181
dengan Belanda adalah sebentuk pengkhianatan seperti terlihat dalam bagaimana kelompok ini mengartikan akronim NIT, sebagai Negara Ikut Tuan. Inilah tahun
antara 1945-1949 ketika Belanda kembali hadir dan polarisasi elite berbasis etnis terbentuk. Kalangan Bangsawan Makassar dominan mengikuti garis politik
Najamuddin Daeng Malewa yang berkolaborasi dengan kekuatan penjajah. Terlihat pada masa Jepang, ia menduduki posisi penting sebagai walikota
Makassar dan masa agresi Militer Belanda ia berkontribusi lahirnya Negara Indonesia Timur bahkan diangkat sebagai pimpinannya. Sementara itu, kalangan
bangsawan Bugis, khususnya Bone terserap ke dalam arus politik Sulselis di bawah kendali Sam Ratulangie yang anti kerjasama dengan pihak Belanda.
Kekalahan diplomasi Belanda atas Indonesia yang didukung oleh banyak negara lain termasuk Amerika Serikat menyebabkan pemerintah Belanda
memberikan pengakuan atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia walau masih menyisakan Papua bagian Barat. NIT pun dengan sendirinya
membubarkan diri dan lebur ke dalam kesatuan RI. Dominasi bangsawan Makassar dalam perjuangan ini menurun pamornya dan sebaliknya bangsawan
Bugis menguat.
6.2.1 Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Governing Elite
Dinamika politik lokal masih terus berlangsung. Memasuki tahun 1950, Kahar Muzakkar, seorang gerilyawan Sulselis menemukan diri kecewa setelah idenya untuk
meleburkan diri dan seluruh anggota kesatuannya ke dalam kesatuan tentara RI ditolak oleh pemerintah RI yang berkedudukan di Jakarta.
106
Seiring dengan itu, sebagai seorang Islam dengan latar belakang pendidikan Muhammadiyah ia juga di
tahun 1953 bergabung dengan ide besar yang diusung S.M. Kartosuwiryo yakni mendirikan Negara Islam Indonesia dan bergabung dengan kelompok militernya
yang dikenal dengan nama Darul IslamTentara Islam Indonesia DITII. Sejak itu, gerilyawan Kahar Muzakkar merebut kendali atas sebagian besar daerah pedalaman
106
Pengiriman Kahar Muzakkar ke Sulawesi Selatan adalah untuk menggantikan posisi juniornya menjadi pimpinan militer di sana, Letkol Soeharto bersama kesatuan Brigade Mataram salah satu
brigade di bawah kendali Kolonel A.E Kawilarang yang baru saja menumpas pemberontakan Andi Azis 26 April 1950 dipertimbangkan sebagai strategi politik Jakarta karena melihat posisi
orang Jawa yang ‗dimusuhi‘ di Sulawesi Selatan.
182
Sulawesi Selatan.
107
Dukungan rakyat atas perjuangan Kahar Muzakkar menegakkan siri
‟ diberikan secara luas. Sementara itu, karena karakter pribadinya yang anti feodal, membuat banyak bangsawan baik muda maupun profesional di kemiliteran
bergabung dengan tentara Jawa yang ditugaskan untuk menumpas perjuangan Kahar Muzakkar. Namun, dominasi Kahar bertahan hingga tahun 1965. Beberapa faktor
dominasi itu menurut Harvey dalam Millar, 2009:70 terletak pada beberapa hal, diantaranya tentara Jawa yang menganut ‗sinkretis‘, para pemimpin perang Bugis
Bugineses warlords yang disegani di pedalaman, taktik tekanan yang diterapkan
tentara Indonesia, bantuan kaum bangsawan yang takut hartanya diambil dan keluarganya terancam, dan sikap militer yang tidak benar-benar hendak menumpas
pemberontakan karena persoalan persaingan dalam perebutan posisi militer dengan gerilyawan, dan bila Sulawesi Selatan damai maka jumlah pasukan akan dikurangi
Harvey 1974:260-271. Selain itu, kekuatan militer Kahar Muzakkar juga memperoleh amunisi baru setelah pasukan PRRIPermesta dari Sulawesi Utara
bergabung dengannya pada tahun 1962.
108
Rupanya, pihak Jakarta di bawah kendali Soekarno juga masih terus menggelorakan semangat anti feudalisme. Hal ini terlihat dari kebijakan
pemerintahan daerah yang ia terapkan dengan mengganti sistem swapraja menjadi
107
Ideologi gerakan Darul Islam menggabungkan tafsiran ketat atas hukum Islam dengan permusuhan ekstrim terhadap praktik-
praktik ―feodal‖ yang memisahkan bangsawan dengan orang biasa. Hukum syariah ketat diperkenalkan di wilayah kekuasaan gerilyawan. Sufi tariqa,
pemujaan di kuburan dan roh-roh leluhur istana mereka tekan. Sebagai bagian dari kampanye mereka melawan ―feodalisme,‖ seluruh simbol perbedaan lapisan sosial ditekan dalam
pelaksanaan ritual-ritual siklus hidup. Pernikahan direduksi hingga pembayaran jumlah minimum mahar yang dibayarkan seragam oleh seluruh mempelai pria dan hanya melaksanakan
penandatanganan surat nikah oleh dua pihak di depan saksi- saksi Thomas Gibson, 2009:….
108
Kedatangan pasukan Permesta pimpinan Gerungan di tengah-tengah pasukan DITII di Sulawesi Selatan tahun 1958 setelah ini diadakan perjanjian kerja sama antara Permesta dengan
DITII Kahar Muzakhar digambarkan: Dengan kedatangan tentara Permesta dari Manado itu, membuat Kahar melondjak-londjak kegirangan menjambut kedatangan tentara Permesta itu, jang
telah menempuh djarak djauh dengan segala penderitaan melintasi sungai-sungai, gunung- gunung dan hutan-hutan lebat. Kahar lantas memberikan tempat konsentrasi kepada tentara
Permesta dan diberikan djaminan jang lajak dan tjukup memuaskan. Sendjata-senjata jang dibawa oleh tentara Permesta tjukup riel jang terdiri dari sendjata model baru dan diantaranja
ada BAZOKA jang mendjadi kebanggaan Kahar. Dan sementara itu, diaturlah konsepsi kerdjasama militer antara Momoc Ansharullah dengan tentara Permesta dimana TII tidak
dihiraukan lagi oleh Kahar, karena memang Kahar sudah merentjanakan akan menghapus TII setelah terbentuknja Momoc Ansharullah
. Kahar Muzakkar ditembak mati di tempat persembunyiannya tanggal 3 Februari 1965; sedangkan Dee Gerungan ditangkap pada tanggal 19
Juli 1965, diadili oleh Pengadilan Negeri, dan dijatuhi hukuman mati Permesta Information Online, edisi 15 Maret 2010.
183
swatantra di tahun 1957. Saat itu, kerajaan-kerajaan otonom berdiri atau dilebur sebagai sebuah kesatuan pemerintahan Kabupaten. Raja-raja terakhir dinobatkan
sebagai bupati seperti Andi Mappanyukki di Bone dan Somba Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang di Gowa. Kebijakan ini untuk Kabupaten Bone
tertuang dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1957 tentang Pembubaran Daerah Bone dan Pembentukan Daerah Bone, Daerah Wajo,
Dan Daerah Soppeng. Tidak lama setelah itu, kekuasaan Soekarno runtuh berikut ideologi
Sulselisme dan anti feudalisme yang diusungnya. Selanjutnya, Indonesia memasuki babak baru. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Soeharto
—yang diangkat sebagai presiden oleh MPRS
—dan diterapkan secara seragam bagi seluruh wilayah di Indonesia yang sangat berbeda dengan Soekarno.
Seorang Soeharto
109
adalah seorang yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan Jawa masa lampau yang sangat feodalistik dan dengannya
isu-isu politik berada dalam kerangka pemikiran Jawa, yakni sentralisme kekuasaan. Dalam mengkonsolidasi kekuasaannya, Soeharto
—pemerintah ‗Orde Baru
‘—melakukan strategi penyeragaman dalam berbagai aspek, diantaranya penulisan sejarah masa lalu, sistem politik dan pemerintahan, dan model
pembangunan. Penyeragaman ini membawa konsekuensi besar di seluruh wilayah di Indonesia dan serta merta mengubah peta perpolitikan di Sulawesi Selatan.
Kaki-kaki kekuasaan Soeharto, yakni militer, birokrasi, dan [partai politik] Golongan Karya telah membawa para politisi, baik yang berbasis kebangsawanan,
militer, dan kalangan terdidik terserap dalam satu koalisi politik besar, yakni Rezim Orde Baru.
Setelah sukses melakukan penyeragaman sejarah [kekerasan] politik dan menghancurkan ‗musuh-musuh‘ politik yang potensial menjegalnya di masa
kekuasaannya, Soeharto yang sudah menggenggam kekuatan militer lalu menggulirkan program ‗trilogi pembangunan‘ yang berisikan stabilitas, pertumbuhan,
dan pemerataan. Konsepsi ini dibungkus oleh ideologi pembangunan yang dianutnya
109
Dalam Thomas Gibson, diuraikan bagaimana silsilah keluarga Soeharto dan bagaimana ia kemudian mengkonsolidasi merekonstruksi kebangsawanannya yang dapat ditelusuri hingga
Sultan Hamengkubuwono V memerintah 1792 – 1828 melalui tujuh generasi dari pihak ibunya
dan ke Pakubuwono VII memerintah 1830 – 1858 dari pihak ayahnya Gibson, 2009 [buku
kedua terjemahan].
184
dengan tentu saja merujuk pada teori ekonomi pertumbuhan ala Rostow; trickle down effect
. Ekonomi adalah panglima bagi Soeharto dan sejak itu, seluruh jaringan birokrasi yang dibangunnya terlibat dalam kesibukan melaksanakan pembangunan.
Dari aspek pemerintahan, tahun 1970an Soeharto mengeluarkan kebijakan pemerintahan daerah dan Desa yang bercorak sentralistik. Dalam kebijakan ini,
posisi elite pemerintahan di level provinsi Daerah Tingkat I dan kabupaten Daerah Tingkat II ditentukan oleh Jakarta. Setiap daerah dari kedua level di atas
mengajukan tiga sampai lima calon kepala daerah dan akan ditentukan oleh Presiden untuk disahkan Menteri Dalam Negeri UU No. 5 tahun 1974. Pada
masa ini, politisi dengan basis kemiliteran
110
dan loyal kepada Soeharto akan dengan mudah mengakses kekuasaan dan menaiki tangga elite politik. Pada
periode ini di tiga level pemerintahan provinsi, Kabupatenkota, dan Desa dominasi kepala daerah dari kalangan militer lebih besar ketimbang politisi sipil.
Di Sulawesi Selatan, gubernur berbasis militer adalah AL 1966 – 1978, AO
1978 – 1983, ZBP 1993 – 2003. Terkecuali AA 1983 – 1993 dari kalangan
birokrat sipil kalangan terdidik. Demikian pula beberapa daerah tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan
menunjukkan dominasi militer itu. Lihat saja di Kabupaten Bone yang didominasi oleh politisi militer seperti Kolonel H. Suaib 18 Agustus 1970
– 13 Juli 1977, Kolonel H. P.B. Harahap 13 Juli 1977
– 22 Februari 1982, Kolonel H. A. Made alie 22 Februari 1982
– 6 April 1982, Kolonel H. Andi Syamsul Alam 28 Maret 1983
– 06 April 1988, Kolonel H. Andi Sjamsul Alam 06 April 1988 – 17 April 1993, Kolonel H. Andi Amir 17 April 1993
– 2003, Idris Galigo 2004-2014. Hal yang sama terjadi di Kabupaten Gowa; Kolonel TNI A. Tau 1961-1966,
Kolonel TNI YL1966- 1967, pejabat Bupati, Kolonel TNI K.S. Mas‘ud 1967-
1977, Kolonel Polisi Sirajuddin 1977-1982, Kolonel TNI Kadir Dalle 1982- 1987, Kolonel TNI Azis Umar 1987-1992, SYL1992-2001. Abdullah Djabar
2002-2004 Ikhsan YL2005-2015. Meskipun kepemimpinan politik di Kabupaten Bone dan Gowa pada masa
rejim Orde Baru sepenuhnya dikuasai oleh perwira menengah ABRI, akan tetapi
110
Pada masa Orde Baru, Kalangan Militer diuntungkan oleh kebijakan Dwi-Fungsi ABRI yang merupakan pengejawantahan pemikiran dari AH. Nasution.
185
ada yang spesifik antara Bupati dari ABRI di Bone dengan Bupati dari ABRI di Kabupaten Gowa. Dari enam Bupati dari ABRI di Kabupaten Bone, hanya kolonel
Harahap yang bukan orang etnis Bugis Bone. Sebaliknya, Bupati Gowa yang berasal dari ABRI, hanya satu orang yang berasal dari etnis Makassar Gowa, yakni
kolonel A. Tau. Pilihan-pilihan ini tentu saja secara politik bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Intelejen politik Jakarta paling tidak memiliki pandangan
bahwa kedua daerah ini memiliki karakteristik yang berbeda. Mungkin saja, Kabupaten Bone
dipandang memiliki karakteristik masyarakat yang ―tertutup
111
‖ terutama dalam soal struktur kekuasaan, sebaliknya masyarakat Kabupaten Gowa
mungkin dinilai lebih flexibel menerima kepemimpinan dar i ―luar‖.
Model politik penetrasi melalui jalur TNI merasuk ke semua wilayah di Indonesia. Termasuk di Kabupaten Bone dan Gowa. Tokoh-tokoh TNI yang
memiliki hubungan baik dengan Jakarta, atau khususnya yang memiliki relasi khusus dengan ―Cendana‖ akan memiliki ticket untuk menduduki posisi politik di
daerah. Posisi politik itu tidak lain adalah perpanjangan tangan rejim Orde Baru,
dalam hal ini presiden Soeharto. Naiknya pamor kalangan militer ini menunjukkan bahwa konsep stabilitas
benar-benar efektif dilaksanakan. Di setiap level pemerintahan terbentuk jejaring elite kekuasaan yang disebut Muspida dan Tripika. Artinya, bila terdapat 40.000
– 50.000 Desa di seluruh Indonesia maka akan ada Babinsa yang berfungsi
mengawasi proses depolitisasi warga Desa melalui kebijakan massa mengambang floating mass. Disamping itu, corak pemerintahan Desa sangat mirip dengan
bagaimana negara mengorganisir kekuasaannya, yakni menghadirkan kekuasaan seorang kepala desa sebagai orang terkuat yang mengatasi Lembaga Musyawarah
Desa LMA dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa LKMD, namun di satu sisi tunduk patuh dan loyal pada petunjuk bupati yang juga tunduk patuh kepada
gubernur dan seterusnya hingga kepada presiden. Begitu seriusnya negara menerapkan prinsip kekuasaan yang dianutnya hingga Antlov menyebut praktek
ini sebagai ‗negara dalam Desa‘ Antlov, 2005. Sebagaimana patronnya di level negara, di mana seorang Soeharto mampu bertahan menduduki kursi kepresidenan
111
aliarhum kolonel Harahap tidak sempat menyelesaikan masa jabatannya sebagai Bupati Bone selama lima tahun, karena saat menjalankan pengabdiannya sebagai Bupati, ia terbunuh oleh
seseorang dengan motif yang sulit ditelusuri hingga saat ini.
186
selama 32 tahun, maka di banyak Desa, seorang kepala desa juga dapat bertahan lama sepanjang menjaga loyalitas terhadap patronnya dan bahkan banyak
diantaranya yang baru undur diri berdasarkan aturan baru, yakni sejak UU No. 22 tahun 1999 diterapkan dan direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2005 tentang
pemerintahan daerah. Di masa-masa yang nyaris bersamaan, perampingan partai politik terus
dilakukan hingga tinggal dua partai politik Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia dan Golongan Karya yang enggan dikategorikan
sebagai partai politik karena menghilangkan kesan bobroknya kinerja partai politik di masa lalu. Berdasarkan kebijakan presiden menjelang pemilihan umum 1971,
jumlah peserta Pemilu dipangkas hingga menjadi sepuluh partisipan saja
112
dan Pemilu berikutnya di tahun 1977 tinggal menjadi tiga partai politik. Dalam konteks
ini, Suharto dengan apik mengomandani tentara, polisi, dan pegawai sipil sebagai tiga pilar mesin politik paralel yang masing-masing mempertahankan sistem
pengawasan terhadap setiap level masyarakat. Dia menyatukan seluruh pegawai negeri sipil ke dalam sebuah partai politik, Golkar, dan menjadikan mereka piranti
dari visi masyarakat birokratis yang ada di kepalanya Gibson, 2007. Dari sisi pembangunan ekonomi, Soeharto menjadikan gerakan Revolusi
Hijau sebagai prioritas pembangunan selama empat Repelita. Untuk mengawal pembangunan ekonomi, Soeharto menggunakan pendekatan yang sama dengan
pendekatan politik. Bedanya, tentara tidak lagi bersama birokrat dan para guru untuk melakukan kontrol pembangunan pada setiap level masyarakat. Tetapi,
Soeharto menyodorkan partner lain, pengusaha keturunan Tionghoa. Pengusaha China dengan beberapa kerabat dekatnya mendapat dukungan kebijakan dan
proteksi dari Soeharto dalam menjalankan bisnisnya, terutama di sektor pangan. Tentara berkewajiban membackup para pengusaha yang sudah ditentukan oleh
Soeharto Fahmid, 2004. Dengan memahami konstruksi politik dan ekonomi yang dibangun oleh
Orde Lama dan Orde Baru, maka pola akuisisi kekuasaan yang dilakukan oleh governing elite
terhadap non-governing elite dan sub-elite, pada masa Orde Lama dan Orde Baru setidaknya melalui alat seperti; Pertama, desakralisasi symbol-
112
Lihat kebijakan Pemilu 1971
187
simbol feudalism kerajaan dan kebangsawanan. Pada masa Orde Lama sejumlah Kerajaan di Sulsel, khususnya pada Kerajaan Bone dan Gowa mengganti sistem
swapraja menjadi swatantra di tahun 1957. Saat itu, kerajaan-kerajaan otonom dilebur sebagai sebuah kesatuan pemerintahan Kabupaten. Raja-raja terakhir yang
memiliki kekuasaan besar di daerahnya masing-masing dinobatkan sebagai bupati seperti Andi Mappanyukki di Bone dan Somba Andi Ijo Daeng Mattawang
Karaeng Lalolang di Gowa. Kedua, sentralisasi penentuan elite puncak pada tingkat Propinsi, Kabupaten dan Desa. Elite-elite yang memegang kendali utama
dalam pemerintahan Propinsi dan Kabupaten semuanya ditentukan oleh Pemerintahan Pusat. Dengan cara ini, semua kekuatan non-governing elite yang
berada di daerah Sulsel terlucuti, dan diganti oleh elite- elite baru yang ―import‖
dari daerah lain. Pada umumnya elite-elite baru itu berlatarbelakang militer. Elite- elite local di desa juga diperlakukan sama dengan non-governing elite di tingkat
kabupaten dan propinsi. Ketiga, control yang ketat terhadap organisasi massa dan partai politik. Kontrol ini dimaksudkan untuk menjaga berkembangnya non-
governing elite yang tidak terkontrol oleh elite penguasa.
6.2.2 Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Non-Governing Elite