19
2. Bagaimana dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar, terutama dalam membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan
kepentingan kelompok masing-masing dalam melakukan proses perubahan? 3. Bagaimana simbol-simbol budaya, kuasa dan uang dimanfaatkan dan
diorganisasikan oleh elite untuk mempertahankan dan mereproduksi posisinya sebagai elite pada etnis Bugis maupun Makassar untuk meraih kekuasaan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berangkat dari permasalahan yang diajukan di atas, terdapat tiga tujuan dari penelitian ini, yaitu;
1. Mengetahui proses transformasi dan pola interaksi elite Bugis dan Makassar dengan pengikutnya dalam usahanya meraih, menjaga dan memperluas kekuasaan
politik dan ekonominya, mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme. 2. Mengetahui dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar terutama
dalam komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras;
desa, kabupaten, provinsinasional. 3. Mengetahui dan memahami proses elite Bugis dan elite Makassar
memanfaatkan simbol-simbol budaya, kuasa, uang dan budaya sosiologi politik lainnya untuk meraih dan memelihara mereproduksi kekuasaannya
mulai dari level mikro, mezzo dan makro.
20
21
2 TINJAUAN PUSTAKA
Untuk menjelaskan fenomena pembentukan elite sosiologi politik dan ekonomi di dalam etnis Bugis dan Makassar menuju hibriditas budaya politik,
maka penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai bingkai analisis atas fakta atau fenomena sosial yang terjadi berkaitan dengan tematik penelitian.
Adapun penggunaan teori ini akan disesuaikan dengan pilihan paradigma penelitian oleh peneliti. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas posisi peneliti
dalam penelitian yang dilakukan. Berkaitan dengan tematik penelitian ini, penulis mengeksplorasi sejumlah
teori antara lain; teori elite dan kekuasaan, yang berbasiskan etnis, simbol, dan wacana. Lebih jelasnya, uraian batasan teori sebagaimana telah disebutkan akan
dipaparkan pada bagian berikut tulisan ini.
2.1 Elite
Secara etimologi, istilah elite bermula dari kata Latin eligere yang bermakna memilih. Pada abad ke 14, istilah ini berkembang menjadi a choice of persons
orang-orang pilihan. Kemudian pada abad ke 15, digunakan untuk menjelaskan best of the best
yang terbaik dari yang terbaik. Selanjutnya pada abad ke 18, kata elite yang diambil dari bahasa Perancis, dipakai untuk menandai sekelompok
orang yang memegang posisi penting dan terkemuka dalam suatu masyarakat. Menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elite adalah sekelompok
kecil individu yang memiliki kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elite merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu
menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto meyakini bahwa elite yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas
yang sama, yakni orang-orang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas elite dan lapisan bawah non-elite. Lapisan atas
atau kelas elite terbagi dua; elite yang memerintah governing elite dan elite yang tidak memerintah non-governing elite. Governing elite dan non-governing elite
selalu berkompetisi untuk meraih kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, hanya dapat bertahan untuk berkuasa apabila secara
22
kontinu memperoleh dukungan dari masyarakat bawah massa. Akan tetapi sirkulasi elite akan tetap berjalan karena secara individual baik elite keturunan
maupun elite yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab sosial, politik dan biologis.
7
Menurut Mosca, pada setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas; kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang
memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari
kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan.
8
Pada penelitian Mosca yang lain, ia menemukan peran ‗kekuatan
sosial‘ dalam pembentukan elit. Mosca mengenalkan konsep ‗sub elite‘ yang dikenal sebagai kelas menengah, yang terdiri dari; pegawai negeri sipil, manajer
industri, ilmuwan dan mahasiswa. Kelas ini dianggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. Menurutnya stabilitas politik ditentukan oleh lapisan
kelompok menengah ini. Kekuasaan elite bagi Mosca adalah perwujudan dari sifat-sifat yang tak
terbantahkan dari watak sosial manusia. Selanjutnya dikatakan, bahwa kelas politik yang tidak adaptatif dengan zaman tidak akan bisa mempertahankan diri.
Sementara elite lain akan terbentuk dari kalangan yang diperintah, dan dengan perjalanan waktu akan mengambil alih kekuasaan meskipun dengan kekerasan.
Sistem demokrasi, menurut Mosca tidak memiliki dasar substantif sebagai kekuasaan mayoritas, bahkan dianggap sebagai penyebab kemerosotan elite. Oleh
karenanya semua kelompok penguasa harus mempertahankan sistem pewarisan secara turun temurun agar tetap dapat memanipulasi kekuasaannya.
Akan tetapi Mosca juga menyadari, bahwa rekruitmen dari kelas mayoritas sangat dibutuhkan demi stabilitas organisasi politik. Mosca berpandangan, bahwa kelas
penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah mereka elite kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur
kehidupan secara keseluruhan. Itu sebabnya, semakin besar jumlah anggota masyarakat, semakin sulit kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap
politik, ekonomi dan sosial mereka terhadap kelompok elite yang minoritas itu. Mosca,
7
Ibid, halaman 204.
8
Lihat SP. Varma, Teori Politik Modern. Jakarta. Rajawali Pers : 2007. Halaman 206-207.
23
juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan
kecakapan di hadapan kelompok yang dikuasainya, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.
Pareto dan Mosca nampaknya lebih memusatkan perhatian kepada elite yang memerintah. Bagi mereka berdua, konsep pergantian atau sirkulasi elite
adalah sesuatu yang niscaya, bagi mereka berdua, elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat.
Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari kalangan bawah
massa megisi panggung elite. Schumpeter, salah seorang ilmuan Amerika, sebagaimana Weber dan Mosca
menekankan bahwa elit memiliki kekuatan yang besar. Menurutnya, demokrasi yang sebenarnya berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah
oleh elite. Pesan penting Schumpeter adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil
melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Dalam konteks ini, Schumpeter tidak melihat adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali
melalui Pemilu. Pertanyaan penting adalah bagaimana mempertautkan teori elite klasik
dengan demokrasi, sebagaimana diupayakan oleh Schumpeter, nampaknya mempengaruhi tradisi berpikir tokoh lain seperti; Lasswell, Dahl, dan Sartori yang
meyakini bahwa masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Secara khusus, Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi
yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan. Sementara
itu, Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa, dan dengan
cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi
rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah. Kajian tentang kaitan antara teori elite dengan demokrasi yang secara luas
dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana
24
kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Bagaimana mempertautkan antara demokrasi dengan teori elit dimaksudkan agar esensi dan
substansi demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan melalui elite pemerintahan dalam bentuk proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam
mengontrol elite yang minoritas. Dalam perkembangannya, terutama memasuki era global, teori elite
kemudian memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi, bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi.
Sebagaimana disebutkan oleh Dahl 2006 serta penegasan lain dari Sartori 1987 ketika menyatakan bahwa:
―Democracies are characterized by diffusion of power … by a multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional
maneuverings‖. Soal ini menunjukkan kemiripan dengan ulasan Dahl dalam Poliarkhi
tentang adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan
teori elite, Lasswell kemudian menjelaskan beberapa hal bahwa dalam paham pluralism ada berbagai hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi
dalam berbagai kelompok yang memiliki kepentingan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga negara tidak
berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme dialog, akomodasi maupun
kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan massa. Keempat, kepemimpinan terbuka, membiarkan adanya
kelompok baru untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan
sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses
pembuatan keputusan. Tentang elite, juga dikemukakan oleh Lockwood 1989. Menurutnya elite
didefinisikan melalui dua cara, yaitu: 1 elite yang memerintah governing elite, yang terdiri dari individu-individu yang secara langsung atau tak langsung
memainkan peranan yang besar dalam pemerintahan; dan 2 elite yang tak
25
memerintah non-governing elite, yang mencakup sisanya. Sehubungan dengan itu, maka secara umum kita memiliki dua lapisan dalam masyarakat yang
memposisikan kaum elite, yakni: 1 lapisan yang rendah non-elite, yang di sini pengaruh yang mungkin dimilikinya terhadap pemerintah tidak menjadi perhatian
dalam analisis ini; kemudian 2 lapisan yang tinggi elite, yang terdiri dari elite yang memerintah dan elite yang tak memerintah.
Selanjutnya, Putman 1987 memberikan gambaran bagaimana mengidentifikasi apakah seseorang termasuk dalam kelompok elite atau tidak.
Dalam hal ini, Putman memberikan pendekatan untuk menentukan kelompok elite. Adapun pendekatan yang dimaksud, terdiri dari: 1 menganalisa posisi
yang bersifat formal, yaitu pada kedudukan resmi dalam pemerintahan; 2 menganalisa reputasi, yang lebih bersifat informal dalam masyarakat; dan 3
menganalisis keputusan, melalui peranan yang dimainkannya dalam pembuatan atau penentangan terhadap keputusan politik.
9
Kemudian, elite atau calon elite mempunyai satu persamaan, dimana mereka tidak takut pada tanggungjawab atau kekuasaan.
10
Dalam hal ini, kekuasaan tidak perlu diartikan secara sempit sebagai kekuasaan fisik dan kekuasaan politik belaka. Dalam
dunia yang semakin kompleks dewasa ini kekuasaan dapat mengambil berbagai bentuk, seperti kekuasaan ekonomi atau kekuasaan terhadap informasi.
11
Berangkat dari batasan definisi tersebut, kemudian Russell menstrukturkan kelompok elite ke dalam tiga bagian, yaitu elite startegis, sub-elite dan kontra-
elite. Ketiga pengstrukturan kelompok elite ini, kemudian dijelaskan Russell sebagai lapisan kecil pemimpin yang berada dipuncak kekuasaan negara, yang
mana mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam menentukan alokasi sumber daya yang tersedia. Dengan kata lain, mereka yang tidak, atau tidak lagi, berada
dalam jajaran elite secara konseptual, menurut Russell disebut massa. Meski demikian, dalam saat-saat luar biasa tatkala massa seakan-akan mempunyai
9
Lihat Robert D. Putnam, The Comparative Study of Political Elites New York: Prentice Hall, Inc. Englewodd Cliffs, 1980, h
al 90. Dikutip oleh Dr. Mochtar Mas‘ud dan Dr. Collin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cetakan kedelapan, 1987.
10
Psikolog Edward Spranger berpendapat adanya hubungan antara tipe kepribadian yang menyukai kekuasaan ini dengan latar belakang kebudayaan yang melahirkannya; lihat, Sumadi
Suryabrata, Psikologi Kepribadian Jakarta: Penerbit CV. Radjawali, cetakan keempat, 1984. hal.102.
11
Tentang analisis kekuasaan dalam artian yang luas ini lihat Bertrand Russell, Kekuasaan Sebuah Analisis Sosial Baru Jakarta: Yayasan Obor, 1988.
26
kehendaknya sendiri, lazimnya peranan mereka lebih bersifat pasif dan terbatas pada memberikan atau menolak legitimasi peranan elite.
Meski demikian, peranan massa sangatlah penting, tidak bisa kesampingkan begitu saja oleh elite. Elite membutuhkan legitimasi massa agar dapat terus
berkuasa dan memerintah. Legitimasi yang dimiliki massa merupakan kekuatan yang bersifat elastis, karena dapat diberikan dan atau ditarik kepada elit tertentu,
berdasarkan preferensi massa. Karena itu, suatu tantangan mendasar yang dihadapi oleh elite adalah bagaimana merumuskan kebijaksanaan, langkah dan
strategi yang tepat untuk memperoleh dukungan dan legitimasi kekuasaannya dari massa. Kegagalan memperoleh legitimasi massa akan berujung pada usainya
peranan mereka sebagai elite yang sedang berkuasa, dengan konsenkuensi seperti ini, maka seorang elit akan berusaha keras untuk terus meraih dukungan massa
Dalam konteks Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan, elite menghadapi suatu tantangan kepemimpinan yang khas terhadap massa dikarenakan kultur
masyarakat yang majemuk. Kemajemukan kultural massa rakyat mempunyai makna politik, bukan saja karena setiap etnik mempunyai daerah asal yang jelas
batas-batasnya, dan memiliki ciri dan entitas yang sulit disatukan, tetapi juga karena setiap kultur dan subkultur tersebut mempunyai kultur politiknya sendiri.
Elit akan mengalami kesulitan mendapatkan legitimasi massa, manakala elit dan massanya tidak memiliki kultur politik yang sama dan sebangun. Dengan
kondisi kultur politik yang berbeda antara elit dan massa, seorang elit harus memiliki kualitas kenegarawanan. Elite yang mempunyai kualitas kenegarawanan
yang tinggi akan mampu memainkan peranannya dengan baik dalam melakukan alokasi sumber daya dengan dukungan penuh massa. Sebaliknya, jika seorang
elite tidak atau kurang mempunyai kualitas akan mengalami kesulitan, baik dalam mengalokasikan sumber daya maupun dalam memperoleh legitimasi dari massa.
Tentang hal tersebut, Pareto, Mosca maupun Michels berpendapat sama akan pentingnya ideologi, mitos serta kekuasaan bagi elite. Ideologi atau mitos
merupakan shared value system yang memungkinkan elite dan massa berkomunikasi satu sama lain serta untuk berkerjasama dalam mencapai tujuan.
Ditinjau dari segi ini, perhatian elite yang cukup besar terhadap pengembangan ideologi merupakan suatu hal yang wajar. Adalah menarik untuk memperhatikan
27
bahwa pengembangan ideologi oleh elite tersebut tidak hanya terdapat pada negara-negara berkembang, tetapi juga di negara industri maju yang menganut
faham liberalisme dalam kehidupan politik dan ekonomi. Dengan demikian, realisme politik menunjukkan bahwa elite yang mampu
menguasai tiga jenis sumber daya yang telah diuraikan sebelumnya akan dapat melaksanakan misinya dengan baik. Massa yang secara sadar menerima ideologi
elite, merasakan manfaat nyata dari kepemimpinan elite tersebut dalam hidupnya, serta menyadari bahwa alternatif lain adalah kurang menyenangkan, secara
rasional akan memberikan legitimasi kepada kepemimpinan elite tersebut.
2.1.1 Basis-Basis Kekuasaan Elite Indonesia
Garis besar perkembangan elite Indonesia
12
terbagi dalam dua pola. Pertama, elite yang tumbuh melalui alur yang bersifat tradisional yang berorientasi
kosmologis, dan berdasarkan keturunan. Kedua, elite yang berkembang lewat route modern, yang berorientasi pada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan.
Dalam pertumbuhannya kemudian, elite modern lebih menunjukkan keanekaragaman ketimbang elite tradisional. Fenomena ini dapat dilihat pada
kecenderungan elite modern yang memilih profesi beragam seperti; administratur- administratur,
pegawai-pegawai pemerintah,
teknisi-teknisi, orang-orang
professional dan para intelektual. Dari proses pembentukannya, elite Indonesia memiliki karaktersitik dan
spesifikasi yang khas antara satu elite dengan elite yang lainnya. Perbedaan itu terutama terlihat pada terbentuknya elite fungsional dan elite politik. Elite
fungsional adalah pemimpin-pemimpin, yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang, mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan
masyarakat modern, sedangkan elite politik adalah mereka-mereka yang terlibat
12
Sesungguhnya dalam proses pembentukan elite modern Indonesia lebih banyak mengacu pada perkembangan elite yang terjadi di Jawa pada masa kolinial, karena itu mungkin s
aja ungkapan ―elite Indonesia, baik dalam pengertian politik maupun pengertian sosial, pada era awal perkembangan elite modern
Indonesia agak mengelirukan. Akan tetapi Jawa tidak dapat disangkal sebagai pulau yang merupakan pusat politik, admininstrasi dan ekonomi colonial. DIsamping itu, Jawa telah menjadi pusat penduduk dengan
kurang lebih 70 persent dari seluruh penduduk nusantara. Pada 1900, Jawa sudah menampung 17 juta penduduk. Pada saat yang sama, pulau Jawa tidak saja didiami oleh suku Jawa dan Madura, akan tetapi juga
dihuni oleh suku SUnda di Jawa Barat, suku Melayu, Bugis-Makassar dan Ambon. Dengan kondisi seperti
ini, maka istilah ―elite Indonesia‖ dalam tulisan ini ditujukan pada kelompok elite yang berpusat di Jawa yang terdiri dari berbagai suku Indonesia, akan tetapi, tetap saja unsure pokoknya adalah Jawa, kecuali ada
penjelasan khusus.
28
dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi yang biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok elite fungsional pada umumnya selalu
menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan kedua elite politik lebih mempunyai arti
simbolis, dari pada praktis.
1. Basis Regulasi Rezim
Kelahiran elite Indonesia memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sebuah rezim. Khususnya regulasi yang dirumuskan oleh rezim.
Rezim ikut membuahkan elite pada pelbagai jenjang. Ketika Rezim Belanda pada 1870 mencetuskan Politik Liberal
–sebuah politik kemanusiaan dan politik kebebasan ekonomi kepada Hindia Timur, yang membolehkan pihak swasta ikut
mengontrol kehidupan ekonomi, maka pada saat yang sama, terjadi perubahan struktur sosial dan ekonomi pada semua jenjang. Politik Liberal memaksa
pemerintah sipil Eropa di Jawa untuk memberikan perhatian yang lebih kepada kemakmuran pulau-pulau di Nusantara. Sebagai implikasi dari kebijakan rezim
ini, pada 1870, komposisi masyarakat Eropa dan elite lokal Indonesia berubah. Perubahan ini umumnya adalah sebagai akibat cepatnya jumlah warga sipil yang
ikut memberikan kontribusi dalam pengelolaan ekonomi bangsa, dimana sebelumnya peran ini hanya dilakukan oleh pemerintah dan administrator.
13
Sesudah tahun 1890-an, peran sipil terus menerus meningkat, pada konteks ini, kebijakan rezim telah memberi ruang yang cukup bagi masyarakat sipil untuk
mengekspresikan kepentingannya. Pada kondisi inilah lahir elite-elite modern baru, yang melakukan tuntutan baru yang sangat kritis. Misalnya yang terjadi pada
1888, sebuah Koran lokal di Semarang de Locomotief, secara tegas dan berani menyuarakan keinginan akan otonomi lokal yang lebih besar dan perbaikan
keadaan untuk pribumi Hindia Timur. Mulai pada saat ini, ekonomi liberal
13
Sebelum dikeluarkan regulasi Politik Liberal politik kemanusiaan, pemerintah kolonial mengendalikan kekuasaannya di Nusantara, melalui sistem pemerintah indirect-rule, dimana pemerintah Belanda tidak secara
langsung mengendalikan pemerintahan, melainkan diserahkan kepada elite-elite tradisional pangreh praja yang memiliki basis-basis massa. Pangreh Praja kemudian terbentuk menjadi suatu elite birokrasi dengan
sistem cara kerja, dengan etos, dan juga dengan hubungan-hubungan sosial, kekerabatan yang saling jalin- menjalin. Karena perubahan regulasi rejim 1870, lambat laun awal abad 20 pangreh praja melalui
pendidikan modern, berubah menjadi elite birokrasi. Sebelum era abad 20, pangreh praja bersumber dari tradisi penguasa tradisional atau patrimonial yang tidak mengenal pemisahan kepentingan pribadi dan jabatan
lihat Sutherland 1983, Terbentuknya Elite Birokrasi, Seri Sejarah Sosial Nomor dua, Peneribit Sinar Harapan
29
kekuasaan kolonial mendapat kritikan dan kecaman dari elite-elite baru Indonesia, yang berkedudukan sebagai professional, intelektual, wartawan dan pengusaha.
Puncaknya, pada 1899, C.T. van Deventer melakukan kritikan kepada pemerintah Belanda, yang terkenal dengan ―Hutang Budi,‖ kritikan ini menghimbau
pemerintah Belanda untuk membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan
yang berkekurangan itu sebagai bagian ganti rugi akan laba yang sudah dikeruk di Jawa melalui Sistem Tanam Paksa STP. Pada 1900, menurut hitungan Deventer,
Belanda mengeruk keuntungan dari program STP bernilai sekitar 200 juta dollar. Serangan lain dilakukan H.H. Van Kol, pimpinan urusan jajahan dari Partai Sosial
Demokrat, yang mempersoalkan kebijaksanaan kolonial dan politik jajahan. Berbagai serangan, baik yang dilakukan oleh elite politik Belanda yang
berseberangan dengan pemerintah Belanda maupun yang digerakkan oleh elite- elite fungsional baru Indonesia elite-elite baru yang lahir dari hasil regulasi
kebijakan rezim; politik liberal telah berhasil melahirkan orientasi baru. Orientasi baru yang lahir pada 1901 ini disebut sebagai Politik Etis
14
. Politik ini, mengusahakan pembangunan tanah jajahan dengan modal swasta, juga dicari
jalan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan serta memperluas otonomi melalui pendidikan. Kebijakan politik demikian mengandung sesuatu
yang dapat mengenai setiap orang dari setiap aliran politik. Politik Etis direspon dengan berbagai bentuk oleh elite dan masyarakat
Indonesia. Semula, kelompok priyayi elite tradisional Indonesia, yang jumlahnya kurang dari dua persen, merespon Politik Etis dengan berat hati
– mereka berusaha tetap mempertahankan kesatuan dan kemurnian darah mereka
dengan mengikuti suatu pembatasan yang keras dalam identitas sosial mereka —
14
Politik Etis lahir dari suasana yang bermula dari Pemilihan Umum 1901, yang mengubah gambaran politik di negeri Belanda. Partai Liberal yang menguasai politik selama 50 tahun telah keluar dari kekuatan politik,
sibuk dengan sikap tuntunan Partai Liberal memegang proyek-proyek sosial dan dengan agama pada pertengahan terakhir abad ke 19 telah ditekankan pendirian netral dalam agama, telah membuat kelompok
kanan dan kelompok agama berkoalisi, yang menetapkan untuk kembali kepada prinsip-prinsip Kristen dalam pemerintahan. Deventer seorang Liberal yang popular, tidak terpilih untuk duduk di Parlemen, dan
meneruskan usahanya di luar; dia dapat menyebabkan orang merasakan pengaruhnya. Pidato tahunan kerajaan pada bulan September 1901, menunjukkan semangat Kristen, ketika Ratu menekankan pentingnya
kewajiban yang luhur dan tanggungjawab moral untuk rakyat Hindia Belanda. Pesan ini kemudian ditafsirkan oleh publik sebagai keprihatinan terhadap keadaan ekonomi yang buruk di Hindia Timur dan meminta agar
dibentuk suatu komisi untuk memeriksa keadaan ini. Dari kejadian inilah diambil sebagai moment Politik Etis Jajahan. Inti dari Politik Etis berisikan keinginan kuat untuk melakukan perubahan struktur sosial masyarakat
Hindia Timur, melalui jalur pendidikan modern, dan moderenisme kelembagaan sosial, untuk menuju kemakmuran sosial dan kesejahteraan masyarakat, tanpa memandang latar belakang, status sosial, asal etnis
dan agama Lihat Niel 1984 dalam; Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya.
30
akan tetapi setelah Politik Etis ini semakin menguat, dengan berbagai alasan, kekakuan itu menjadi mencair. Perubahan yang terjadi tidak mengenai semua
kelompok priyayi. Kelompok priyayi yang merespon positif Politik Etis, berusaha memperluas fungsi sosial mereka, menyatu dengan masyarakat untuk melakukan
gerakan sosial untuk memperkuat posisi sosial politik warga Indonesia, dengan cara menumbuhkan lapisan intelektual, budaya dan kosmologi Indonesia. Dalam
konteks seperti ini, elite tradisional priyayi yang merespon Politik Etis, mengubah dirinya menjadi elite modern yang fungsional.
Pada era 1900, kelompok priyayi sedang mengalami perubahan, oleh karena di dalamnya sendiri terjadi pertambahan pegawai negeri dan orang-orang yang
dapat dikategorikan sebagai intelektual dan golongan professional. Singkatnya, Politik Etis telah membongkar posisi elite tradisional Indonesia
–kondisi yang sekaligus menggambarkan bahwa regulasi rezim terbukti ikut melahirkan elite-elite baru. Elite tradisional mulai lebih rasional, priyayi muda
yang memiliki pendidikan formal di Belanda, mulai menggeser kedudukan priyayi tradisional
15
, dan memulai karir resmi mereka sebagai mantra, suatu jabatan yang termasuk kedalamnya urusan sekretariat atau polisi di tingkat lokal. Dan apabila
semuanya berjalan baik, dia akan menjadi asisten wedana kepala sub distrik, Wedana kepala distrik, dan akhirnya Bupati atau Regen yang mengepalai sebuah
Kabupaten. Pada 1900, terdapat lebih dari delapan puluh Kabupaten di Jawa.
2. Basis Pendidikan
Bersamaan dengan terjadinya pergeseran elite pada ruang elite tradisional, menjadi elite modern yang fungsional, Politik Etis berhasil membangun
infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Kondisi ini memungkinkan bertambahnya orang yang menempuh pendidikan formal, yang datang dari
berbagai kelompok sosial meskipun orang yang sekolah masih didominasi oleh keturunan priyayi
–elite tradisional. Pendidikan
16
yang dilahirkan oleh Politik
15
Meskipun pada awalnya, proses mengembangkan pemimpin-pemimpin tradisional Jawa yang berpendidikan Barat, tidak mendapat kerjasama dan kadang-kadang mendapat tantangan dari pihak orang tua.
Mereka takut akan mendapat pengaruh sebaliknya pada kedudukan sosial anak-anak mereka, dan takut pula kalau hal ini akan membawa lebih banyak kecelakaan dari pada kebaikan.. Rasa was-was ini berakhir setelah
1906, dimana pemerintah Belanda menunjukkan keseriusan untuk memberi pendidikan yang lebih baik kepada masyarakat Hindia Timur. Gerakan ini dipelopori oleh Snouck Hurgronje.
16
Tujuan dari semua pendidikan sebagaimana digambarkan dalam Politik Etis Kolonial, adalah
31
Etis telah berhasil melahirkan proto type pegawai pemerintah dan intelektual abad ke-20. Kebanyakan dari mereka inilah yang sedikit banyak sebagai priyayi oleh
orang banyak di Indonesia, sungguhpun mereka bukan turunan priyayi tingkat tinggi. Kedudukan mereka dalam dinas pemerintahan yang strukturnya semakin
modern melibatkan mereka untuk dimasukkan ke dalam kelompok elite di dalam masyarakat Indonesia.
Sepanjang awal abad ke 20, pelayanan pemerintah kian berkembang, mencari orang-orang dengan pendidikan formal untuk mengisi jabatan-jabatan
dalam struktur birokrasi yang rasional. Orang-orang yang mengisi jabatan ini secara otomatis masuk ke dalam kelompok priyayi atau digolongkan kelompok
elite, meskipun asal mula mereka tidak dari golongan priyayi atau elite akan tetapi jumlah mereka ini sangat terbatas sebagian besar mereka sesungguhnya
sudah berstatus priyayi, dan sedang mencari jalan untuk terus memperbaiki posisi mereka dalam kelompok priyayi.
17
Setiap komunitas berbeda-beda merespon Politik Etis, komunitas etnis Cina dan Jawa menjadikan Politik Etis sebagai peluang untuk meraih keuntungan
ekonomi. Dengan posisi seperti itu, etnis Cina menempatkan dirinya sebagai elite ekonomi, kemudian disusul oleh etnis Arab. Etnis Jawa dan beberapa etnis lain di
Nusantara tidak memiliki pengalaman dan intuisi pada dunia usaha atau ekonomi. Para pribumi baik dari kelompok priyayi maupun masyarakat biasa memilih
melewati jalur pendidikan dan gerakan sosial untuk memposisikan diri sebagai elite. Perluasan pendidikan adalah akar dari perubahan sosial yang mempengaruhi
elite Indonesia. Bila sebelumnya, kedudukan-kedudukan tinggi dalam hierarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang
baru rezim baru, memposisikan pendidikan sebagai suplemen untuk dijadikan sebagai ukuran utama. Pendidikan menjadi salah satu sumber yang menghasilkan
anggota-anggota elite baru.
18
untuk membebaskan orang Indonesia menjalankan peranan yang lebih aktif dalam masa depan politik, ekonomi dan sosial mereka.
17
Untuk sebagian orang, penggolongan dalam priyayi mungkin saja tak berarti sama sekali, karena mereka priyayi membangun cita-cita baru, memakmurkan, mensejahterakan rakyat, serta
mengabdi kepada bangsa dan negara. Akan tetapi kebanyakan orang tetap menduga bahwa kelompok ini tetap merupakan minoritas yang kebanyakan amat tertarik pada martabat pribadi dan
sosial yang melekat pada peranan birokrasi mereka yang baru.
18
Sekolah ―Dokter Jawa,‖ sekolah dokter pribumi biasa disebut STOVIA yang telah
32
Keberhasilan pendidikan merupakan salah satu bagian dari keberhasilan Politik Etis yang terus menerus berusaha untuk memperkuat posisi sosial ekonomi
orang Hindia Timur dan membuat mereka lebih dapat membangun struktur kesejahteraan ekonomi mereka sendiri.
3. Basis Sosial, Ekonomi, Agama dan Etnisitas Budaya
Politik Etis dalam upayanya mencapai struktur kesejahteraan ekonomi masyarakat Hindia Timur, juga membuka peluang bagi aktivis Indonesia untuk
membangun organisasi sosial, yang dapat dijadikan sebagai alat pergerakan sosial. Budi Utomo pada 1908, tampil sebagai orang pertama yang mengambil posisi pada
alur pergerakan sosial, dengan mendirikan Organisasi Indonesia pertama yang mengikuti garis-garis Barat,
19
untuk memposisikan diri sebagai elite Indonesia. Budi Utomo muncul sebagai elite strategis Indonesia, dengan menggunakan
pentas organisasi modern, yang didasarkan pada usaha individu-individu yang bebas dan sadar akan persatuan. Organisasi ini mengembangkan sebuah program
dan tujuan yang berada di luar segala sesuatu yang terdapat di dalam cakrawala Jawa. Keanggotaannya dipilih tidak berdasarkan ikatan kesukuan, kecuali pada
awalnya organisasi ini memang didominasi oleh kelompok intelektual. Gejala ini menunjukkan adanya jalan baru bagi tokoh intelektual atau tokoh pribumi yang
non-priyayi membuka jalan baru organisasi-gerakan sosial untuk menuju panggung elite. Panggung ini dikuasai oleh kelompok elite intelektual, yang
berusaha menunjukkan dirinya sebagai elite yang berbeda dengan elite keturunan bangsawan dan administratur. Pada kelompok intelektual inilah terbentuk unsur
kepemimpinan baru
20
Indonesia yang paling menyadari kedinamisannya.
direorganisasi misalnya adalah salah satu rahim pembentukan elite-elite baru Indonesia. STOVIA adalah salah satu dari lembaga-lembaga yang memberikan pendidikan lanjutan cara Barat kepada
anak-anak muda priyayi dan pribumi lainnya. Selain sekolah dokter, juga ada sekolah dokter hewan 1907, sekolah Hukum 1908, sekolah Pertanian 1903, dan sekolah Keguruan 1906.
19
Kehidupan di Jawa, tersusun di sekitar desa dan kelompok priyayi di sekitar keraton atau kota tempat kekuasaan golongan atas. Kehidupan ini didasarkan atas ikatan tradisional atau adat; secara
horizontal bersifat sama rata, kepada yang dipilih ialah primus inter pares, secara vertical bersifat otoriter dengan penghormatan yang tinggi terhadap atasan disandarkan pada sanksi-sanksi
keagamaan, mistik, dan berdasarkan kepercayaan. Di dalam lingkungan pola organisasi itu seluruh kehidupan dipenuhi --kehidupan orang Jawa tidak mengenal pola organisasi yang lain; tak ada
kehidupan di luar pola ini.
20
Kepemimpinan baru ini mendapat tantangan dari kepemimpinan tradisional yang juga berada dalam organisasi Budi Utomo. Kelompok priyayi konservativ yang gerah dengan kepemimpinan
baru ini kemudian mendirikan Regenentbond Persatuan Regen tahun 1913, dengan tuntutan
33
Sebagai akibat dari perluasan gerakan sosial yang semakin intens, pada 1911 terbentuklah Indische Partij. Sebuah organisasi partai yang
mengasosiasikan dirinya dengan kemerdekaan pulau Nusantara. Organisasi ini dipelopori oleh Douwes Dekker, kemudian diikuti oleh dr. Cipto dan Suwardi.
Setelah berjuang meneriakkan kedudukan yang sama dan gaji yang sama untuk semua kelompok di Nusantara, pada 1918, organisasi ini secara resmi
memperoleh pengakuan dalam bentuk undang-undang, yang menetapkan suatu persamaan gaji untuk berbagai jabatan, terlepas dari asal-usul kesukuan pegawai
tersebut. Kondisi ini mendorong lahirnya sejumlah elite baru yang bersumber dari berbagai golongan tidak lagi hanya bersumber pada kelompok bangsawan
melalui pendidikan sosial, organisasi dan pergerakan sosial. Politik Etis terus menjalar, tidak saja merasuki kehidupan pusat-pusat
perkotaan dan kalangan atas, tetapi juga telah sampai pada komunitas yang paling rendah. Masyarakat Desa tanpa mempertimbangkan asal usul diberi peran yang
sama dan besar untuk mencapai tujuan Politik Etis kesejahteraan Desa melalui perintah halus
yang dijalankan oleh anggota-anggota badan pemerintahan Desa. Gerakan ini memberi ruang kepada masyarakat Desa untuk meningkatkan
kekuatan politiknya. Proses ini dengan sendirinya melahirkan elite-elite baru, yang mulai bersaing dengan elite-elite tradisional di pedesaan.
Masuknya politik Etis di pedesaan mengubah formasi dan struktur sosial. Masyarakat Desa yang selama ini hidup dengan prinsip kommunal dengan pola
yang terpadu dan serasi, mulai terbongkar. Gejala ini oleh elite-elite tradisional Desa yang sesungguhnya terjadi, mereka sedang ketakutan akan ancaman
terhadap kekuasaan mereka di dalam politik kesejahteraan menganggapnya sebagai gerakan kolonial untuk sekulerisasi kehidupan pedesaan. Respon elite-
elite tradisional pedesaan ini kemudian mendapat sambutan dari masyarakat kebanyakan. Akibatnya, penduduk Desa menjauhi elite-elite baru yang tumbuh
dari prinsip Politik Etis, dan kembali melakukan pemujaan terhadap elite-elite tradisional. Pertarungan antara elite tradisional dengan elite baru produk Politik
Etis kian seru, dan cenderung dimenangkan oleh elite-elite beraliran Politik Etis.
utama otonomi lokal, dan pengakuan yang lebih besar terhadap posisi tradisional mereka. Tindakan ini adalah salah satu bagian dari cara kelompok tradisional melakukan perlawanan
terhadap kepemimpinan baru.
34
Elite-elite tradisional dari kalangan priyayi mempertahankan eksistensi dirinya dengan meniupkan sentiment keagamaan Islam
21
. Unsur-unsur keagamaan dijadikan alat oleh elite tradisional untuk mempertahankan dirinya menghadapi
kekuatan pembaharu di pedesaan. Sentimen keagamaan menjadi alat baru untuk memperkuat posisi politik
bagi kelompok elite tradisional pedesaan. Kelompok ini menjadikan Islam bukan sekedar sebagai agama, tapi dijadikan sebagai tuntutan hidup. Ini dimaksudkan
untuk menjadikan Islam sebagai segala sesuatu yang asli sebagai lawan dari yang asing. Islam menjadi suatu faktor pemersatu dalam kesadaran akan diri sendiri
dalam kalangan orang Indonesia, dan dalam waktu yang bersamaan menjadi ukuran untuk solidaritas Sulsel, dari kulit berwarna dengan kulit putih. Posisi
Islam seperti ini sesungguhnya merupakan hasil perselisihan intern antara golongan pembaharuan dengan golongan ortodoks.
Menghadapi pergerakan Politik Etis, elite-elite tradisional pedesaan berhasil mempromosikan Islam sebagai alat pertahanan terhadap tekanan-tekanan sosial
dan perubahan-perubahan yang terjadi sejak Politik Etis memasuki wilayah pedesaan. Melihat fenomena ini, pemerintah Belanda menyusun strategi baru,
mengusung program Kristenisasi, sebagai langkah memotong kekuatan Islam menumbuhkan elite-elite baru. Pada 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat
meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Nusantara. Misi-misi yang beroperasi dalam ruang lingkup yang luas untuk pengembangan kesejahteraan dan ekonomi
melalui penguatan sistem pendidikan modern. Program ini diharapkan mampu melahirkan elite-elite baru dari kelompok agama Kristen.
Selain karena pengaruh gerakan Politik Etis dan semakin gencarnya program kristenisasi, sejumlah aktivis Islam menyambut situasi politik yang
berkembang dengan mendirikan organisasi seperti Serikat Islam, Muhammadiyah meskipun kedua organisasi Islam ini memiliki perbedaan agenda dan tujuan.
Serikat Islam
berorientasi politik,
sedangkan Muhammadiyah
mengkonsentrasikan diri pada aktivitas kebudayaan. Organisasi-organisasi ini
21
Di beberapa daerah Kesultanan seperti di Aceh dan Sulawesi Selatan, agama menjadi salah satu panggung yang menciptakan elite. Di Aceh, peranan Ulama Uleebalang sangat besar, dapat
mengangkat atau memberhentikan Sultan dengan berbagai alasan. Kelompok mereka ini dapat digolongkan sebagai elite fungsional. Lihat Amin, dkk 1988.
35
disponsori oleh pedagang-pedagang tradisional yang taat beragama, seperti Samanhudi, dan dikendalikan oleh aktivis-aktivis yang telah menempuh
pendidikan modern seperti; Tirtoadisuryo dan HOS Cokroaminoto. Pemerintah Belanda yang cenderung berpihak pada golongan Kristen,
menanggapi perkembangan organisasi-organisasi Islam dengan menahan laju pertumbuhan perdagangan dan usaha yang dilakukan oleh pribumi dan pedagang
Arab, dan mengalihkan dukungan pemerintah Belanda kepada pedagang- pedagang Cina.
Pedagang-pedagang keturunan Arab yang berkongsi dengan pedagang- pedagang yang berasal dari Sumatra Barat sama-sama taat Islam mulai khawatir
akan posisi ekonomi yang selama ini dikuasai oleh mereka, atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial yang lebih pro pedagang-pedagang keturunan Cina.
Kelompok pedagang Arab dan Minangkabau memutuskan harus ada suatu aksi terpadu untuk menghadapi kekuatan Cina. Pada 1905, persekutuan ini mendirikan
organisasi baru bernama Jamiyat Khair, organisasi ini bertujuan untuk perlindungan dan kerjasama ekonomi, namun juga memantulkan rasa agama yang kuat.
Organisasi Serikat Islam tumbuh dengan sangat cepat di seluruh daerah di Nusantara, terutama di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, hingga ke pelosok-pelosok
Desa. Salah satu yang menyebabkan organisasi ini tumbuh dengan pesat karena menggunakan sentiment agama atau citra agama. Semua organisasi Islam,
terutama Serikat Islam SI, mendapatkan sokongan dana dari pengusaha- pengusaha Muslim, terutama pedagang-pedagang Arab. Tujuannya, untuk
mengerem program kristenisasi dan menghambat perkembangan pedagang Cina yang mendapat dukungan pemerintah Kolonial.
Dukungan dana pedagang-pedagang Arab kepada SI, tidak berlangsung lama. Mereka menarik dukungannya setelah adanya kebijakan organisasi yang
terlalu terbuka untuk semua agama dan etnis. Dengan berkurangnya sokongan orang Arab, SI malah menerima tawaran dan sokongan orang Cina untuk
menghidupi dirinya. Sebagai akibatnya, SI harus segera menghapuskan semua pasal anti Cina dari programnya dan menghalangi terjadinya keributan antara
pribumi dengan Cina.
36
Perkembangan organisasi Islam SI, SDI, Muhammadiyah, dan Jamiyatul Khair yang sangat pesat, ternyata tidak mampu dikontrol oleh elite-elite
tradisional yang semula mendorong kelahirannya, dengan tujuan mempertahankan eksistensinya. Organisasi Islam malah tumbuh dengan ideology yang sarat dengan
pembaharuan, yang justru ikut menghancurkan elite-elite tradisional. Efek dari kekuatan organisasi Islam moderat, melahirkan dengan cepat gerakan serikat
buruh, misalnya; Serikat Pegawai Bea Cukai PBP, Persatuan Guru PG, Serikat Pegawai Pegadaian; Serikat Penguasa Candu Hindia Belanda; Serikat Pegawai
Indonesia; dan Serikat Pegawai Perbendaharaan Pemerintah. Organisasi- organisasi ini menjadi tempat yang subur untuk melahirkan elite-elite baru yang
bersumber dari golongan priyayi rendahan atau masyarakat biasa. Pada 1916, Politik Etis pada akhirnya bisa diterima oleh dua kalangan yang
berbeda elite tradisional dan kelompok pembaharu –elite modern. Untuk pertama
kalinya seorang Regen Regen Cianjur R.A.A Wiranatakusumah bisa menerima konsep dan keberadaan SI. Beberapa Regen lain menyusul mengakui perjuangan
SI. Menyatunya dua kekuatan sosial dan politik ini mengindikasikan keberhasilan Politik Etis melakukan pembaharuan struktur sosial masyarakat.
Berdasarkan pola perkembangan kepemimpinan kelahiran elite modern melalui organisasi-organisasi yang tumbuh sepanjang 1900
– 1926, terdapat tiga kelompok sosial yang melahirkan elite-elite Indonesia. Pertama, kelompok
dagang sebagai perintis pergerakan sosial, yang semakin hari peranan mereka terus berkurang. Kedua, kelompok intelektual yang berpendidikan Barat, yang
menjadi operator organisasi dan pergerakan sosial. Kelompok inilah yang paling kuat dan berpengaruh sepanjang pergerakan sosial berlangsung. Ketiga, mereka
yang semula hanya berkuasa pada tingkat lokal, khususnya golongan agama. Golongan ini dapat menjadi lebih kuat apabila diberi kesempatan memimpin, dan
bergabung dengan beberapa intelektual. Kelompok ini lebih merupakan wakil dari keanggotaan massa, daripada kedua kelompok lainnya.
Berdasarkan proses keberadaannya, terdapat empat panggung pembentukan elite Indonesia
22
; Pertama, kelompok elite tradisional yang lahir dari keberadaan
22
Mengutip Saint Simon, Keller 1984 membagi sumber atau panggung pembentukan elite secara umum bersumber dari kelompok; i mereka yang menduduki garis atau eksekutif, dan yang
menjalankan suatu fungsi pengintegrasian, dengan mengambil tujuan-tujuan yang akan
37
mereka sebagai kelompok sosial yang memiliki hak-hak istimewa terhadap politik, ekonomi dan kebudayaan, karena kedudukannya sebagai golongan
priyayi. Dalam perjalanannya kelompok ini adalah kelompok yang pertama yang merespon regulasi rezim politik liberal dan politik etis yang ditawarkan
pemerintah Belanda melalui pembaharuan sistem politik, ekonomi dan budaya, dengan menjadikan arena pendidikan modern, sebagai pintu masuknya. Patut
dicatat, tidak semua kelompok ini merespon regulasi rezim, bahkan kebanyakan di antara mereka cenderung melawan pembaharuan yang terjadi, akan tetapi dari
kelompok elite inilah dalam jumlah terbatas yang pertama kali merespon
gagasan ini. Kedua,
elite yang dilahirkan dari rahim pendidikan modern. Kelompok ini merupakan campuran dari kalangan priyayi tingkat tinggi, rendah dan masyarakat
biasa yang memiliki akses dengan tokoh-tokoh Politik Etis. Meskipun kelompok elite ini adalah sebagian besar bersumber dari kalangan elite tradisional priyayi,
akan tetapi perilaku politik, budaya dan ekonomi mereka tidak menggambarkan sebagai elite tradisional.
Ketiga,
pergerakan sosial yang dilakukan oleh kelompok elite yang telah menempuh pendidikan modern, yang disponsori oleh pedagang-pedagang senior,
yang merasa tidak nyaman dengan kebijakan kolonial, menyeret aktivis-aktivis pergerakan menduduki posisi elite baru. Panggung utama kelompok ini adalah
organisasi-organisasi sosial modern seperti; Budi Utomo, Serikat Islam, Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah dan Jamiyatul Khair. Kelompok ini berhasil
membentuk elite-elite baru yang sama sekali bersumber dari kalangan non- priyayi, pada setiap level, sampai di tingkat pedesaan.
Keempat,
kelompok elite yang bersumber dari kekuatan ekonomi, etnis dan agama. Pembentukan sejumlah organisasi dengan menggunakan citra agama,
sebagai upaya kelompok ini merebut posisi-posisi strategis, baik politik maupun ekonomi. Kelahiran Serikat Islam misalnya, adalah reaksi dari kelompok elite
tradisional yang gerah dengan pembaharuan yang dicanangkan oleh Politik Etis.
diperjuangkan oleh masyarakat bersangkutan; ii mereka yang menyediakan pengetahuan atau alat untuk mencapai tujuan-tujuan ini, staf teknis atau golongan professional; iii mereka yang
menjalankan fungsi intelektual. Sedangkan Batzell, yang dikutip Keller 1984, mengklasifikasi proses pembentukan elite melalui enam pintu; i bisnis; ii opini dan politik; iii dokter dan
arsitek; iv gereja dan pendidikan; v para artis dan pengarang; vi aneka ragam jabatan.
38
Sama halnya dengan kehadiran Jamiyatul Khair yang digagas oleh pedagang- pedagang keturunan Arab dan Minang, untuk menghadang laju ekonomi
pedagang Cina. Pada golongan lain Kristen merespon kondisi ini dengan semangat yang sama, yakni mengembangkan program kristenisasi.
2.2. Kekuasaan
Collins mendefinisikan kekuasaan seperti diuraikan Weber, yakni kemampuan individu atau kelompok untuk menginstruksikan atau memaksa
sesuatu pada pihak lain. Dalam penjelasan ini, kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dalam konteks individu, tetapi juga masuk ke lembaga atau organisasi.
Definisi ini tidak saja ditujukan kepada penguasa absolut dari kekuasaan, melainkan untuk semua jenjang kehidupan sosial. Dalam teks ini, kekuasaan itu
bersifat sangat halus, terutama ketika melihat bagaimana ia bekerja dan bagaimana ia gagal bekerja. Tidak ada orang mapan dengan kekuasaan yang
sudah dipegang. Orang yang sangat berkuasa sekalipun harus terlibat dalam manipulasi sosial yang cukup kompleks. Ia harus melakukan sesuatu sesuai
dengan hukum-hukum organisasi social, untuk mempertahankan kekuasaannya. Collins tidak hanya menggambarkan kekuasaan dalam konteks politik,
tetapi juga dalam realitas mikro ekonomi. Pada pengertian ini, Collins menegaskan bahwa konflik dalam ekonomi tidak harus diartikan sebagai antitesis
kelas seperti yang diuraikan Marx, tetapi bisa disebabkan oleh kepentingan ekonomi individui dalam persoalan kerja sehari-hari.
Seperti yang biasa kita lihat dalam realitas sehari-hari bahwa orang bekerja tidak hanya menginginkan uang, tetapi juga ada faktor lain yang dikejar, yang
bersifat subjektif. Karena setiap orang menginginkan kekuasaan, maka ketika terjadi konflik, kekuasaan pasti selalu terlibat. Collins menjelaskan kekuasaan
dalam artian umum, ia tidak sempat membedakan antara kekuasaan dan kewenangan, atau menurutnya, kekuasaan dan kewenangan itu sama.
Collins memberikan ciri-ciri kekuasaan, sebagai berikut: i Mengendalikan orang lain; ii Orang mampu mengontrol pihak lain, tetapi pasti ada perlawanan
atau konsekuensi yang tersembunyitidak diharapkan; iii Dalam menggunakan kekuasaan, selalu saja ada konflik sosial; iv Siapa yang memiliki social
39
resources pastilah menang; v Tetapi sesuatu yang dikorbankan tidak selalu
mendapatkan hasil seperti yang diinginkan, karena ada mekanisme kompromi. Menurut Collins, ada 3 cara individu atau organisasi mempraktikkan kekuasaan,
yaitu dengan uang, paksaan, dan membangun solidaritas. 1. Uang bisa menjadi kekuasaan ketika kita mempekerjakan orang lain. Kita
bisa membayar mereka atau mengancamnya kalau tidak bekerja dengan kualitas baik. Banyak orang yang terkalahkan karena membutuhkan
uang. Akan tetapi menurut Collins, kekuasaan dengan bentuk ini memiliki kelemahan. la hanya efektif dipraktikkan dalam kelompok kecil. Dalam
kelompok besar, mengontrol dengan uang akan menemui banyak masalah. Terlebih, kalau sudah masuk birokrasi dengan berbagai macam aturan dan
mekanisme, maka kekuatan uang menjadi semakin tidak efektif. 2. Paksaan, akan bisa menjadi kekuasaan, sebab dilakukan dengan cara
mengancam. Misal, kalau ada pihak-pihak yang melanggar aturan akan diancam dengan pemecatan. Atau kalau berani melawan nyawanya akan
terancam. Hanya saja, paksaan juga tidak lepas dari beberapa kelemahan, karena semua orang tidak mau dipaksa. Siapa saja yang mencoba
memaksa orang lain akan mendapatkan dari orang yang dipaksanya. Umumnya, manusia lebih cenderung seperti burung merpati, orang lebih
suka mendapatkan reward dibanding hukuman. Karen reward lebih sebagai alat untuk mendapatkan kerelaan.
Secara sederhana, Collins menjelaskan beberapa kelemahan kekuasaan paksaan ini, sebagai berikut:
Orang yang dipaksa, akan bekerja dengan kualitas yang rendah atau mereka akan bekerja asal-asalan dan bahkan selalu saja mencari waktu
untuk melarikan diri. Pemegang kekuasaan membelanjakan anggaran yang justru lebih banyak.
Mereka harus mengawasi orang dipaksa dengan ekstra ketat karena ada ancaman untuk melarikan diri atau perlawanan lainnya.
Paksaan cenderung mematikan inovasi, kreativitas dan inisiatif. Secara mental mereka cenderung terlihat pasif. Baik balasan reward maupun
hukuman punishment jelas menjadi bentuk kontrol yang relatif lemah.
40
3. Membangun Solidaritas. Membangun solidaritas akan berujung pada efektifitas, sebab berhasil membuat individu-individu merasa bahwa
pekerjaan merupakan bagian dari identitas mereka. Pekerjaan menyumbang pada sesuatu yang mereka percayai atau menyumbang
beberapa kelompok yang mereka miliki. Untuk membangun solidaritas bisa lewat ritual sosial yang menciptakan perasaan identitas kelompok dan
menghasilkan cita-cita yang orang hargai. Akan tetapi, penggunaan kekuasaan dengan solidaritas juga memiliki beberapa kelemahan, yakni:
i. Ritual membutuhkan waktu dan usaha tertentu, dan ia dengan sendirinya tidak benar-benar produktif secara langsung.
ii. Ritual bisa terselenggara jika mereka sama-sama menanggung kekuasaan organisasi; dan semakin ritual digunakan, semakin kekuasaan
didistribusikan. Kalau semua orang dalam organisasi diberi tanggung jawab untuk kebijakan-kebijakan ke publik, maka akan menjadi sangat
sedikit kekuasaan bagi penguasa. Collins berpendapat bahwa kekuasaan dipraktikkan mengikuti kondisi-
kondisi tertentu. Dari studi organisasi yang dilakukan Collins, ia menemukan beberapa profesi adalah posisi-posisi yang sangat berkuasa, yakni mereka yang
mampu mengontrol wilayah-wilayah ketidakpastian yang sangat penting. Mengapa dokter menduduki pekerjaan dengan imbalan yang lebih dari cukup di
masyarakat? Jika dokter gagal menyembuhkan, terutama pada deadline tertentu, banyak orang mengasumsikan kesalahan penyakit dan tidak pada dokter. Dokter
dikatakan menghadapi penyakit yang sulit untuk mendiagnosisnya. Dunia kedokteran ditandai dengan banyak hal yang lebih misterius dibanding dunia lain.
Inilah alasan utama untuk gengsi yang lebih tinggi dan sebagai bentuk kekuasaan dokter. Contoh ini sama dengan memelihara ketidakpastian demi mendapatkan
kekuasaan, tidak heran jika sesuatu dinyatakan sebagai rahasia yang digunakan para politisi untuk memelihara kekuasaan dan gengsi.
2.2.1 Dimensi dan Kubus Kekuasaan Teori kubus kekuasaan the power cube approach; pendekatan ini
memisahkan tiga komponen yakni ruang-ruang interaksi, wilayah-wilayah
41
interaksi, dan dimensi-dimensi kekuasaan. Dengan demikian, pandangan ini difokuskan pada ruang-ruang yang telah dibuat baik oleh elite Sulawesi Selatan
maupun masyarakat secara umum. Pertanyaannya adalah bagaimana ruang-ruang tersebut digunakan atau dibangun oleh para aktor. Untuk membantu membaca
kualitas proses keterlibatan politik dan ekonomi dalam setiap ruang, maka peneliti memasukkan ‗tangga proses keterlibatan‘ yang diperkenalkan oleh Pretty dimana
terdapat 7 anak tangga proses keterlibatan yang dimulai dengan proses
keterlibatan pasif, proses keterlibatan melalui pemberian informasi, proses keterlibatan sebagai konsultan, proses keterlibatan dalam pemberian material,
proses keterlibatan secara fungsional melalui pembentukan kelompok-kelompok, proses keterlibatan secara interaktif dan proses keterlibatan sebagai kemampuan
memobilisir diri dalam menghadapi persoalan internal.
Gambar 2. Pendekatan kubus kekuasaan.
Pendapat tentang ruang sudah cukup luas digunakan dalam literature sosiologi politik dan sosial khususnya dalam konteks kekuasaan, kebijakan,
demokrasi, dan aksi warga Gaventa, 2005. Ruang disini mengutip Gaventa adalah
“spaces are seen as opportunities, moments, and channels where citizens can act to potentially affects policies, discourses, decisions, and relationships
which affect their lives and interests” Gaventa 2005:11. Ruang dilihat sebagai peluang, momen, dan wahana yang dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan,
wacana, keputusan-keputusan. Dengan demikian ruang untuk berproses keterlibatan di level lapangan tidaklah netral karena adanya relasi kekuasaan yang
Source: Gaventa, IDS, 2005
42
eksis baik secara nyata visible, tak terlihat invisible, atau tersembunyi hidden
apakah dalam konteks lokal, nasional, atau Global Cornwall A, 2002.
Ruang-ruang yang dimaksud adalah ruang tertutup closed, ruang tersediakan invited, dan ruang terciptakan, diklaim atau dibuat sendiri created.
Ruang tertutup, adalah ruang yang dibuat oleh sekelompok aktor atau elite yang
difungsikan untuk mengambil keputusan tanpa melibatkan pihak lain tanpa ada keinginan untuk membuka lebih luas ruang tersebut untuk membuka
kemungkinan masuknya pihak lain atau partisipan secara lebih luas. Ruang tersediakan
, adalah ruang yang dengan sengaja dibuat oleh para penentu kebijakan baik pada level negara, daerah ataupun desa baik yang disahkan secara
hukum ataupun tidak, dan bertujuan untuk mengundang lebih banyak pihak duduk bersama memutuskan sesuatu NGO, donor, sector swasta, kelompok-kelompok
tertentu dalam masyarakat dll. Sementara ruang terciptakan, adalah ruang yang
dibangun secara mandiri oleh masyarakat yang secara umum diakibatkan oleh kekecewaan atas ruang-ruang yang tersedia di wilayah mereka untuk berproses
keterlibatan atau dibangun secara khusus untuk menyediakan ruang bagi aktifitas mereka sendiri tanpa ada intervensi dari pihak luar. Biasanya juga ruang semacam
ini terbangun akibat mobilisasi rakyat atas persoalan yang tak dapat diselesaikan oleh para pejabat setempat yang bertanggungjawab atas ruang dan proses yang
ada Cornwall, A., 2002: p24. Soja, memilih menyebut ruang terciptakan ini sebagai ‗the third spaces‟ dimana aktor-aktor sosial menolak hegemoni ruang
yang dilakukan oleh Negara dan pada akhirnya membuat sendiri ruang mereka
Soja, E. 1996. Wilayah proses keterlibatan politik dan ekonomi merujuk pada tempat
dimana proses keterlibatan berlangsung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gaventa bahwa fokus pada bagaimana dan oleh siapa ruang-ruang proses
keterlibatan dibentuk tentu saja bersinggungan dengan perdebatan tentang tempat- tempat atau arena-arena dimana kekuasaan ekonomi, politik dan sosial kritis
berada. Dengan demikian, proses keterlibatan pada level praktis seharusnya kemudian dapat berada pada level global, nasional dan lokal dimana juga
berfungsi sebagai lokasi bersemayamnya kekuasaan nyata, tak terlihat, dan tersembunyi
, bahkan ada juga yang berpendapat bahwa kekuasaan berpindah dari
43
aktor-aktor pada arena global dan dengan demikian perjuangan untuk memperluas proses keterlibatan harus terleburkan pada level tersebut Gaventa, 2005, p13.
Sedangkan dimensi kekuasaan dimaksudkan untuk menguji hubungan antara ruang dan wilayah proses keterlibatan politik dan ekonomi berhadapan
dengan ide proses keterlibatan politik, Gaventa menyarankan untuk menguji dinamika kekuasaan yang membentuk inklusifitas proses keterlibatan di antara
mereka. Dengan mengadopsi pendapat VeenaKlasen dan Miller, Gaventa mengklasifikasi kekuasaan ke dalam format visible, invisible, dan hidden Veena
Klasen and Miller, 2002:47. Kekuasaan Nyata Visible power kekuasaan di sini biasanya disebut
sebagai kekuasaan politik dan termasuk di antaranya adalah kekuasaan yang diatur secara hukum, memiliki struktur, kewenangan, institusi, dan prosedur
dalam pengambilan keputusan secara jelas. Veena Klasen dan Miller menyebutnya:
“…strategies that target this level are usually trying to change the „who, how, and what‟ of policy-making so that the policy process is
more democratic and accountable, and serves the needs and rights of people and the s
urvival of the planet” ibid. Dengan demikian, batasan kekuasaan terpaku pada proses-proses
demokratis dan adanya pertanggungjawaban yang jelas. Sementara itu, kekuasaan tersembunyi hidden power; adalah kekuasaan
yang dikontrol oleh orang-orang tertentu atau institusi yang memiliki power institutions yang menjaga pengaruh mereka melalui pengontrolan terhadap siapa
yang dapat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan agenda. Dinamika semacam ini beroperasi pada banyak level kekuasaan, sedikit
banyak menafikan dan mengecilkan arti atau nilai dari orang-orang tersisih. Sedangkan kekuasaan tak terlihat invisible power; dimensi kekuasaan ini
membentuk batasan-batasan proses keterlibatan secara ideologis dan psikologis. Dengan demikian, persoalan dan isu-isu tidak hanya dijaga pada meja
pengambilan keputusan, tapi juga dari pikiran, dan kesadaran dari para pemain yang terlibat. Dengan mempengaruhi bagaimana masyarakat berpikir tentang
tempat mereka di dunia, maka level kekuasaan ini adalah membentuk kepercayaan beliefs, rasa kedirian sense of self, dan penerimaan akan status quo acceptance
44
of the status quo mendefinisikan apa yang dimaksud dengan normal, apa yang
dapat diterima, dan apa yang dianggap aman.
2.2.2 Pola Kekuasaan Etnis Bugis Dan Makassar
Pola kekuasaan di sini adalah cara bagaimana seseorang atau sekelompok orang untuk menggapai dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan di sini dekat
dengan pengertian Weber di mana pihak yang punya kuasa bisa mendesakkan kehendaknya atau gagasan-gagasannya kepada orang lain bahkan ketika mereka
tidak sepakat dengannya. Giddens yang tidak puas dengan pengertian yang terlalu luas ini
—setiap bentuk hubungan sosial dengan mudah bisa menjadi relasi kuasa antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Untuk itu dia membedah lebih jauh
konsepsi ini dengan mengambil konsepsi yang lebih spesifik dari Weber, dominasi. Dominasi menurut Weber adalah pendesakan kekuasaan, di mana
seorang pelaku menuruti suatu perintah spesifik yang dikeluarkan oleh orang lain. Mengapa orang menurut pada perintah semacam ini? Giddens mengidentifikasi
bahwa penyebabnya bisa merentang antara kebiasaan hingga kepentingan pribadi. Selanjutnya, ―kemungkinan untuk menerima memperoleh hadiah-hadiah materiil
dan kehormatan sosial merupakan dua bentuk yang paling meresap dari ikatan yang mengikat pemimpin dan pengikut.‖ Giddens 1985: 192 Tentu saja Weber telah
mengantisipasi bahwa tiap dominasi pasti mengalami kegoyahan. Namun alasannya
tentang instabilitas dominasi tersebut —kepercayaan dari pihak bawahan atas legitimasi
kedudukan mereka sebagai bawahan —tidak begitu mudah untuk ditemukan dalam
penelitian yang akan kita bahas di sini. Selanjutnya, teori kekuasaan lain dari Weber yang akan dimanfaatkan di
sini, adalah pemilahannya tentang pola hubungan dominasi, atau bisa kita sebut pola relasi kekuasaan, yakni tradisional, kharismatik, dan rasional-legal.
Menurutnya, relasi kekuasaan tradisional adalah kekuasaan yang bersandar pada aturan turun-temurun yang dipercaya oleh sebagian besar pendukungnya.
Biasanya yang dianggap paling mengetahui aturan-aturan tersebut dijadikan sebagai pemimpin, atau punya otoritas untuk menjalankan pemerintahan. Orang-
orang ini biasanya adalah orang-orang tua yang pengetahuannya sudah mencapai tingkat lebih matang dibandingkan anggota masyarakat lainnya, dianggap paling
45
meresapi kearifan tradisionalnya. Implikasinya, sebagian besar pemimpin di banyak masyarakat tradisional atau ‗kesukuan‘ adalah orang tua laki-laki, yang
paralel dengan apa yang disebut Weber sebagai sistem patriarkhis. Sistem ini
tumbuh di dalam keluarga dimana aturan-aturan dalam keluarga tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Penjelasan Weber mengenai pola relasi kekuasaan legal-rasional merupakan ulasan yang paling meyakinkan. Sistem pemerintahan birokratis menjadi contoh
utama Weber dalam ulasannya tentang pola relasi kuasa ini. Mengenai sistem ini Giddens merangkumnya seperti di bawah ini:
―Kegiatan-kegiatan staf administrasi dilaksanakan secara teratur, dan merupakan ‗kedinasan-kedinasan‘ resmi yang jelas batas-batasnya. Bidang-
bidang wewenang para pejabat dibatasi dengan jelas, dan tingkat-tingkat otoritas digariskan batasnya dengan jelas dalam bentuk hierarki kantor.
Aturan-aturan mengenai perilaku staf, otoritas dan tanggungjawabnya, dicatat dalam bentuk tertulis. Penerimaan tenaga administrasi didasarkan
atas terbuktinya kemampuan spesial melalui ujian persaingan dan pemilikan diploma atau gelar, yang memberikan bukti tentang kemampuan-
kemampuan yang cukup memadai. Milik kantor bukan milik pejabat. Suatu pemisahan antara pejabat dan kantor dipertahankan sedemikian sehingga di
bawah kondisi apa pun, kantor itu tetap tidak bisa dimiliki oleh yang
berwenang di kantor.‖ 1986:194 Mengenai dominasi berwatak kharismatik Weber menjelaskan bahwa pola
ini bergantung pada individu yang dipercaya mempunyai kemampuan aneh yang sangat mengesankan, sesuatu yang membuatnya lain dan terpisah dari orang
kebanyakan, kharisma. Apakah seseorang benar-benar mempunyai kualitas kharismatik yang dimaksud bukanlah hal yang begitu penting. Penekanannya ada
pada kualitas-kualitas yang membuat orang tersebut kharismatik. Apakah sebenarnya kharisma itu, Weber menyatakan:
―Suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan
sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat gaib, sifat unggul, atau paling sedikit dengan kekuatan-
kekuatan yang khas dan luar biasa.‖ dalam ibid :197
Kekuasaan yang mengikuti tokoh yang luar biasa ini bisa muncul di banyak jenis masyarakat. Pengikutnya didulang melalui kepercayaan akan kemampuan luar
biasa sang tokoh. Kharisma bisa dipindahkan dengan menjadikannya sebagai sebuah kualitas yang bisa dipindahkan ke orang lain. Pemindahan kualitas ini bisa
46
dilakukan lewat latihan atau pewarisan. Sebagai contoh, bila kharisma diubah menjadi kekuasaan model tradisional atau legal-rasional, maka dia bisa dijadikan
sebagai ‗sumber kekuasaan yang sakral‘, yang bisa menjadi salah satu alat yang legitimate untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Orang-orang biasa yang
dilatih dengan baik dalam pengetahuan ajaran Islam bisa kemudian muncul sebagai orang yang punya kharisma, punya kemampuan khusus. Yang paling penting adalah
orang tersebut bisa membuktikan keluarbiasaannya kepada para pengikutnya. Hal lain yang penting mengenai kharisma menurut Weber adalah model bisa
menjadi pendobrak untuk mengubah model tradisional warisan turun-temurun. Pengikut dari pemimpin kharismatik juga menjadi pengikut secara sukarela, tidak
terdapat hierarki kepengikutan seperti dalam birokrasi moderen kepangkatan dan jabatan, juga tidak terdapat aturan yang terlalu mengikat tentang tanggungjawab
spesifik masing-masing anggota, dana yang diperoleh kebanyakan berasal dari sumber informal, sumbangan atau rampasan.
Teori tentang tiga model kekuasaan yang dikembangkan ini kemudian dimanfaatkan oleh Gibson untuk menjelaskan tentang tiga jenis pengetahuan
simbolik yang hidup di masyarakat Asia Tenggara, yakni pengetahuan Tradisional, Islam, dan Moderen. Pendekatan Gibson ini menjadi sangat relevan
mengingat ‗pengetahuan simbolik‘ yang dijelaskannya merupakan semacam bahan baku yang bisa dimanipulasi menjadi pengetahuan ideologis. Menurutnya,
pengetahuan simbolik bisa berasal dari mitos dan ritual; kitab suci agama; dan ‗dokumen-dokumen‘ yang merujuk pada tulisan-tulisan atau terbitan yang dibawa
orang Eropa. Selain itu, Gibson mengambil contoh kasus untuk mengembangkan
teorinya dari masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Gibson menemukan tiga tahapan transformasi kekuasaan politik dan ekonomi masyarakat
Bugis dan Makassar
23
, yakni;
23
Tahapan transformasi masyarakat yang dikemukakan Gibson memiliki kemiripan dengan tiga tahapan perubahan masyarakat yang diuraikan Comte Ankersmit, 1987; Feibleman, 1986;
Hadiwijono, 1998; Johnson, 1994; Laeyendecker, 1983, Menurutr Comte, tahapan-tahapan itu meliputi; i Tahap Teologis, adalah tahapan yang paling lama dalam sejarah manusia, untuk
analisis yang lebih terinci, Comte membaginya dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme
.
Periode fetisisme merupakan bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.
Periode politeisme adalah kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun
47
1. Tradisional
Negara-negara di Sulawesi Selatan mulai bermunculan pada abad ke 14. Tadinya mereka adalah unit-unit politik kecil yang berpindah-pindah yang kemudian
menjadi menetap setelah menemukan daerah yang cocok untuk bertani secara menetap. Salah satu contoh adalah federasi Soppeng yang unit-unit kecilnya
berbeda-beda dari
benda-alam, namun
terus mengontrol
semua gejala
alam.
Periode monoteisme merupakan kepercayaan dengan satu sang pencipta alam semesta, begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu digantikan dengan kepercayaan
akan satu tuhan. Dalam tahap ini terdapat banyak hal-hal yang berkaitan dan dapat ditemui dalam masyarakat Bugis dan Makassar pada fase tradisional sampai masa awal islam modern. Misalnya
kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan. Paham ini sangat melekat pada konsep kalompoang, penemuan benda gaukang dan regalia bagi kalangan bangsawan,
sedangkan pada kalangan masyarakat awam memandang pohon besar yang lebat dan rimbun terkadang dipercaya oleh masyarakat dihuni oleh mahkluk halus atau tidak kasat mata dan
dianggap oleh masyarakat sebagai salah satu tempat yang sifatnya angker atau menyeramkan, karena itu apabila ada kegiatan yang diadakan di sekitar lokasi yang berdekatan dengan pohon
tadi maka masyarakat melakukan ritual-ritual tertentu. ii Tahap Metafisik, merupakan tahapan transisi antara tahap teologis dan positifis. Tahap ini ditandai dengan suatu kepercayaan akan
hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemui dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut
pemikiran
manusia, sangat
mendasar dalam
cara berpikir
metafisik. Pada tahap ini masyarakat menganggap adanya hukum alam yang akan dapat membatasi
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat yang dianggap dapat merusak keseimbangan dari alam itu sendiri serta ekosistem lainnya, misalnya adanya penebangan hutan berlebihan yang
menyebabkan hutan menjadi gundul sehingga akan menimbulkankan sebuah bencana besar, yang dianggap oleh masyarakat alam akan menjadi marah yaitu dengan adanya banjir, tanah longsor dan
lain sebagainya. Dengan adanya hal semacam ini akan membuat masyarakat untuk mematuhi segala sesuatu yang dapat dinggap menimbulkan bencana bagi masyarakat itu sendiri. Tahap ini
pada masyarakat Bugis dan Makassar terjadi sepanjang fase feudalism dan dan masa awal islam modern.
iii Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empirik sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak. Semangat positivisme
memperlihatkan keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus
dipimpin oleh data empirik. Analisis rasional mengenai data empirik akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum lebih dilihat sebagai uniformitas
empirik daripada kemutlakan metafisik. Seperti diketahui positivisme menerima dengan sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang
berdasarkan dengan hukum-hukum alam, yang dijadikan dasar serta strategi untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan masyarakat. Hasilnya akan berupa suatu masyarakat di mana
penalaran akal budi akan menghasilkan kerjasama dan di mana takhayul, ketakutan, kebodohan, paksaan, konflik akan dilenyapkan. Dengan melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik
yang kenyataannya lebih sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empirik harus digunakan dengan keyakinan bahwa
masyarakat
merupakan suatu
bagian dari
alam seperti
halnya gejala
fisik. Dalam tahap ini masyarakat lebih menekankan ilmu pengetahuan pada hal-hal yang terjadi,
misalnya gempa bumi karena adanya pergesekan antara lempeng bumi sehingga menimbulkan pergerakan-pergerakan, ini dipelajari oleh masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang mempelajari
hal tersebut, yaitu geografi geologi. Selain itu dibidang kesehatan dengan adanya ilmu pengetahuan tadi akan dapat mengetahui ragam penyakit untuk dapat dipelajari dan diteliti untuk
mencari obatnya dalam hal ini adalah ilmu kedokteran.
48
berkembang di sepanjang lembah Sungai Walennae. Federasi Wajo di sekitar Danau Tempe dan Luwu di sepanjang delta di pesisir ujung utara Teluk Bone. Negeri petani
ini semakin membesar dengan berkembangnya alat pertanian logam, yang sumbernya bisa ditemukan dengan mudah di pedalaman Luwu. Caldwell dan Bulbeck
melakukan studi arkelologis pada negeri ini dan menemukan bahwa kelompok- kelompok masyarakat kecil di kawasan Luwu telah ada sekitar abad ke-3 sebelum
Masehi. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi masyarakat yang lebih kompleks setelah datangnya para perantau Bugis dari selatan pada abad ke 5. Dan
setidaknya pada sekitar abad ke 12 mulai mengorganisasikan diri dalam sejumlah unit-unit politik kecil chiefdom yang independen. Unit-unit ini menggantungkan
hidupnya pada perladangan berpindah dan tetap. Bagaimana kelompok elite terbentuk? Caldwell berpendapat bahwa
penguasaan terhadap sumberdaya alam seperti sawah yang subur, membuat seorang penguasa bisa mengkonsolidasi kekuatannya. Baginya, ideologi dan religi
adalah faktor sekunder dari terbentuknya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh segelintir elite. Dia mencontohkan bahwa sejak dikuasainya daerah lembah
sungai besar di kawasan itu oleh sekelompok bangsawan, maka terbentuklah unit- unit politik yang lebih besar. Memanfaatkan temuan-temuan arkeologis Caldwell
dan Bougas menjelaskan proses tersebut sebagai berikut: Sifat temuan-temuan ini yang bersebar dan berlainan menunjukkan
bahwa pola perdagangan selama milenium pertama Masehi berukuran kecil dan sporadis, sebuah pola yang sesuai dengan kurangnya bukti
akan organisasi politik yang rumit di Jeneponto pada masa itu. Cerita- cerita tentang asal-muasal kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan pada
kronik-kronik Bugis dan Makassar menandakan bahwa sebelum munculnya kerajaan setelah masa 1300, entitas politik yang terbesar di
Sulawesi Selatan adalah perkauman chiefdom sederhana wanua, B.; banoa
, banua, M., yang paling banyak berjumlah beberapa keluarga dan biasanya hanya terdiri dari beberapa ratus jiwa.
Perkauman yang lebih rumit atau kerajaan-kerajaan kecil, dengan pusat- pusat yang berjumlah lebih dari satu dan berlapis-lapis, mulai terbentuk
di lembah-lembah di hilir Sungai Jeneponto, setelah tahun 1300. Kemunculan kerajaan-kerajaan kecil ini berkaitan dengan perluasan dan
intensifikasi pertanian padi basah di sepanjang dataran lembah, dirangsang oleh bertumbuhnya ketersediaan barang dagangan yang
dapat ditukar dengan surplus beras. Yang paling menonjol adalah kapas India, keramik Cina dan Asia Tenggara dan barang-barang perunggu
49
dari Jawa.
24
Pada tahap awal perkembangan kerajaan kecil yang terletak di lembah sungai, mereka masing-masing berdiri sendiri, lalu kemudian
mereka bergabung membentuk Kerajaan Binamu dan Bangkala. Pemujaan terorganisir terhadap leluhur dewa dari keluarga penguasa
menyuntikkan ideologi religius dan politis yang menyokong posisi raja dan hierarki sosial pada kerajaan yang baru terbentuk ini. Masyarakat
Jeneponto kini mengisahkan bagaimana keluarga penguasa Binamu dan Bangkala diawali oleh tomanurung makhluk yang turun dari langit
berjenis kelamin pria atau wanita yang dipilih sebagai penguasa dan menikah dengan kalangan elite lokal. Setelah membentuk institusi
jabatan untuk penguasa pakkaraengang, tomanurung lenyap secara misterius, meninggalkan keturunannya untuk memegang kuasa.
Penguasa dan komunitas ini turun-temurun melakukan pemujaan terhadap tomanurung yang telah raib melalui kalompoang benda
pusaka keramat yang ditinggalkannya. Sebagian kalompoang dapat dilihat kini di Jeneponto, Gowa dan Bone.
Sementara itu, lewat penelitian tekstual atas naskah lontara di negeri-negeri
Makassar, Cummings menyimpulkan bahwa cara elite di masyarakat Makassar untuk mempertahankan atau meluaskan kuasanya bergantung pada masuknya
budaya tulisan. Menurutnya, lontara sangat penting untuk menebarkan pemahaman akan keberadaan sebuah kekuatan supra yang berada di atas seluruh
gallarang di wilayah tersebut. Cara orang Makassar memperlakukan naskah tulis sangat penting dalam hal ini. Mereka memperlakukan naskah sebagai benda
keramat yang diperlakukan dengan hati-hati dan banyak digunakan dalam ritual- ritual. Dengan demikian, naskah tentang genealogi asal usul penguasa bisa
dibelokkan menuju ke pusat kekuasaan, Gowa. Dengan demikian ketika naskah tersebut dibacakan secara hikmat dalam ritual secara teratur, maka legitimasi
sekali lagi dikuatkan Cummings 2002. Dengan diakuinya Gowa sebagai awal dari asal-usul para penguasa di kawasan Makassar, maka secara politis lebih
mudah mengajak mereka menjadi negeri bawahan. Gibson menuliskan bahwa cara masyarakat Konjo mempertahankan
kekuasaannya adalah dengan mengaktifkan sebanyak mungkin pengetahuan simbolik yang dipercaya masyarakat. lewat mitos dan ritual, para elite
merelegitimasi dan mereproduksi kekuasaan mereka. Mereka misalnya mengadakan ritual yang melibatkan banyak orang dimana leluhur pendiri kerajaan
24
Kotilainen 1992:49 menunjukkan serangkaian barang impor serupa yang ditemukan di Sulawesi bagian tengah.
50
tertentu menjadi subyek sesembahan. Sehingga hal ini kembali menegaskan legitimasi kekuasaan para keturunannya di masa sekarang. Gibson 2005, 2007
Elemen penyembahan leluhur dalam ritual ini melengkapi penjelasan Ijzereef 1987 tentang pengadaan ritual di akhir abad 19 di Bone. Menurutnya, ritual di
adakan untuk menunjukkan besarnya kekuasaan seseorang. Untuk menguji keluasan pengaruh seorang bangsawan, biasanya diukur dengan berapa banyak
orang yang hadir dalam upacara yang dia adakan. Hal ini, menurut Ijzereef, berkaitan dengan elemen ekonomi kekuasaan di Bone pada masa itu. Dengan
absennya teknologi maka pertanian bergantung pada tenaga manusia. Dan seorang raja sangat bergantung pada mereka untuk mengerjakan tanah kerajaan yang
sangat luas. Semakin banyak orang yang bisa dimobilisasi untuk bekerja semakin besar kekuasaan seorang bangsawan. Sebaliknya semakin berkuasa seorang
bangsawan, misalnya jika dia menjabat raja, semakin mudah dia memobilisasi orang untuk bekerja padanya. Hal ini menarik jika diperbandingkan dengan
daerah lain. Millar, membuat perbandingan menarik tentang persepsi kekuasaan orang Bugis dan Jawa. Bagi orang Bugis, kekuasaan diukur dari seberapa luas
pengaruh seseorang terhadap orang lain. Sedangkan bagi orang Jawa kekuasaan diukur dari seberapa jauh seorang penguasa terlepas dari pekerjaan fisik.
Hubungan patron-klien merupakan model hubungan kekuasaan utama yang tumbuh di Sulawesi Selatan. Pelras menjadi peneliti yang pertama melakukan
studi serius tentang ihwal ini di masyarakat Sulawesi Selatan, utamanya Bugis. Salah satu hal yang paling menonjol dari penelitian Pelras mengungkapkan
bahwa, hubungan patron klien yang tadinya merupakan hubungan sosial politik ekonomi sudah mulai tereduksi menjadi lebih pada hubungan ekonomi saja. Hal
ini juga dibuktikan Ammarel ketika meneliti masyarakat nelayan Bugis yang turun temurun menggunakan sistem punggawa-sawi. Oleh perubahan sosial
terutama karena dampak perubahan teknologi navigasi dan mekanisasi perahu, para sawi semakin bebas untuk menentukan perahu yang ingin diawakinya.
Mereka tidak lagi begitu tergantung pada punggawa. Namun di samping itu secara bersamaan pengetahuan navigasi tradisional mereka semakin tergerus karena
mesti bergantung pada teknologi navigasi baru seperti kompas. Ini membuat mereka tidak perlu melewati pelajaran panjang teknik navigasi yang biasa
51
diajarkan oleh para kapten yang juga banyak di antara mereka menjadi punggawa. Hal ini menyebabkan hubungan sosial mereka semakin longgar dan secara politis
tidak lagi begitu tergantung kepada punggawa-nya. Mereka semakin menjadi cuma buruh untuk kapal yang mereka tumpangi.
Selanjutnya perubahan dalam hubungan patron-klien ini tentu menyebabkan perubahan signifikan pada struktur kekuasaan dan politik di Sulawesi Selatan.
Untuk melihat hal ini lebih jauh kita kembali dulu melihat ke masa lalu. Kajian Ijzereef 1987 tentang struktur kekuasaan dan politik di kerajaan Bone di
pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad 20 bisa menjadi model yang menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan bekerja di provinsi ini. Menurut
Ijzereef masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang sangat hierarkis, yang tersusun berdasarkan ‗kemurnian darah‘ kebangsawanan. Hierarki ini tentu
tidak berdiri sendiri. Setiap unit kekuasaan punya hierarki, dan unit kekuasaan ini
sendiri berada di dalam hierarki yang lebih besar, hingga tingkat antar-kerajaan. Dengan demikian, kompetisi atau persaingan menuju puncak hierarki berlangsung
terus menerus, dan hal ini tentu akan memancing konflik. Menurutnya, semakin berdekatan posisi dua pihak dalam suatu hierarki maka potensi konfliknya
semakin besar. Dan semakin berjauhan posisi hierarkis dua pihak semakin kecil potensi konflik bisa terjadi. Dengan demikian, di dalam hierarki ini yang berkuasa
adalah para bangsawan, dan pihak yang berada di luar itu baru bisa melakukan mobilisasi sosial ke atas hanya bila para bangsawan bersedia mengizinkannya, itu
pun kemampuan mobilisasi mereka cukup terbatas. Dalam hal ini hierarki sebenarnya bisa berperan sebagai pencegah konflik. Sistem yang secara sepintas
sangat menekan ini, bila kita melihatnya dari kacamata konsep Barat yang datang beberapa dekade terakhir, bisa berperan untuk menekan kelompok-
kelompok yang bertikai dengan menyesuaikan diri ke dalam hierarki yang
dipercaya kedua belah pihak, sebagian besar lewat negosiasi.
Bagi orang Bugis, pengetahuan akan hierarki masing-masing pihak sangat penting untuk berhubungan dengan pihak lain. Setiap kelompok atau individu harus
tahu dimana po sisi sosial mereka sehingga bisa bersikap ‗pantas‘ ketika berhadapan
dengan individu atau kelompok lain. Penelitian Millar 1989 menjelaskan dengan baik bahwa yang berpengaruh dalam penataan hierarki ini adalah status
52
kebangsawanan dan prestasi pribadi dalam hal kepintaran, ekonomi, dan
pengetahuan agama. Lebih jauh dia membuktikan bahwa aturan yang sudah ada
sejak lama ini masih bertahan hingga pertengahan abad 20 penelitian tahun 1975 dan strata itu paling nampak dan ditegaskan berulang-ulang pada acara pernikahan.
Hal lain yang cukup penting dalam penelitian Millar yang mengurai dan menggambarkan konsep pelapisan sosial ini adalah, dia secara spesifik mengurai
konsep ‗lokasi sosial‘—yang terpampang jelas ketika masyarakat Bugis mengadakan pesta pernikahan. Lokasi, tempat seseorang duduk secara fisik selama prosesi tertentu
sebuah pernikahan menunjukkan posisinya dalam hierarki sosial. Sebagaimana penelitian Millar, Pelras 2000 juga menekankan pentingnya hubungan patron-klien
yang dalam hal ini diwakil i hubungan ‗Joa‟ dan ‗Ajjoareng‟ atau ‗Punggawa‟ dan
‗Sawi‟. Hubungan ini, menurut Pelras adalah hubungan yang tidak terlalu timpang. Para patron memang punya kekuasaan menentukan banyak hal bagi kliennya namun
mereka juga mempunyai banyak kewajiban terhadap mereka, termasuk memberi jaminan finansial bila ketika shock dalam berbagai bentuk menghantam sang klien.
Apabila patron tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka klien bisa dengan bebas berpindah ke patron lain. Meski pun tindakan itu bukan tanpa risiko
bagi sang klien, namun yang terpenting adalah mereka masih punya pilihan.
2. Islam
Abad ke 17 merupakan abad yang luar biasa dalam hal perubahan masyarakat Sulawesi Selatan. Perubahan besar-besaran ini sebagian besar disebabkan oleh
dipeluknya Islam oleh nyaris seluruh penguasa yang ada di Sulawesi Selatan pada masa tersebut. Bersama dengan masuknya Islam tentu pengetahuan yang dibawa
oleh para imam kharismatik, berdasarkan Al Qur‘an dengan kitab-kitab lainnya. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang bersebarangan.
Teori pertama adalah ‗Teori Balapan‘. Dalil ini sangat populer di banyak belahan Nusantara yang mengatakan bahwa Raja Gowa secara bersamaan meminta
imam dari Aceh dan pendeta dari India. Karena yang tiba duluan adalah imam maka dia kemudian memutuskan untuk memeluk Islam. Teori berikutnya banyak
dipercaya oleh ilmuwan Eropa dan berhubungan dengan ajaran tertentu yang lebih disukai oleh para raja. Pelras misalnya mengatakan bahwa para raja baru memeluk
53
Islam setelah datang model yang lebih cocok bagi para raja. Secara spesifik Gibson 2005, 2007 mengatakan bahwa raja Tallo memeluk Islam menurut ajaran Ibnu
Arabi yang salah satu doktrinnya adalah bahwa raja merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Ajaran ini telah dipegang oleh beberapa raja di Nusantara karena
menjamin kekuasaan politis, selain religius, raja-raja tersebut. Teori lain tentang perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dikemukakan oleh Cummings 2001. Dia
mengajukan argumen bahwa di awal masuknya Islam pada abad ke 17 di Gowa- Tallo, yang terjadi adalah sebuah gerakan tekstual beraksara Arab. Lewat
manipulasi teks menjadi benda keramat dan menjadi bahan ritual pembacaan yang dikeramatkan, ‗Islam‘ menjadi semacam ‗benda pusaka‘ yang digunakan oleh para
bangsawan istana untuk memperluas atau mengokohkan kekuasaannya. Dengan
kata lain, kitab-kitab dari ajaran Islam dijadikan alat legitimasi kekuasaan baru selain pusaka kerajaan tradisional. Artinya, Islam tidak menghapus model
kekuasaan tradisional melainkan menjadi tempelan baru yang mengokohkan model kekuasaan yang sudah ada.
Melihat ketiga teori ini, jelas kita dibentangkan gambaran dekatnya kekuasaan dengan masuknya model kekuasaan baru ini. Model Islam yang
seharusnya cosmopolitan dan membuat hierarki global dengan Timur Tengah sebagai pusatnya, tidak bisa melakukan hal demikian di awal kedatangannya.
Islam harus menyesuaikan diri dengan model kekuasaan yang telah ada. Sebab Islam baru bisa menyebar luas di kawasan ini setelah mendapat restu dan
disponsori oleh kekuasaan tradisional yang ada.
3. Moderen
Gibson 2007 menuliskan bahwa model kekuasaan versi Eropa tiba dibawa oleh VOC khususnya setelah Perang Makassar pada paruh ke dua abad ke 17.
Namun model kekuasaan ini baru benar-benar berefek dan diadopsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan setelah sebagian besar kerajaan di kawasan ini
ditaklukkan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1906. Sejak takluknya Gowa di tahun 1669, masyarakat di Sulawesi Selatan mulai terekspose
jenis pemerintahan moderen besutan VOC. Namun mereka terlibat hanya sebagai mitra di luar struktur pemerintahan. Di satu sisi, VOC memang adalah maskapai
54
dagang dan bukan sebuah pemerintahan permanen, di sisi lain masyarakat Sulawesi Selatan masih tertata dalam sistem pemerintahan masing-masing yang
otonom. Kepentingan VOC, dan kemudian pemerintah kolonial sebelum politik etis, adalah kepentingan dagang. Mereka hanya melakukan intervensi bila keadaan
politik lokal mulai mengganggu kepentingan dagang mereka. Dengan demikian, sebagian besar kerajaan pra-politik etis berdiri sendiri dengan tingkat otonomi
dalam pemerintahan sehari-hari yang sangat besar. Maskapai dagang, VOC, dan kemudian sejak 1800, pemerintah kolonial
Belanda, membawa jenis pemerintahan administratif yang bertumpu pada model kekuasaan, yang meminjam istilah Weber, rasional-legal. Jenis pemerintahan ini
biasanya tunduk pada hukum formal yang tertulis secara eksplisit, berbeda misalnya dengan jenis pemerintahan tradisional yang banyak dijalankan
berdasarkan aturan tak tertulis dan t ingkat efektifitas aturan atau ‗hukum adat‘ itu
sebagian ditentukan oleh para bangsawan. Semakin berkuasa seorang bangsawan, maka semakin mungkin dia memanipulasi aturan tradisional mereka. Dengan
demikian, kekuasaan yang dibawa masyarakat moderen ini bertumpu pada penguasaan terhadap alat negara seperti tentara dan birokrasi, penguasaan ilmu
pengetahuan saintifik yang menuntun segala perikehidupan masyarakat moderen, dan model ekonomi rasional perhitungan untung-rugi.
Ketika Sulawesi Selatan benar-benar berada di bawah kekuasaan langsung pemerintah kolonial, model kekuasaan tradisional dan Islam tidak hilang dengan
sendirinya. Menurut Gibson mereka hidup berdampingan hingga sekarang. Dalam hal ini dia membantah tesis Weber bahwa ketiga model relasi kekuasaan ini
merupakan sebuah proses sejarah dengan model kekuasaan rasional-legal sebagai titik akhirnya Gibson 2005.
Perubahan kebijakan Belanda, menyebabkan terjadinya pemerintahan yang berjalan dengan baik. Muhammadyah tidak berkembang di pedalaman seperti
Bone. Tidak terjadi korupsi dan inflasi. Di Soppeng, orang-orang tua informan Susan Millar mengenang masa itu sebagai masa yang tenang. Hal ini terjadi antara
lain karena hierarki kebangsawanan ‗bekerja‘ dengan baik. Para raja mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sementara itu, di mata orang biasa, yang punya
hubungan rapat dengan pemerintah kolonial adalah para pejabat-pejabat rendahan,
55
sebab kepada merekalah para raja membebankan tugas administratif seperti mengumpulkan pajak.
Bangkitnya kembali kekuasaan para bangsawan, yang disponsori oleh Belanda, disambut dengan perlawanan oleh para imam reformis dan para
pemimpin Islam tradisional khususnya di daerah Sidenreng dan Parepare, yang memperjuangkan sentimen anti ―bangsawan feudal-koopeerator.‖ Saat itu
kekuatan Muhammadyah cukup besar, dan bangsawan menengah serta orang
kebanyakan semakin tertarik kepada organisasi ini meski mereka menghembuskan semangat anti-bangsawan. Sebagai gambaran pada tahun 1941, Muhammadyah
beranggotakan 4000 orang, cabang wanitanya, Aisyah, 2000 orang, dan sayap pemudanya, seribu orang. Sangat mungkin mereka melakukan ini karena
Muhammadyah dianggap bisa digunakan untuk melawan dampak yang ditimbulkan oleh imam yang lebih radikal, sekaligus menjadi cara untuk
mengungkapkan ketaksetujuan mereka terhadap kebijakan Belanda yang memberi tempat istimewa kepada faktor keturunan. Bahkan, pengaruh sekolah-sekolah
Muhammadyah bahkan menjadi lebih luas, dan bukan menyempit, oleh upaya Belanda mengembangkan sekolah-sekolah mereka. Bersamaan dengan itu,
sekolah-sekolah dengan orientasi nasionalis khususnya Taman Siswa menjadi lebih berpengaruh di Makassar karena upaya Belanda untuk menyingkirkan
mereka secara legal Harvey 1974; 1984; Heather 1980. Perlu dicatat pula bahwa pada saat bersamaan para bangsawan rendah tidak
lagi begitu tertarik menjadi imam. Mereka lebih banyak melanjutkan pendidikan formal ke Makassar di sekolah Muhammadyah atau Belanda. Strategi mereka
adalah mencapai posisi tertinggi pada hierarki pemerintahan yang bisa dicapai pribumi. Mereka berharap lewat cara ini mereka bisa berbagi kekuasaan dengan
para pegawai Belanda. Sementara para pemuda bangsawan tinggi, karena yakin akan posisi warisan mereka, tidak begitu berminat melanjutkan sekolah. Jadi, para
bangsawan menengah dan rendah serta to madeceng, mendapat pendidikan lebih baik dan mendominasi alokasi kecil di pemerintahan pribumi. Tidak diragukan
lagi, di antara pegawai pribumi terjadi persaingan sangat ketat, khususnya di tahun 1940-an. Hal ini terjadi ketika semakin banyak orang berstatus tinggi yang
berpendidikan menginginkan posisi pemerintahan yang ada di daerah mereka.
56
Persaingan keras juga berlangsung di lembaga Hadat yang diisi para bangsawan. Dengan posisi Bone dan Gowa yang sudah disamakan dengan kerajaan lain, maka
hierarki kerajaan-kerajaan di wilayah ini telah dirombak, sehingga para bangsawan mulai lagi bersaing di dalam konteks formal yang baru Mattulada
77a; 1998. Demikianlah, kekuatan Kolonialisme, Islam dan tradisional, senantiasa
menjadi tiga pihak yang terus berkoalisi dan berlawanan dengan semakin banyak variabel yang menambahkan kerumitan interaksi mereka. Kondisi ini menurut
Gibson 2005 tidak lepas dari perubahan pengetahuan simbolik yang dipercaya oleh masyarakat secara tradisional. Atau perubahan kadar dominasi dari ketiga
jalur kekuasaan tersebut. Ijzereef mengungkapkan bahwa para bangsawan La Pawawoi, Arumpone
bisa menduduki tahtanya pada tahun 1895 karena sokongan Pemerintah Kolonial. Dengan bantuan Fort Rotterdam saingan potensi La Pawawoi yang baru dilantik,
segera disingkirkan. Pertama-tama Belanda mengusir suami I Banri kembali ke Gowa. Sementara puterinya, yang telah dilantik oleh Dewan Hadat Bone atau
Arung Pitu sebagai ratu, tidak diakui oleh Pemerintah Kolonial dan masih terlalu muda untuk memobilisasi kekuatan untuk menantang La Pawawoi. Semakin
meningkatnya intervensi Belanda dalam struktur kekuasaan Bone pada akhir abad 19 masih tetap menyisakan beberapa prinsip kekuasaan tradisional yang sulit
untuk digoyahkan. Di Bone pada masa itu kekuasaan Arumpone sangat tinggi, boleh dikatakan tertinggi, sehingga hanya orang berdarah bangsawan tinggi yang
boleh menjadi Arumpone. Memang seorang raja bisa menetapkan penggantinya, namun dia akan mendapatkan tantangan sangat keras bila mengangkat bukan
salah satu dari bangsawan berstatus tertinggi: yaitu seseorang dengan derajat kemurnian darah paling tinggi. Bila sang raja tidak sempat menetapkan pengganti
maka ketentuan adat berlaku, mengangkat orang berdarah paling murni.
Terlihat bahwa dalam penelitian Ijzereef dia sama sekali melupakan unsur agama di dalam perebutan dan upaya mempertahankan kekuasaan. Hanya ada dua
unsur yang berinteraksi, unsur pemerintahan nasional Belanda dan sistem kekuasaan tradisional. Bisa jadi memang pada masa itu di Bone unsur agama
Islam begitu kecil dengan berbagai alasan. Sebagaimana diungkap Millar di atas, bahwa kuatnya reproduksi kekuasaan lewat pewarisan di Bone yang didukung
57
oleh penguasa kolonial di awal abad 20, membuat unsur kekuasaan lain, Islam, menjadi tidak berkembang. Atau karena sumber yang digunakan oleh Ijzereef
adalah catatan pemerintahan kolonial yang sering mengabaikan apa yang tidak begitu penting bagi pihaknya. Sebagaimana kritik van Leur bahwa catatan tentang
Indonesia terlalu sering dilihat dari geladak kapal dagang atau kantor loji maskapai dagang asing Florida, 1976. Faktor manakah yang dominan di antara
keduanya? Kita hanya bisa membandingkannya dengan melihat kajian lain. Hal lain yang penting dicatat dari hasil studi Millar mengenai sejarah politik
Sulawesi Selatan adalah setiap pergantian kekuasaan, kebangsawanan selalu memegang peranan penting. Yang terjadi adalah persaingan tiga kubu, antara
bangsawan Sulawesi memperebutkan dominasi di Makassar, sebagai pusat Hindia Timur, antara bangsawan di Sulawesi Selatan memperebutkan dominasi di
Sulawesi Selatan dan antara bangsawan melawan orang kebanyakan yang juga memperebutkan dominasi di provinsi ini.
Persaingan pertama ini terjadi karena pada tahun 1938 pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk satu unit pemerintahan baru yang meliputi seluruh
Hindia Timur, berpusat di Makassar. Jabatan-jabatan di jawatan baru ini didominasi oleh orang Minahasa dan Ambon yang saat itu lebih maju dalam hal
pendidikan moderen. Hal yang membuat para bangsawan lokal di Makassar merasa dilangkahi. Pada masa pemerintahan Jepang, mereka menjadikan
Makassar sebagai pusat politis dan ekonomi di kawasan Timur Hindia. Mereka memusatkan perdagangan produk-produk utama seperti beras dan kopra di
Makassar. Mereka juga membentuk dewan pemerintahan se Sulawesi Selatan yang diisi para bangsawan.
Ketika proklamasi kemerdekaan diumumkan pada 17-8-1945, bangsawan Sulsel terbelah dua. Antara yang pro nasionalis seperti bangsawan Bone, yang
menjalin kontak dengan tokoh nasionalis, seperti Sam Ratulangie dan Tajuddin Noor. Sedangkan bangsawan Gowa justru merapat ke N.D. Malewa yang lebih
berorientasi pada kekuasaan lokal provinsi. Kubu yang terakhir ini kemudian ikut mendorong upaya Belanda menghidupkan Negara Indonesia Timur. Pada masa ini,
masyarakat pada umumnya hanya ingin lepas dari penjajahan kolonial yang tidak mereka sukai, sedangkan para bangsawan, mereka ingin merebut dominasi
58
kekuasaan dari ‗orang-orang luar‘ yang sedang berkuasa di ‗wilayah tradisional‘ mereka Mattulada 1998; Harvey 1974.
Peran bangsawan kembali menjadi penting ketika Pemerintah Indonesia berusaha memadamkan gerakan bersenjata yang dipimpin Muzakkar, seorang
non-bangsawan, lepasan sekolah Muhammadiyah yang sangat anti-aristokrat, dan mendapatkan pendidikan militernya selama masa revolusi lebih banyak di Jawa.
Pemerintah nasional yang berusia muda ini mengirim seorang bangsawan militer, Jusuf
—yang ironisnya telah menanggalkan gelar ‗Andi‘ sebagai dukungannya terhadap gerakan anti-feudalisme tahun 1950-an yang dikobarkan Soekarno. Yang
diperanginya adalah seorang non-bangsawan yang kharismatik, yang sebagian mendapatkan pengaruhnya dari gerakan militernya di Jawa, atau sentimen anti-
sentralisasi pasca-proklamasi, dan belakangan jaringan Darul Islam yang tersebar secara sporadis di beberapa daerah bekas Hindia Belanda Harvey 1989.
Dengan demikian, kedudukan bangsawan senantiasa dianggap penting untuk meredam konflik berkepanjangan, meski konflik itu bersumber dari luar.
Ketika gerakan nasionalis meluber hingga ke Sulawesi Selatan, bangsawan terbelah menurut kepentingan masing-masing. N.D. Malewa dan bangsawan
Gowa lainnya memihak pada skema federal Belanda karena dia telah menjadi kepala urusan dagang selama masa Jepang, dan belakangan diangkat sebagai
perdana menteri NIT. Dia berjuang ‗merebut‘ wilayah tradisionalnya yang sejak akhir tahun 1930-an didominasi pendatang Indonesia Timur lainnya yang
berpendidikan. Ketika pengaruh Kahar yang bukan bangsawan begitu besar di Sulawesi Selatan, para bangsawan muda militer seperti Jusuf dan AM melakukan
maneuver dengan dibantu pasukan nasional yang dikirim pemerintah Indonesia untuk menumpas gerakan Kahar. Ketika Muzakkar memutuskan hubungan
dengan Jakarta karena ia dan pasukannya tak dapat diakui sebagai pasukan resmi karena alasan standar pendidikan militer formal, para bangsawan profesional ini
merapatkan diri ke Jakarta. Bahkan, dengan adanya pemberontakan di daerahnya, mereka punya kesempatan untuk membuktikan kesetiaan terhadap semangat
nasionalis versi Soekarno. Dengan demikian, mereka bisa mengamankan kekuasaan di provinsi ini Harvey 1998.
59
Menurut Harvey 1998 dan Mattulada 1974, dua hal lain yang menyebabkan mereka mampu merebut kekuasaan atas pendatang Manado,
Ambon dan Jawa adalah reorganisasi pemerintahan yang terjadi pada tahun dan tuntutan kelompok Permesta di tahun 1957. Tahun itu pemerintahan swapraja
dihapus dan digantikan dengan pemerintahan Kabupatenkotamadya. Bupati dan walikota sebagian besar dipegang oleh kalangan militer. Namun mereka juga
adalah bangsawan maupun orang biasa yang menikah dengan bangsawan. Akan tetapi mereka tidak berkuasa dengan sendirinya. Pemerintah pusat menerapkan
sistem rotasi sehingga persaingan berlangsung ketat, meski tetap tertata dengan tertib. Akan halnya Permesta, dimulai dengan ketidakpuasan regional masyarakat
Sulawesi terhadap kebijakan pemerintah nasional. Sekelompok pejabat militer dan sipil di Provinsi Sulawesi mengajukan tuntutan untuk memekarkan provinsi
Sulawesi, meningkatkan kondisi perdagangan dan pendidikan, serta reorganisasi militer berupa pengurangan tentara dari Jawa dan membentuk komando daerah
militer terpisah. Selain itu mereka juga meminta mandat untuk dijalankan oleh komando militer yang kelak terbentuk itu untuk menangani sendiri
pemberontakan Kahar Muzakkar. Jakarta merespon positif seluruh permintaan ini. salah satunya adalah penunjukan dua orang bangsawan militer mengepalai
Kodam: AM sebagai panglima dan Jusuf sebagai wakilnya. Namun, gelombang pemberontakan PRRI di seluruh Indonesia pada tahun 1958, akhirnya sampai juga
ke Sulawesi. Kelompok yang mengusung Permesta di Sulawesi terpecah. AM dan Jusuf memihak Jakarta. Para bangsawan profesional ini tahu bahwa untuk
merawat kekuasaannya, mereka harus menjalin hubungan dekat dengan pemerintah pusat, sembari mempertahankan jalinan tradisionalnya dengan
masyarakat serta memanfaatkan potensi ekonomis. Mereka tahu bahwa tradisi kebangsawanan atau posisi sebagai raja tidak lagi menjadi alat yang bisa berdiri
sendiri untuk memperoleh kekuasaan. Sementara itu pihak penyokong Permesta lainnya bergabung dengan PRRI
para pemimpin pro-permesta belakangan bahkan bernegosiasi untuk bergabung dengan Kahar melawan pemerintah pusat. AM yang waktu itu kebetulan sakit,
tidak bertindak menangkapi koleganya pengusung Permesta —para petinggi
militer maupun sipil provinsi Sulawesi berasal dari berbagai tempat di Sulawesi
60
dan Jawa. Namun penangkapan itu kemudian tetap terjadi, dilakukan oleh wakil sang panglima, Jusuf. Tak lama kemudian Jusuf menggantikan AM sebagai
panglima Kodam 1958-1965. Ringkasnya, lewat reorganisasi administrasi pemerintahan dan peristiwa
PRRI Permesta, para bangsawan Sulawesi Selatan kembali menjadi penguasa atas posisi-posisi penting di seluruh provinsi ini. Mereka menyingkirkan para
bangsawan-intelektual seperti Ratulangie, Samuel, dan Tajuddin Noor. Selain itu mereka juga berhasil menyingkirkan gerakan anti-bangsawan-Islam di bawah
pimpinan Muzakkar. Untuk yang terakhir ini
—kemenangan bangsawan-militer atas pemimpin- gerakan-non-bangsawan
—disebabkan oleh beberapa hal. Para bangsawan punya pendidikan lebih baik, lebih banyak uang dan senjata, ikatan tradisional dengan
sebagian rakyat yang masih mendukung. Mereka juga bisa menangkis argument Muzakkar dengan mengatakan bahwa mereka juga mengusung demokrasi dan
menonjolkan ke-Islam-an mereka. Tahun 1950an banyak bangsawan —termasuk
Jusuf —yang menanggalkan gelar bangsawan mereka dan menolak diperlakukan
seperti bangsawan di masa sebelumnya, serta meninggalkan hak-hak istimewa mereka sebagai bangsawan. Bahkan banyak di antara mereka yang ikut dengan
gerakan Kahar di fase-fase awal. Para bangsawan ini, dan pengikut lainnya, belakangan banyak meninggalkan Kahar karena ia tidak punya metode yang
cukup baik untuk menyebarkan alasan-alasan gerakannya dan menawarkan model kehidupan alternative yang menjanjikan. Sebaliknya, setelah melewati kesulitan
hidup dan ketidakpastian selama bertahun-tahun, banyak pengikut Kahar yang akhirnya menyerah, lalu bersedia menerima kebijakan nasional yang terlihat
semakin tertata dengan rapi. Selain gerakan Kahar, Jusuf juga berhasil mematahkan gerakan-gerakan para pemimpin gerilya lokal warlords yang juga
mengambil celah di tengah lemahnya pemerintahan pusat dan kurang rapinya gerakan Kahar Harvey 1998.
Ironisnya, ketika Jusuf berhasil memadamkan seluruh gerakan itu di tahun 1965, dia ditarik ke Jakarta menjadi menteri. Agaknya langkah ini diambil
Soekarno agar ia tidak sempat menjadi ‗orang kuat‘ yang sanggup membentuk
61
pengaruh yang terlalu kuat, yang bisa berkembang ke arah yang berlawanan dengan kebijakan Jakarta. Millar 1989: 52-59
Risalah yang disusun Millar di atas menunjukkan pada kita bahwa Pemerintah Nasional di Jakarta telah turut menjadi faktor penentu dinamika
kekuasaan di Sulawesi Selatan. Kedatangan sekolah Muhammadiyah yang nyaris bersamaan dengan
sekolah buatan pemerintah colonial, menyebabkan pelan-pelan modernisasi menjadi cepat diserap masyarakat Sulsel. Mereka berhasil menguasai alam pikiran
masyarakat yang masih banyak mempercayai ajaran tradisional. Sedikit demi sedikit penguasaan pengetahuan lewat sekolah formal, Islam maupun sekular,
berhasil merebut kepercayaan masyarakat Sulsel. Menyelesaikan pendidikan sudah bisa menjadi alat untuk mobilitas sosial terutama bagi bangsawan rendah
dan orang kebanyakan. Pada titik ini, kaum Islam modernis dan Indonesia nasionalis mendapatkan ladang persemaian yang subur. Meski ini kelak kedua
kelompok ini terbelah karena gerakan DITII. Pada masa Jepang, kecenderungan ini semakin menguat, mereka mendirikan
jawatan pemerintahan yang menangani urusan keagamaan. Untuk mengimbangi orang-orang terpelajar didikan Belanda dan kaum aristokrat Jepang menjadikan
Departemen Urusan Agama lebih banyak memperhatikan urusan kaum Muslim. Mereka mendukung pembentukan sebuah federasi politik Muslim yang dikenal
dengan nama Masyumi, dan belakangan melatih milisi-milisi Islam ketika ancaman invasi Sekutu semakin mendekat. Dengan segera kelompok-kelompok
Islam mendapat angin segar. Kahar Muzakkar adalah salah satu jebolan sekolah Muhammadiyah. Bersama
orang-orang segenerasinya mereka membentuk kelompok radikal Islam yang juga mengenal konsep moderen Negara sebagai basis pemerintahan. Ketika mereka tidak
diterima masuk sebagai bagian dari tentara nasional Indonesia, mereka berontak dan menguasai daerah pedalaman Sulawesi Selatan. Mereka menyerang praktik-praktik
bid‘ah, yang merupakan sinkretisme ajaran Islam dan ritual tradisional. Namun yang penting di catat adalah mereka, cukup toleran terhadap ajaran tradisional. Mereka
misalnya tidak menyerang Tana Toa di Kajang dan Amparita, tempat mukim penganut ajaran to lotang. Salah satu alasannya adalah karena DITII tidak hanya
62
merupakan gerakan teologis, tetapi juga gerakan sosiologis. Mereka menyerang feudalisme, aristokrasi, simbol perbedaan pelapisan sosial yang biasanya muncul
dalam ritual-ritual siklus hidup seperti kelahiran dan perkawinan. Mereka misalnya mengurangi pembayaran mahar untuk semua kalangan ke angka yang paling rendah,
sehingga seluruh mempelai pria hanya perlu membayar sedikit dan menandatangani akta nikah di depan dua saksi
—tanpa perlu upacara yang rumit dan biasanya berbiaya mahal. Di samping itu mereka juga menyerang para pegawai negeri yang bekerja di
Desa-Desa sehingga mereka harus melarikan diri ke kota bila tak memutuskan untuk bergabung dengan gerakan DITII. Pada titik ini cita-cita para pendiri sekolah-sekolah
Muhammadyah untuk menandingi kaum terpelajar didikan Belanda menemui bentuknya yang radikal. Mereka ingin juga ingin mendirikan Negara, namun bukan
negara sekuler, tetapi negara Islam Gibson, 2007. Akhirnya kita tahu bahwa gerakan Islam modernis ini kalah oleh kekuatan nasionalis yang juga modernis
— namun melekatkan diri pada negara berbasis sekuler.
Di masa Orde Baru Soeharto mengambil langkah strategis yang banyak mengubah wajah kekuasaan di Sulawesi Selatan. Di masa pemerintahannya yang
sentralistik Soeharto bisa menentukan pejabat-pejabat strategis yang penting untuk memuluskan kerja rezimnya. Di awal tahun 1970-an sang presiden mengangkat
anggota militer bukan bangsawan yang menikah dengan bangsawan tinggi atau bangsawan yang sekaligus anggota militer sebagai Bupati di nyaris seluruh Daerah
Tingkat II di Sulawesi Selatan. Hal ini tentu saja menghidupkan kembali kekuasaan tradisional para bangsawan yang agak meredup di masa sebelumnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Soekarno sangat tidak menyukai feudalisme dan pada saat itu sentimen anti kebangsawanan juga berujung pada
digantikannya istilah ‗swapraja‘ menjadi kabupaten dan kotamadya yang lebih berbau egaliter. Saat itu di Sulawesi Selatan banyak bangsawan yang secara sadar
menanggalkan gelar ‗Andi‘ di depan namanya. Masa itu berlalu ketika para bangsawan kembali mendapat tempat di Sulawesi Selatan. Dari kajian Susan
Millar di Soppeng, terlihat bahwa nyaris setengah dari 46 jabatan penting di pemerintahan Kabupaten
tersebut, yaitu 18 orang, diisi oleh para ‗Andi‘. Belum lagi melihat bahwa ada dua bangsawan yang dikenal Millar namun belum
memasang kembali gelar Andi di depan namanya. Dan ini terjadi meski terdapat
63
cukup banyak orang biasa berpendidikan yang punya kualifikasi memadai untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Menyadari hal ini, banyak bangsawan yang
telah menanggalkan gelar ‗Andi‘ di masa Soekarno, kembali memasang gelar tersebut. Mereka sadar zaman telah berubah. Sementara itu, banyak sekali
golongan non-bangsawan di Soppeng menganggap bahwa fenomena ini menyakitkan bagi mereka. Namun, meski mereka tidak menyenangi keadaan ini
mereka tidak bisa melawan. Saat itu adalah masa militerisasi ala Orde Baru, dengan keamanan dan ketertiban menjadi perhatian penting. Setiap pertemuan
atau acara publik, formal maupun informal, sekecil apa pun, di tempat seterpencil apa pun, aparat militer nyaris selalu hadir untuk memantau.
Sementara itu, yang terjadi pada golongan non bangsawan adalah terbuka kesempatan luas bagi mereka karena dibukanya berbagai jawatan yang
mengembangkan pendidikan dan kebudayaan bagi mereka. Sehingga mereka bisa meningkatkan derajat pendidikan formal. Bagi mereka, terbuka banyak jalan
untuk menuju jabatan structural di birokrasi pemerintahan. Namun pada saat bersamaan, di banyak kasus, mereka terhalang untuk tiba di posisi puncak.
Saat itu, di tahun 1970an, pendidikan formal sudah menjadi alat sangat penting untuk pembentukan elite. Jaringan tau matoa, atau pemimpin dalam
hubungan patron-klien di Soppeng, sudah banyak diisi oleh orang-orang tamatan perguruan tinggi. Namun, sebagian dari mereka juga adalah bangsawan. Mereka
yang tinggal di Makassar atau di tempat lain senantiasa pulang untuk menghadiri pernikahan sebagai tamu terhormat. Dengan demikian jaringan tau matoa
membentang sepanjang provinsi. Partai politik menggunakan bentang jaringan ini untuk mendulang suara. Pada dekade 1950an hingga 1960an, tau matoa di tingkat
provinsi secara hati-hati memilih tau matoa di tingkat Kabupaten untuk menjadi pengikut partai mereka agar bisa mendulang suara yang banyak. Sehingga blok
persekutuan antar tau matoa di tingkat Kabupaten perkembangannya sangat ditentukan oleh persaingan antar tau matoa di tingkat provinsi. Situasi berubah
sejak tahun 1971. Secara sistematis Golkar melemahkan partai politik lain. Seluruh pejabat pemerintahan kebanyakan di antara mereka adalah tau matoa,
misalnya, dipaksa menjadi pendukung Golkar atau kehilangan pekerjaan. Hal ini membuat persaingan politik yang terjadi di level Kabupaten maupun provinsi
64
merupakan persaingan internal antar kader Golkar. Ini membuat para tau matoa itu harus bersaing memperebutkan kesetiaan para pemimpin Islam berpengaruh
strategi yang juga digunakan para raja dan Kahar Muzakkar, serta kesetiaan tau matoa
lain pada level yang lebih rendah. Mattulada 1998; Harvey 1974; 1989. Sementara itu, posisi penting Muhammadiyah sebagai organisasi mulai menurun
di wilayah Bugis pada tahun 1965-1975 sampai masa penelitian Millar. Hal ini terjadi selain karena banyak mantan anggotanya kini berafiliasi ke Golkar. Selain itu
Muhammadiyah sejak tibanya di provinsi ini selalu menjadi alat ekspresi oposisi terhadap kekuatan luar yang datang mendominasi di kawasan ini misalnya terhadap
kekuasaan Belanda dan belakangan dominasi Jawa. Namun setelah banyak orang Sulawesi Selatan sendiri, bangsawan maupun bukan, bisa mendapatkan posisi tinggi
secara politis maupun ekonomi, tentu peran ini menjadi kurang relevan lagi, sehingga nilai penting organisasinya pun menjadi surut Millar, 1989.
Akhirnya Millar menyimpulkan bahwa, selama dekade 1970an, terjadi peralihan gagasan tentang status di wilayah Bugis. Sifat dan pencapaian pribadi
sudah menjadi faktor yang lebih penting dalam melihat kualitas seseorang ketimbang di masa sebelumnya. Karena kalangan non-bangsawan pada masa itu
tidak kekurangan peluang untuk melakukan mobilisasi sosial, maka ketegangan dan persaingan memperebutkan pengaruh di antara tau matoa, lebih spesifik lagi,
antara tau matoa bangsawan atau dan tau matoa orang kebanyakan, tetap berlangsung sengit Millar, 1989.
Setelah masa desentralisasi terjadi perubahan yang cukup signifikan. Tesis Gibson bahwa orang Sulawesi Selatan mengaktifkan seluruh sistem kuasa yang
ada —tradisional, Islam dan moderen—kembali menemukan konfirmasinya.
Bahwa para patron, tau matoa dalam istilah Millar, menggunakan seluruh sistem yang bisa diaksesnya untuk mengklaim kekuasaan kini semakin menguat.
Desentralisasi menyebabkan orang-orang kuat di Sulawesi Selatan kembali menelusuri leluhur, menggunakan simbol-simbol Islam, serta klaim dari dunia
moderen seperti jabatan formal dan tingkat pendidikan. Penelitian mutakhir Bakti 2008 di Wajo menun
jukkan bagaimana sang ‗Puang‘ ketika menjabat sebagai Bupati memasukkan kerabatnya di tempat-tempat strategis di pemerintahan, dan
tentu menyuplai mereka berbagai proyek, untuk menjaga loyalitas mereka. Dia
65
menciptakan semacam shadow state yang bekerja dengan efektif di dalam birokrasi. Jaringan patron-klien ini merasuk ke dalam birokrasi yang seharusnya
impersonal dan rasional. Mereka mengambil kebijakan secara hibrid, dengan mengikutkan unsur tradisional yaitu membagi kue jabatan ke jaringan
kekerabatannya, untuk mempertahankan bahkan menguatkan cengkraman politik sebuah klan, dan mereka mencangkokkannya ke dalam sistem formal
pemerintahan. Dengan kata lain, sistem formal yang lugu ini diisi dengan nuansa tradisional yang sudah bertahan lama.
2.3 Relasi Simbol, Kuasa,
25
Uang, Makna dan Wacana
Menurut Barthes 1977, ada dua macam sistem pemaknaan
26
; denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang
dipahami oleh hampir semua anggota suatu masyarakat dan kebudayaan.
Sedangkan konotasi adalah makna yang tercipta dengan cara menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas,
keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu. Dari suatu tanda tertentu makna terus tercipta sampai tanda itu
menjadi penuh dengan beragam makna. Konotasi mengandung nilai ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif dari sebuah urutan nilai ekspresif yang
muncul secara sintagmatis, atau yang lebih umum, dari perbandingan dengan alternatif-alternatif yang tidak muncul atau absen secara pragmatis. Ketika
konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan menjadi hegemonis, atau dengan kata lain sudah diterima sebagai hal yang ―normal‖ dan ―alamiah,‖ mereka akan
25
Kuasapengetahuan dan uang, setelah terbitnya karya-karya Foucault, pengetahuan bukan sesuatu yang netral melainkan selalu terimplikasi dalam persoalan kekuasaan sosial. Kekuasaan
dan pengetahuan saling membentuk. Sementara itu, kekuasaan sering dipahami sebagai suatu kekuatan yang digunakan individu atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuan atau kepentingan
mereka melawan kehendak yang lain. Kuasa dan uang dalam penelitian ini dimaknai sebagai kemampuan elite mengorganisir atau memanipulasi territorial dan material melalui kekuatan
pengetahuan wacana agar terhegemoni untuk menciptakan seseorang atau kelompok tertentu untuk menempati posisi-posisi sosial dan ruang-ruang kekuasaan yang diinginkan, dalam
penelitian ini, ruang-ruang kekuasaan dan posisi-posisi sosial diartikan sebagai elite.
26
Pemaknaan atau signification adalah proses-proses penciptaan makna melalui sebuah sistem tanda sistem pemaknaan
– signification system.
66
berfungsi sebagai peta-peta yang menunjukkan bagaimana memahami dunia. Konotasi-konotasi hegemoni
27
inilah yang disebut dengan mitos.
28
Di Sulawesi Selatan, mitos menjadi alat untuk mereduksi atau membangun kekuatan kepemimpinan. Gejala ini misalnya dapat dilihat bahwa pemimpin yang
kuat, adil, bijaksana, pintar dan peduli pada rakyatnya, adalah pemimpin yang diturunkan dari dunia atas langit; Tomanurung. Meski mitos merupakan
konstruksi sosial, mereka nampak seperti kebenaran-kebenaran universal yang terberi pre-given yang tertanam dalam nalar sehari-hari. Dengan demikian, mitos
mirip dengan konsep ideologi yang, konon, bekerja pada tingkat konotasi. Bahkan Volosinov 1973, berpendapat bahwa wilayah ideologi berhubungan dengan
medan tanda. Dimana ada tanda, disana ada idiologi. Pada level ini, mitos dan ideologi sengaja diciptakan oleh kepentingan
kekuasaan pemimpin untuk bekerja dengan cara mengilmiahkan penafsiran- penafsiran yang sebenarnya bersifat kontingen sementara, tidak tetap,
bergantung pada selera kekuasaan, dan secara historis bersifat spesifik. Artinya, mitos membuat pandangan-pandangan dunia tertentu seolah-olah tidak mungkin
atau sangat mungkin terhadap sesuatu, karena itulah yang alami atau memang itulah takdir Tuhan. Disini, mitos bertugas untuk memberikan pembenaran
alamiah pada suatu intensi historis, dan membuat kesementaraan seolah abadi. Derrida 1976 memandang makna memiliki potensi untuk terus mengalami
perubahan secara tak terbatas, sementara Foucault 1972 menyelidiki bagaimana makna, melalui beroperasinya kekuasaan dalam praktik sosial, untuk sementara
waktu distabilkan atau diregulasi dalam sebuah wacana. Bagi Foucault, menyatukan bahasa dengan praktek. Istilah wacana mengacu pada produksi
pengetahuan melalui bahasa yang memberi makna pada benda-benda material dan praktek-praktek sosial. Dengan demikian, wacana mengkonstruksi dan memproduksi
objek-objek pengetahuan dengan cara yang dapat diterima nalar, sekaligus
27
Hegemoni adalah suatu penetapan makna yang bersifat sementara yang menyokong kelompok penguasa. Proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur dalam suatu
kebudayaan. Bagi Gramsci, hegemoni berarti suatu situasi dimana block historis, faksi-faksi kelas penguasa, menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui
kombinasi paksaan dan, ini yang lebih penting persetujuan sadar consent
28
Mitos dapat difahami sebagai kisah atau fable yang berperan sebagai panduan atau peta makna simbolis. Setelah terbit karya-karyanya Barthes, mitos berarti pengalamiahan level konotatif
makna.
67
menyingkirkan bentuk-bentuk bernalar yang lain. Wacana memiliki wilayah operasi untuk menciptakan identitas-identitas baru, yang lahir dari percampuran dari elemen
kultural yang berbeda-beda, konidisi ini disebut dengan hibriditas
29
. Wacana
30
menyediakan bagi kita cara-cara membincangkan suatu topik tertentu secara sama, dengan motif atau bongkahan-bongkahan ide, praktek-
praktek atau pengetahuan-pengetahuan yang diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas. Disinilah kita bisa berbicara formasi diskursif, yaitu suatu pola
peristiwa-peristiwa diskursif yang mengacu pada, atau memunculkan keberadaan, sebuah objek di beberapa wilayah. Formasi diskursif merupakan peta-peta makna
yang sudah diregulasi atau cara-cara berbicara yang menjadi jalan bagi objek- objek dan praktek-praktek memperoleh makna.
Secara khusus Foucault 1977, berpendapat bahwa wacana meregulasi, pada suatu kondisi sosial dan kultural determinatif tertentu, bukan hanya apa yang
bisa diucapkan, tapi juga siapa yang boleh mengucapkan, kapan dan dimana. Dengan pendapat ini, Foucault ingin membeberkan penyelidikan historis terhadap
kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk dan penentu-penentu ekonomik
yang terpusat atau kepada karakter legalnya. Kekuasaan membentuk sebuah kapiler yang terajut dalam sarat-sarat tatanan sosial. Lebih jauh lagi, kekuasaan
tidak semata represif, tapi juga produktif, kekuasaan memunculkan subjek-subjek. Kekuasaan berperan melahirkan kekuatan force, membuatnya tumbuh dan
memberinya tatanan; kekuasaan bukan sesuatu yang selalu menghambat kekuatan, menundukkannya atau menghancurkannya Foucault, 1980.
Foucault berhasil menyusun konsep tentang sebuah relasi setara yang saling membentuk antara kekuasaan dengan pengetahuan, sehingga pengetahuan
menjadi tak terpisahkan dari rezim-rezim kekuasaan. Pengetahuan terbentuk dalam pratek-praktek kekuasaan dan turut berperan dalam pembentukan,
perbaikan dan perawatan teknik-teknik baru kekuasaan.
29
Sebuah gejala yang terus berkembang yang mencampurkan berbagai elemen kultural sehingga tercipta makna dan identitas-identitas baru. Hibridasi cenderung menggoncang stabilitas dan
mengaburkan batas-batas kultural yang mapan lewat proses penggabungan atau kreolisasi.
30
Wacana merupakan artikulasi dari bahasa dan praktek, cara-cara bicara yang teregulasi, yang mendefinisikan, mengkonstruksi, dan menghasilkan objek-objek pengetahuan.
68
Berkaitan dengan proses pertarungan elite politik dan ekonomi di Sulawesi Selatan, relasi antara wacana, uang makna dan kekuasaan beroperasi secara luas,
terutama dimaksudkan untuk mendominasi konstruksi sosial antar kekuatan yang berbeda, misalnya antar kekuatan etnis Makassar dengan Bugis.
2.3.1 Spirit dan Etik dalam Pembentukan Elite
Sejarah pembentukan kekuasaan politik dan ekonomi di Sulsel, terutama antara etnis Bugis dan Makassar, mengalami pasang surut dari satu era ke zaman yang lain.
Karakteristiknya sangat ditentukan oleh spirit dan etik yang dianut oleh masing- masing elite rezim yang menjadi pelaku utama penguasaan politik dan ekonomi.
Makna dan nilai atau spirit yang dianut oleh setiap elite rezim akan memberikan kontribusi tersendiri bagaimana para elite membangun pola kekuasaanya.
Memahami makna, nilai, spirit dan etik setiap rezim yang berkuasa adalah hal mendasar untuk eksplikasi tindakan manusia pada umumnya, dan para elite
pada setiap rezim di Sulsel untuk studi ini. Menurut Weber 1992, manusia didominasi oleh kecenderungan untuk menguasai ekonomi dan kekuasaan, dengan
mengakuisisi sebagian tujuan utama hidupnya, dengan memanfaatkan kewajiban moral individu dan karakter budaya. Inilah yang dijuluki oleh Weber sebagai
dasar menguatnya spirit kapitalisme modern. Kewajiban moral dan tekanan makna budaya akan menjadi spirit dan etik
untuk mencapai tujuan tertentu. Etik protestan misalnya, yang menjadi pemicu kekuatan lahirnya kapitalisme modern Weber, 1992 di sejumlah negara Eropa
dan Amerika meskipun responnya berbeda-beda dipandang sebagai bentuk tertinggi dari kewajiban moral bagi individu untuk memenuhi tugas-tugasnya
dalam urusan duniawi. Konsep ini jelas sekali berusaha memproyeksikan perilaku relijius kedalam aktivitas keduniaan sehari-hari.
Dalam konteks ini, Weber berhasil mengidentifikasi bahwa kemajuan kapitalisme modern di Eropa dan Amerika Serikat, kelahiran dan perkembangannya
didorong oleh etik protestan, melalui doktrin Calvinisme tentang taqdir. Menurut doktrin ini, umat protestan sesungguhnya sudah ditentukan taqdirnya jauh
sebelumnya oleh Tuhan, siapa yang akan masuk surga dan neraka. Mereka-merka yang masuk surga memiliki tanda kehidupan dunianya lebih baik sempurna dari
69
yang lain. Karena semua orang berusaha menghindari kutukan Tuhan, dan memburu surga Tuhan, maka umat protestan bangkit untuk mengejar kehidupan
dunia yang lebih baik dan sempurna melalui pendekatan ekonomi. Ekses dari spirit ini menyebabkan semua orang semakin individual memburu keberhasilan ekonomi.
Karena hanya dengan ini menemukan keberhasilan ekonomi menjadi tanda atau sinyal utama untuk meraih surga dan menghindari kutukan Tuhan, meskipun
keberhasilan ini tidak dipandang sebagai alat untuk mencapai surga Tuhan. Sampai kondisi ini, Calvinisme menurut Weber menyuplai energi dan dorongan moral bagi
para usahawan kapitalis untuk terus mengkapitalisasi modalnya. Weber mengungkapkan, Calvinisme memiliki ‘konsistensi besi‘ dalam disiplin habis-
habisan yang dituntut dari para pengikutnya.
Pada posisi ini, Weber sangat jelas membantah tesis Karl Marx yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomilah yang menciptakan produk-
produk kebudayaan, seperti agama dan ideologi, sebaliknya menurut Weber, kebudayaanlah yang menciptakan bentuk-bentuk perilaku ekonomi tertentu.
Munculnya kapitalisme di Eropa dan Amerika, lanjut Weber, bukan karena kondisi teknologi
di sana menguntungkan, namun suatu ‖spirit,‖ atau kondisi kejiwaan tertentulah yang memungkinkan perubahan teknologi itu terjadi.
31
Apa yang ditemukan oleh Weber tentang etik protestan spirit kapitalisme modern di Eropa dan Amerika Serikat, memiliki kemiripan dalam bentuk yang
berbeda dengan spirit dan etik yang dianut dan yang menguasai kehidupan mayoritas kehidupan ekonomi, politik dan budaya masyarakat Sulawesi Selatan Sulsel,
terutama para elitnya, yaitu Siri dan Pesse. Gerak langkah politik, ekonomi dan budaya masyarakat Sulsel selalu disertai dengan prinsip Siri dan Pacce
32
.
31
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Fukuyama, meskipun Fukuyama tidak secara langsung memberikan bantahan terhadap penyataan Marx. Pandangan Fukuyama secara utuh
tentang ini dapat dibaca pada bukunya yang berjudul; Trust; the Social Virtues and the Creation of Prosperity 1995.
32
Secara sederhana, Siri dan Pacce dapat diartikan sebagai harga diri yang dibalut dengan rasa malu yang tinggi, kemudian terjadi kristalisasi dan internalisasi membentuk suasana hati seseorang
jika terjadi pelanggaran norma dan nilai sosial. Siri dan Pacce memiliki hubungan langsung dengan hal-hal seperti; budaya bersalah guilt culture; budaya rasa malu shame culture; dan,
budaya takut akhir fearand culture. Lihat Hamid, dkk 2007. Laica Marzuki 1995 menyebut pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis dan Makassar dan menunjuk prinsip getteng,
lempu, acca, warani
tegas, lurus, pintar, berani sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri‘. Dua term ini Siri‟ dan Pacce adalah konsep tunggal yang mesti berjalan
70
Dalam sejarah sosiologi politik, ekonomi dan budaya Sulsel, Siri ‟ dan
Pacce pernah menjadi spirit dan etik yang memiliki nilai dan makna khusus yang
bersamaan untuk disebut sebagai manusia. S iri‘ tanpa Pacce atau sebaliknya akan menjadikan
semacam split personality dalam diri orang Bugis Makassar. Tetapi sering kita mendengar ungkapan pepatah Makassar mengatakan : Punn
a tena Siri‟nu pa‟niaki paccenu Kalau sudah tidak memiliki Siri‘ lagi, maka perlihatkan paccemu. Ini sebagai sindiran untuk orang yang
harkat martabatnya jatuh dan sekaligus juga tidak turut merasa pedih atas keperihan orang lain.
Zainal Abidin Farid 1983 :2 membagi siri, dalam dua jenis:i. Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi
bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu harus menegakkan Siri‘nya untuk mengembalikan
Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri mati harkat dan martabatnya sebagai manusia. Shelly Errington 1977 : 43 :
― Untuk orang Bugis Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri
‘nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan Nipakasiri
‘ mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan
Siri‟nya dari pada hidup tanpa Siri‘. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai
dengan derajatnya. Meninggal karena Siri‟ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati
diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna. ii. Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau
mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri‘ itu sendiri, demi Siri‘ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan Bugis “Narekko sompe‟ko, aja‟
muancaji ana‟guru, ancaji Punggawako” Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin. Nenek moyangaliarhum Tun Abdul Razak,
Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa
pada abad XVIII karena masalah Siri‘, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara. Ia mengalah dan meninggalkan Gowa hingga berhasil menjadi syahbandar kesultanan Pahang. Daeng
Mangalle, saudara seayah Sultan Hasan uddin karena Siri‘ pula pergi ke Jawa Timur. Setelah
memperoleh dua orang putera dari putri bangsawan Jawa Timur, Angke‘ Sapiah, Ia pergi bersama keluarga dan pengikutnya karena dicari-cari Belanda menuju Muangthai. Di kerajaan Siam, karena
Siri‘nya, ia berhasil menjadi Menteri Keuangan Siam dan bergelar bangsawan tertinggi Oja Pacdi. Sayang, karena pertengkaran Raja Phra Narai dan adiknya, Karaeng Mangalle dituduh
bersekongkol dengan adik raja. Dengan pengikut-pengikutnya ia berkelahi hingga titik darah penghabisan melawan kurang lebih 10.000 tentara Siam dan puluhan orang-orang Eropa. Ia gugur
karena Siri‘ dan ‗mati diberi santan dan gula‘. Dua orang putranya, masing-masing 14 dan 12 tahun berhasil diselamatkan oleh seorang Perancis dan mereka dibawa ke Paris. Di Paris, Raja
Louis XIV sangat tertarik kepada anak itu dan mengambilnya menjadi anak angkat, suatu penghargaan luar biasa bagi orang asing berkulit sawo matang. Melalui pendidikan militer, Daeng
Ruru, yang bernama lengkap Louis Dauphin Daeng Ruru de Macassart, dalam usia 20 tahun dilantik menjadi Kapten Kapal Bendera Angkatan Laut Perancis pada 1 Januari 1692. Adiknya,
Louis Pierre Daeng Tulolo de Macassart menjadi Letnan Angkatan Darat Perancis dan pada tahun 1712 beralih menjadi Letnan Angkatan Laut Perancis, karena kakaknya gugur dalam pertempuran
melawan armada Inggris di depan Havana pada tahun 1708 Pelras, 1975 : 64-65 ; Gervaise, 1688. Kalau direnungkan kata A. Zainal Abidin Farid, Bagaimana mungkin 500 orang termasuk
perempuan dan anak-anak Makassar dapat melawan lebih kurang 10.000 tentara Siam?. Bagaimana mungkin Daeng Ruru dan Daeng Tulolo dapat menjadi anak angkat Raja Louis XIV,
penguasa Eropa sekaligus menjadi perwira Angkatan Laut Perancis?. Jawabnya; Karena Siri‘.
71
berhasil mendorong dinamika masyarakat pada masa pemerintahan raja-raja dan masa perjuangan kemerdekaan. Pada era-era berikutnya, Siri
‟ dan Pacce diterjemahkan oleh setiap rezim dengan pendekatan yang berbeda-beda, sangat
bergantung pada kondisi kontekstual masyarakat dan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap rezim yang berkuasa. Perbedaan penafsiran pada setiap rezim sangat
dipengaruhi oleh kekuatan eksternal globalisasi yang menyerbu kehidupan budaya, politik dan ekonomi Sulsel.
Rezim dan elite Sulsel antara etnis Bugis dan Makassar sebelum Indonesia merdeka membangun spirit dan etik yang berbasis pada proteksi harga diri sesuai
dengan kebudayaan murni etnis Bugis dan Makassar. Pada rezim Orde Lama mengembangkan spirit penyatuan unity dan Sulselisme dari etnis-etnis yang ada.
Sedangkan rezim Orde Baru tersulut dengan issue perbaikan dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Orde Sekularisme mengusung spirit perubahan.
Rezim-rezim ini memiliki cara tersendiri dan berbeda-beda mewacanakan spirit dan makna yang dikembangkannya. Termasuk bagaimana rezim
mewacanakan ekonomi uang, kekuasaan politik, budaya nilai untuk memelihara kekuasaanya.
Merunut pada prinsip etik dan spirit yang dibangun oleh Geertz 1973, maka rezim dan elite yang ada di Sulsel etnis Bugis dan Makassar dalam
melakukan pertarungan merebut kekuasaan politik, ekonomi dan budayanya, selalu ditandai dengan karakter, moral, kualitas, dan estetika yang khas dalam
mewacanakan dan mengawal kepentingan kekuasaannya. Kondisi ini disebabkan karena spirit dan etik dipahami oleh elite Bugis dan Makassar sebagai sesuatu
yang berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola-pola tingkah laku dan rencana-rencana manusia. Spirit
dan etik memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan hidup, apakah kehidupan itu dianggap baik, mulia, terpandang, disukai ataukah sebaliknya,
buruk, dibenci, tak terpandang, salah atau tak dibanggakan. Spirit dan etik pulalah yang mengantar pilihan hidup orang Bugis dan Makassar untuk tampil
melakukan peranan-peranan misalnya menjadi sebagai; petani, nelayan, guru, wiraswasta, pengusaha, pemimpin dan sebagainya.
72
Berdasarkan spirit dan etik yang dianut oleh orang-orang Bugis dan Makassar, dikaitkan dengan perilaku politik, ekonomi dan budayanya, Bugis dan
Makassar dianggap terlalu luas dan besar untuk dinilai hanya memiliki karakter dan identitas tunggal. Dengan kata lain, etnis Bugis dan Makassar memiliki
banyak perilaku politik, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda antara satu komunitas atau kelompok tertentu. Secara sederhana, nampak perbedaan yang
sangat jelas antara perilaku politik, ekonomi, dan budaya orang Bugis Bone, Soppeng dan Wajo BOSOWA dengan orang Bugis yang menetap di jazirah
Luwu Raya Luwu, Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur, demikian juga kalau dibandingkan dengan perilaku orang Bugis yang berdomisili pada wilayah
Ajatapareng Sidrap, Pinrang, Pare, Barru. Etnis Makassar
kemungkinan memiliki kecenderungan yang sangat berbeda dengan etnis Bugis. Karena secara
demografis kedua etnis ini memiliki ciri dan karakter yang berbeda. Identifikasi perilaku diperlukan untuk tidak mencampuradukkan entitas-
entitas yang memiliki karakter dan kecenderungan ekonomi, politik dan budaya yang berbeda. Dengan cara ini akan ditemukan pola-pola komunitas masyarakat
merespon setiap perubahan yang ada, terutama bagaimana mereka merespon perilaku pemimpin dan elitnya.
2.3.2 Simbol
Seperti objek sosial lain, simbol digunakan dan didefinisikan sesuai penggunaan dalam interaksi sosial. Simbol mewakili apa pun yang individu
setujui. Secara definitif, Shibutani menyatakan pengertian tentang simbol yang lebih khusus sebagai: any objects, mode of conduct, or word toward which men
act as if it were something else. Whatever the symbol stand for constitute the meaning
Shibutani dalam Joel M. Charon, 1989: 39. Dari kutipan di atas, bisa dikatakan bahwa sesuatu merupakan simbol jika
ada sesuatu yang lain yang terdapat di dalamnya. Ini berarti ada makna lain yang tidak hanya dipahami secara langsung, tetapi membutuhkan proses interpretasi.
Demikian juga, simbol harus memiliki makna-makna yang merupakan representasi sesuatu. Jika sesuatu tidak mewakili apa pun atau hanya memiliki
73
satu makna saja, ia tidak bisa dikatakan sebagai simbol. Misalnya, warna merah mewakili makna berani atau warna biru mewakili makna keagungan.
Kita memasak atau makan sate ayam betina, maka pada konteks ini, bisa dikatakan bahwa ayam betina yang dimaksud bukan simbol. Jadi, benar-benar
ayam sebagai binatang. Tetapi, seekor ayam betina akan menjadi simbol kalau sekelompok mahasiswa datang dan berdemonstrasi ke Kantor Kejaksaan dan
menghadiahi seekor ayam betina kepada kepala kantor kejaksaan tersebut. Simbol bersifat luas, sehingga yang dimaksudkan di sini tidak hanya
dihubungkan dengan warna semata, tetapi juga bisa ditampakkan pada bentuk lain yang bersifat beragam, seperti bahasa language, bahasa tubuh body language,
ekspresi muka facial expression, keras-lemahnya suara loud-weak of voice, dan budaya custom. Mead menyatakan bahwa mengkaji simbol dalam kehidupan
manusia menjadi penting, karena disebabkan makna meaning yang ditunjukkan. Bentuk-bentuk seperti objek, gagasan, keyakinan, orang, nilai-nilai, dan kondisi
sesuatu, semuanya bisa diakui keberadaannya oleh manusia, disebabkan makna- makna yang dimiliki dan terdapat di dalamnya.
Apa makna itu? Bagaimana makna bisa tidak sama antara satu individu dengan individu lain? Bagaimana makna bertahan? Bagaimana makna
ditransformasikan, hilang, dan didapatkan kembali? Menurut Mead, salah satu bentuk unik dari pikiran manusia human mind
adalah penggunaan simbol-simbol untuk menunjuk objek-objek dalam lingkungan. Mead menyatakan bahwa mind adalah tindakan yang menggunakan simbol-simbol
dan mengarahkan simbol-simbol tersebut menuju self. Sama dengan elemen yang dijelaskan sebelumnya, bahwa mind bersifat sosial. la hidup di luar individu, tetapi
juga dimasukkan individu dalam dirinya. Secara jelas, Mead mendefinisikan mind sebagai:
‖dengan mind, simbol-simbol yang beragam bisa dimanipulasi. Aktivitas yang dimainkan mind bisa berupa komunikasi dengan orang lain, tetapi bisa juga
merupakan percakapan dengan self, dengan diri kita, atau dengan simbol-simbol yang kita pahami atau akan kita manipulasi. Mengapa mind menjadi sangat
penting, sebab ia bisa langgeng atau tidak berdasarkan interaksi sosial yang selalu dialami oleh individu.
‖
74
2.3.3 Penafsiran Interpretasi
Seperti Mead, Blumer juga menjelaskan arti pentingnya melibatkan pengalaman subjektif atau perilaku yang tersembunyi. Kemampuan menangkap
bagian interaksi sosial ini seharusnya dilakukan para sosiolog ketika mereka memahami perilaku yang terobservasi dalam penjelasan ilmiah tentang interaksi
manusia. Pendapat ini sama dengan mengatakan bahwa interaksionisme simbolik meletakkan pemahaman mengenai sesuatu dari cara pandang aktor.
Sama seperti Mead, untuk menjelaskan kehidupan sosial, Blumer menggunakan konsep yang sangat sederhana, yaitu interpretasi. Jika behaviorisme
melihat proses sosial dengan mengikuti hukum: stimulus-respon, maka interaksionisme simbolik lebih dari sekadar itu. Misalnya, A bertindak. B
merasakan tindakan A, kemudian memastikan makna dan mencari untuk memastikan maksud itu. B akan melakukan tindakan mengikuti makna atau
penafsiran atas tindakan A. A juga akan menanggapi pada makna yang ia lihat dari tanggapan B. Jadi, kalau stimulus saja, ia tidak bisa menjelaskan tindakan B
atau tanggapan A pada sesuatu. Interaksionisme simbolik melihat bahwa dalam interpretasi proses tanda diri
self-indication sangat diperlukan. Pada proses ini, individu-individu meninggalkan
stimuli tertentu pada mereka dan kemudian menafsirkan penampilan stimuli untuk mereka itu. Terkait dengan ini, Margaret Poloma menyatakan bahwa self-indication
merupakan proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna, dan memutuskan bertindak atas nama makna itu.
Blumer 1975, menyatakan bahwa hubungan sosial tidak jarang yang mengambil makna di dalamnya. Interaksi bermakna aktor saling mengambil
catatan, saling mengkomunikasikan, dan saling menginterpretasi sepanjang interaksi tersebut terus berjalan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hampir
semua bentuk interaksi sosial adalah simbolik. Proses interaksi simbolik berarti membuat keputusan dan langsung berkaitan dengan aliran tindakan yang terus
menerus atau tidak pernah berhenti. Blumer menyatakan, Interaksionisme simbolik meliputi interpretasi atau
memastikan arti tindakan-tindakan atau perkataan orang lain serta definisi atau menyampaikan petunjuk pada orang lain seperti bagaimana ia berlaku.
75
Perkumpulan manusia terdiri atas proses seperti interpretasi dan definisi. Lewat proses ini, para partisipan menjadikan tindakan mereka pada aktivitas yang tidak
pernah henti satu dengan lain dan memberi petunjuk orang lain itu untuk melakukan seperti yang dikehendaki.
Dengan melihat definisi tersebut, Blumer tidak berbicara dalam konteks makro, tetapi cukup membatasi pada organisasi manusia atau semacam kelompok.
Berarti, hubungan sosial bersifat kompleks, dan apabila kita ingin mengerti akibat dari tindakan manusia, maka akan menjadi lebih kompleks pula. Dengan
mengutip gagasan Mead, Charon menyatakan lebih lanjut bahwa, ketika manusia melakukan hubungan sosial tidak hanya mengembangkan bahasa-bahasa atau
simbol yang dimaknai secara bersama-sama. Tetapi, juga mengambil peran role taking dari orang lain dengan tujuan untuk memahami dan komunikasi. Ketika
aktor menyatakan bahwa ia bisa menyesuaikan dengan orang lain, kita akan semakin mengerti bahwa aktor tersebut telah mengambil peran secara tetap. Orang
lain benar-benar menjadi bagian dari dirinya dalam lingkungannya Charon, 1979: 142. Individu akan menjadikan dirinya dilihat sebagaimana orang lain melihat
dirinya itu Cuff Payne, 1979: 90. Gagasan Blumer yang tidak kalah penting adalah tentang tiga hal lain,
yakni: arti penting makna pada tindakan sosial, sumber-sumber makna, dan peran makna dalam penafsiran. Dari tiga premis tersebut, bisa di pecah dalam tiga
penjelasan, yaitu: manusia bertindak atas sesuatu pada dasar makna yang dimiliki benda tersebut. Dari sini dinyatakan bahwa kesadaran merupakan elemen kunci
dari tindakan bermakna. Apa pun yang berhubungan dengan kesadaran merupakan sesuatu yang individu sedang memberi petunjuk untuk irama, seperti
detak jam, ketukan pintu, wajah teman, teguran dari teman, dan sebuah pengakuan bahwa ia misalnya; pemalu, pemberani dan kejam. Untuk menandai sesuatu dalam
melepaskan diri dari rekayasa, selain melindungi, agar bisa memberikan sebuah makna. Pada banyak tindakan yang tidak terhitung apakah minor seperti
berdandan untuk dirinya atau mayor seperti mengorganisasi diri demi karir profesional-individu sedang menunjuk objek yang berbeda untuk dirinya,
memberikan makna objek-objek itu, menilai kesesuaiannya pada tindakan mereka, dan membuat kesimpulan pada dasar penilaian. Ini yang dimaksudkan
76
sebagai penafsiran atau tindakan pada dasar simbol. Contoh yang dikemukakan Wallace dan Wolf bisa menggambarkan ini. Dalam studi tentang suasana
kematian the situation of dying, peneliti mengamati strategi-strategi perawat untuk menghindari pikiran berikutnya tentang suasana kematian. Juga,
menghindari shift malam yang mana banyak pasien meninggal. Mereka mengambil waktu liburan atau jatuh sakit pada peristiwa yang krusial.
2.3.4 Wacana, Idiologi dan Hegemoni
Foucault telah memainkan peran utama dalam perkembangan analisis wacana melalui karya teoretis dan penelitian praktis. Di hampir semua pendekatan
analisis wacana, Foucault telah menjadi sosok utama yang dikutip, dihubungkan, dianalisis, dan dimodifikasi.
Secara tradisional, karya Foucault terbagi antara fase arkeologi awal dan fase genealogi akhir, kendati keduanya tumpang tindih, dan Foucault terus
menggunakan piranti-piranti dari arkeologinya dalam karya-karya berikutnya. Teori analisis wacananya membentuk bagian arkeologi-nya. Mengapa dia tertarik
untuk melakukan kajian arkeologi adalah karena adanya kaidah-kaidah yang menentukan pernyataan-pernyataan mana yang diterima sebagai kalimat yang
bermakna dan kalimat yang benar dalam epos historis tertentu. Karena itu, Foucault mendefinisikan wacana sebagai berikut:
‖Kita akan menyebut wacana sebagai sekelompok pernyataan yang sejauh ini merupakan milik formasi
kewacanaan yang sama terdiri dari sejumlah kecil pernyataan tempat bisa ditetapkannya sekelompok kondisi eksistensi. Dalam pengertian ini wacana
bukanlah bentuk tanpa waktu yang ideal, dari awal sampai akhir, wacana bersifat historis-penggalan sejarah yang memiliki batas, pembagian, transformasi, mode
khusus temporalitasnya sendiri ‖. Foucault 1972:117.
Foucault menganut premis konstruksionis sosial umum yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran merupakan
konstruksi kewacanaan dan rezim pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan yang salah. Titik awalnya adalah bahwa meski pada prinsipnya
kita mempunyai sejumlah cara yang tak terbatas untuk merumuskan pernyataan- pernyataan, pernyataan-pernyataan yang dihasilkan dalam domain tertentu
77
sifatnya agak mirip satu sama lain dan berulang. Terdapat pernyataan yang tak terhitung jumlahnya dan yang tidak pernah diucapkan dan tidak akan pernah
diterima sebagai pernyataan yang bermakna, kaidah historis wacana tertentu itu membatasi apa yang mungkin dikatakan.
Mayoritas pendekatan analisis wacana kontemporer mengikuti konsepsi Foucault tentang wacana yakni sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat
pada kaidah sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberi makna. Dan pendekatan-pendekatan analisis wacana tersebut membangun ide-ide
kebenaran sebagai sesuatu yang paling tidak dalam derajat tertentu, diciptakan secara kewacanaan. Namun demikian, pendekatan-pendekatan tersebut
menyimpang dari kecenderungan Foucault yang hanya mengidentifikasi satu rezim pengetahuan pada setiap periode historis. Namun pendekatan-pendekatan
itu bekerja menggunakan suatu gambaran yang lebih bertentangan. Di sini wacana-wacana yang berbeda secara berdampingan atau saling berjuang untuk
mendapatkan hak untuk menentukan kebenaran. Dalam kerja genealogisnya, Foucault mengembangkan teori kekuasaan.
Bukannya memperlakukan agen-agen dan struktur-struktur sebagai kategori- kategori primer, Foucault memusatkan perhatiannya pada kekuasaan. Sejalan
dengan wacana, kekuatan bukanlah milik agen-agen tertentu seperti individu- individu atau negara atau kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan-
kepentingan tertentu, namun kekuasaan tersebut menyebar dalam praktik-praktik sosial yang berbeda. Kekuasaan hendaknya tidak dipahami semata-mata sebagai
sesuatu yang bersifat menindas, melainkan produktif menyusun wacana, pengetahuan, benda-benda dan subjektivitas.
Apa yang membuat kekuasaan tetap langgeng, apa yang membuatnya bisa diterima, adalah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya memberi kita kekuasaan
untuk berkata tidak, atau sebaliknya, namun kekuasaan melewati dan menghasilkan sesuatu, menimbulkan kesenangan, membentuk pengetahuan serta
memproduksi wacana. Kekuasaan perlu dianggap sebagai jaringan produktif yang melewati lembaga sosial secara keseluruhan, lebih dari sebagai sesuatu yang
bersifat negatif yang fungsinya untuk melakukan penindasan Foucault, 1980.
78
Jadi, kekuasaan menciptakan kondisi yang memungkinkan tercapainya kehidupan sosial itu. Di dalam kekuasaan itulah dunia sosial dihasilkan dan objek-
objek dipisahkan satu sama lain dan dengan demikian bisa mencapai karakteristik- karakteristik individu dan hubungan-hubungannya satu sama lain. Misalnya,
tindak kejahatan secara berangsur-angsur telah diciptakan sebagai bidang yang memiliki lembaga-lembaga tersendiri misalnya,
‖penjara‖, subjek tertentu misalnya, penjahat, dan praktik-praktik tertentu misalnya, resosialisasi.
Dan kekuasaan selalu terikat pada pengetahuan-kekuasaan dan pengetahuan memiliki pra-anggapan satu sama lain. Misalnya, sulit membayangkan sistem
penjara baru tanpa adanya kriminologi Foucault, 1977. Kekuasaan bertanggung jawab atas penciptaan dunia sosial kita dan atas
cara-cara tertentu dalam membicarakan dan membentuk dunia ini, dengan demikian mendorong lahirnya cara-cara alternatif pembicaraan dan keberadaan
atas sesuatu. Oleh sebab itu kekuasaan bisa merupakan daya yang produktif sekaligus membelenggu.
Foucault tidak berhenti sampai pada meletakkan kekuasaan sebagai daya dorong atau daya tarik terhadap realitas dunia, akan tetapi Foucault juga berhasil
mengawinkan antara kekuasaan dan pengetahuan . ‖Perkawinan‖ ini memiliki
konsekuensi yakni kekuasaan secara erat dikaitkan dengan wacana. Wacana terutama memberikan kontribusi terhadap pemproduksian subjek siapa kita dan
objek-objek yang kita ketahui termasuk kita sendiri sebagai subjek. Konsep Foucault tentang kekuasaan dan pengetahuan juga mempunyai
konsekuensi-konsekuensi lain terhadap konsepsinya tentang kebenaran. Foucault menyatakan bahwa tidak mungkin mendapatkan akses ke kebenaran universal
karena mustahil membicarakannya dari posisi di luar wacana; tidak ada jalan untuk lolos dari representasi. Dalam wacana tercipta efek kebenaran. Dalam
fase arkeologi Foucault, kebenaran dipahami sebagai sistem prosedur-prosedur untuk pemroduksian, pengaturan dan pendifusian kalimat-kalimat. Dalam fase
geneakologinya, Foucault membuat hubungan antara kebenaran dan kekuasaan, dengan menyatakan bahwa kebenaran disematkan dalam dan dihasilkan oleh,
sistem kekuasaan. Karena kebenaran itu tidak bisa dicapai, akan sia-sia bila menanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah. Namun, fokus perhatiannya -
79
hendaknya- ditujukan pada bagaimana efek-efek kebenaran itu diciptakan dalam wacana. Apa yang harus dianalisis adalah proses kewacanaan untuk
mengkonstruk wacana-wacana dengan cara yang sekiranya bisa memberikan kesan bahwa wacana-wacana itu memberikan gambaran-gambaran benar atau
salah tentang realitas.
Ideologi
Ideologi, bagi Fairclough, merupakan makna yang melayani kekuasaan Fairclough 1995b: 14. Lebih tepatnya, dia memahami ideologi sebagai
pengonstruksian makna yang memberikan kontribusi bagi pemroduksian, pereproduksian dan transformasi hubungan-hubungan dominasi Fairclough
1992b: 87; cf. Chouliaraki dan Fairclough 1999: 26f. Ideologi tercipta dalam masyarakat-masyarakat. Di sinilah hubungan dominasi didasarkan pada struktur
sosial seperti kelas dan gender. Menurut definisi Fairclough, wacana bisa kurang lebih bersifat ideologis, wacana ideologis yang memberikan kontribusi bagi usaha
untuk mempertahankan dan mentransformasikan hubungan-hubungan kekuasaan. Pemahaman wacana tentang ideologi sebagaimana yang disisipkan dalam
praktik kewacanaan bergantung pada pandangan yang menyatakan ideologi sebagai praktik yang beroperasi dalam proses pemroduksian makna dalam
kehidupan sehari-hari, sebaliknya makna dimobilisasikan agar bisa mempertahankan hubungan-hubungan kekuasaan Thompson, 1990. Fokus ini
bertentangan dengan konsepsi ideologi pada banyak pendekatan Marxist. Marxist tidak tertarik pada struktur ideologi-ideologi tertentu, atau pada bagaimana
ideologi diartikulasikan dalam konteks-konteks sosial khusus. Namun mereka telah memperlakukan ideologi sebagai sistem nilai abstrak yang berfungsi sebagai
perekat sosial, yakni mengikat orang-orang secara bersama-sama dan dengan demikian mengukuhkan keruntutan tatanan sosial.
Selaras dengan Thompson dan banyak teoretisi kultural dan sosial lain yang telah merumuskan pendekatan-pendekatan pada praktik ideologis, Fairclough
menggunakan karya Althuser dan juga dalam derajad tertentu karya Gramsci. Kedua teoretisi itu menggambarkan bentuk-bentuk penting perspektif Marxist
kultural dan keduanya menganggap pemroduksian makna dalam kehidupan sehari-hari itu memiliki peran penting dalam mempertahankan tatanan sosial.
80
Fairclough juga mematuhi konsensus yang dibuat dalam kajian-kajian kultural kritis dengan menolak bagian-bagian teori Althuer dengan dalih bahwa Althuser
menganggap orang sebagai subjek ideologis pasif dan dengan demikian meremehkan kemungkinan mereka untuk melakukan tindakan. Dalam kajian
kultural dan komunikasi, sekarang ini ada konsensus bahwa makna teks sebagian diciptakan dalam proses interpretasi. Fairclough memiliki posisi konsesus yang
sama. Teks mempunyai beberapa potensi makna yang mungkin bertentangan satu sama lain dan terbuka bagi beberapa interpretasi yang berbeda.
Ada kemungkinan timbul penolakan kendati orang-orang tidak harus sadar akan dimensi ideologis praktiknya:
Subjek diposisikan secara ideologis, tapi subjek juga mampu bertindak secara kreatif untuk menciptakan hubungan antara praktik-praktik dan
ideologi-ideologi yang beragam tempat dipajangkannya subjek tersebut dan menata kembali posisi praktik dan struktur itu Fairclough 1992b:
91.
Fairclough juga menolak pemahaman Althuser tentang ideologi sebagai keseluruhan entitas. Fairclough percaya bahwa orang-orang bisa diposisikan
dalam ideologi-ideologi yang berbeda dan saling bersaing dan bahwa kondisi semacam ini bisa menggiring ke arah rasa ketidakpastian, yang efeknya bisa
menciptakan kesadaran akan efek ideologis Fairclough 1992b. Sudut pandang ini didasarkan pada gagasan Gramsci bahwa akal sehat berisi beberapa unsur
yang saling bersaing yang merupakan hasil negosiasi makna tempat berproses keterlibatannya semua kelompok sosial Gramsci 1991. Hegemoni tidak hanya
merupakan dominasi namun juga proses negosiasi yang melahirkan konsensus tentang makna. Keberadaan unsur-unsur yang saling bersaing seperti itu
menaburkan benih-benih perlawanan karena unsur-unsur yang menantang makna dominan membekali orang-orang dengan sumberdaya untuk melakukan
perlawanan. Akibatnya, hegemoni tidak pernah stabil namun senantiasa berubah dan tidak selesai dan konsensus selalu berkaitan dengan masalah derajad -
keseimbangan yang saling bertentangan dan tidak stabil Fairclough 1992b. Menurut Fairclough, konsep hegemoni memberi kita alat yang bisa kita
gunakan untuk menganalisis bagaimana praktik kewacanaan menjadi bagian dari praktik sosial yang luas yang melibatkan hubungan kekuasaan: praktik kewacanaan
81
bisa dipandang sebagai aspek perjuangan hegemonis yang memberikan kontribusi bagi reproduksi dan transformasi tatanan wacana yang merupakan bagiannya dan
akibatnya juga hubungan kekuasaan yang ada. Makna kewacanaan terjadi bila unsur-unsur kewacanaan diartikulasikan dengan cara-cara baru.
Hegemoni
Konsep wacana yang diajukan Laclau dan Mouffe tidak hanya memberikan pedoman kepada bahasa namun juga semua fenomena sosial.
Wacana mencoba menata tanda, seolah semua tanda memiliki makna yang tetap dan tidak taksa dalam suatu struktur secara keseluruhan. Logika yang sama juga
berlaku pada bidang sosial yang utuh; kita bertindak seolah realitas yang ada di sekitar kita itu mempunyai struktur yang stabil dan tidak taksa; seolah masyarakat,
kelompok tempat kita berada, dan identitas kita secara objektif merupakan fakta- fakta yang memang telah ditetapkan. Namun seperti halnya struktur bahasa yang
tidak pernah sepenuhnya bisa tetap, begitu pula masyarakat dan identitas, dan entitas yang fleksibel dan bisa diubah tidak pernah sepenuhnya bisa tetap.
Meskipun Marxisme menduga adanya struktur sosial yang objektif yang harus diungkap oleh analisis, titik awal teori wacana Laclau dan Mouffe adalah
bahwa kita meng-konstruk objektivitas melalui pemroduksian makna kewacanaan. Laclau dan Mouffe mengubah tradisi Marxist tersebut dengan menggunakan
tiga cara. Pertama, Laclau dan Mouffe meniadakan pembagian antara dasar dan superstruktur dan memahami semua formasi kemasyarakatan sebagai produk
proses kewacanaan. Kedua, mereka menolak konsepsi Marxist tentang masyarakat: bahwa masyarakat bisa diuraikan secara objektif, sebagai suatu
totalitas yang disusun oleh kelas-kelas tertentu. Menurut Laclau dan Mouffe, masyarakat tidak pernah bersifat taksa sebagaimana yang dikemukakan
materialisme kesejarahan. Menurut mereka, masyarakat merupakan usaha kita untuk memberikan makna masyarakat, bukan fenomena yang ada secara objektif.
Ketiga, dan sebagai hasil pandangan terhadap fenomena sosial ini, Laclau dan
Mouffe menolak pemahaman Marxist tentang identitas dan formasi kelompok. Bagi Marxisme, orang memiliki identitas kelas yang objektif kendati tidak
menyadarinya. Bagi Laclau dan Mouffe, identitas tersebut tidaklah bisa ditentukan sebelum lahirnya kelompok-kelompok apa yang secara politik relevan. Identitas
82
orang-orang baik secara kolektif atau individu merupakan hasil proses yang bersifat kewacanaan dan mungkin terjadi seperti itu merupakan bagian dari
perjuangan kewacanaan. Untuk memperkuat argumentasinya, Laclau dan Mouffe memandang konflik atau antagonisme dengan konsep hegemoni Gramsci.
Konsep hegemoni Gramsci menjelaskan, dasar material merupakan titik awalnya dan superstruktur ditentukan oleh dasar material tersebut. Gramsci
mengemukakan dialektik antara dasar dan superstruktur; kondisi dasar material mempengaruhi superstruktur, namun proses politik yang terjadi pada
superstruktur juga bisa berbalik ke arah dasar material itu. Sedangkan menurut Laclau dan Mouffe, proses politiklah yang paling penting: politik memiliki
keunggulan Laclau 1990: 33 Artikulasi politik menentukan bagaimana kita bertindak dan berpikir, dan dengan begitu, tergambarlah bagaimana masyarakat
tercipta. Oleh sebab itu, proses penentuan perekonomian sepenuhnya ditiadakan dalam teori wacana. Akan tetapi tidak serta merta bahwa segalanya adalah soal
bahasa atau bahwa materi itu tidak memiliki signifikansi. Pernyataan tersebut akan jelas bila kita memandang bagaimana Laclau dan Mouffe memahami dua
konsep yakni wacana dan politik. Reproduksi dan perubahan perolehan makna, dalam istilah umumnya,
merupakan tindakan politik. Politik dalam teori wacana tidak harus dipahami sebagai, misalnya, politik ke-partai-an, yang sebagian besar hanya membicarakan
representasi politik dan kekuasaan. Akan tetapi, politik dilihat sebagai konsep yang luas yang mengacu pada bagaimana cara kita menyusun fenomena sosial
dengan cara-cara yang meniadakan cara-cara yang lain. Laclau dan Mouffe memahami politik sebagai organisasi masyarakat dari sisi tertentu dengan cara
tertentu yang meniadakan semua kemungkinan adanya cara yang lain. Oleh sebab itu, politik tidak hanya merupakan permukaan yang merefleksikan realitas sosial
yang lebih luas, melainkan organisasi sosial yang merupakan hasil proses politik yang terus menerus. Sebagai misal, bila terjadi suatu perjuangan antara wacana-
wacana tertentu, maka terlihat dengan jelas bahwa para aktor yang berbeda sedang berusaha mempromosikan cara-cara yang berbeda dalam mengorganisasikan
masyarakat. Pada posisi seperti ini, konsep hegemoni muncul antara objektivitas dan politik. Sama seperti sesuatu yang objektif yang bisa menjadi bersifat
83
politik, dengan berjalannya waktu, konflik yang mencuat bisa menghilang dan memberi jalan munculnya objektivitas karena satu perspektif dinaturalisasikan
dan lahirlah konsensus. Perkembangan dari konflik politik ke objektivitas akan selalu melewati garis intervensi hegemonis.
Konsep kekuasaan dalam pendekatan Laclau dan Mouffe erat kaitannya dengan konsep politik dan objektivitas Laclau 1990. Kekuasaan tidak dipahami
sebagai sesuatu yang dimiliki orang-orang dan dilaksanakan terhadap orang lain, melainkan sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan dunia sosial. Mungkin kelihatan
aneh bila menggunakan kata kekuasaan untuk menggambarkan kekuatan dan proses yang bisa menciptakan dunia sosial kita dan membuat dunia sosial tersebut
bermakna bagi kita. Tapi yang utama adalah bahwa pemahaman tentang kekuasaan ini menekankan adanya ketergantungan dunia sosial. Kekuasaanlah yang
menciptakan pengetahuan kita, identitas kita dan bagaimana kita berhubungan satu sama lain sebagai kelornpok atau individu. Pengetahuan, identitas, dan hubungan
sosial semua tergantung: pada waktu tertentu, ketiganya melahirkan suatu bentuk tertentu, namun bisa saja - dan bisa menjadi - berbeda. Oleh sebab itu, kekuasaan
itu sifatnya produktif maksudnya bisa menghasilkan dunia sosial dengan cara-cara tertentu. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang bisa dibuat menjadi tidak ada: tapi
sangat tergantung pada kehidupannya berada dalam suatu tatanan sosial dan tatanan sosial selalu tercipta dalam kekuasaan. Namun kita tidak tergantung pada kehidupan
pada tatanan sosial tertentu, dan peniadaan tatanan-tatanan sosial yang lain juga merupakan salah satu efek kekuasaan. Di satu sisi, kekuasaan menghasilkan dunia
yang bisa dihuni yang memang diperuntukkan bagi kita dan di sisi lain kekuasaan bisa menghalangi kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Karena itu dalam pandangan ini, objektivitas merupakan kekuasaan yang terendap. Di sinilah jejak-jejak kekuasaan telah terhapus dan telah terlupakan.
Dunia ini memang dikonstruk secara politis Laclau 1990: 60. Pemahaman kita terhadap teori Laclau dan Mouffe adalah bahwa kekuasaan dan politik merupakan
dua sisi mata uang yang sama. Kekuasaan mengacu pada pemroduksian objek- objek seperti masyarakat dan identitas, sementara politik mengacu pada
ketergantungan yang selalu ada pada objek-objek tersebut. Dengan demikian
84
objektivitas mengacu pada dunia yang keberadaannya dianggap lumrah, dunia yang telah kita lupakan tapi selalu tersusun oleh kekuasaan dan politik.
Satu hal yang menjadi point penting dari konsep Laclau dan Mouffe adalah bagaimanakah mengkonseptualisasikan para aktor yang berproses keterlibatan
dalam perjuangan mencari definisi dan pembentukan realitas? Seperti tesis yang dibangun oleh Laclau dan Mouffe terhadap teori Marxist, mereka menolak
pendapat bahwa identitas kolektif dalam teori Marxist, terutama kelas-kelas ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi dan materi. Menurut Laclau dan Mouffe,
identitas individu dan kolektif keduanya diorganisasikan menurut prinsip-prinsip yang sama seperti dalam proses kewacanaan yang sama pula.
85
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Untuk menganalisis proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan etnis Makassar, dengan menggunakan paradigma kontruktivisme. Paradigma ini
meletakkan pengamatan dan obyektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan Guba dan Lincoln dalam Denzin dan Linclon, 1994. Guba
dan Lincoln mengatakan bahwa positivisme dan postpositivisme telah gagal mengungkapkan realitas dunia. Sudah saatnya paham postivisme maupun
pospositivisme di-rekonstruksi atau ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruktif.
Dua Desa yang dipilih sebagai tempat studi yang berada pada masing- masing etnis; Bugis dan Makassar, memiliki sejarah karakter sosiologi politik
yang kontras secara geografis dan berbeda secara kultural politik. Untuk Desa yang mewakili etnis Bugis dan memiliki sejarah kekuasaan, dan menjadi salah
satu sumber tempat lahirnya elite-elite Bugis, khususnya Kabupaten Bone adalah Desa Ancu di kecamatan Kajuara. Sedangkan Desa yang jauh dari wadah
kelahiran elite-elite dan kekuasaan pada masa lalu sebelum era reformasi dan otonomi daerah bagi etnis Bugis Bone dipilih Desa Benteng Tellue Kecamatan
Amali. Sedangkan Desa yang mewakili etnis Makassar dipilih Desa Manjapai Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa, Desa ini memiliki tradisi melahirkan
elite-elite kekuasaan pada etnis Makassar. Desa Manuju Kecamatan Manuju dipilih sebagai Desa yang mewakili kelompok masyarakat yang jauh dari sumber
kekuasaan pada etnis Makassar, tetapi memiliki tradisi melahirkan elite-elite kekuasaan pada masa lalu fase tradisional hingga fase islam modern.
Pilihan lokasi studi juga mempertimbangkan faktor geografis, yaitu; Desa Ancu yang mewakili lokasi yang membidani kelahiran elite Bugis Bone berada
pada daerah pantai. Sedangkan Desa Benteng Tellue yang mewakili daerah pinggiran kekuasaan etnis Bugis Bone, berada pada daerah pedalaman. Lokasi studi
di Kabupaten Gowa, yang mewakili etnis Makassar, memiliki karakter yang hampir lebih kurang sama dengan yang ada pada lokasi di Kabupaten Bone. Desa
Manjapai, adalah Desa yang mewakili daerah yang memiliki tradisi ‖melahirkan‖
86
elite-elite etnis Makassar di Gowa, berada di daerah pantai, sementara Desa Manuju yang menggambarkan Desa
‖pinggiran‖ pada fase saat sekarang era reformasi dan otonomi daerah bagi perkembangan produksi elite berada pada daerah
pegunungan. Penelitian proses pembentukan elite di dalam etnis Bugis dan Makassar
dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu: 1 pra-penelitian, dengan melakukan kunjungan lapangan di lokasi studi. Tahap ini dimaksudkan untuk memastikan
lokasi penelitian. Pada tahap ini, dilakukan pengumpulan bahan-bahan yang berkaitan dengan tema penelitian, diskusi dengan beberapa informan, dan melihat
secara langsung proses pembentukan elite di dalam etnis Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Waktu yang digunakan dalam tahap ini selama kurang lebih
dua tahun Juni 2007 sampai Juli 2009; 2 penelitian lapangan dilakukan pada Agustus 2009 sampai Pebruari 2010; dan 3 penulisan laporan penelitian
dikerjkana pada Mei 2010 sampai Oktober 2010. Tahap ini dilakukan untuk menganalisis temuan penelitian analisis data dan mengkontruksikannya sesuai
dengan tematik yang diangkat dalam penelitian ini. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria seperti; 1 lokasi
penelitian merupakan keterwakilan masing-masing dua etnis Bugis dan Makassar sebagai kasus studi; 2 lokasi penelitian memberikan gambaran
terjadinya dinamika proses pembentukan elite di dalam etnis Bugis dan Makassar; 3 lokasi penelitian merupakan daerah yang mempunyai jejak rekam sejarah
berdirinya pusat-pusat kekuasaan pada masing-masing etnis Bugis dan Makassar. Berdasarkan kriteria tersebut, pada aras mikro dipilih sebanyak 4
Desa lokasi studi pada dua Kabupaten yang masing-masing mewakili etnis Bugis dan etnis Makassar; dua Desa di Kabupaten Bone mewakili etnis Bugis,
dan dua Desa lain yang berada di Kabupaten Gowa yang mewakili etnis Makassar.
Menurut Guba dan Linclon bahwa secara metodologis, konstruktivisme menerapkan metode hermeneutika
33
dan dialektika dalam menemukan proses
33
Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiraninterpretasi terhadap teks pada
khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno hermeneuenin ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan
penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek baca teksbahasa tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena
87
kebenaran. Kedua metode ini dalam penerapannya mempunyai perbedaan, dimana metode hermeneutika dilakukan dengan cara mengidentifikasi kebenaran atau
konstruksi pendapat dari orang perorangan. Sedangkan metode dialektika mencoba membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang-perorangan untuk
memperoleh suatu konsensus kebenaran secara bersama. Adapun harapan dari semua ini adalah kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif,
subyektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.
3.2 Kerangka Pemikiran