271
7 PERANAN SIMBOL, KUASA, UANG, DAN HIBRIDISASI DALAM PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR
Pembahasan pada bab ini ditujukan pada bagaimana melihat kemampuan elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa memanfaatkan berbagai elemen
pengetahuan; simbol, kuasa dan uang untuk mempertahankan dan atau mereproduksi dirinya untuk tetap berada atau memasuki posisi kekuasaan elite.
Peranan simbol, kuasa, dan uang pada setiap fase pembentukan elite di dalam etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa berlangsung secara fluktuatif.
Pada fase tertentu, elite terbentuk sekaligus oleh simbol, kuasa dan uang. Akan tetapi pada masa yang lain, mungkin hanya satu atau dua dari tiga faktor yang
tersebut di atas. Pada bagian ini, pembahasan diarahkan untuk mengetahui peranan simbol, kuasa dan uang dalam pembentukan elite etnis Bugis dan
Makassar pada fase-fase; tradisional, feudalisme, Islam dan Moderenisme, dan antara tahun 1905 hingga 2010.
Pada setiap fase proses pembentukan elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa memiliki kekhasannya tersendiri. Dalam satu fase bisa jadi
menggunakan semua faktor yang ada; simbol, kuasa dan uang. Namun pada fase yang lain, hanya ada satu atau dua dari faktor tersebut yang bekerja.
Faktor-faktor tersebut bisa bekerja penuh pada fase yang sama untuk etnis Bugis, akan tetapi belum tentu dapat bekerja dengan jumlah yang sama pada
etnis Makassar, demikian sebalikknya.
7.1 Simbol Budaya
Pembentukan elite pada etnis Bugis dan etnis Makassar yang terjadi pada fase tradisional berlangsung dengan penggunaan simbol yang sangat kuat.
Penggunaan simbol yang p aling menonjol dimulai dengan konsep tomanurung
174
174
Asal usul elite politik di Sulawesi Selatan dimulai pada mitos To manurung pemimpin yang turun dari langit yang dalam tradisi lisan Bugis menyebutkan setelah era Sawerigading-La Galigo
terdapat jeda waktu lama kosongnya penguasa bumi daerah Bugis-Makassar, kemudian tiba-tiba datanglah seseorang dari langit maka disebut To Manurung Bugis atau Tau Manurung
Makassar. Kisah To Manurung pemimpin yang turun dari langit ini terdapat banyak versi karena setiap tempat di Sulawesi Selatan mempunyai versi masing-masing, dalam penulisan ini
diambil dua versi yakni versi Gowa Manurunga Ri Tamalate yang turun di Tamalate serta versi Bone Tomanurung Di Matajang yang turun di Matajang.
272
dan kemudian diperkuat dengan simbol-simbol lain seperti; gaukang dan kalompoang
175
. Konsep-konsep ini bermuara pada pembentukan dan penguatan
Versi Gowa menceritakan bahwa suatu saat di Gowa ada sembilan kerajaan kecil yang lebih mirip kampung adat, mereka kemudian membentuk suatu penggabungan dengan menunjuk seorang
pejabat yang disebut Paccalaya sebagai ketua. Seiring waktu kebutuhan untuk mempunyai raja amat dibutuhkan sementara diantara mereka tidak ada yang mau menerima kedudukan sebagai
raja, maka diputusakn untuk memohon pada dewata agar diutuslah seorang untuk menjadi raja. Suatu hari seorang Putri tersebut turun lengkap dengan istananya sehingga diyakinilah bahwa
permohonan mereka dikabulkan oleh para dewa, telah diturunkan seorang raja dari langit. Sang putri kayangan kemudian dinobatkan sebagai Raja Gowa Tumarungga Ri Tamalate Gowa, Putri
tersebut kemudian kawin dengan Karaeng Bayo. Perkawinan ini menghasilkan keturunan yang secara terus menerus memerintah Gowa hingga sekarang. Versi Bone juga menuturkan setelah era
Sawerigading dan La Galigo berakhir tanah Bone dalam keadaan kacau balau karena tidak ada yang memimpin. Pada suatu hari yang cerah tiba-tiba cuaca berubah, rakyat Bone melihat
seseorang berbaju putih dan mengira orang tersebut adalah dewa yang turun dari langit maka mereka memintanya menjadi raja di Bone. Oleh orang tersebut dikatakan bahwa ia bukan dewa
yang turun dari langit namun ia bersedia mengantar rakyat Bone menemui Tomanurung pemimpin yang turun dari langit. Di Matajang ada sebuah lapangan, ditengah lapangan tersebut
terlihat seorang laki-laki berbaju kuning duduk diapit tiga orang, orang yang berbaju putih tadi mendatangi orang berbaju kuning dan mengaturkan sembah hormat sehingga semua rakyat Bone
yakin bahwa orang berbaju kuning adalah benar-benar Tomanurung pemimpin yang turun dari langit. Mereka kemudian meminta Tomanurung pemimpin yang turun dari langit menjadi raja
Bone dan membangun istana di Bone. Pada saat itu kerajaan lain seperti Pallakka, Awangpone, Cina, dan Pattiro lama kelamaan bergabung dengan Bone di bawah kepimpinan Tomanurung
pemimpin yang turun dari langit yang bergelar Mattasi‘LompoE. Kemudian ia menikah dengan Manurunge ri Toro‘ bernama Tenriawaru dan dikarunia 5 orang anak, keturunan inilah yang
hingga sekarang menjadi raja di Bone. Perbedaan antara versi Gowa dan Bone hanya persoalan jenis kelamin Tomanurung pemimpin yang turun dari langit jika di Gowa Tomanurung
pemimpin yang turun dari langit seorang perempuan maka di Bone Tomanurung pemimpin yang turun dari langit seorang laki-laki.
175
Dalam mitos senantiasa disebutkan bahwa pemunculan tokoh Tomanurung selalu membawa serta benda-benda tertentu yang kemudian dijadikan arajang Bugis atau kalompoang Makassar,
yaitu benda-benda simbol yang menunjukkan legitimasi kekuasaan dan kewenangan. Dalam hubungan tersebut, pakar ilmu sejarah, Edward L. Poelinggomang 2004 mengemukakan,
pengesahan atau legitimasi kekuasaan dan kewenangan berhubungan dengan kalompoang dan gaukang.
Kalompoang
adalah benda-benda tanda kebesaran dari satu kesatuan pemerintahan atau kerajaan. Keseluruhan benda-benda itu pada dasarnya terdiri dari sebuah benda yang disebut gaukang dan
benda-benda lainnya yang disebut kalompoang. Benda-benda kalompoang itu diberikan kepada gaukang sebagai tanda kebesarannya, baik berupa senjata, perhiasan maupun peralatan rumah
tangga. Gaukang dan kalompoang dipandang sebagai benda suci, sakti dan memiliki kekuatan luar biasa, karena merupakan peninggalan tokoh-tokoh luar biasa Tumanurung, dan tokoh legendaris
lain yang diberikan kepada gaukang. Benda-benda tersebut merupakan benda-benda simbolik yang menunjukkan legitimasi dan validasi kekuasaan serta kewenangan pemegangnya.
Benda-benda simbolik kalompoang dan pemegangnya merupakan kesatuan yang menunjukkan kepemimpinan, untuk memikat ketaatan dan pengakuan yang dipimpin. Poelinggomang
menunjukkan sejumlah contoh sejarah, memperlihatkan hubungan antara pengakuan dan ketaatan pada pemegang kalompoang sebagai pemimpin. Dalam kehidupan pemerintahan benda itu
273
posisi elite, yang diharapkan menjadi pemantik kedamaian dan kesejahteraan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Mengacu pada simbol-simbol yang dimunculkan oleh etnis Bugis dan etnis Makassar, yang memulai dengan konsep kekuasaan dan tata cara kehidupan
bermasyarakat, terlihat bahwa etnis Bugis dan Makassar sama-sama menginginkan pola hubungan antara penguasa dan yang dikuasai bersifat
kontraktual. Meskipun secara simbolik masyarakat memberikan otoritas yang besar kepada pemimpinnya, akan tetapi pada saat yang bersamaan, pemimpin
harus taat dengan kesepakatan yang berikan oleh pemberi simbol; tomanurung. Berdasarkan proses kedatangannya, konsep simbol tomanurung
diperkirakan hasil design para elite masing-masing kelompok masyarakat wanua atau bori, yang mengalami masalah manajemen kelompok yang
melahirkan konflik diantara mereka. Untuk menghindari konflik yang merugikan para elite kelompok ini, mereka membutuhkan pemimpin kuat yang menyatukan
perbedaan-perbedaan mereka.
digunakan sebagai alat pengesahan kedudukan penguasa, disimpan, dijaga, dirawat, dan dipegang oleh penguasa. Pada pihak lain contoh-contoh keberadaan kalompoang dalam pemerintahan yang
diutarakan jelas menunjukkan kesetiaan dan ketaatan rakyat pada pemimpin atau penguasa bergantung pada adanya kalompoang padanya. Poelinggomang sampai pada suatu kesimpulan:
―Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemimpin atau penguasa itu sesungguhnya di mata rakyat merupakan wakil atau perantara atau juru bicara dari kalompoang yang ada padanya.
Penguasa, pemimpin dalam menjalankan pemerintahan meminjam kekuasaan dari benda-benda itu. Itulah sebabnya setiap orang yang dipandang dapat melaksanakan pemerintahan dan erkuasa
adalah mereka yang menyimpan, menjaga, mengurus dan memegang kalompoang karena kepada mereka akan diberikan perwalian kekuasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam
masyarakat ini kalompoang yang dipandang sebagai pemilik utama kekuasaan. Dalam masyarakat itu tanpa kalompoang tidak ada k
ekuasaan”. Poelinggomang, 2004 Mukhlis Paéni 1986 membahas lebih jauh mengenai simbol legitimasi, yaitu benda-benda suci
yang disebut gaukang. Riwayat penemuan benda-benda itu diceritakan sebagai suatu kejadian yang ajaib. Benda-benda itu yang mereka percaya sebagai benda titisan dewa oleh masyarakat
dipuja, disembah, dan dipandang memiliki kekuatan luar biasa yang menguasai dunia ini, sehingga gaukang merupakan pelindung kehidupan masyarakat. Pemegang gaukang sebagai penguasa
dengan wewenang kekuatan ilahi kultus dewa raja telah menempatkan dirinya sebagai pusat
pengendalian masyarakat, sekaligus sebagai iman yang mengkultuskan kekuatan ilahi. ….. Dapat dikatakan benda itu memiliki superioritas mutlak: yaitu pada dewa-dewa atau kekuatan yang
menguasai alam semesta ini, kepada penguasa atau raja, dan pada tata tertib politik yang menguasai hubungan-hubungan sosial. Mukhlis, 1986:7-9.
274
Pada konsep ini, tomanurung adalah simbol untuk mendapatkan legitimasi para elite yang hendak dikuasakan atau dirajakan di tanah Bugis dan Makassar.
176
Seperti dikemukakan Mattulada, kedatangan tomanurung dihajatkan guna mengakhiri konflik yang berkepanjangan, suatu rekayasa dan mitos politik
penyelesaian konflik sek aligus membangun suatu dinasti, dengan pimpinan kekuasaan yang ‘diciptakan dengan cara luar biasa dan cerdik‘ Mattulada,
1998a. Penyebaran kisah tomanurung secara lisan sebagai ‗turunan langit‘,
pelembagaan benda-benda tertentu sebagai benda sakral yang disebut kalompoang tanda kebesaran, penentuan berbagai properti simbolik bagi lapisan raja, karaéng
dan turunan raja, anak karaéng serta penyelenggaraan berbagai ritus yang
176
Mattulada 1995 mengemukakan, legitimasi politik yang diperoleh raja-raja Bugis-Makassar berdasar pada mitos Tomanurung. Mitos tersebut yang menceritakan asal muasal raja-raja dan
awal sistem politik kerajaan di Sulawesi Selatan, sesungguhnya merupakan salah satu bentuk strategi untuk memperoleh legitimasi kekuasaan dan kewenangan. Mattulada memandang,
kedatangan Tomanurung memang amat dihajatkan untuk mengakhiri keadaan kacau balau yang telah berlangsung dalam waktu yang sudah cukup lama, mengakhiri situasi yang disebut dengan
ungkapan simbolik sianré balé tauwé. Kedatangan Tomanurung diperlukan untuk menuntun bagaimana kebebasan, kemerdekaan pribadi dan kelompok-kelompok kaum itu dapat berguna bagi
kesejahteraan bersama. Mattulada berpendapat: ―kisah Tomanurung itu merupakan awal terbentuknya kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan, dengan pimpinan kekuasaan yang
diciptakan dengan cara luar biasa dan amat cerdik menghadirkan Arung Raja, dan lapisan kaum bangsawan Anakarung sebagai lapisan sosial yang baru, berasal dari luar satuan
kelompok anang yang ada
.‖ Mattulada, 1998a Mitos Tomanurung memberikan legitimasi bukan hanya pada kekuasaan dan kewenangan
Tomanurung dan keturunannya untuk menjadi ‗yang dipertuan‘, melainkan juga memberi legitimasi pada sistem pelapisan atau stratifikasi sosial dalam masyarakat.
Abu Hamid 2002 memandang, ide atas kedatangan Tomanurung dipahami warga sebagai pembawa pembaharuan, pembawa tata tertib, melindungi rakyat dari musuh luar dan konflik
antara mereka, dan pembawa kesejahteraan. Perjanjian antara Gallarang Makassar, Matowa Bugis dengan Tomanurung yang disebut kontrak sosial, dilihat menurut ukuran zamannya, sudah
mengandung ciri-ciri modern. Legitimasi dan ketaatan rakyat kepada Tomanurung dan raja-raja berikutnya berdasar pada isi dan ide-ide yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Mitos
Tomanurung dan kontrak sosial yang menyertainya merupakan stategi untuk menyatukan kaum- kaum yang selalu bertikai dan untuk menciptakan tertib sosial, serta legitimasi kepemimpinan,
kekuasaan dan kewenangan Tomanurung. Pakar ilmu Hukum Andi Zainal Abidin Faried 1999a; 1999b memandang mitos Tomanurung
sebagai mitos politik, yang memberikan legitimasi politik kepada Tomanurung dan anak cucu pewarisnya untuk memegang kekuasaan dan pemerintahan. Menurut Zainal Abidin, unsur mitologi
politik terdapat pula pada pendahuluan lontarak-lontarak Bugis yang mengisahkan tentang
Tomanurung, dengan adanya ungkapan: ‗Konon kabarnya, orang bilang bahwa ia Tomanurung orang yang turun dari langit, tidak diketahui namanya, tidak diketahui pula siapa ayah dan
ibunya, serta tidak diketahui asal- usulnya‘ Zainal Abidin, 1999a.
275
disakralkan, menjadi bagian yang sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kepatuhan rakyat kepada tomanurung dan turunannya.
Akan tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah kontrak politik yang menyertai mitos itu. Sesungguhnya substansi utama mitos tomanurung terletak
pada kontrak politik itu. Kontrak politik yang terjadi sekitar abad ke-13 atau kurang lebih 800 tahun yang lalu itu sendiri merupakan sesuatu yang luar biasa.
Peristiwa kontrak politik itu terjadi mendahului teori-teori Thomas Hobbes dan Montesque abad ke-18 yang berbicara
tentang kontrak sosial. ‗Ciptaan luar biasa dan cerdik‘ yang berupa mitos tomanurung tersebut memungkinkan substansi
utama yang hendak dikemukakan lebih dapat diterima oleh rakyat dan warga
kerajaan di tanah Bugis dan Makassar. Manipulasi simbol dalam pembentukan elite etnis Bugis dan etnis Makassar
tidak hanya pada fase tradisional, akan tetapi terus berlangsung hingga fase Islam dan Moderenisme. Permainan simbol dilakukan dengan terus mengeksplorasi
konsep-konsep seperti tomanurung dan kalompoang dalam berbagai interpretasi dan makna. Bahkan elite-elite dan masyarakat Bone hingga saat ini masih meyakini
simbol budaya memegang peranan kuat untuk memperkokoh atau melahirkan elite- elite baru. Permainan simbol terus berlangsung pada level mikro dan mezzo pada
etnis Bugis Bone, sementara elite-elite Bone yang bermain pada panggung politik makro; provinsi dan Sulsel, mulai mengabaikan faktor simbol budaya.
Elite-elite etnis Makassar Gowa yang berada pada panggung politik level mezzo
dan makro, tidak lagi menggunakan simbol budaya sebagai varian yang ikut membangun elite-elite baru. Elite-elite Gowa sudah mulai mereproduksi
simbol budaya dengan simbol- simbol baru yang lebih ―pop,‖ misalnya merebut
ruang-ruang publik dengan menggunakan wacana dan hegemoni. Akan tetapi elite-elite pada level mikro desa di Kabupaten Gowa, masih menjadikan simbol
budaya sebagai issue penting dalam mempertahankan dan memperluas posisi ke- elite-an mereka.
7.2 Kuasa dan Uang