14
Meskipun buku ini melahirkan banyak keraguan terhadap kesimpulan yang diambil oleh Amin karena posisi individual penulis Amin yang pada saat
menulis syair sebagai ―sekretaris‖ pribadi Sultan Hasanuddin, dinilai tidak memiliki kemampuan untuk menulis secara objektif, bahkan syair ini dipandang
lebih sebagai ekspresi kekesalan emosionalnya terhadap Arung Palakka dan VOC. Tapi apapun yang dihasilkan oleh Amin, syair ini salah satu bukti yang dapat
dipegang untuk menunjukkan perbedaan antara etnis Bugis dan Makassar, dari sekian banyak perbedaan yang ada.
Sudut Pandang Encik Amin selaku pengarang Syair Perang Mengkasar, dapat ditelusuri benang merah yang linear dengan cara pandang orang-orang
Makassar pada masa itu tentang perang Makassar. Melalui sudut pandang itulah, muncul setidaknya tiga matra dan dimensi dalam Syair Perang Mengkasar.
Dimensi pertama adalah posisi Sultan Hasanuddin mewakili Makassar; dimensi Kedua adalah posisi Arung Palakka mewakili Bugis; dimensi ketiga adalah
Cornelys Speelman mewakili Belanda VOC.
Maka dengan sendirinya, bagi orang Makassar, melalui sisi subjektif Encik Amin dalam Syair Perang Mengkasar, terdapat perbedaan memahami orang
Bugis melalui Arung Palakka dengan orang Belanda melalui C. Speelman.
Tabel 1 Memahami Perbedaan Etnis Bugis dan Makassar
Sultan Hasanuddin etnis Makassar
Arung Palakka etnis Bugis
C. Speelman Belanda
Sempurna Suka perempuan
Kafir Arif bijaksana
Pendendam Pendusta
Sakti Kesatria pemberani
Kasar Suci dan ikhlas
Cerdik dan garang Iblis
Berani dan adil Kaya Siasat
Najis Sabar dan gemar ibadah
Sportif Setan
Tampan Bebal
Terkutuk Dapat dipercaya
Pencuri Hantu
Bakhil, Bengis, Gila
Encik Amin, Syair Perang Mengkasar 2008. Komposisi cara pandang tersebut, telah melahirkan alasan yang sangat
rasional dari keruntuhan kerajaan Gowa. Karena Sultan Hasanuddin harus melawan sekaligus dua tokoh representasi Bugis dan Belanda yang sangat berat.
Arung Palakka mewakili perlawanan dengan alasan dendam dengan keberanian yang luar biasa ―mengamuk‖ dalam penjelasan Amin . C. Speelman mewakili
15
sebuah kepentingan kolonial yang sangat mendasar dengan karakter yang minim sisi kemanusiaan.
Bagi orang-orang Makassar, pada Syair Perang Mengkasar, orang Bugis adalah pemberontak yang ingin menguasai Gowa, sementara orang Belanda adalah penjajah
yang kejam dan lalim serta memerangi Gowa atas nama agama Nasrani. Bagi orang Bugis, orang-orang Makassar dipandang sebagai agresor
sementara kehadiran Belanda adalah sebuah peluang untuk menghancurkan kekuatan agressor Makassar. Itulah sebabnya Arung Palakka tidak sepenuhnya
terdiskreditkan dalam Syair Perang Mengkasar. Arung Palakka juga digambarkan pemberani dan sportif, sebagaimana ditegaskan ketika menolak
melucuti senjata orang Makassar.
Berdasarkan latar belakang dan sejumlah temuan tentang Bugis dan Makassar, seperti diuraikan di atas, maka pola elite etnis Bugis dan Makassar
meraih kekuasaan dapat dilihat pada gambar berikut;
Gambar 1. Pola Elite Bugis Dan Makassar Meraih Kekuasaan 1.2 Rumusan Masalah
Sebagai negara yang terbentuk dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi, Indonesia selalu berada pada posisi yang rentan terhadap semangat
separatisme etnik. Meskipun, keragaman sering dianggap sebagai modal sosial
16
bagi keberadaan negara, akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah. Futurolog terkemuka seperti Naisbitt dan
Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik ethnic consciousness
di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 memang menunjukkan adanya fenomena
perlawanan terhadap dominasi negara, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok etnik, terutama etnis minoritas dalam pentas kekuasaan.. Berjuta-juta nyawa telah
melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Huntington 1997 merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal
munculnya perbenturan antar masyarakat di masa depan yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban
“clash of civilization.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan
sentimen agama dan budaya. Masyarakat, terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan multi-
agama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat
tertentu di Indonesia Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok, Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dan lain-lain seharusnya
menggugah bangsa ini untuk kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar. Apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya dalam alam
kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan keragaman orientasi, referensi, dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan? Apakah
kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah pada perbenturan peradaban bangsa kita?
Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman
budaya di Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep pluralisme adalah buah dari kompromi Alisjahbana dengan Pane yang ditengahi oleh Dewantara,
sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, dan seterusnya. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan
membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budaya-budaya daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan.
17
Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi. Selama pemerintahan yang
otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar SARA Suku, Agama, dan Ras merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat
atau didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam
melakukan penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan.
Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu. Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai era
reformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas identity revolution.
Batas-batas identitas etnis, juga agama, ras, dan antar golongan yang selama rezim Orde Baru ditabukan, justru pada era reformasi sudah mulai bangkit
sebagai sebuah kekuatan basis. Kebijakan era sekularisme memberikan otonomi daerah tidak serta-merta
menyelesaikan masalah keragaman ini. Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi
masyarakat daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih kental rasa kesukuan dan etnosentrisnya. Contoh yang paling mudah diamati adalah Pilkada
langsung, yang cenderung diikuti dengan demonstrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka
berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku. Semua konflik ini berlatar pada spirit
membangkitkan eksistensi etnisitas. Inilah kondisi yang tengah terjadi di Indonesia dan masih terus berpotensi
untuk muncul kembali jika kesadaran sektarian dan etnisitas dikelola dengan kepentingan untuk semata-semata meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Apakah
Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap pembangunan
manusia? Ataukah justru akan memperkokoh primordialisme dan etnosentrisme? Dengan meningkatnya semangat solidaritas etnis terutama sejak era
sekularisme, maka permasalahan yang mulai menampak adalah terancamnya
18
eksistensi demokrasi pluralitas, yakni demokrasi yang mengutamakan hak-hak kesetaraan dan keadilan, untuk semua. Kedua, kualitas demokrasi menjadi sangat
minim, karena proses demokrasi tidak lagi berlangsung berdasarkan rasionalitas dan kesadaran logis, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dan
pengaruh etnisitas. Di Sulawesi Selatan, permasalahan ini tidak berhenti sampai di sini, karena
di daerah ini, terdapat paling kurang empat etnis besar yang memiliki potensi untuk terus mengembangkan akar-
akar ‖perbedaan,‖ sebagai alat bargaining untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Lebih khusus, potensi konflik perebutan
kekuasaan politik dan ekonomi diperkirakan sangat berpeluang terjadi antara dua etnis besar Bugis dan Makassar. Dua etnis ini secara historis memiliki tradisi
berkompetisi dan kontestasi politik sejak lama. Etnis Bugis melalui simbol utamanya Arung Pal
akka, menurunkan semangat pencapaian ‖kekuasaan‖ dan ‖materi‖ untuk mewujudkan kesejahteraan berlangsung bersamaan. Di sini terlihat
etnis Bugis mengembangkan kekuatan tradisi ”material power.” Sementara etnis
Makassar melalui pesan Sultan Hasanuddin terus mempertahankan kebiasaannya membangun tradisi
”immaterial power,” sebuah kebiasaan memperluas wilayah kekuasaan ekspansi kekuasaan, meskipun tidak disertai dengan kelimpahan
materi. Perwujudan kesejahteraan etnis Makassar ditandai dengan kekuasaan unt
uk ‖menguasai.‖ Kedua semangat yang berbeda ini, akan memberi kontribusi untuk mempertajam arah konflik antara kedua etnis ini.
Dengan berpangkal pada permasalahan di atas, maka studi ini mengangkat tematik elite di dalam etnis Bugis dan etnis Makassar memproduksi dan
mereproduksi dirinya untuk bersaing dalam akses dan pengaruh terhadap sumber- sumber kekuasaan maupun ekonomi. Dengan demikian, penelitian yang
dilakukan menjawab beberapa permasalahan, sebagai berikut: 1. Bagaimana proses transformasi dan pola interaksi sosial elite Bugis dan
Makassar dengan pengikutnya, dalam upayanya meraih, menjaga dan memperluas ekuasaan politik dan ekonominya mulai dari fase tradisional
hingga fase sekularisme.
19
2. Bagaimana dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar, terutama dalam membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan
kepentingan kelompok masing-masing dalam melakukan proses perubahan? 3. Bagaimana simbol-simbol budaya, kuasa dan uang dimanfaatkan dan
diorganisasikan oleh elite untuk mempertahankan dan mereproduksi posisinya sebagai elite pada etnis Bugis maupun Makassar untuk meraih kekuasaan?
1.3 Tujuan Penelitian