Basis-Basis Kekuasaan Elite Indonesia

27 bahwa pengembangan ideologi oleh elite tersebut tidak hanya terdapat pada negara-negara berkembang, tetapi juga di negara industri maju yang menganut faham liberalisme dalam kehidupan politik dan ekonomi. Dengan demikian, realisme politik menunjukkan bahwa elite yang mampu menguasai tiga jenis sumber daya yang telah diuraikan sebelumnya akan dapat melaksanakan misinya dengan baik. Massa yang secara sadar menerima ideologi elite, merasakan manfaat nyata dari kepemimpinan elite tersebut dalam hidupnya, serta menyadari bahwa alternatif lain adalah kurang menyenangkan, secara rasional akan memberikan legitimasi kepada kepemimpinan elite tersebut.

2.1.1 Basis-Basis Kekuasaan Elite Indonesia

Garis besar perkembangan elite Indonesia 12 terbagi dalam dua pola. Pertama, elite yang tumbuh melalui alur yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan. Kedua, elite yang berkembang lewat route modern, yang berorientasi pada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Dalam pertumbuhannya kemudian, elite modern lebih menunjukkan keanekaragaman ketimbang elite tradisional. Fenomena ini dapat dilihat pada kecenderungan elite modern yang memilih profesi beragam seperti; administratur- administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang professional dan para intelektual. Dari proses pembentukannya, elite Indonesia memiliki karaktersitik dan spesifikasi yang khas antara satu elite dengan elite yang lainnya. Perbedaan itu terutama terlihat pada terbentuknya elite fungsional dan elite politik. Elite fungsional adalah pemimpin-pemimpin, yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang, mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat modern, sedangkan elite politik adalah mereka-mereka yang terlibat 12 Sesungguhnya dalam proses pembentukan elite modern Indonesia lebih banyak mengacu pada perkembangan elite yang terjadi di Jawa pada masa kolinial, karena itu mungkin s aja ungkapan ―elite Indonesia, baik dalam pengertian politik maupun pengertian sosial, pada era awal perkembangan elite modern Indonesia agak mengelirukan. Akan tetapi Jawa tidak dapat disangkal sebagai pulau yang merupakan pusat politik, admininstrasi dan ekonomi colonial. DIsamping itu, Jawa telah menjadi pusat penduduk dengan kurang lebih 70 persent dari seluruh penduduk nusantara. Pada 1900, Jawa sudah menampung 17 juta penduduk. Pada saat yang sama, pulau Jawa tidak saja didiami oleh suku Jawa dan Madura, akan tetapi juga dihuni oleh suku SUnda di Jawa Barat, suku Melayu, Bugis-Makassar dan Ambon. Dengan kondisi seperti ini, maka istilah ―elite Indonesia‖ dalam tulisan ini ditujukan pada kelompok elite yang berpusat di Jawa yang terdiri dari berbagai suku Indonesia, akan tetapi, tetap saja unsure pokoknya adalah Jawa, kecuali ada penjelasan khusus. 28 dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi yang biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok elite fungsional pada umumnya selalu menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan kedua elite politik lebih mempunyai arti simbolis, dari pada praktis.

1. Basis Regulasi Rezim

Kelahiran elite Indonesia memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sebuah rezim. Khususnya regulasi yang dirumuskan oleh rezim. Rezim ikut membuahkan elite pada pelbagai jenjang. Ketika Rezim Belanda pada 1870 mencetuskan Politik Liberal –sebuah politik kemanusiaan dan politik kebebasan ekonomi kepada Hindia Timur, yang membolehkan pihak swasta ikut mengontrol kehidupan ekonomi, maka pada saat yang sama, terjadi perubahan struktur sosial dan ekonomi pada semua jenjang. Politik Liberal memaksa pemerintah sipil Eropa di Jawa untuk memberikan perhatian yang lebih kepada kemakmuran pulau-pulau di Nusantara. Sebagai implikasi dari kebijakan rezim ini, pada 1870, komposisi masyarakat Eropa dan elite lokal Indonesia berubah. Perubahan ini umumnya adalah sebagai akibat cepatnya jumlah warga sipil yang ikut memberikan kontribusi dalam pengelolaan ekonomi bangsa, dimana sebelumnya peran ini hanya dilakukan oleh pemerintah dan administrator. 13 Sesudah tahun 1890-an, peran sipil terus menerus meningkat, pada konteks ini, kebijakan rezim telah memberi ruang yang cukup bagi masyarakat sipil untuk mengekspresikan kepentingannya. Pada kondisi inilah lahir elite-elite modern baru, yang melakukan tuntutan baru yang sangat kritis. Misalnya yang terjadi pada 1888, sebuah Koran lokal di Semarang de Locomotief, secara tegas dan berani menyuarakan keinginan akan otonomi lokal yang lebih besar dan perbaikan keadaan untuk pribumi Hindia Timur. Mulai pada saat ini, ekonomi liberal 13 Sebelum dikeluarkan regulasi Politik Liberal politik kemanusiaan, pemerintah kolonial mengendalikan kekuasaannya di Nusantara, melalui sistem pemerintah indirect-rule, dimana pemerintah Belanda tidak secara langsung mengendalikan pemerintahan, melainkan diserahkan kepada elite-elite tradisional pangreh praja yang memiliki basis-basis massa. Pangreh Praja kemudian terbentuk menjadi suatu elite birokrasi dengan sistem cara kerja, dengan etos, dan juga dengan hubungan-hubungan sosial, kekerabatan yang saling jalin- menjalin. Karena perubahan regulasi rejim 1870, lambat laun awal abad 20 pangreh praja melalui pendidikan modern, berubah menjadi elite birokrasi. Sebelum era abad 20, pangreh praja bersumber dari tradisi penguasa tradisional atau patrimonial yang tidak mengenal pemisahan kepentingan pribadi dan jabatan lihat Sutherland 1983, Terbentuknya Elite Birokrasi, Seri Sejarah Sosial Nomor dua, Peneribit Sinar Harapan 29 kekuasaan kolonial mendapat kritikan dan kecaman dari elite-elite baru Indonesia, yang berkedudukan sebagai professional, intelektual, wartawan dan pengusaha. Puncaknya, pada 1899, C.T. van Deventer melakukan kritikan kepada pemerintah Belanda, yang terkenal dengan ―Hutang Budi,‖ kritikan ini menghimbau pemerintah Belanda untuk membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang berkekurangan itu sebagai bagian ganti rugi akan laba yang sudah dikeruk di Jawa melalui Sistem Tanam Paksa STP. Pada 1900, menurut hitungan Deventer, Belanda mengeruk keuntungan dari program STP bernilai sekitar 200 juta dollar. Serangan lain dilakukan H.H. Van Kol, pimpinan urusan jajahan dari Partai Sosial Demokrat, yang mempersoalkan kebijaksanaan kolonial dan politik jajahan. Berbagai serangan, baik yang dilakukan oleh elite politik Belanda yang berseberangan dengan pemerintah Belanda maupun yang digerakkan oleh elite- elite fungsional baru Indonesia elite-elite baru yang lahir dari hasil regulasi kebijakan rezim; politik liberal telah berhasil melahirkan orientasi baru. Orientasi baru yang lahir pada 1901 ini disebut sebagai Politik Etis 14 . Politik ini, mengusahakan pembangunan tanah jajahan dengan modal swasta, juga dicari jalan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan serta memperluas otonomi melalui pendidikan. Kebijakan politik demikian mengandung sesuatu yang dapat mengenai setiap orang dari setiap aliran politik. Politik Etis direspon dengan berbagai bentuk oleh elite dan masyarakat Indonesia. Semula, kelompok priyayi elite tradisional Indonesia, yang jumlahnya kurang dari dua persen, merespon Politik Etis dengan berat hati – mereka berusaha tetap mempertahankan kesatuan dan kemurnian darah mereka dengan mengikuti suatu pembatasan yang keras dalam identitas sosial mereka — 14 Politik Etis lahir dari suasana yang bermula dari Pemilihan Umum 1901, yang mengubah gambaran politik di negeri Belanda. Partai Liberal yang menguasai politik selama 50 tahun telah keluar dari kekuatan politik, sibuk dengan sikap tuntunan Partai Liberal memegang proyek-proyek sosial dan dengan agama pada pertengahan terakhir abad ke 19 telah ditekankan pendirian netral dalam agama, telah membuat kelompok kanan dan kelompok agama berkoalisi, yang menetapkan untuk kembali kepada prinsip-prinsip Kristen dalam pemerintahan. Deventer seorang Liberal yang popular, tidak terpilih untuk duduk di Parlemen, dan meneruskan usahanya di luar; dia dapat menyebabkan orang merasakan pengaruhnya. Pidato tahunan kerajaan pada bulan September 1901, menunjukkan semangat Kristen, ketika Ratu menekankan pentingnya kewajiban yang luhur dan tanggungjawab moral untuk rakyat Hindia Belanda. Pesan ini kemudian ditafsirkan oleh publik sebagai keprihatinan terhadap keadaan ekonomi yang buruk di Hindia Timur dan meminta agar dibentuk suatu komisi untuk memeriksa keadaan ini. Dari kejadian inilah diambil sebagai moment Politik Etis Jajahan. Inti dari Politik Etis berisikan keinginan kuat untuk melakukan perubahan struktur sosial masyarakat Hindia Timur, melalui jalur pendidikan modern, dan moderenisme kelembagaan sosial, untuk menuju kemakmuran sosial dan kesejahteraan masyarakat, tanpa memandang latar belakang, status sosial, asal etnis dan agama Lihat Niel 1984 dalam; Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya. 30 akan tetapi setelah Politik Etis ini semakin menguat, dengan berbagai alasan, kekakuan itu menjadi mencair. Perubahan yang terjadi tidak mengenai semua kelompok priyayi. Kelompok priyayi yang merespon positif Politik Etis, berusaha memperluas fungsi sosial mereka, menyatu dengan masyarakat untuk melakukan gerakan sosial untuk memperkuat posisi sosial politik warga Indonesia, dengan cara menumbuhkan lapisan intelektual, budaya dan kosmologi Indonesia. Dalam konteks seperti ini, elite tradisional priyayi yang merespon Politik Etis, mengubah dirinya menjadi elite modern yang fungsional. Pada era 1900, kelompok priyayi sedang mengalami perubahan, oleh karena di dalamnya sendiri terjadi pertambahan pegawai negeri dan orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai intelektual dan golongan professional. Singkatnya, Politik Etis telah membongkar posisi elite tradisional Indonesia –kondisi yang sekaligus menggambarkan bahwa regulasi rezim terbukti ikut melahirkan elite-elite baru. Elite tradisional mulai lebih rasional, priyayi muda yang memiliki pendidikan formal di Belanda, mulai menggeser kedudukan priyayi tradisional 15 , dan memulai karir resmi mereka sebagai mantra, suatu jabatan yang termasuk kedalamnya urusan sekretariat atau polisi di tingkat lokal. Dan apabila semuanya berjalan baik, dia akan menjadi asisten wedana kepala sub distrik, Wedana kepala distrik, dan akhirnya Bupati atau Regen yang mengepalai sebuah Kabupaten. Pada 1900, terdapat lebih dari delapan puluh Kabupaten di Jawa.

2. Basis Pendidikan

Bersamaan dengan terjadinya pergeseran elite pada ruang elite tradisional, menjadi elite modern yang fungsional, Politik Etis berhasil membangun infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Kondisi ini memungkinkan bertambahnya orang yang menempuh pendidikan formal, yang datang dari berbagai kelompok sosial meskipun orang yang sekolah masih didominasi oleh keturunan priyayi –elite tradisional. Pendidikan 16 yang dilahirkan oleh Politik 15 Meskipun pada awalnya, proses mengembangkan pemimpin-pemimpin tradisional Jawa yang berpendidikan Barat, tidak mendapat kerjasama dan kadang-kadang mendapat tantangan dari pihak orang tua. Mereka takut akan mendapat pengaruh sebaliknya pada kedudukan sosial anak-anak mereka, dan takut pula kalau hal ini akan membawa lebih banyak kecelakaan dari pada kebaikan.. Rasa was-was ini berakhir setelah 1906, dimana pemerintah Belanda menunjukkan keseriusan untuk memberi pendidikan yang lebih baik kepada masyarakat Hindia Timur. Gerakan ini dipelopori oleh Snouck Hurgronje. 16 Tujuan dari semua pendidikan sebagaimana digambarkan dalam Politik Etis Kolonial, adalah 31 Etis telah berhasil melahirkan proto type pegawai pemerintah dan intelektual abad ke-20. Kebanyakan dari mereka inilah yang sedikit banyak sebagai priyayi oleh orang banyak di Indonesia, sungguhpun mereka bukan turunan priyayi tingkat tinggi. Kedudukan mereka dalam dinas pemerintahan yang strukturnya semakin modern melibatkan mereka untuk dimasukkan ke dalam kelompok elite di dalam masyarakat Indonesia. Sepanjang awal abad ke 20, pelayanan pemerintah kian berkembang, mencari orang-orang dengan pendidikan formal untuk mengisi jabatan-jabatan dalam struktur birokrasi yang rasional. Orang-orang yang mengisi jabatan ini secara otomatis masuk ke dalam kelompok priyayi atau digolongkan kelompok elite, meskipun asal mula mereka tidak dari golongan priyayi atau elite akan tetapi jumlah mereka ini sangat terbatas sebagian besar mereka sesungguhnya sudah berstatus priyayi, dan sedang mencari jalan untuk terus memperbaiki posisi mereka dalam kelompok priyayi. 17 Setiap komunitas berbeda-beda merespon Politik Etis, komunitas etnis Cina dan Jawa menjadikan Politik Etis sebagai peluang untuk meraih keuntungan ekonomi. Dengan posisi seperti itu, etnis Cina menempatkan dirinya sebagai elite ekonomi, kemudian disusul oleh etnis Arab. Etnis Jawa dan beberapa etnis lain di Nusantara tidak memiliki pengalaman dan intuisi pada dunia usaha atau ekonomi. Para pribumi baik dari kelompok priyayi maupun masyarakat biasa memilih melewati jalur pendidikan dan gerakan sosial untuk memposisikan diri sebagai elite. Perluasan pendidikan adalah akar dari perubahan sosial yang mempengaruhi elite Indonesia. Bila sebelumnya, kedudukan-kedudukan tinggi dalam hierarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru rezim baru, memposisikan pendidikan sebagai suplemen untuk dijadikan sebagai ukuran utama. Pendidikan menjadi salah satu sumber yang menghasilkan anggota-anggota elite baru. 18 untuk membebaskan orang Indonesia menjalankan peranan yang lebih aktif dalam masa depan politik, ekonomi dan sosial mereka. 17 Untuk sebagian orang, penggolongan dalam priyayi mungkin saja tak berarti sama sekali, karena mereka priyayi membangun cita-cita baru, memakmurkan, mensejahterakan rakyat, serta mengabdi kepada bangsa dan negara. Akan tetapi kebanyakan orang tetap menduga bahwa kelompok ini tetap merupakan minoritas yang kebanyakan amat tertarik pada martabat pribadi dan sosial yang melekat pada peranan birokrasi mereka yang baru. 18 Sekolah ―Dokter Jawa,‖ sekolah dokter pribumi biasa disebut STOVIA yang telah 32 Keberhasilan pendidikan merupakan salah satu bagian dari keberhasilan Politik Etis yang terus menerus berusaha untuk memperkuat posisi sosial ekonomi orang Hindia Timur dan membuat mereka lebih dapat membangun struktur kesejahteraan ekonomi mereka sendiri.

3. Basis Sosial, Ekonomi, Agama dan Etnisitas Budaya

Politik Etis dalam upayanya mencapai struktur kesejahteraan ekonomi masyarakat Hindia Timur, juga membuka peluang bagi aktivis Indonesia untuk membangun organisasi sosial, yang dapat dijadikan sebagai alat pergerakan sosial. Budi Utomo pada 1908, tampil sebagai orang pertama yang mengambil posisi pada alur pergerakan sosial, dengan mendirikan Organisasi Indonesia pertama yang mengikuti garis-garis Barat, 19 untuk memposisikan diri sebagai elite Indonesia. Budi Utomo muncul sebagai elite strategis Indonesia, dengan menggunakan pentas organisasi modern, yang didasarkan pada usaha individu-individu yang bebas dan sadar akan persatuan. Organisasi ini mengembangkan sebuah program dan tujuan yang berada di luar segala sesuatu yang terdapat di dalam cakrawala Jawa. Keanggotaannya dipilih tidak berdasarkan ikatan kesukuan, kecuali pada awalnya organisasi ini memang didominasi oleh kelompok intelektual. Gejala ini menunjukkan adanya jalan baru bagi tokoh intelektual atau tokoh pribumi yang non-priyayi membuka jalan baru organisasi-gerakan sosial untuk menuju panggung elite. Panggung ini dikuasai oleh kelompok elite intelektual, yang berusaha menunjukkan dirinya sebagai elite yang berbeda dengan elite keturunan bangsawan dan administratur. Pada kelompok intelektual inilah terbentuk unsur kepemimpinan baru 20 Indonesia yang paling menyadari kedinamisannya. direorganisasi misalnya adalah salah satu rahim pembentukan elite-elite baru Indonesia. STOVIA adalah salah satu dari lembaga-lembaga yang memberikan pendidikan lanjutan cara Barat kepada anak-anak muda priyayi dan pribumi lainnya. Selain sekolah dokter, juga ada sekolah dokter hewan 1907, sekolah Hukum 1908, sekolah Pertanian 1903, dan sekolah Keguruan 1906. 19 Kehidupan di Jawa, tersusun di sekitar desa dan kelompok priyayi di sekitar keraton atau kota tempat kekuasaan golongan atas. Kehidupan ini didasarkan atas ikatan tradisional atau adat; secara horizontal bersifat sama rata, kepada yang dipilih ialah primus inter pares, secara vertical bersifat otoriter dengan penghormatan yang tinggi terhadap atasan disandarkan pada sanksi-sanksi keagamaan, mistik, dan berdasarkan kepercayaan. Di dalam lingkungan pola organisasi itu seluruh kehidupan dipenuhi --kehidupan orang Jawa tidak mengenal pola organisasi yang lain; tak ada kehidupan di luar pola ini. 20 Kepemimpinan baru ini mendapat tantangan dari kepemimpinan tradisional yang juga berada dalam organisasi Budi Utomo. Kelompok priyayi konservativ yang gerah dengan kepemimpinan baru ini kemudian mendirikan Regenentbond Persatuan Regen tahun 1913, dengan tuntutan 33 Sebagai akibat dari perluasan gerakan sosial yang semakin intens, pada 1911 terbentuklah Indische Partij. Sebuah organisasi partai yang mengasosiasikan dirinya dengan kemerdekaan pulau Nusantara. Organisasi ini dipelopori oleh Douwes Dekker, kemudian diikuti oleh dr. Cipto dan Suwardi. Setelah berjuang meneriakkan kedudukan yang sama dan gaji yang sama untuk semua kelompok di Nusantara, pada 1918, organisasi ini secara resmi memperoleh pengakuan dalam bentuk undang-undang, yang menetapkan suatu persamaan gaji untuk berbagai jabatan, terlepas dari asal-usul kesukuan pegawai tersebut. Kondisi ini mendorong lahirnya sejumlah elite baru yang bersumber dari berbagai golongan tidak lagi hanya bersumber pada kelompok bangsawan melalui pendidikan sosial, organisasi dan pergerakan sosial. Politik Etis terus menjalar, tidak saja merasuki kehidupan pusat-pusat perkotaan dan kalangan atas, tetapi juga telah sampai pada komunitas yang paling rendah. Masyarakat Desa tanpa mempertimbangkan asal usul diberi peran yang sama dan besar untuk mencapai tujuan Politik Etis kesejahteraan Desa melalui perintah halus yang dijalankan oleh anggota-anggota badan pemerintahan Desa. Gerakan ini memberi ruang kepada masyarakat Desa untuk meningkatkan kekuatan politiknya. Proses ini dengan sendirinya melahirkan elite-elite baru, yang mulai bersaing dengan elite-elite tradisional di pedesaan. Masuknya politik Etis di pedesaan mengubah formasi dan struktur sosial. Masyarakat Desa yang selama ini hidup dengan prinsip kommunal dengan pola yang terpadu dan serasi, mulai terbongkar. Gejala ini oleh elite-elite tradisional Desa yang sesungguhnya terjadi, mereka sedang ketakutan akan ancaman terhadap kekuasaan mereka di dalam politik kesejahteraan menganggapnya sebagai gerakan kolonial untuk sekulerisasi kehidupan pedesaan. Respon elite- elite tradisional pedesaan ini kemudian mendapat sambutan dari masyarakat kebanyakan. Akibatnya, penduduk Desa menjauhi elite-elite baru yang tumbuh dari prinsip Politik Etis, dan kembali melakukan pemujaan terhadap elite-elite tradisional. Pertarungan antara elite tradisional dengan elite baru produk Politik Etis kian seru, dan cenderung dimenangkan oleh elite-elite beraliran Politik Etis. utama otonomi lokal, dan pengakuan yang lebih besar terhadap posisi tradisional mereka. Tindakan ini adalah salah satu bagian dari cara kelompok tradisional melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan baru. 34 Elite-elite tradisional dari kalangan priyayi mempertahankan eksistensi dirinya dengan meniupkan sentiment keagamaan Islam 21 . Unsur-unsur keagamaan dijadikan alat oleh elite tradisional untuk mempertahankan dirinya menghadapi kekuatan pembaharu di pedesaan. Sentimen keagamaan menjadi alat baru untuk memperkuat posisi politik bagi kelompok elite tradisional pedesaan. Kelompok ini menjadikan Islam bukan sekedar sebagai agama, tapi dijadikan sebagai tuntutan hidup. Ini dimaksudkan untuk menjadikan Islam sebagai segala sesuatu yang asli sebagai lawan dari yang asing. Islam menjadi suatu faktor pemersatu dalam kesadaran akan diri sendiri dalam kalangan orang Indonesia, dan dalam waktu yang bersamaan menjadi ukuran untuk solidaritas Sulsel, dari kulit berwarna dengan kulit putih. Posisi Islam seperti ini sesungguhnya merupakan hasil perselisihan intern antara golongan pembaharuan dengan golongan ortodoks. Menghadapi pergerakan Politik Etis, elite-elite tradisional pedesaan berhasil mempromosikan Islam sebagai alat pertahanan terhadap tekanan-tekanan sosial dan perubahan-perubahan yang terjadi sejak Politik Etis memasuki wilayah pedesaan. Melihat fenomena ini, pemerintah Belanda menyusun strategi baru, mengusung program Kristenisasi, sebagai langkah memotong kekuatan Islam menumbuhkan elite-elite baru. Pada 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Nusantara. Misi-misi yang beroperasi dalam ruang lingkup yang luas untuk pengembangan kesejahteraan dan ekonomi melalui penguatan sistem pendidikan modern. Program ini diharapkan mampu melahirkan elite-elite baru dari kelompok agama Kristen. Selain karena pengaruh gerakan Politik Etis dan semakin gencarnya program kristenisasi, sejumlah aktivis Islam menyambut situasi politik yang berkembang dengan mendirikan organisasi seperti Serikat Islam, Muhammadiyah meskipun kedua organisasi Islam ini memiliki perbedaan agenda dan tujuan. Serikat Islam berorientasi politik, sedangkan Muhammadiyah mengkonsentrasikan diri pada aktivitas kebudayaan. Organisasi-organisasi ini 21 Di beberapa daerah Kesultanan seperti di Aceh dan Sulawesi Selatan, agama menjadi salah satu panggung yang menciptakan elite. Di Aceh, peranan Ulama Uleebalang sangat besar, dapat mengangkat atau memberhentikan Sultan dengan berbagai alasan. Kelompok mereka ini dapat digolongkan sebagai elite fungsional. Lihat Amin, dkk 1988. 35 disponsori oleh pedagang-pedagang tradisional yang taat beragama, seperti Samanhudi, dan dikendalikan oleh aktivis-aktivis yang telah menempuh pendidikan modern seperti; Tirtoadisuryo dan HOS Cokroaminoto. Pemerintah Belanda yang cenderung berpihak pada golongan Kristen, menanggapi perkembangan organisasi-organisasi Islam dengan menahan laju pertumbuhan perdagangan dan usaha yang dilakukan oleh pribumi dan pedagang Arab, dan mengalihkan dukungan pemerintah Belanda kepada pedagang- pedagang Cina. Pedagang-pedagang keturunan Arab yang berkongsi dengan pedagang- pedagang yang berasal dari Sumatra Barat sama-sama taat Islam mulai khawatir akan posisi ekonomi yang selama ini dikuasai oleh mereka, atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial yang lebih pro pedagang-pedagang keturunan Cina. Kelompok pedagang Arab dan Minangkabau memutuskan harus ada suatu aksi terpadu untuk menghadapi kekuatan Cina. Pada 1905, persekutuan ini mendirikan organisasi baru bernama Jamiyat Khair, organisasi ini bertujuan untuk perlindungan dan kerjasama ekonomi, namun juga memantulkan rasa agama yang kuat. Organisasi Serikat Islam tumbuh dengan sangat cepat di seluruh daerah di Nusantara, terutama di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, hingga ke pelosok-pelosok Desa. Salah satu yang menyebabkan organisasi ini tumbuh dengan pesat karena menggunakan sentiment agama atau citra agama. Semua organisasi Islam, terutama Serikat Islam SI, mendapatkan sokongan dana dari pengusaha- pengusaha Muslim, terutama pedagang-pedagang Arab. Tujuannya, untuk mengerem program kristenisasi dan menghambat perkembangan pedagang Cina yang mendapat dukungan pemerintah Kolonial. Dukungan dana pedagang-pedagang Arab kepada SI, tidak berlangsung lama. Mereka menarik dukungannya setelah adanya kebijakan organisasi yang terlalu terbuka untuk semua agama dan etnis. Dengan berkurangnya sokongan orang Arab, SI malah menerima tawaran dan sokongan orang Cina untuk menghidupi dirinya. Sebagai akibatnya, SI harus segera menghapuskan semua pasal anti Cina dari programnya dan menghalangi terjadinya keributan antara pribumi dengan Cina. 36 Perkembangan organisasi Islam SI, SDI, Muhammadiyah, dan Jamiyatul Khair yang sangat pesat, ternyata tidak mampu dikontrol oleh elite-elite tradisional yang semula mendorong kelahirannya, dengan tujuan mempertahankan eksistensinya. Organisasi Islam malah tumbuh dengan ideology yang sarat dengan pembaharuan, yang justru ikut menghancurkan elite-elite tradisional. Efek dari kekuatan organisasi Islam moderat, melahirkan dengan cepat gerakan serikat buruh, misalnya; Serikat Pegawai Bea Cukai PBP, Persatuan Guru PG, Serikat Pegawai Pegadaian; Serikat Penguasa Candu Hindia Belanda; Serikat Pegawai Indonesia; dan Serikat Pegawai Perbendaharaan Pemerintah. Organisasi- organisasi ini menjadi tempat yang subur untuk melahirkan elite-elite baru yang bersumber dari golongan priyayi rendahan atau masyarakat biasa. Pada 1916, Politik Etis pada akhirnya bisa diterima oleh dua kalangan yang berbeda elite tradisional dan kelompok pembaharu –elite modern. Untuk pertama kalinya seorang Regen Regen Cianjur R.A.A Wiranatakusumah bisa menerima konsep dan keberadaan SI. Beberapa Regen lain menyusul mengakui perjuangan SI. Menyatunya dua kekuatan sosial dan politik ini mengindikasikan keberhasilan Politik Etis melakukan pembaharuan struktur sosial masyarakat. Berdasarkan pola perkembangan kepemimpinan kelahiran elite modern melalui organisasi-organisasi yang tumbuh sepanjang 1900 – 1926, terdapat tiga kelompok sosial yang melahirkan elite-elite Indonesia. Pertama, kelompok dagang sebagai perintis pergerakan sosial, yang semakin hari peranan mereka terus berkurang. Kedua, kelompok intelektual yang berpendidikan Barat, yang menjadi operator organisasi dan pergerakan sosial. Kelompok inilah yang paling kuat dan berpengaruh sepanjang pergerakan sosial berlangsung. Ketiga, mereka yang semula hanya berkuasa pada tingkat lokal, khususnya golongan agama. Golongan ini dapat menjadi lebih kuat apabila diberi kesempatan memimpin, dan bergabung dengan beberapa intelektual. Kelompok ini lebih merupakan wakil dari keanggotaan massa, daripada kedua kelompok lainnya. Berdasarkan proses keberadaannya, terdapat empat panggung pembentukan elite Indonesia 22 ; Pertama, kelompok elite tradisional yang lahir dari keberadaan 22 Mengutip Saint Simon, Keller 1984 membagi sumber atau panggung pembentukan elite secara umum bersumber dari kelompok; i mereka yang menduduki garis atau eksekutif, dan yang menjalankan suatu fungsi pengintegrasian, dengan mengambil tujuan-tujuan yang akan 37 mereka sebagai kelompok sosial yang memiliki hak-hak istimewa terhadap politik, ekonomi dan kebudayaan, karena kedudukannya sebagai golongan priyayi. Dalam perjalanannya kelompok ini adalah kelompok yang pertama yang merespon regulasi rezim politik liberal dan politik etis yang ditawarkan pemerintah Belanda melalui pembaharuan sistem politik, ekonomi dan budaya, dengan menjadikan arena pendidikan modern, sebagai pintu masuknya. Patut dicatat, tidak semua kelompok ini merespon regulasi rezim, bahkan kebanyakan di antara mereka cenderung melawan pembaharuan yang terjadi, akan tetapi dari kelompok elite inilah dalam jumlah terbatas yang pertama kali merespon gagasan ini. Kedua, elite yang dilahirkan dari rahim pendidikan modern. Kelompok ini merupakan campuran dari kalangan priyayi tingkat tinggi, rendah dan masyarakat biasa yang memiliki akses dengan tokoh-tokoh Politik Etis. Meskipun kelompok elite ini adalah sebagian besar bersumber dari kalangan elite tradisional priyayi, akan tetapi perilaku politik, budaya dan ekonomi mereka tidak menggambarkan sebagai elite tradisional. Ketiga, pergerakan sosial yang dilakukan oleh kelompok elite yang telah menempuh pendidikan modern, yang disponsori oleh pedagang-pedagang senior, yang merasa tidak nyaman dengan kebijakan kolonial, menyeret aktivis-aktivis pergerakan menduduki posisi elite baru. Panggung utama kelompok ini adalah organisasi-organisasi sosial modern seperti; Budi Utomo, Serikat Islam, Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah dan Jamiyatul Khair. Kelompok ini berhasil membentuk elite-elite baru yang sama sekali bersumber dari kalangan non- priyayi, pada setiap level, sampai di tingkat pedesaan. Keempat, kelompok elite yang bersumber dari kekuatan ekonomi, etnis dan agama. Pembentukan sejumlah organisasi dengan menggunakan citra agama, sebagai upaya kelompok ini merebut posisi-posisi strategis, baik politik maupun ekonomi. Kelahiran Serikat Islam misalnya, adalah reaksi dari kelompok elite tradisional yang gerah dengan pembaharuan yang dicanangkan oleh Politik Etis. diperjuangkan oleh masyarakat bersangkutan; ii mereka yang menyediakan pengetahuan atau alat untuk mencapai tujuan-tujuan ini, staf teknis atau golongan professional; iii mereka yang menjalankan fungsi intelektual. Sedangkan Batzell, yang dikutip Keller 1984, mengklasifikasi proses pembentukan elite melalui enam pintu; i bisnis; ii opini dan politik; iii dokter dan arsitek; iv gereja dan pendidikan; v para artis dan pengarang; vi aneka ragam jabatan. 38 Sama halnya dengan kehadiran Jamiyatul Khair yang digagas oleh pedagang- pedagang keturunan Arab dan Minang, untuk menghadang laju ekonomi pedagang Cina. Pada golongan lain Kristen merespon kondisi ini dengan semangat yang sama, yakni mengembangkan program kristenisasi.

2.2. Kekuasaan