Hibridisasi Budaya Politik Pilihan Masa depan

293

7.3 Hibridisasi Budaya Politik Pilihan Masa depan

Dalam proses pembentukan elite pada aras makro provinsi Sulawesi Selatan, terjadi kontestasi secara diam-diam antara dua etnis utama; Bugis dan Makassar. Dalam kontestasi tersebut terdapat dua budaya sosiologi politik yang berkembang; budaya sosiologi politik hybrid dan budaya sosiologi politik koeksistensi. Kedua budaya ini secara sadar maupun tidak sadar menjadi pilihan bagi aktor-aktor elite pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa. Secara teoritis, identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Vakumnya konsep, ide, gagasan, yang berambisi atas tafsir dunia memberi peluang bagi tampilnya ‖narasi-narasi kecil‖ yang heterogen dan plural. Pluralisme kebudayaan ini idealnya dapat disikapi sebagai medan pertukaran simbolik yang produktif dan komplementer. Hal ini sesuai dengan harapan SYL governing elite dari Gowa; ―Pluralitas kebudayaan yang dimiliki oleh setiap etnis dan komunitas di Sulsel hendaknya difahami sebagai kekayaan kita semua. Perbedaan- perbedaan budaya dan bahasa itu harus dilihat sebagai asset. Mari kita pelihara keragaman pada setiap etnis dan komunitas sebagai kekayaan yang positif, akan tetapi kalau kita berdiri pada aras Sulsel, kita masukkan dan kita leburkan keragaman itu dalam tungku Bugis, Makassar dan Toraja, untuk dimasak menjadi ―Sulsel Baru‖ yang lebih sejahtera, adil dan damai. Karena sesungguhnya kita bersumber dari satu keluarga besar. Mereka yang mempertajam perbedaan antara Gowa dengan Bone misalnya adalah kebiasaan mewarisi tradisi kolonial Belanda, yang suka mengadu domba. Anda semua bisa saksikan kearifan sejarah, Raja Bone Arung Palakka dikuburkan di kompleks pemakaman Raja- raja Gowa.― Hasil pidato pada tanggal 10 Mei 2007 di Bone. Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, ingroup favoritism dan outgroup derogation akan berkurang. Menurut Dr. M. DWS, MA Sosiolog Universitas Hasanuddin; ―Sampai saat ini di Sulsel tidak terdapat kelompok, komunitas atau etnis sekalipun yang memiliki kekuatan politik dominan. Aktor-aktor politik yang berhasil menapaki panggung kekuasaan yang lebih tinggi 294 disebabkan karena aktor tersebut memiliki kemampuan melakukan persilangan kategori-kategori identitas antar kelompok dan etnis. Apalagi pada umumnya elite-elite politik Sulsel cenderung memiliki kepentingan yang sama. Semua kenyataan ini akan menurunkan tensi in-group favoritism dan out-group derogation, yang pada akhirnya akan mempermudah lahirnya loyaltas ganda dan pencangkokan budaya politik.‖ Hasil wawancara tanggal 11 Pebruari 2011. Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak pula. Pandangan ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. AH Antropolog dan Guru Besar Fakultas Sastra Unhas; ―Pengenalan model politik di Sulsel sebetulnya dimulai dari era Kerajaan persisnya ketika era tomanurung. Dua kerajaan besar Gowa dan Bone mewarnai lahirnya konsep tomanurung. Dari sini berkembang sejumlah kerajaan-kerajaan kecil di Sulsel yang selalu memiliki hubungan kekuasaan secara sosiologis dan biologis dengan dua kerajaan utama; Gowa dan Bone. Pendirian kerajaan pada umumnya dilakukan untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaan. Untuk menjaga agar raja-raja kecil ini tetap memiliki hubungan dan loyal dengan dua kerajaan utama, maka Raja Gowa dan Bone sering menggunakan taktik ―Politik Ranjang.‖ Gaya politik seperti itu melahirkan individu yang memiliki keragaman identitas. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya persilangan kategori-kategori identitas antar etnis dan komunitas yang ada di Sulsel, sebagai syarat terciptanya hibridisasi budaya politik .‖ Hasil wawancara 21 Juni 2009‘ Pandangan AH memperlihatkan bahwa pola politik kekuasaan yang dikembangkan oleh Kerajaan Bugis dan Makassar memiliki kesamaan strategi, dengan demikian, dasar budaya politik yang berkembang di Sulsel bersumber dari konsep yang sama, maka peluang untuk persilangan kategori social dan identitas sosial dalam satu konsep akan lebih mudah. Mengapa persilangan kategori berpotensi dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru? Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok sehingga dapat mereduksi loyalitas kepada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda. Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif 295 terhadap outgroup akan berkurang. Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antar individu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat Brown Gaertner eds, Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes, 2003: 69-70. Berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya, keragaman budaya seharusnya bisa menjadi modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi. Jika dicermati secara serius, tentu banyak sekali titik singgung di antara keragaman ekspresi kebudayaan di Indonesia jika kategori-kategori sosial yang dimilikinya dipersilangkan satu dengan yang lain. Titik singgung tersebut merupakan modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan. Di Sulsel, terdapat ruang titik singgung yang amat luas untuk mempertemukan ekspresi kebudayaan antar etnis, seperti dikemukakan Prof. Dr. AH; ―Tidak sulit bagi seorang pemimpin Sulsel untuk mempertemukan atau mempersilangkan keragaman identitas, karena budaya-budaya yang berkembang di Sulsel berasal dari konsep yang sama. Bahwa kemudian berkembang dengan nilai-nilai yang berbeda, itu karena factor kepentingan kekuasaan. Jika ingin menemukan format baru dalam membangun ―Sulsel Baru‖ dibutuhkan pemimpin yang bisa dipercaya. Masyarakat dengan budayanya yang beragam dapat dipersatukan dengan mudah oleh pemimpin yang memiliki social trust yang tinggi.‖ Hasil wawancara 21 Juni 2009. Untuk mewujudkan konsep hibridisasi budaya politik di Sulsel, dibutuhkan seorang pemimpin yang punya visi besar dan dapat dipercaya oleh masyarakatnya. Karena pemimpin bagi masyarakat Sulsel adalah sumbu yang memberi pengaruh bagi masyarakatnya. Konsep hibridisasi budaya politik, tidak akan menghilangkan keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap etnis atau kelompok pada level kabupaten dan desa, karena hibridisasi tidak diperlukan pada level mezzo dan mikro, karena itu tidak perlu dikhawatirkan hilangnya budaya politik local karena tertindih oleh budaya politik baru yang dihasilkan oleh hibridisasi budaya politik. Pada saat bersamaan budaya sosiologi politik ko-eksistensi tetap perlu dipelihara, agar keragaman budaya tidak terreduksi. Budaya politik ko-eksistensi adalah keadaan dimana dua atau lebih kelompok yang hidup bersama tetap 296 menghargai perbedaan mereka dan menyelesaikan konflik mereka tanpa- kekerasan 181 . Koeksistensi telah didefinisikan dalam berbagai cara: i Untuk ada bersama-sama dalam waktu atau tempat dan saling toleransi; ii Untuk belajar mengenali dan hidup dengan perbedaan; iii Untuk memiliki hubungan antara orang atau kelompok di mana tidak ada pihak yang berusaha menghancurkan yang lain. Inti dari koeksistensi adalah kesadaran bahwa individu dan kelompok berbeda dalam berbagai cara termasuk kelas, etnis, agama, jenis kelamin, dan kecenderungan politik. Identitas kelompok ini dapat menjadi penyebab konflik, berkontribusi terhadap penyebab konflik. Budaya sosiologi politik hybrid berhasil memberikan kontribusi menyatukan etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa dalam satu payung politik yang disebut Sulawesi Selatan dalam konstruksi Negara-bangsa. Sedangkan budaya sosiologi politik koeksistensi memberi daya-tahan pada masing-masing etnis; Bone dan Gowa untuk hidup berdampingan sesuai dengan nilai-nilai inti yang dimiliki oleh masing-masing etnis, dalam konstruksi identitas lokal. Budaya sosiologi politik hybrid berhasil mengantarkan aktor-aktor elite etnis Bugis dan Makassar memasuki panggung politik aras makro; provinsi dan Sulsel. Budaya sosiologi politik hybrid lebih banyak diadopsi oleh etnis Bugis Bone dibandingkan dengan etnis Makassar Gowa 182 . Fakta ini dapat ditelusuri argumentasinya pada nilai-nilai budaya politik yang mempengaruhi aktor-aktor elite pada etnis Bugis dan Makassar. 181 Ide koeksistensi bukanlah hal yang baru, istilah ini datang ke dalam penggunaan umum selama Perang Dingin. Kebijakan hidup berdampingan secara damai digunakan dalam konteks hubungan AS dan Uni Soviet. Awalnya, itu untuk menutupi agresi, tetapi kemudian dikembangkan sebagai alat untuk menetralisir hubungan antara dua kekuatan. Pada akhir 80-an, kebijakan hidup berdampingan secara damai termasuk prinsip-prinsip seperti nonaggression, menghormati kedaulatan, kemerdekaan nasional, dan noninterference dalam urusan internal. Simak pemikiran Eugene Weiner, Coexistence Work: A New Profession. In The Handbook of Interethnic Coexistence , ed. Dalam Buku Panduan Koeksistensi antaretnis, ed. Eugene Weiner New York: The Abraham Fund, 2000: 13-24. Eugene Weiner New York: Dana Ibrahim, 2000: 13-24. 182 Aktor-aktor dari Bone yang berhasil memanfaatkan politik hybrid; antara lain Jenderal M. Jusuf M. Jusuf mampu menyerap budaya politik Jawa, bandingkan dengan Kahar Mudzakar yang mengandalkan budaya politik eksistensi tunggal, atau budaya politik koeksistensi. Lihat juga figure Jusuf Kalla, A. Ghablib, A. Matalatta, A.Alfian Malarangeng dan Nurdin Halid. Sedangkan actor dari Gowa antara lain yang menggunakan budaya politik Hybrid seperti Syahrul Yasin Limpo dan Ryas Rasyid. 297 Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi jenis pilihan budaya politik etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa. ARAS MEZZO UNIT AN aliSIS ETNIS BUGIS BONE ETNIS MAKASSAR GOWA NILAI BUDAYA ETNISITAS YANG BERPENGARUH NILAI KEKUASAAN Nilai yang Penting Nilai yang Penting PRINSIP BUDAYA POLITIK Fleksibel dengan system budaya politik luar Kaku dengan system budaya politik lokal BUDAYA ADAPTASI OPORTUNISTIK Sangat adaptif Sulit melepaskan diri dari budaya lokal NILAI ARISTOKRASI Menjunjung tinggi aristokrasi Prinsip egalitarian UANG MATERIAL ECONOMICS Instrumen yang berpengaruh Instrumen yang berpengaruh PERMAINAN SIMBOL BUDAYA Cukup menonjol Cukup menonjol PERMAINAN WACANA Kuat Sangat kuat DUNIA USAHA Mapan Dalam proses NILAI BUDAYA YG DIHASILKAN HIBRIDISASI Terjadi Hibridisasi pada aras makro Belum Terjadi Hibridisasi pada aras makro KOEKSISTENSI Mempertahankan Koeksistensi secara internal Mempertahankan Koeksistensi secara internal Gambar 9. Budaya Sosiologi Politik Hybridisasi dan Koeksistensi Gambar 9 di atas menunjukkan bahwa nilai budaya politik yang dianut oleh etnis Bugis Bone lebih ―lentur‖ untuk beradaptasi dengan prinsip budaya politik eksternal. Sementara prinsip budaya politik Gowa sulit berkompromi atau melebur dengan budaya politik lain lihat prinsip budaya politik; Bone sangat luwes dengan system budaya politik luar, sedangkan Gowa, cenderung kaku dengan system budaya politik lokal. Kondisi ini sekaligus menjelaskan etnis Bugis Bone memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memilih budaya sosiologi politik hybrid dibandingkan dengan etnis Makassar Gowa. Meskipun terdapat sejumlah kasus yang menunjukkan bahwa terdapat actor-aktor yang tumbuh dengan budaya politik Makassar Gowa seperti; Dr. SYLGubernur Sulsel yang terpilih pada tahun 2008, Prof. Dr. RR mantan Menteri Otonomi Daerah telah berhasil melakukan hibridisasi budaya politik. 298 Beberapa penjelasan pada bagian sebelumnya memperlihatkan bahwa proses pembentukan elite pada etnis Bugis Bone pada aras mezzo berlangsung sangat tertutup. Untuk mengisi ruang-ruang kekuasaan posisi elite, para aristokrat Bone memiliki kemampuan untuk membatasi peluang elite baru yang tidak memiliki kemurnian darah kebangsawanan. Karena itu, klan PG yang berasal dari kalangan biasa melakukan ―pemberontakan‖ untuk menerobos panggung elite lihat kaum Tolampa di Desa Benteng Tellue, Bab 6. Meskipun secara internal sangat ketat dan tertutup hanya kalangan aristokrat dalam proses pembentukan elite pada etnis Bugis Bone, akan tetapi secara eksternal para elitnya survive menembus panggung kekuasaan sampai pada aras makro; provinsi dan Sulsel. Sebaliknya, proses pembentukan elite yang berlangsung pada etnis Makassar Gowa pada aras mezzo, berlangsung dengan pola yang lebih terbuka karena aristokratnya semakin menurun fungsi kekuasaannya, akan tetapi elite Gowa belum banyak berhasil mendorong para elitnya memasuki ruang kekuasaan yang lebih tinggi aras makro; provinsi dan Sulsel. Untuk menjawab mengapa elite etnis Bone mampu menembus panggung kekuasaan yang lebih tinggi provinsi dan Sulsel, sebaliknya elite etnis Gowa hanya mentok pada ruang kekuasaan aras mezzo, karena nilai budaya sosiologi politik yang dianut etnis Bugis Bone lebih ―luwes‖ untuk beradaptasi dengan nilai budaya politik luar. Dengan nilai-nilai itu, mereka dengan mudah melakukan hibridisasi budaya politik. Sedangkan elite-elite etnis Gowa sangat teguh memegang prinsip budaya politik yang menjadi nilai-nilai inti di dalam proses sosiologi politiknya lihat variabel-variabel pada tabel 19 di atas. Hybridisasi budaya politik tidak saja menjadi salah satu alat untuk mengantarkan actor-aktor politik untuk mencapai panggung kekuasaan yang lebih tinggi seperti kasus actor politik etnis Bugis Bone yang bisa menembus panggung politik provinsi dan Sulsel, akan tetapi yang lebih penting akan menjadi pilihan politik yang bisa memayungi relasi sosial yang plural. Hybridisasi budaya politik, memungkinkan tumbuhnya budaya politik inklusivisme yang beri ruang kepada actor-aktor politik yang memiliki kualialitas untuk memasuki posisi elite, meskipun mereka bersumber dari latar politik dan budaya yang berbeda- 299 beda. Hybridisasi akan meredam berkembangnya politik ekslusivisme yang berbasis pada politik sectarian seperti politik identitas dan etnisitas. Dengan demikian, hibridisasi budaya politik akan mampu mempertahankan pluralitas budaya dan politik yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Hal lain yang menjadi produk hibridisasi budaya politik adalah dimungkinkannya share of power bagi para elite pada panggung kekuasaan Sulsel dalam bingkai NKRI berdasarkan geopolitik dan etnisitas. Budaya politik semacam ini bisa menjadi ciri khas demokrasi Indonesia yang tidak ditemukan di dalam literature politik Barat. Pada akhirnya, dalam konteks share of power yang mengacu pada factor geopolitik dan etnisitas, hibridisasi budaya politik akan mereduksi berkembangnya tuntutan pemekaran wilayah terutama pada tingkat provinsi. Untuk mempertahankan budaya lokal, pada level mezzo, hibridisasi budaya politik tergantikan oleh system budaya politik ko-eksistensi; dimana masing-masing pihak etnis memiliki karakter budaya politik yang berbeda-beda. Realitas ini juga berlaku pada interaksi sosial yang terjadi pada aras mikro Desa. Budaya politik inilah yang sedang berjalan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa. Masing-masing etnis mempertahankan system politik lokalnya. Akan tetapi, ketika memasuki aras makro; propinsi dan Sulsel, actor elite politik yang melakukan hibridisasi budaya politik yang akan menguasai panggung kekuasaan. Berdasarkan konstruksi social yang bersifat structural maupun cultural dan konstruksi aktor, studi ini memperlihatkan dengan jelas adanya gejala dan kemungkinan berkembangnya hibridisasi budaya politik. Sintesa ini didukung oleh tiga konstruksi sebagai berikut; Pertama, konstruksi sosial dalam perspektif struktural memperlihatkan bahwa tujuan pendirian unit-unit kekuasaan kerajaan- kerjaan kecil yang menyebar di wilayah Sulsel, yg disponsori oleh dua kerajaan utama: Bone Gowa dimaksudkan untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaannya; Bone dan Gowa, untuk tujuan tersebu, kerajaan Bone dan Gowa cenderung menggunakan taktik ―politik ranjang.‖ Taktik itu melahirkan individu yang memiliki keragaman identitas. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya persilangan kategori-kategori identitas antar etnis dan komunitas yang ada di Sulsel, sebagai syarat terciptanya hibridisasi budaya politik. 300 Kedua , konstruksi sosial dalam perspektif kultural, terutama dalam falsafah ―Tiga Ujung‖ yakni dengan menggunakan; ujung lidah diplomasi; ujung kelamin politik ranjang —perkawinan politik, dan ujung badik konfrontatif—perang yang dipraktekkan oleh elite etnis Bugis dan Makassar, menunjukkan adanya sejumlah kesamaan dalam pola meraih kekuasaan bagi etnis Bugis dan Makassar, yakni didominasi dengan menggunakan Ujung Lidah diplomasi, kesamaan pola ini menjadi modal bagi kemungkinan terjadinya hibridisasi budaya politik. Ketiga , perspektif Aktor di dalam etnis Bugis dan Makassar SYL Gowa – AS Bone memperlihatkan kesamaan pandang bahwa etnis Bugis dan Makassar bersumber dari identitas dan falsafah budaya politik yang sama meskipun secara fisik dan geografis, yang kemudian dikonstruksikan secara kontras oleh VOC. Konstruksi ini dapat dilihat pada kasus-kasus sebagai beikur; AS diterima memiliki hubungan baik dengan kalangan bangsawan Gowa; Arung Palakka, Raja Bone yang menundukkan Sultan Hasanuddin Raja Gowa , justru jasadnya dimakamkan di kompleks Kerajaan Gowa, fakta-fakta ini memberi peluang untuk hibridisasi budaya politik. 301 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite