Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Non-Governing Elite

187 simbol feudalism kerajaan dan kebangsawanan. Pada masa Orde Lama sejumlah Kerajaan di Sulsel, khususnya pada Kerajaan Bone dan Gowa mengganti sistem swapraja menjadi swatantra di tahun 1957. Saat itu, kerajaan-kerajaan otonom dilebur sebagai sebuah kesatuan pemerintahan Kabupaten. Raja-raja terakhir yang memiliki kekuasaan besar di daerahnya masing-masing dinobatkan sebagai bupati seperti Andi Mappanyukki di Bone dan Somba Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang di Gowa. Kedua, sentralisasi penentuan elite puncak pada tingkat Propinsi, Kabupaten dan Desa. Elite-elite yang memegang kendali utama dalam pemerintahan Propinsi dan Kabupaten semuanya ditentukan oleh Pemerintahan Pusat. Dengan cara ini, semua kekuatan non-governing elite yang berada di daerah Sulsel terlucuti, dan diganti oleh elite- elite baru yang ―import‖ dari daerah lain. Pada umumnya elite-elite baru itu berlatarbelakang militer. Elite- elite local di desa juga diperlakukan sama dengan non-governing elite di tingkat kabupaten dan propinsi. Ketiga, control yang ketat terhadap organisasi massa dan partai politik. Kontrol ini dimaksudkan untuk menjaga berkembangnya non- governing elite yang tidak terkontrol oleh elite penguasa.

6.2.2 Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Non-Governing Elite

Takluknya kerajaan Bone terhadap Belanda pada perang 1905, mengubah formasi politik dan kekuasaan di Sulawesi Selatan, terutama di kerajaan Bone dan kerajaan Gowa. Kerajaan Bone yang sebelumnya menjadi sekutu terbaik Belanda balik haluan, berhadapan dengan Belanda. Sebaliknya, musuh bebuyutan Belanda, istana Gowa ―merapat‖ dengan kepentingan politik Belanda. Meskipun sejumlah ―sempalan‖ istana Gowa tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Bangsawan Gowa yang dikontrol Belanda yang tinggal di istana mendapat ruang kekuasaan yang lebih besar. Perubahan kebijakan Belanda dengan politik etis terhadap koloninya, akhirnya menumbuhkan elite-elite baru di Sulawesi Selatan. Selain faktor kebangsawanan, pamong birokrasi, saluran pendidikan terutama cikal bakal Muhammadyah menjadi jalan baru bagi terbentuknya elite-elite Sulawesi Selatan. Kelompok cendekiawan yang diikuti oleh kelompok pro Indonesia merdeka terus menerus mempersiapkan dirinya menjadi kekuatan baru dalam peta elite di Sulsel. 188 Sebagian besar kelompok pro Indonesia merdeka kelak menjadi dasar terbentuknya laskar-laskar pembela Indonesia merdeka, yang kemudian hari mengisi barisan TNI. Kemunculan elite-elite Sulsel, terutama elite Bugis dan Makassar, dan khususnya elite Bone dan Gowa, sejak perang 1905 hingga periode sekularisme 2010 proses kelahirannya dapat diklasifikasi melalui jalur; i Aristokrat bangsawan dan pamong birokrasi pemerintahan kolonial; ii Aristokrat yang melakukan perlawanan terhadap Belanda dan kelompok pro kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi cikal bakal TNI; iii Kelompok ilmuwan atau cendekiawan; iv Kelompok pengusaha, terutama yang mendapat proteksi dari rejim Orde Lama dan Orde Baru. Memasuki masa kemerdekaan, peranan elite aristokrasi yang berada di bawah kontrol Belanda mulai menurun. Elite-elite ini kebanyakan berada di istana Gowa. Sementara elite aristokrat lainnya, terutama yang berada di Bone semakin mendekati masa kemerdekaan, kian menjaga jarak dengan penguasa kolonial. Mereka intensif mengkonsolidasikan kekuatan untuk mempersiapkan diri memasuki era kemerdekaan. Di sinilah letak perbedaan antara aristokrat Bone dengan aristokrat Gowa. Ketika aristokrat Bone mulai merambah dunia pendidikan dan membentuk laskar untuk melawan Belanda, aristokrat Gowa masih ―berselimut‖ dengan pemerintahan kolonial di istana kerajaan Gowa. Akan tetapi di luar istana, kelompok kritis etnis Makassar ya ng ―membangkang‖ terhadap kebijakan istana dan pemerintahan kolonial sudah mulai memasuki bangku pendidikan dan menyiapkan diri untuk mendukung Indonesia Merdeka. Kelompok ini kemudian menjelma menjadi kelompok cendekia dan laskar pembela kemerdekaan Indonesia. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, kekuasaan di Jakarta tidak melihat adanya sumberdaya elite Sulawesi Selatan yang pantas memimpin provinsi Sulawesi. Soekarno lebih memilih elite di luar Sulsel untuk memimpin Sulawesi. Gubernur pertama Sulawesi 1945-1950 adalah Dr, G.S.S.J. Ratulangi, berasal dari Sulawesi Utara, kemudian digantikan oleh R. Sudiro dari Jawa 1951- 1953. Gubernur Sulawesi periode 1953-1956 adalah Lanto Dg. Pasewang, untuk pertama kalinya elite Sulsel etnis Makassar dipercayakan oleh pemerintahan 189 Soekarno di Jakarta untuk menduduki kursi Gubernur. Lanto Dg. Pasewang adalah seorang pejuang kemerdekaan yang amat cendekia pada masanya. Ia mengambil jalur pendidikan dan perjuangan pro kemerdekaan yang mengantarkan dirinya sebagai elite baru pada awal kemerdekaan. Sebelum A. Pangeran Petta Rani menduduki kursi Gubernur pada 1956-1960, terdapat masa sela beberapa bulan pada tahun 1956. Jabatan Gubernur Sulawesi pada masa sela ini diisi oleh A. Burhanuddin yang berasal dari etnis Bugis Wajo. Jabatan ini diberi nama Acting Gubernur Sulawesi. Menilik preferensi politik Presiden Soekarno di Sulawesi, periode politik antara 1945 sampai 1956, menunjukkan kecenderungan politik yang mengarah pada upaya pemerintah pusat untuk menentukan pemimpin daerah adalah dari kalangan cendekiawan atau ilmuwan. Ini dapat dilihat dari pilihan Jakarta terhadap Gubernur Sulawesi; Dr. Ratulangi, R. Sudiro, A. Burhanuddin dan Lanto Dg. Pasewang 1945-1956 mereka-mereka ini dikenal dan mencirikan dirinya sebagai seorang ilmuwan. Pilihan ini, sesuai dengan prinsip-prinsip Soekarno yang ingin memudarkan peranan aristokrasi dan feudalisme di Indonesia. Akan tetapi, ketika politik lokal di Sulsel mulai bergejolak, yang ditandai dengan mulai munculnya perlawanan Kahar Mudzakkar, yang memproklamirkan DIITII pada Agustus 1953, Soekarno mulai memunculkan pola politik baru untuk menentukan Gubernur di Sulawesi. Dengan tujuan untuk meredam pemberontakan Kahar Mudzakkar, Soekarno harus mencari figur yang disegani oleh masyarakat Sulawesi, terutama dari etnis Bugis dan Makassar. Dapat diduga, salah satu tujuan dipilihnya A. Petta Rani sebagai Gubernur Sulawesi periode 1956-1960 adalah untuk meredam pemberontakan Kahar Mudzakkar. Soekarno ingin meminjam kewibawaan A.P. Petta Rani untuk menundukkan semangat patriotisme Kahar dan pengikutnya. A.P. Petta Rani adalah seorang elite yang cendekia dari kalangan bangsawan tinggi, yang sekaligus mewakili dua etnis besar di Sulawesi; Bugis dan Makassar. Pemberontakan Kahar Mudzakar terus berlanjut, pendekatan politik Soekarno terhadap Sulawesi, khususnya Sulsel semakin provokatif. Pada periode 1960-1966, Soekarno mengangkat Mayjen A.A. Rivai dari etnis Bugis Polewali Mandar menjadi Gubernur Sulselra Sulawesi Selatan Tenggara. Pendekatan 190 politik Jakarta terhadap Sulawesi berubah dari politik kultural menjadi politik struktural kekuasaan. Soekarno yang semula mengandalkan kekuatan sipil mulai meminjam tangan tentara, paling tidak untuk tujuan meredam pemberontakan Kahar Mudzakkar. Pada periode ini, kekuatan Kahar terus merosot, bahkan pemberontakan Kahar dinyatakan berakhir, setelah ia tertembak mati pada Operasi Tumpas yang dilancarkan oleh Kodam XIV Hasanuddin berhasil mendesak pasukan DITII hingga akhirnya pimpinannya, Kahar Mudzakkar tertembak mati di dekat Sungai Lasolo Kolaka pada tahun 1965 Harvey, 1987: 328; Gonggong, 1992: 174. Memasuki Orde Baru, peranan militer semakin kuat. Rejim Soeharto menjadikan tentara sebagai ujung tombak kekuatan politiknya. Posisi-posisi strategis dikuasai oleh tentara. Gubernur Sulawesi Selatan periode 1967-1978 juga diduduki oleh Mayor Jenderal TNI Achmad Lamo. Lamo adalah salah satu tentara yang berasal dari Sulsel yang memiliki hubungan kuat dengan Jakarta. Untuk menancapkan kekuatan politiknya lebih jauh di Sulsel, Soeharto kemudian memilih Brigader Jenderal AO sebagai Gubernur Sulsel pada kurun waktu 1978- 1983. AO bukan saja tentara yang loyal pada atasannya di Jakarta, tetapi ia juga memiliki kewibawaan yang besar di Sulsel, karena dia adalah bangsawan kerajaan kembar Gowa-Tallo, tetapi memiliki peranan dan posisi penting di Bugis Ajatappareng. Salah satu saudaranya, A. Mannaungi adalah walikota pertama kota Parepare. Untuk tujuan peningkatan kualitas pembangunan di Sulsel, rejim Orde Baru melakukan eksperimen politik yang cukup radikal, yaitu mengangkat orang sipil, Prof. Dr. AA yang berasal dari kampus menjadi Gubernur Sulsel selama dua periode 1983-1993. Mantan Rektor Universitas Hasanuddin dua periode ini membuktikan kepada Soeharto bahwa orang sipil bisa dipercaya memimpin daerah. AAtampil sebagai Gubernur yang membanggakan di kancah Sulsel dengan konsep utamanya; Tri konsep perubahan pola pikir, petik olah jual, dan pengwilayahan komoditas. Secara konsepsional, konsep yang diusung AAmenjadi konsep dasar pembangunan Sulsel bagi para Gubernur berikutnya. Pada periode 1993-2003, jabatan Gubernur Sulsel kembali diduduki oleh tentara, yaitu Mayor Jenderal ZBP. Pada masa periode kedua jabatan ZBP, rejim Soeharto 191 mengalami kemerosotan kepercayaan publik, akhirnya pada tahun 1998, Soeharto secara resmi mengundurkan diri. Situasi kepemimpinan Sulsel dan daerah mulai tidak stabil. Demonstrasi mahasiswa menuntut perubahan sistem politik terus meluas. Untuk merespon tuntutan itu, salah satunya, pemerintahan peralihan yang dipimpin Prof. Dr. BJ. Habibie mempercepat Pemilu. Hasilnya, dominasi Golkar sebagai partai yang paling berkuasa pada rejim Orde Baru mulai berkurang, dan muncul partai alternatif seperti Partai Demokrat, PKB dan PAN. Merosotnya kekuatan partai Golkar mengubah peta politik pada kancah Sulsel maupun daerah tingkat dua. Arena politik semakin terbuka. Politik bukan lagi milik dominasi tentara, birokrat dan Golkar. Perubahan sistem politik itu akhirnya menerpa wilayah politik Sulsel, yang selama ini menjadi ladang dan lumbung partai Golkar. Pemilihan Gubernur Sulsel periode 2003-2008, memperlihatkan warna dan dinamika politik yang sangat kompetitif. Pemain politik pada pemilihan Gubernur kali ini kian beragam, tidak saja diikuti oleh birokrat, tentara dan politisi Golkar, tetapi sudah melibatkan pengusaha, politisi non-Golkar dan birokrat. Meskipun pemilihan itu dimenangkan oleh pasangan politisi Golkar dan birokrat Mayjen AS dan SYL, akan tetapi proses kemenangannya tidak semudah seperti yang terjadi pada pemilihan Gubernur sebelumnya. Warisan politik kolonial 1905-1945, Orde Lama dan Orde Baru serta sistem politik era sekularisme di Sulsel telah melahirkan sejumlah klan elite yang beragam pada setiap level dan wilayah politik. Klan elite politik pada level makro provinsi yang dilahirkan aristokrat pada fase 1905-2010 hanya dapat ditelusuri dari wilayah kebangsawanan Bone, sedangkan aristokrat dari kebangsawanan Gowa berhenti sampai pada level mezzo Kabupaten. Meskipun Andi Pangeran Petta Rani diakui bersumber dari perpaduan elite kebangsawanan Bone dan Gowa, tetapi keberlanjutan klan elitnya hanya diwariskan melalui darah kebangsawanan Bone. Lahir elite dari klan ini pada level makro provinsi dan Sulsel antara lain adalah; Jenderal TNI MJ mantan Menhamkam, Pangab, dan Menteri Perindustrian, HI mantan wakil dan Walikota Makassar, AM mantan Menteri Menkumham, mantan anggota DPR RI, PJL melalui anak-anaknya; AY DPRD Sulsel, AF mantan wakil Bupati Bone, dr. AK eselon II, ARP anggota DPR 192 RI, Prof. Dr. AS mantan Pembantu Rektor II Unhas, AA mantan anggota DPRD Sulsel, IIG anggota DPRD Sulsel. Pada level mezzo Kabupaten, elite aristokrat Bone dilanjutkan oleh; AG; AS; AN; AMH yang dilanjutkan oleh anak-anaknya; AMA, mantan Kepala Kecamatan Kajuara, AA mantan Bupati Bone periode 1993-2003, AABA mantan Kepala Kecamatan Kajuara, AS non governing elite, AN Kepala Kecamatan Kajuara saat penelitian ini berlangsung; AY yang dilanjutkan oleh anak-anaknya; ABA mantan Bupati Bone periode 1967-1969, dan MJ mantan Panglima ABRI; AI, dilanjutkan oleh anaknya AHI Mantan Walikota Makassar 2008. AIG Bupati Bone periode 2004-2014. Klan A. Pangeran Petta Rani yang melanjutkan eksistensi ke-elite-annya pada level mezzo di Gowa adalah AI Krg L mantan kepala daerah wilayah Makassar, yang meliputi Gowa, Takalar dan Jeneponto pada periode 1955-1961. Kemudian dilanjutkan oleh AML mantan camat di wilayah DKI, mantan Kepala Dinas Sosial provinsi Sulsel, dan mantan calon Bupati Gowa dua kali. Untuk mempertahankan kekuasaanya, setiap rejim selalu memiliki pola dalam membangun struktur kekuasaannya. Slogan Sulselisasi dan pribumisasi menjadi tema yang diusung rejim Orde Lama, untuk memperkokoh posisi politiknya. Slogan ini kemudian diwujudkan dalam aksi konkrit seperti; mendahulukan kelompok sipil untuk menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, kebebasan berpolitik dengan memberi kesempatan semua warga negara untuk berproses keterlibatan dalam politik melalui kemunculan partai politik, mengurangi peranan aristokrasi dan feudalisme dalam pemerintahan, dengan mendorong lahirnya ilmuwan dan cendekiawan untuk mengisi birokrasi pemerintahan dan jabatan-jabatan sipil yang strategis. Khusus untuk ekonomi, presiden Soekarno menetapkan program Benteng untuk melahirkan pengusaha- pengusaha pribumi yang tangguh. Pada periode Orde Lama, elite politik Sulsel yang lahir dari kebijakan politik Soekarno antara lain; Lanto Dg. Pasewang dari etnis Makassar Kabupaten Jeneponto, A. Burhanuddin dari etnis Bugis Wajo, melalui politik pencerdasan dan usaha mereduksi peranan sosial politik kaum aristokrat, dan pengurangan eksistensi kalangan feudal. Sedangkan elite yang dilahirkan dari sektor ekonomi melalui 193 program Benteng 113 di Sulsel antara lain adalah; NV. Hadji KL 114 dan PT. Aslam. Posisi elite ekonomi Hadji KL terus berlanjut hingga era sekularisme. Sedangkan Aslam ―ditumbangkan‖ oleh rejim Orde Baru. Hampir semua aset yang dimiliki oleh Aslam disita untuk kepentingan kekuasaan Orde Baru. Lanto Dg. Pasewang yang memasuki jalur kekuasaan tidak meninggalkan jejak kekuasaan politik yang menonjol pada generasinya. Pasewang dan keluarganya tidak menunjukkan aktivitas yang memadai untuk memelihara kesinambungan kekuasaannya. Sebaliknya, KL sebagai pengusaha mampu menangkap semua peluang ekonomi dan politik yang ada, meskipun terjadi gelombang perubahan politik. 113 Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir dan direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo menteri perdagangan. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional pembangunan ekonomi Indonesia. Programnya; Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia; Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berproses keterlibatan dalam pembangunan ekonomi nasional; Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit; Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju. Selama Pemerintahan Soekarno, ada tiga kebijaksanaan dalam bidang ekonomi yang memberi perhatian dan fokus utama ke pengusaha nasional atau pribumi. Pertama, kebijaksanaan Ekonomi Benteng 19521953. Pengusaha nasional, yang dalam hal ini saudagar pribumi, diberikan alokasi devisa untuk impor. Kebijaksanaan ini menumbuhkan pengusaha besar dan menengah secara cepat, dan banyak di antara perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang, misalnya perusahaan milik Achmad Bakrie, Soedarpo, dan Haji Kalla. Kedua, diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 10 dari Menteri Mr Assaat tahun 1952. Hanya pengusaha pribumi yang boleh berusaha di tingkat Kecamatan. Aturan ini mendorong tumbuhnya pengusaha kecil di desa yang selama ini dikuasai oleh pedagang-pedagang Cina. Dalam kasus di Sulawesi Selatan, selain keuletan orang-orang Bugis-Makassar dalam berniaga, sampai sekarang pedagang Tionghoa banyak juga di kota Kabupaten, cuma tidak sebesar di Jawa atau daerah lain. Ketiga, kebijaksanaan KIKKMKP kredit industri kecilkredit modal kerja permanen. Kebijaksanaan kredit yang secara eksplisit diberikan kepada pengusaha kecil pribumi tersebut membantu tumbuhnya kembali pengusaha kecil dan menengah di daerah. 114 Hadji Kalla bermula dari usaha dagang hasil bumi, transportasi lokal, kemudian merambah dunia otomotif menjadi dealer tunggal mobil Toyota untuk daerah Sulsel, Sultra dan Sulteng. Kini memasuki usaha industry berat, energi, entertein Kalla Trans Studio dan developer perumahan. Hadji Kalla memulai usahanya dari Watampone, ibu kota Bone daerah kelahirannya. Ia dikenal memiliki kemampuan beradaptasi secara politik dan ekonomi. Salah satu pengusaha pribumi yang mendapat proteksi dari rejim Soekarno, tetap survive dan berkembang pada masa Orde Baru, lalu menggurita sebagai konglomerat papan atas di Indonesia pada era reformasi. Hadji Kalla juga berhasil melahirkan konglomerat lainnya; PT. Bosowa, yang dikendalikan anak mantunya; Aksa Mahmud. Putra-putri Hadji Kalla tidak saja bermain di lapangan ekonomi, tetapi telah berhasil mengawinkan kekuatan ekonominya untuk menembus panggung politik. Putra tertuanya, M. Jusuf Kalla JK adalah aktivis HMI yang pernah menduduki kursi DPRD Sulsel, anggota MPR RI, mantan menteri Perdagangan dan Perindustrian RI, mantan Menkokesra, mantan Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Presiden RI. Kini JK menjabat ketua umum PMI. Saudara JK yang lain ada yang duduk di DPR RI Halim Kalla, wakil ketua MPR RI dan anggota DPD RI Aksa Mahmud, aktivis Golkar Suhaeli Kalla dan pengusaha Ahmad Kalla, Farida Kalla dan Fatimah Kalla.. Saat ini, clan Kalla sudah memasuki generasi ketiga. 194 Rejim Orde Baru memiliki cara yang berbeda dengan Soekarno dalam hal membentuk elite. Elite-elite pada zaman Soekarno lahir dari rahim politik melalui kekuasaan partai politik. Sedangkan Soeharto menciptakan elite dengan berbagai jalur. Jalur politik, rejim Orde Baru mengandalkan kekuatan mayoritas Golkar yang didukung oleh tentara dan birokrasi. Soeharto tidak membiarkan elite ekonomi pribumi berkembang seperti yang diharapkan Soekarno. Elite ekonomi pribumi tidak diberikan ruang untuk kawin mawin dengan penguasa. Kecuali pada sedikit kasus, yakni konco-konco terdekat Soeharto. Ekonomi Indonesia di bawah rejim Soeharto sepenuhnya dikontrol oleh pengusaha keturunan China. Tentara lebih dipercaya mengelola ekonomi ketimbang pengusaha pribumi. Langkah ini rupanya bagian dari strategi Soeharto untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaannya. Di Sulawesi Selatan, elite-elite produk Orde Baru bermunculan dengan berbagai cara. Namun elite hasil produksi tentara jauh lebih unggul dibanding dengan proses pembentukan elite pada sektor lain. Elite yang dihasilkan oleh tentara telah membentuk aktor-aktor yang memiliki kekuatan dan kekuasaan politik yang besar. Apalagi kalau aktor-aktor itu memiliki kemampuan menjadi inspirator organisasi politik, bisa mengelola organisasi masyarakat, dan mempunyai jaringan untuk mengembangkan bisnis. Elite tentara di Sulsel yang paling sukses membentuk klan politik yang lahir dari rongga kekuasaan Orde Baru adalah Kolonel YL 115 . YL tidak saja sukses 115 Karir militer Yasin Limpo mulai cemerlang sejak ia bertugas di daerah kelahirannya, Kecamatan Bontompo Kabupaten Gowa. Dari sisi teritorial, Yasin Limpo sejak lama sudah mempersiapkan Kabupaten Gowa sebagai basis utama politiknya. Selain itu, Kabupaten Takalar menjadi second area untuk penguatan politik keluarganya. Ketika putra keduanya; Syahrul Yasin Limpo memilih menjadi pegawai negeri sipil PNS, dalam waktu yang tidak lama, ia dipersiapkan menjadi camat di kecamatan Bontonompo. Dibawah mentor sang ayah, Syahrul terus menapaki karir birokrasi sembari menjadi aktivis organisasi pemuda dan partai Golkar. Pada tahun 1993-2002 ia terpilih menjadi Bupati Gowa, setelah menduduki posisi sekda di Gowa. Pada tahun 2005, adiknya yang bernama Ikhsan Yasin Limpo terpilih secara langsung melalui Pilkada menggantikan Syahrul sebagai Bupati Gowa, sebelumnya ia duduk di DPRD Sulsel, dan Syahrul naik menjadi wakil Gubernur. Sedangkan kakak perempuannya; Tenri Olle Yasin Limpo menjadi ketua Golkar Gowa dan sekaligus terpilih menjadi anggota dan ketua DPRD Gowa. Pada saat Syahrul menjadi Bupati Gowa adik bungsunya; Irman Yasin Limpo pernah ditugaskan sebagai camat di kecamatan Bontonompo, mengikuti jejak kakaknya, kini ia menjabat sebagai kepala BKPMD Sulsel. Adik perempuan Syahrul yang lain adalah Dewi Yasin Limpo terpilih menjadi ketua Umum Partai Hanura saat ini menjadi salah satu ketua DPP Hanura. Ibu Tenri Angka Nana, adik perempuan Syahrul yang berikutnya memilih menjadi pengusaha. Haris Yasin Limpo, adiknya yang lain adalah salah satu ketua Golkar kota Makassar, dan beberapa kali terpilih menjadi anggota legislatif kota Makassar. Yasin Limpo menikahi perempuan Bugis Sidrap berdarah melayu, Ibu Nurhayati. Ibu Nurhayati pernah menjadi anggota DPRD Sulsel selama dua periode dan anggota DPR RI dua periode melalui Golkar. Kini cucunya dari putri Syahrul, Thita Chunda menggantikan kedudukan neneknya di Senayan melalui fraksi PAN. Sedangkan cucunya yang lain dari Ikhsan Yasin Limpo, Adnan Puritcha menduduki kursi DPRD Sulsel dari partai Demokrat. Yasin Limpo meninggal pada 2008, sebelumnya ia pernah memimpin Sekber Golkar Sulsel, Kosgoro Sulsel, Pramuka Sulsel, Muhammadyah wilayah Sulselbar, dan Perusda Sulsel. Pada dunia birokrasi 195 secara pribadi sebagai tentara, politikus dan pimpinan sejumlah organisasi sosial dan bisnis, tetapi ia juga mampu mewariskan kecerdasan sosial politiknya sampai pada generasi ketiga saat ini. Regim Orde Baru melihat YLmemiliki talenta memenej konflik, itu sebabnya Markas Besar TNI selalu menugaskan YLmenjadi pelaksana tugas pemerintah di beberapa daerah yang sedang bermasalah. Pengalaman sosial politik yang dimilikinya, ia jadikan sebagai asset politik dalam keluarga besarnya. Keberhasilan YL membangun struktur kekuasaan melalui jalur tentara, tidak diikuti oleh aktor-aktor lain pada etnis Makassar, maupun di Gowa. Sepanjang rejim Soeharto tidak terdapat aktor elite lain, selain YL di Gowa yang tumbuh sebagai satu kekuatan sosial politik maupun ekonomi. Kelahiran elite-elite baru pada level mezzo di Kabupaten Gowa, tetap tidak terlepas dari kontrol klan YL. Secara umum, Orde Baru tidak menggunakan etnis Makassar sebagai jejaring sosial maupun politiknya. Keadaan ini membuat posisi klan YL menjadi semakin tangguh. YL tumbuh tunggal dalam lapangan sosial etnis Makassar, terutama di Gowa. Klan ini kemudian menjadi payung tunggal besar bagi sejumlah elite-elite kecil yang baru tumbuh di wilayah Makassar. Hampir semua elite-elite baru 116 pada etnis Makassar, menjadikan klan YL sebagai tempatnya bernaung dan berguru 117 . ia pernah menjadi pejabat Bupati di beberapa kabuapten. Kini beberapa jabatan yang pernah ia pimpin, kembali di jabat oleh putra tertuanya; Syahrul Yasin Limpo. Lihat misalnya, Syahrul adalah ketua Pramuka Sulsel, ketua Golkar Sulsel, ketua Kosgoro Sulsel, dan ketua FKPPI Sulsel. Berdasarkan jaringan yang dimilikinya clan Yasin Limpo, diperkirakan sepuluh sampai lima belas tahun mendatang, clan politik Yasin Limpo menjadi clan politik yang paling disegani dari etnis Makassar, khususnya Kabupaten Gowa, bahkan di Sulsel. Clan ini memiliki infrastruktur dan suprastruktur politik yang paling lengkap. Mengacu pada teori patron-client, clan Yasin sudah menjadi patron politik paling berpengaruh di Sulsel. Mereka memiliki client yang sangat loyal pada berbagai jaringan sosial dan bisnis. Lihat misalnya, untuk mendukung gerakan politiknya, clan ini memiliki piranti politik semacam laskar. Mereka memiliki Brigade 02, Brigade 911 dan Adhiyaksa Force. Selain itu, Syahrul membuka hubungan intelektual dengan sejumlah kampus di Sulsel, karena Syahrul sendiri adalah seorang Doktor di bidang hukum. 116 Beberapa nama elite baru dan berusia muda dari etnis Makassar, khususnya Gowa, dan mereka menjadikan Clan Yasin Limpo sebagai patron adalah; Rahmansyah wakil anggota DPRD Gowa ketua PDK Gowa, Jufri Rahman birokrat eselon II, Arfandi Idris anggota DPRD Sulsel, dan wakil ketua Golkar Sulsel, Anshar Usman Ketua DPRD Gowa, Sarifuddin Loppo Kadis Perhubungan Takallar, Suaib Sewang Mantan ketua DPRD Jeneponto. Client clan Yasin Limpo tidak terbatas di Gowa dan pada etnis Makassar, orang-orang Bugis juga menjadikan clan Yasin Limpo sebagai patronnya. Birokrat dan politikus muda di bawah ―genggaman‖ clan Yasin Limpo antara lain; Rusdi Masse Bupati Sidrap, A. Monginsidi Kepala Badan BPMD Susel, Andi Ille Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Sulsel, Andi Bhakti Haruni Kepala Biro Dekon Sulsel, Andi Yamin Kepala Dinas Koperasi, A, Burhanuddin Unru Bupati Wajo, dan Andi Idris Syukur Bupati Barru. 117 Ketika Jusuf Kalla rencana mengikuti konvensi Partai Golkar untuk mencalonkan diri sebagai Presiden pada tahun 2004, JK mengunjungi kediaman Yasin Limpo di jalan Haji Bau Makassar rumah JK juga berada di Jalan yang sama, kira-kira berjarak 250 meter dari kediaman Yasin 196 Kenyataan ini berbeda dengan yang terjadi pada etnis Bugis Bone. Elite Bone produk aristokrasi masih bertahan sebagai elite hingga Orde Sekularisme. Klan yang paling disegani di Bone adalah klan Arung Tarasu. Klan inilah yang kemudian melahirkan sejumlah nama besar yang menguasai Bone hingga kancah Sulsel. Salah seorang tokoh yang cukup dikenal dari klan ini adalah Jenderal M. Jusuf. Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang sempurna, itu sebabnya, meskipun tumbuh elite baru pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Sekularisme, akan tetapi tidak mampu menggeser struktur kekuasaan yang amat mapan yang dimiliki oleh klan Arung Tarasu, yang dilahirkan oleh rahim aristokrasi, jauh sebelum Indonesia merdeka. JK dan NH 118 adalah elite dari etnis Bugis Bone yang lahir relatif baru dibandingkan dengan klan Arung Tarasu. JK dan NH adalah elite hasil produksi rejim Orde Lama, Orde Baru, dan Sekularisme melalui jejaring bisnis. Klan KL adalah klan produk tiga rejim; Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi fase sekularisme. Sedangkan NH, tumbuh dari jejaring bisnis keluarga Orde Baru, melalui Badan Penyelenggara dan Pemasaran Cengkeh BPPC. NH sendiri memulai usaha dari membangun Koperasi, sampai puncaknya ia mendirikan Pusat KUD Puskud Hasanuddin Sulsel. Dari sinilah ia mengembangkan berbagai jenis usaha, dan mulai ditopang oleh dana BPPC. Setelah rejim Orde Baru ambruk dari kekuasaannya yang absolut, dan digantikan oleh Rejim Sekularisme, NH turut jatuh dari gelanggang politik dan bisnis, karena kemudian tersangkut sejumlah masalah hukum, dan masuk penjara. Setelah bebas dari penjara, karirnya kembali berkibar, ia menjadi salah satu pengurus harian DPP Partai Golkar 2009-2014, dan tetap menjadi ketua umum PSSI selama dua periode. NH memiliki daya tahan politik dan bisnis yang luar biasa, dari dalam penjara ia masih bisa kendalikan sejumlah organisasi dan bisnisnya. Hampir dua tahun ia kontrol PSSI dibalik terali besi penjara. Beberapa adiknya tidak lagi hanya mengurus bisnis dan bola salah Limpo, JK mengakui kunjungan itu adalah kunjungan murid kepada gurunya, untuk meminta restu. ―Beliau guru politik saya‖ ujar JK, kala itu. 118 NH hanya membutuhkan sekitar 15 tahun untuk membangun imperium bisnisnya melalui koperasi. Setelah melakukan kapitalisasi bisnisnya, ia mulai memasuki dunia politik. Jembatan dunia politik NH adalah bola, ia menjadi manejer PSM yang berhasil mengantar PSM Makassar menjadi juara Liga. Dari sana ia mulai masuk partai politik, Golkar. Ia terpilih menjadi anggota DPR RI selama dua periode, dan mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulsel pada tahun 2003, namun gagal. 197 seorang adiknya adalah manajer PSM Makassar, tetapi juga sudah merambah dunia politik. KH dan RH adalah pengurus inti Partai Golkar Sulsel dan Partai Hanura Sulsel. Saat ini, KH sudah terpilih sebagai anggota DPRD Sulsel. Meskipun sama-sama mendapat dukungan dari Orde Sekularisme untuk membangun dinasti politik dan bisnisnya, perjalanan karir politik dan bisnis antara klan KL dan dinasti Halid sangatlah berbeda, meskipun mereka berdua bersumber dari satu etnis Bugis Bone. Klan KL membangun imperium bisnisnya tanpa intervensi Rejim Orde Baru secara berlebihan. Klan KL tidak ―mengawinkan‖ antara bisnis dengan penguasa. KL tidak menjadikan penguasa sebagai piranti utama dalam menjalankan bisnisnya. Sebaliknya, NH sangat mengandalkan regulasi rejim untuk meningkatkan dan memperluas kapitalisasi bisnisnya. Karena bisnisnya bersumber dari regulasi rejim, maka hampir semua usaha bisnis yang dilakukan oleh NH sangat rentan dengan persoalan hukum, terutama pada saat pergantian rejim. Sebelum bisnisnya benar-benar menjadi imperium, NH sudah mencemplungkan dirinya dalam dunia politik. Dua hal terakhir yang dilakukan oleh NH, tidak dilakukan oleh KL. KL memasuki dunia politik setelah kerajaan bisnisnya mencapai puncak. Dalam konteks ini, KL membalikkan kebiasaan banyak orang yang menjadikan politik sebagai sumber dukungan bisnisnya, sementara KL menjadikan bisnisnya sebagai sumber utama untuk mendukung langkah politiknya. NH dibesarkan oleh jejaring Orde Baru, tapi juga dijatuhkan oleh karena merosotnya peranan kekuasaan Orde Baru sera sekularisme. Sekularisme telah mengubah peta struktur kekuasaan dan politik Indonesia. Karena itu, sekularisme telah memberi kontribusi besar pada kejatuhan sebagian elite Orde Baru, sebagaimana elite Orde Baru meruntuhkan elite Orde Lama, dan mendorong lahirnya elite-elite baru. Hal yang sama terjadi di Sulsel, khususnya pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa. Elite-elite baru yang muncul pada masa sekularisme dipicu oleh munculnya sistem politik liberal atau system demokrasi. Konsekuensi dari sistem politik liberal adalah dimungkinkannya sistem multi partai. Pada Pemilu 2004, peserta Pemilu di Sulsel sebanyak 44 parpol, sedangkan pada Pemilu 2009, diikuti oleh 198 38 parpol. Dengan banyaknya peserta Pemilu, maka membuka kesempatan bagi figur-figur baru untuk berproses terlibat dalam Pemilu. Partai-partai seperti; PKS, PAN, PD, PDK dan Hanura menjadi mesin baru untuk memproduksi elite-elite baru di Sulsel. Sedangkan partai- partai ―tua‖ seperti; Golkar, PDIP, PPP 119 cenderung sudah memiliki pemain lama atau elite-elite lama. PKS di Sulsel, khususnya di Bone dan di Gowa, merupakan partai yang palin g ―berani‖ menawarkan orang-orang baru yang masih muda. Model politiknya tidak mengandalkan politik sektarian, karena itu tawaran-tawaran politik PKS di Sulsel menjadi sangat rasional. Anggota DPRD Bone yang terpilih dua periode dari PKS, ASG baru berusia 30 tahun, ia bukan kelahiran Bone, dan tumbuh besar di Kabupaten Palopo. Pengalaman PKS ini sekaligus ―mengganggu‖ dominasi kaum aristokrat yang mengisi ruang elite di Bone. PKS juga berhasil mencairkan preferensi masyarakat terhadap elite-elite yang berlatar aristokrasi, yang kerap berfikir primordial ketimbang rasional dalam berpolitik. Meskipun dominasi aristokrasi di Bone bisa sedikit di bongkar oleh partai- partai baru sepanjang era sekularisme –lihat misalnya kemunculan Akmal Pasluddin Wakil Ketua DPRD Sulsel dan Anis Mata Wakil Ketua DPR RI keduanya dari PKS, dan mereka bukan dari kalangan aristokrat, atau mendapat dukungan dari rejim Orde Lama dan Baru,-- namun peranan kekuatan aristokrasi dan eksklusivitas politik di Bone masih sangat besar. Ini dapat dilihat pada jumlah anggota DPRD Bone sepuluh tahun terakhir, hanya dua orang yang tidak lahir di Bone satu orang pendatang tidak lahir dan tidak besar di Bone, satu orang lainnya, tidak lahir di Bone, tetapi tumbuh dan besar di Bone, selebihnya sebanyak 38 orang lahir dan besar di Bone. Hanya 14 orang 26 yang tidak menggunakan gelar Bangsawan Andi. Selebihnya sebanyak 26 orang 74 orang bergelar ―andi‖ atau diidentifikasi sebagai golongan aristokrat. Data ini dapat dibaca sebagai pertanda bahwa peranan bangsawan dalam panggung elite di Bone masih sangat kuat. Selain 119 Untuk kasus PPP, terdapat elite-elite baru yang menggunakan partai ini. Ketua umum PPP Sulsel, Amir Uskara adalah anak muda yang berhasil memanfaatkan reformasi sebagai tangga untuk memposisikan diri sebagai elite baru di Sulsel. Kini ia duduk sebagai anggota DPRD Sulsel, periode sebelumnya terpilih sebagai anggota DPRD Gowa, dan menduduki posisi sebagai wakil ketua DPRD Gowa. 199 itu, data ini menjelaskan, bahwa panggung politik Bone belum bisa menerima pemain dari luar Bone. Bandingkan dengan posisi anggota DPRD di Gowa sepuluh tahun terakhir masa sekularisme, ada 7 17,5 orang pendatang dari luar Gowa yang terpilih menjadi anggota DPRD Gowa. Sedangkan yang dapat diidentifikasi sebagai kelompok aristokrat kalangan kerajaan Gowa hanya tiga orang pada tahun Pemilu 2004, dan tinggal satu orang pada Pemilu 2009. Sisanya 37 orang pada Pemilu 2004, dan 39 orang pada Pemilu 2009 adalah kelompok elite baru yang berasal dari kalangan ―biasa.‖ Data ini menjelaskan kepada kita bahwa arena politik dan struktur kekuasaan di Gowa memiliki kecenderungan inklusifitas yang baik. Panggung politiknya lebih terbuka untuk diperebutkan oleh semua kalangan, fakta ini sekaligus menunjukkan adanya kemungkinan kuat akan tumbuhnya akar demokrasi. Hal lain yang bisa dijelaskan oleh data ini adalah, semakin merosotnya peranan aristokrasi di Gowa. Peranan aristokrasi sebagai simbol kebangsawanan dalam arena politik diganti dengan simbol-simbol baru berupa materi ekonomi dan kecerdasan intelektual strata pendidikan. Klan aristokrasi di Bone mulai diganggu oleh kehadiran sistem politik liberal di era sekularisme, tetapi sebaliknya sistem politik liberal justru memperkokoh kedudukan klan YL di Gowa. Seperti dijelaskan sebelumnya, klan YLsaat ini tidak memiliki lawan tanding yang memadai pada lapangan politik di Gowa khususnya, dan pada etnis Makassar umumnya. Selain sistem politik liberal, klan aristokrat Bone juga diganggu oleh kehadiran elite baru dari klan PG. Kemunculan klan PG sebagai elite baru memberi perspektif yang berbeda bagi dunia sosial. Setelah berjuang lebih dari lima puluh tahun, pada jalur yang tidak biasa, klan PG akhirnya menembus panggung elite Bone. Lima belas tahun yang lalu tidak ada yang pernah menduga kalau klan PG akan mengisi ruang-ruang elite di Kabupaten Bone, di provinsi Sulsel dan kabupaten lainnya. 120 120 Untuk mendalami clan Page silakan membaca Dinamika Politik Desa Kabupaten Bone, pada pembahasan bagian belakang tulisan ini. 200 Tabel 11. Aktor Elite Berdasarkan Klan Pada Tiga Aras di Bone dan Gowa Fase Pembentukan Elite Daerah Etnis Actor dan level elite MikroDesa Mezzo Kabupaten Makroprovinsi Sulsel Tradisional Bone Klan Arung Tarasu Klan Tuju Pitue Klan Arung Tarasu Klan A.P. Petta Rani Klan Arung Tarasu Gowa Klan Bate Salapang Klan A. Idjo Klan A.P. Petta Rani Feudalisme Bone Klan Arung Tarasu Klan KL Klan Arung Tarasu, Klan KL Gowa Klan Bate Salapang Klan A. Idjo Lanto DG Pasewa Islam Modern Bone Klan Arung Tarasu Klan Arung Tarasu Klan Arung Tarasu, Klan KL Klan NH Gowa Klan Bate Salapang Klan YL Klan YL Sekularisme Bone Klan Arung Tarasu Klan PG Klan Tuju Pitue Klan Arung Tarasu Klan PG Klan Tuju Pitue Klan Arung Tarasu Klan KL Klan NH Gowa Klan Bate Salapang Klan YL Klan YL Klan YL Sumber : Data Primer diolah 2009 Tabel di atas menjelaskan kekuatan klan Tuju Pitue yang diwakili oleh klan Arung Tarasu memiliki daya tahan yang luar biasa, karena mampu bertahan pada semua cuaca dan era politik. Fakta ini sekaligus memperlihatkan struktur kekuasaan politik di Kabupaten Bone sebagai struktur yang sangat eksklusif. Dalam arti politik, peranan aristokrasi di Kabupaten Bone terawat dengan sangat baik. Kelompok ma syarakat ―biasa‖ yang tidak berada dalam pagar aristokrasi, seperti klan PG misalnya, hanya mampu menembus struktur kekuasaan pada arena ―pinggiran.‖ Elite-elite baru dari etnis Bugis Bone yang bisa menembus pentas politik yang tinggi, hanya bisa terjadi pada wilayah politik di luar Kabupaten Bone, atau pada level makro provinsi dan Sulsel; lihat NH, AM. Fatwa, dan Anis Mata. Sebaliknya, struktur kekuasaan politik yang terjadi di dalam etnis Makassar, khususnya Kabupaten Gowa menunjukkan kondisi yang sebaliknya, panggung politik diisi oleh beragam actor yang bersumber dari berbagai kalangan. Kalangan aristokrat dari istana Gowa terus mengalami penurunan fungsi kekuasaan di Kabupaten Gowa. Berdasarkan konstruksi politik tersebut di atas, pola akuisisi kekuasaan atau reproduksi kekuasaan yang dilakukan oleh non-governing elite untuk menggunakan alat-alat sebagai berikut; 1 Simbol-simbol aristokrasi yang 201 memiliki keahlian dan pengalaman pada bidang kepamongprajaan. Kelompok ini biasanya berasal dari kelompok bangsawan yang memiliki hubungan baik dengan colonial; 2 Kelompok sub-elite atau massa yang melakukan perlawanan secara frontal terhadap kolonial. Kelompok ini biasanya mendirikan semacam lascar untuk mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan kekuatan mereka; 3 Intelektualitas dan kecendekiaan, kalangan ini berjumlah sangat terbatas, memiliki pendidikan yang tinggi, biasanya berasal dari keluarga menengah ke atas, akan tetapi belum masuk dalam jejaring rejim yang berkuasa; 4 Ekonomi, sejumlah pengusaha sejak zaman colonial hingga orde sekularisme atau reformasi sengaja dilindungi atau diproteksi oleh rejim, dengan tujuan untuk mendukung operasi elite penguasa. Setelah mereka dapat dipercaya secara politik rejim biasanya mulai membuka akses untuk memasuki posisi sebagai governing elite; 5 Pembangkangan atau kudeta, sub-elite dan massa yang frontal tidak menerima kebijakan elite penguasa akan memberikan reaksi politik yang bersifat kontras dan terbuka. Beberapa kasus di Sulsel adalah pemberontakan Kahar Muzakkar, Andi Selle, Andi Azis dan yang paling mutakhir adalah model perlawanan social yang dipamerkan oleh ALM PG; 6 Perubahan regulasi, sejumlah regulasi yang mengubah posisi non-governing elite menjadi governing elite antara lain regulasi politics etic Netherland , kebijakan nasionalisasi Orde Lama, kebijakan Orde Baru, dan kebijakan Orde Reformasi.

6.3 Pembentukan Elite Bugis dan Makassar Kasus Pemilihan Gubernur