bahkan, di wilayah yang kini disebut Kecamatan Manuju, dahulu hanya disebut area toddo‟ Tujua, yang terdiri dari Toddo Pannyikkokang Iraya, Toddo Pannyikkokang Ilau, Toddo Parangloe Manuju, Toddo Janjang, Toddo Sumallu, Toddo Mampu, dan Toddo Kunjung. Sebelumnya, baik gallarang 130 Pannyikkokang maupun gallarang Manuju itu dipimpin oleh ‗orang biasa‘ yang bernama Daeng Tanggong dan Daeng Cala kakek buyut dari pihak ibu Jamaluddin. Bila dirunut secara kronologis di gallarang Pannyikkokang maka setelah Daeng Tanggong, gallarang berikutnya adalah Sarakka,, dan lalu beralih kepada gallarang terakhir yang bernama Nyonyo. Pada tahun 1940 -1963, istilah gallarang diganti dengan istilah baru yakni ‗kepala kampung‘ yang dipegang oleh Sanda paman dari Jamaluddin. Kemudian, kepala kampung tahun 1963 beralih kepada Daeng Makka hingga tahun 1966. Periode berikutnya, ada kebingungan dalam penggunaan istilah karena muncul istilah baru yakni ‗kepala lingkungan‘ saat Ronrong di masa kepemimpinan kepala desa Karaeng Lalang menjadi kepala dusun berikutnya tahun 1966. Ronrong masih anggota keluarga atau sepupu sekali dengan Jamaluddin. Jadi, hingga kepemimpinan Jamaluddin hingga sekarang ini, hanya dusun Panyikkokang dari seluruh dusun di Desa Manuju yang tidak pernah dipimpin oleh Karaeng. Bahkan, pemilihan kepala dusun terakhir tahun 1994, seorang ‗lawan politik‘nya adalah Nasrun Daeng Romo anak Karaeng Lalang berhasil ia kalahkan dalam pemilihan di Lembaga Musyawarah Desa LMD di mana Nasrun Daeng Romo memperoleh tujuh suara dan Jamaluddin delapan suara. 130 Penggunaan istilah toddo, gallarang, dusun, lingkungan, kampong, seringkali digunakan untuk merujuk wilayah setingkat dusun atau desa. Dari aspek kesejarahan, yang terlebih dulu digunakan adalah toddo dan gallarang pada masa kerajaankolonial, lingkungan dan dusun pada masa setelah Soekarno menghapuskan sistem pemerintahan Swapraja menjadi Swatantra di tahun 1960. Sistem pemerintahan swapraja, kurang lebih secara hirarkis dari lokus terendah terdiri dari Suro setingkat RT, Sariang setingkat RW, Gallarang setingkat Desa, Karaeng setingkat Camat, Somba atau raja setingkat bupati. 236 Kemenangan ini menunjukkan bahwa kuasa di dusun Pannyikkokan masih milik ‗orang-orang biasa‘. Pandangannya sebagai kepala dusun dari kalangan ‗orang biasa‘ membuatnya merasa tersisih dan di kelas duakan. Menurutnya, perlakuan kepala desa terhadap kepala dusun seperti dirinya sangat berbeda dengan kepala dusun yang bergelar karaeng. Dalam rapat Desa semisal musyawarah pembangunan Desa musrembangdes, seringkali keputusan yang diambil oleh kepala desa tidak lagi dikonsultasikan dengan dirinya. Bukan itu saja, bahasa yang digunakan oleh kepala desa terhadap dirinya dia nilai sebagai bentuk diskriminasi. Ia mencontohkan, saat meminta pendapat kepada seorang kepala dusun lain dengan gelar karaeng pendapat dusun tersebut dapat panjang lebar dan begitu dihargai, sementara dirinya biasanya tinggal ditanya bagaimana tanggapan atas pendapat itu dan bukan bagaimana pendapat ia sendiri di luar pendapat dusun yang bergelar karaeng tersebut. perilaku kepala desa yang diskriminatif ini menurutnya dengan jelas merupakan pelanggaran hak asasi yang ia miliki 131 . Dari Desa Tassese, yakni Desa yang berbatasan dengan Desa Manuju juga di kecamatan Manuju menyebutkan bahwa di Desa ini sebagaimana di dusun Panyikkokang, tipologi karaeng dengan orang biasa juga mencuat. Bahkan, dalam pemilihan kepala desa pertama Desa ini baru berdiri sebagai Desa pada tahun 2008 di mana sebelumnya adalah bagian dari Desa Manuju sebagai dusun Tassese orang-orang Tassese sempat mengajukan seorang calon kepala desa bernama Muslimin yang dianggap mewakili orang kebanyakan di Desa Tassese. Muslimin akan bersaing dalam perebutan jabatan ini dengan seorang keturunan karaeng yang bernama Karaeng Unjung. Namun, dalam proses penyeleksian calon, rupanya Haji Abdul Rauf Karaeng Kiyo kepala bagian Pemerintahan Pemda Gowa mencoret namanya dari bursa calon kepala desa. Akibatnya, pemilihan ini berlangsung tanpa lawan kotak kosong dan menurut kabar dari beberapa informan, kartu suara itu telah terstempel sebelum pemilihan berlangsung dan Karaeng Unjung memenangkan pertarungan tanpa lawan ini. 131 Wawancara dengan Jamaluddin, 13 Desember 2009 237 Dalam konteks ini, peran Karaeng Kiyo, sebagai salah seorang tokoh penting di Manuju punya peran dalam naiknya kepala-kepala desa keturunan Karaeng di Manuju. Pendapat ini dapat dibenarkan karena kini, dalam bursa pencalonan bupati di Gowa, incumbent bupati IYLsedang mempersiapkan diri menggandeng Karaeng Kiyo sebagai calon wakil bupati Gowa. Tabel 13. Nama dan Kepala Dusun masa kepala desa Karaeng Lalang No Nama Dusun Kepala Dusun Tahun 1 Tassese M. Karaeng Jalling 1968 Karaeng Unjung kini kepala desa 20082009 2 Pannyikkokang Ronrong 1968 – 1976 Jamaluddin 1976 – 1984 M. Sakir Bacca 1984 – 1994 Jamaluddin 1994 – sekarang 3 Parangloe-Manuju Mansyur Daeng Jari 1968 – 1984 M. Karaeng Emba 1984 - 1994 Mappa Daeng Jalling 1994 – sekarang 4 Janjang kini bernama dusun Mampu N. Karaeng Sese 1994- sekarang 5 Bilalang Abbas Karaeng Sigollo 1984-1994 Ludding Daeng Salle 1994- sekarang 6 Po‘rong B. Daeng Bombong 1968-1983 J Daeng Sila 1984-1993 Daeng Bali 1994- sekarang 238 Demikianlah, dinamika di dusun Pannyikkokang yang dinamis juga bisa ditelusuri pada masa gerombolan atau pemberontakan DITII di tahun 1950-an hingga 1960-an —orang Pannyikkokang menyebut mereka paromang atau garambolang orang yang tinggal di hutan. Saat itu, dusun Pannyikkokang berada dalam masa sulit di mana banyak warga dibunuh bila memiliki kontak dengan Sungguminasa di mana pusat pemerintahan Gowa berpusat. Dalam keadaan seperti ini, mereka merasa terjajah sekaligus hidup penuh kesulitan.

6.4.2 Dinamika Politik Desa Di Kabupaten Bone Desa Ancu Dan Desa