Pembentukan Elite Bugis dan Makassar Kasus Pemilihan Gubernur

201 memiliki keahlian dan pengalaman pada bidang kepamongprajaan. Kelompok ini biasanya berasal dari kelompok bangsawan yang memiliki hubungan baik dengan colonial; 2 Kelompok sub-elite atau massa yang melakukan perlawanan secara frontal terhadap kolonial. Kelompok ini biasanya mendirikan semacam lascar untuk mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan kekuatan mereka; 3 Intelektualitas dan kecendekiaan, kalangan ini berjumlah sangat terbatas, memiliki pendidikan yang tinggi, biasanya berasal dari keluarga menengah ke atas, akan tetapi belum masuk dalam jejaring rejim yang berkuasa; 4 Ekonomi, sejumlah pengusaha sejak zaman colonial hingga orde sekularisme atau reformasi sengaja dilindungi atau diproteksi oleh rejim, dengan tujuan untuk mendukung operasi elite penguasa. Setelah mereka dapat dipercaya secara politik rejim biasanya mulai membuka akses untuk memasuki posisi sebagai governing elite; 5 Pembangkangan atau kudeta, sub-elite dan massa yang frontal tidak menerima kebijakan elite penguasa akan memberikan reaksi politik yang bersifat kontras dan terbuka. Beberapa kasus di Sulsel adalah pemberontakan Kahar Muzakkar, Andi Selle, Andi Azis dan yang paling mutakhir adalah model perlawanan social yang dipamerkan oleh ALM PG; 6 Perubahan regulasi, sejumlah regulasi yang mengubah posisi non-governing elite menjadi governing elite antara lain regulasi politics etic Netherland , kebijakan nasionalisasi Orde Lama, kebijakan Orde Baru, dan kebijakan Orde Reformasi.

6.3 Pembentukan Elite Bugis dan Makassar Kasus Pemilihan Gubernur

Sulsel 1966-2007 Salah satu arena penting pembentukan elite di Sulawesi Selatan Sulsel adalah melalui panggung Gubernur provinsi Sulawesi Selatan. Seorang Gubernur di Sulsel memiliki kemampuan membentuk route baru atau mempertahankan rute lama dalam proses pembentukan elite. Bahkan melalui panggung ini, seorang Gubernur bisa menciptakan elite secara ‖instan‖ untuk memperkuat posisi kekuasaan seorang Gubernur, meskipun seseorang itu tidak memiliki garis atau gen sebagai seorang elite. Dalam konteks ini, pembentukan elite daerah Sulsel tidak berdiri sendiri, akan tetapi juga ditentukan oleh selera politik Jakarta. Berbagai isu yang menjadi 202 pertimbangan utama penguasa Jakarta untuk menentukan pemimpin di daerah Sulsel antara lain; kemampuan calon Gubernur untuk menjaga stabilitas keamanan; kedua, memiliki loyalitas dan kepatuhan yang tinggi kepada pemerintahan di Jakarta; ketiga, menjamin berlangsungnya pembangunan yang mengacu pada ideologi pembangunan rejim yang berkuasa; keempat, calon Gubernur adalah aktor yang memiliki latar belakang dan kemampuan menjaga keseimbangan politik lokal yang penuh dengan intrik dan sentimen primordial. Pada bagian ini akan dibahas issue-issue apa saja yang menyertai setiap proses pemilihan Gubernur di Sulsel. Dari issue-issue tersebut di atas, issue apa saja yang menjadi dominan dalam penentuan Gubernur, dan bagaimana pergeseran issue itu berlangsung dari masa penentuan Gubernur yang satu dengan penentuan Gubernur yang lain. Berikut adalah proses pemilihan Gubernur Sulsel mulai tahun 1966 – 2007. Pemilihan Gubernur Periode 1966-1978 Siapapun yang memegang tampuk kekuasaan sebagai Gubernur di sebuah provinsi, maka ia akan menduduki posisi puncak sebagai elite. Pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, pemilihan pejabat politik dalam hal ini Gubernur Sulawesi Selatan, salah satu pertimbangan utamanya adalah figur yang bisa mengendalikan stabilitas keamanan. Karena pada massa itu, di Sulawesi Selatan masih terdapat sempalan politik DIITII yang memiliki potensi merongrong Jakarta. Pertimbangan lain untuk memilih seorang Gubernur Sulsel pada masa itu adalah faktor loyalitasnya kepada NKRI dan pemimpin pusat. Hal lain, yang menjadi pertimbangan Jakarta adalah daya pengaruh seorang Gubernur terhadap wilayahnya. Jakarta menginginkan seorang Gubernur yang kuat memanfaatkan institusi tentara untuk meredam potensi pemberontakan di Sulsel. Dalam konteks ini, AL dianggap memenuhi syarat mengisi kursi Gubernur Sulsel. Pilihan ini juga dapat dimaknai sebagai pilihan netral atas kompetisi dua etnis besar; Bugis dan Makassar. Karena pada masa itu, pertarungan antara dua etnis ini cukup tinggi. Sementara AL tidak berasal dari salah satu dari dua etnis besar itu. AL diidentifikasi sebagai suku Bugis Duri, Kabupaten Enrekang. 203 Selain memiliki kemampuan dan kecakapan untuk memimpin Sulsel, AL adalah seorang Perwira Tinggi yang dalam karier militernya tidak memiliki catatan buruk, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara daerah dengan pusat Sulawesi dengan Jakarta. Afiliasi politik AL lebih condong dengan Jakarta. Keputusan politik memilih AL sebagai Gubernur 1966-1978, paling tidak mampu menekan tensi politik antar etnis di Sulsel. Sehingga persaingan tersebut tidak muncul dipermukaan karena berhasil ditekan oleh pemerintah pusat dengan penunjukan pejabat politik. Untuk menetralisir situasi Sulawesi Selatan yang ketika itu baru saja terjadi peristiwa Gerakan 30 September yang dilakukan oleh PKI. 121 Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, AL yang etnis Bugis-Duri dianggap tokoh yang berhasil melakukan penataan birokrasi dan politik, serta stabilitas keamanan. Stabilitas politik dan keamanan menjadi indicator utama untuk menentukan seorang pemimpin di daerah. Terutama pada masa awal rejim Soeharto. Karena AL mampu menjaga stabilitas politik dan keamanan sesuai dengan order Jakarta, maka Lamo kembali menduduki kursi Gubernur untuk periode kedua. Pemilihan AL selama dua periode kepemimpinan dapat dianalisis sebagai akibat dari kekuasaan yang sentralistik di masa Orde Baru. Kekuasaan yang sentralistik cenderung mengandalkan konsep militeristik komando terpusat dalam menjalankan system pemerintahan dan politiknya. Konsekuensi dari rejim sentralistik adalah menyatunya kekuatan militer di dalam pemerintahan sipil. Itu sebabnya, pada masa Orde Baru, pejabat politik selalu berasal dari kalangan militer yang dikaryakan yang disebabkan kedekatan dan afiliasi kalangan militer dengan penguasa Orde Baru. Sehingga untuk jabatan gubernur dan bupati selalu dijabat dari kalangan militer. Pemerintahan daerah yang didasarkan pada Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang mempertegas pentingnya stabilitas politik maka pelaksanaan pembangunan dilakukan secara sentralistik dengan mengandalkan kekuatan militer. Peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru melahirkan perubahan dalam sistem politik Indonesia dengan tiga kekuatan politik yang menopang kekuasaan Suharto yaitu militer, birokrasi, dan Golkar yang menguasai jabatan dan posisi- 121 Lihat penjelasan Christian Pelras 2006, dalam Manusia Bugis. 204 posisi strategis. Dari ketiga komponen kekuasaan ini yang menjadi anak kandung Soeharto adalah militer. Birokrasi dan Golkar menjadi pendukung kekuasaan rejim Orde Baru. Karena alasan itu, maka posisi strategis pada Birokrasi dan Golkar juga diisi oleh orang-orang militer yang dipercayai oleh Soeharto. Regulasi rejim Orde Baru ini berhasil menciptakan elite-elite baru di Sulsel terutama melalui kelompok militer dan pengusaha. Pemilihan Gubernur Periode 1978-1983 Setelah AL menjabat gubernur selama dua periode, dilanjutkan dengan pemilihan AO, ia seorang aristokrat atau bangsawan campuran Bugis dan Makassar, meskipun ia dikenal berasal dari Barru daerah Bugis, akan tetapi ia adalah seorang pewaris tahta kerajaan Tallo kerajaan kembar dengan Gowa dan juga masih dari kalangan militer, sebelumnya AO yang berpangkat Kolonel infantri adalah mantan Kepala Staf Kodam VII Wirabuana menggantikan Ahmad Lamo, semakin menguatkan pengaruh militer dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah ini. Pilihan terhadap AO masih lanjutan dari upaya Jakarta memperkuat stabilitas politik dan keamanan di Sulsel, dengan tetap menjaga suhu politik lokal, terutama antara etnis Bugis dan Makassar. Pilihan terhadap AO adalah pilihan terhadap etnis Bugis dan Makassar sekaligus. Orang Bugis dan Makassar sama- sama mengakui AO mewakili etnisnya. Selain itu, AO dipastikan militer yang loyal dengan Jakarta. Keberhasilan AO dalam menjaga stabilitas politik, dan memulai penataan pembangunan di Sulawesi Selatan tidak diperpanjang untuk masa jabatan yang kedua kalinya. Pemerintah pusat menilai politik lokal sudah mulai surut, pertarungan antar etnis Bugis dan Makassar juga menurun. Kini saatnya bagi pemerintah pusat untuk mempersiapkan Sulsel sebagai salah satu daerah sasaran pembangunan Sulsel rejim Soeharto, terutama pada sector pertanian. Sulsel kemudian dijadikan sebagai salah satu pemasok utama pangan Sulsel. Stabilitas keamanan dan politik yang sudah terjamin, akhirnya membuat rejim Orde Baru menentukan pemimpin di Sulsel tidak lagi menggunakan criteria; militer dan mewakili atau sama sekali tidak mewakili etnis Bugis dan Makassar. Soeharto menginginkan seseorang yang memiliki konsep yang bisa menopang 205 konsep pembangunan Sulsel. Pilihan jatuh pada figure sipil dan dari etnis Bugis, Rektor Universitas Hasanuddin Prof. Dr. AA. Pemilihan elite politik dari kalangan militer untuk menduduki jabatan politik di Sulawesi Selatan menguntungkan bagi elite militer dari etnis Bugis yang terlebih dahulu memiliki akses dan afiliasi dengan pemerintah pusat, kemudahan akses tersebut dimanfaatkan elite-elite etnis Bugis yang berada di pusat untuk melobi pemerintah pusat dalam pemilihan gubernur-gubernur berikutnya yang memang semua berasal dari etnis Bugis terutama daerah Bosowa Bone, Soppeng, dan Wajo. Pemilihan Gubernur Periode 1983-1993 Prof. Dr. AA adalah seorang ilmuwan dari etnis Bugis Kabupaten Wajo, ahli atom pertama dari pulau Sulawesi. Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Kimia dan Biologi ITB dan Deputi Dirjen Badan Tenaga Atom Sulsel. Sebelum terpilih sebagai Gubernur Sulsel ia sukses memimpin Universitas Hasanuddin selama sepuluh tahun. Terpilihnya Sulsel sebagai salah daerah prioritas pembangunan Sulsel karena telah dinyatakan stabil politik dan keamanan, tidak terlepas dari peranan Jenderal Purn MJ dan BJH, yang meyakinkan Soeharto bahwa Sulsel sudah aman dari persaingan politik lokal. Dua orang ini Jend. MJ BJH kemudian membisikkan pesan ini kepada SR selaku Menteri Dalam Negeri dan kepada Panglima ABRI agar mengamankan pencalonan AA sebagai Gubernur Sulawesi Selatan. 122 Dengan demikian, terpilihnya AA dipengaruhi oleh hasil lobby elite Bugis kepada rejim Soeharto. 123 Pemilihan AA mendapat penolakan dari sejumlah aristokrat lokal dan kelompok militer karena dianggap bukan berasal dari kalangan bangsawan atau keluarga yang pernah jadi pemimpin dan keluarga militer. 124 Desakan-Desakan 122 Dalami. A. Amiruddin “ Nahkoda Dari Timur” 1999.,Jakarta: Yayasan Pendidikan Latimojong. 123 Pada sebuah kesempatan, A. Amiruddin, menyebutkan bahwa terpilihnya beberapa nama orang sipil sebagai Gubernur pada era 80- an adalah projek ―demokrasi lunak‖ yang diterapkan oleh Soerhato terhadap sejumlah daerah; Sulsel A. Amiruddin, Bali Ida Bagus Oka, dan Sumbar Hasan Basri Durin, sebagai jawaban atas desakan demokratisasi dari berbagai pihak terhadap rejim Soeharto. Yang menarik dari projek ini, Soeharto memilih cendekiawan untuk mengisi jabatan Gubernur, dan tidak memilih actor sipil yang berlatar belakang politik, atau mereka yang berlatar belakang birokrat kecuali Basri Durin, seorang Doktor yang pamong. 124 Menjelang pemilihan Gubernur periode 1983-1998, sejumlah demonstrasi mahasiswa yang dipelopori oleh mahasiswa Unhas, terjadi dimana-mana, demonstrasi yang paling besar saat itu adalah pembakaran mobil milik pemerintah kota Makassar Walikota; Abustam. Demonstrasi- 206 tersebut disebabkan perilaku bangsawan kelas atas Bugis dan Makassar enggan diperintah oleh lapisan strata yang berada di bawah mereka. Sebelumnya AA tidak pernah diperhitungkan untuk menduduki jabatan Gubernur, namanya baru disebut-sebut menjelang pemilihan sebagai Gubernur. Namun kemampuannya dalam memimpin Sulawesi Selatan dengan Tri Konsepsi Pembangunannya, yakni: Perubahan Pola Pikir, Pengwilayahan Komoditas, dan Petik- Olah-Jual, menjadikannya dengan mudah menduduki jabatan Gubernur selama dua periode. Pada pemilihan Gubernur periode kedua, AA tidak lagi mendapat perlawanan dari kalangan bangsawan maupun kelompok militer. Hal tersebut memperlihatkan pemilihan seorang gubernur sangat ditentukan oleh Presiden Suharto ketika itu. Terbukti ketika Sarwono Kusumaatmaja menghadap Suharto mengusulkan agar AA diangkat menjadi menteri tapi Presiden Suharto kala itu masih memberikan kepercayaan untuk kembali memimpin Sulawesi Selatan. Pemilihan Gubernur Periode 1993-2003 ZBP adalah perwira tinggi militer, mantan Kasdam Jaya dan Pangdam VII Wirabuana, sebelumnya adalah wakil gubernur pada periode 1983-1988. Pada pemilihan Gubernur Sulsel periode 1993-1998 ia berhasil memenangkan pemilihan yang berlangsung kontroversial, karena salah seorang calon; Prof. Dr. BL yang dikenal sangat kritis dan bersih, tiba-tiba mengundurkan diri pada detik-detik terakhir menjelang pemilihan Gubernur yang berlangsung di gedung DPRD Sulsel. Pengunduran diri BL yang berasal dari etnis Mandar dipandang sebagai perlawanan terhadap dominasi Orde Baru dan kekuatan yang terpusat di Jakarta. Selain itu, BL juga ingin menelanjangi dominasi etnis Bugis di Sulsel. Menurut BL, pemilihan Gubernur Sulsel hanyalah drama politik yang skenarionya diatur oleh elite-elite Orde Baru melalui perpanjangan tangan mereka pada fraksi Golkar dan fraksi ABRI di DPRD Sulsel. Karena itu, BL memiliki alasan untuk tidak menjadi bagian dari drama politik tersebut. Menurut BL, dirigen politik sudah mengatur angka-angka yang bakal diraih oleh masing-masing calon. Dirinya hanya akan memperoleh lima suara, dan demonstrasi itu terkesan dibiarkan oleh aparat keamanan, tujuannya untuk member kesan bahwa Rektor Unhas A. Amiruddin tidak bisa mengendalikan mahasiswanya. Kesan ini terus dikembangkan untuk menunjukkan A. Amiruddin sulit menjadi pemimpin di Sulsel, karena memimpin mahasiswanya saja tidak sanggup. 207 sepupunya Prof. Dr. BH pada saat itu Rektor Universitas Hasanuddin akan diberikan tujuh suara. Dengan demikian, ZBP akan mendapat 63 suara dari total suara sebanyak 75 suara. Pengaturan suara seperti ini tidak bisa diterima oleh BL. BL menginginkan pemilihan berdasarkan hati nurani anggota DPRD, dan tanpa rekayasa politik. Perbedaan perkiraan perolehan suara yang mencolok antara dirinya dengan ZBP memperkuat alasan BL untuk mengundurkan diri. Namun pengunduran diri BL direspon negative oleh elite-elite Bugis. Bahkan dinilai sebagai tindakan yang melecehkan demokrasi. Perkiraan BL tidak meleset, pemilihan gubernur Sulsel dimenangkan secara mutlak oleh ZBP. Selain mendapat dukungan kuat dari kalangan militer dan rejim Orde Baru, Palaguna juga mendapat dukungan dari sentiment politik etnis Bugis yang sangat dominan menduduki kursi DPRD Sulsel. Menyatunya kepentingan Soeharto dan elite lokal yang berasal dari etnis Bugis, membuat kekuatan Palaguna tidak tertandingi. Sebagai mantan wakil gubernur periode 1983-1988, Palaguna sangat memahami konsep yang dirumuskan oleh AA; Tri Konsep Pembangunan. Meskipun dalam pelaksanaannya, Palaguna menggunakan terminology yang berbeda dengan terminology yang dikembangkan oleh AA. Akan tetapi substansinya relatif sama. Program unggulan yang dikembangkan Palaguna masih berkisar pada sector pertanian, dengan memperkuat pengwilayahan komoditas. ZBP terpilih kembali untuk periode berikutnya 1998-2003, dengan mengalahkan Mayjen AG, Prof. Dr. RAG, dan MW. Dari empat orang calon gubernur yang masuk dalam agenda Panitia Sebelas, ZBP yang masih gubernur Sulawesi Selatan berhasil menang dengan meraih 33 suara mengalahkan; AG yang mendapat 20 suara, RAG yang memperoleh 8 suara dan MW 4 suara. Pada pemilihan periode kedua, elite-elite Bugis tidak utuh mendukung ZBP. AA dan gerbongnya dikabarkan mendorong AG untuk menjadi Gubernur. Tetapi kelompok tentara di Sulsel dan Jakarta masih mempercayai ZBP. Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan di masa Orde Baru banyak dipengaruhi oleh kondisi anggota DPRD yang didominasi oleh etnis Bugis yang memiliki strategi menempatkan orang-orang Bugis mewakili daerah etnis Makassar, Mandar dan Toraja. Sehingga wakil-wakil rakyat di DPRD walaupun berasal dari daerah Makassar, Mandar, dan Toraja tapi tidak mewakili etnis 208 tersebut karena sebenarnya mereka berasal dari etnis Bugis. Dengan dukungan yang kuat dari anggota-anggota DPRD yang mayoritas etnis Bugis sehingga dominasi kepemimpinan orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan tidak bergeser. Secara historis, dominasi etnis Bugis ini juga disebabkan perkawinan politik yang dilakukan oleh bangsawan-bangsawan Bugis untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan menikahi perempuan etnis lainnya dengan tujuan agar etnis Bugis bisa diterima dan menguasai wilayah etnik lain. Sehingga sekarang berpengaruh pada posisi etnis Bugis di semua wilayah dan jabatan strategis di Sulawesi Selatan. 125 Dominasi elite-elite etnis Bugis di masa Orde Baru juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman dan kemampuan yang merupakan hasil kebangkitan etnis Bugis. Pemilihan Lanto Dg. Pasewang dari etnis Makassar menjadi gubernur diawal kemerdekaan karena waktu itu tingkat kecerdasanpendidikan masyarakat bagian selatan atau etnis Makassar yang mengecap pendidikan di Bantaeng dan Makassar jauh lebih baik dibandingkan masyarakat Bugis yang berada di utara, sehingga memacu orang-orang Bugis di daerah utara untuk menyekolahkan anaknya sampai pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi bahkan menyekolahkan sampai ke Jawa. Setelah melalui waktu yang lama baru kemudian nampak di masa Orde Baru dengan berusaha mendapatkan dan menguasai jabatan politis dan jabatan-jabatan strategis di semua wilayah di Sulawesi Selatan. Masa Orde Baru bisa disebut sebagai era kebangkitan masyarakat Bugis, karena pada masa ini, etnis Bugis menguasai posisi-posisi jabatan politis dan jabatan strategis di Sulawesi Selatan . Pemilihan Gubernur Periode 2003-2008 Pemilihan Gubernur Sulsel pada tahun 2003 memasuki babak baru, ini dipengaruhi oleh situasi politik Sulsel yang sudah mulai memasuki transisi dari era Orde Baru ke Orde Otonomi Daerah Sekularisme. Dimana pemilihan gubernur tidak lagi berdasarkan keinginan pemerintah pusat namun berdasarkan pemilihan dari 125 Dijelaskan pula oleh Serly Erlington tentang perkawinan politik orang Bugis dalam Siri, Darah dan Kekuasaan Politik,Bingkisan Budaya SulSel. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi elatan. hlm.30. 209 anggota DPRD Provinsi yang menjadi penyalur aspirasi masyarakat Sulawesi Selatan. Keadaan ini mendapat sambutan antusias dari masyarakat, terutama tokoh-tokoh masyarakat dan kelompok yang memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan politik seperti dalam partai politik di DPRD dan kelompok kepentingan yang berada di luar parlemen. Perubahan ini menyebabkan terjadinya polarisasi kepentingan yang semakin menguat, di dalam parlemen muncul faksi-faksi elite politik berdasarkan kepentingan kelompok dan perorangan. Di luar parlemen juga terjadi polarisasi kepentingan berbagai kelompok, diantaranya dari kalangan militer seperti Persatuan Purnawirawan ABRI, Legiun Veteran Republik Indonesia, dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan yang mendukung AS dan SYL. Partai politik seperti Golkar mengalami fragmentasi dan polarisasi yang cukup tajam, sebagian anggota fraksinya mendukung NH, AM. Sementara secara resmi Golkar mengusung ketua umumnya; AS. Sementara partai menengah seperti; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP dan Partai Amanat Sulsel PAN relatif solid mengusulkan seorang figure. Setelah melalui proses penjaringan dan seleksi oleh setiap fraksi maka ditetapkan tiga pasangan calon yakni pasangan NH-IM yang diusulkan oleh Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, merupakan representasi dari politikus- politkus, asangan AM-AMH pengusaha dan birokrat yang dicalonkan oleh Fraksi Amanat Sulsel. Pasangan AS-SYL dicalonkan oleh Fraksi Partai Golkar yang merupakan representasi elite militer, elite partai politik, elite birokrasi, dan kelompok aliran Sulselis. 126 Dari perspektif etnisitas, ketiga pasangan kandidat berasal dari dua etnis yang mayoritas di Sulawesi Selatan. Pasangan NH-IM keduanya mewakili etnis Bugis, AM-AMH juga mewakili etnis Bugis sedangkan pasangan AS- SYLmerupakan representasi etnis Bugis dan Makassar. Dari ketiga pasangan kandidat, AS-SYL yang memiliki peluang untuk mendapatkan dukungan kuat dari kedua etnis Bugis dan Makassar dari pada pasangan lain dari etnis Bugis. 126 Baca Polarisasi konflik yang dijelaskan Jayadi Nas. 2007. Konflik Elite di Sulawesi Selatan. Jakarta: Yayasan Masaile LEPHAS. hlm. 185-186. 210 Situasi politik yang berubah dari Orde Baru ke era sekularisme pada tahun 1998, mempengaruhi konstalasi politik secara menyeluruh, termasuk pemilihan Gubernur. Pemilihan Gubernur tidak lagi dikontrol oleh elite-elite Jakarta, meskipun pada masa itu masih ada fraksi ABRI, akan tetapi Mabes TNI tidak bisa intervensi hak-hak politik anggotanya. Pada saat yang bersamaan, masyarakat luas mendapat kesempatan menyampaikan aspirasi politiknya, sehingga memunculkan persaingan baru berdasarkan kepentingan etnis dan kedaerahan antara elite politik lokal dalam memperebutkan kekuasaan. Dengan munculnya tiga elite Partai Golkar dalam bursa calon yaitu AS, NH dan SYLmembuat perpecahan dukungan dalam Partai Golkar. Anggota Partai Golkar yang berasal dari etnis Makassar mendukung SYL, sehingga SYL memiliki pendukung 16 enam belas anggota DPRD dari Partai Golkar ditambah anggota dari partai lain yang berasal dari etnis Makassar. Pada pemilihan Gubernur kali ini, kembali muncul sentiment etnis yang cukup kuat. Etnis Makassar yang selama ini marjinal secara politik dan ekonomi mendorong elitnya untuk maju pada pentas politik Sulsel, meskipun hanya menjadi wakil Gubernur. Dukungan yang bulat dari anggota-anggota DPRD dari etnis Makassar yang menuntut adanya penyatuan paket calon gubernur dan wakil gubernur dari kedua etnis Bugis dan Makassar kian menguat. Karena selama Orde Baru perkembangan daerah utara Bugis lebih maju dan dominasi elite politiknya diberbagai jabatan strategis menimbulkan kecemburuan dari masyarakat bagian selatan Makassar yang jauh tertinggal, dan elite dari daerah selatan tidak pernah diperhitungkan dalam menduduki posisi kekuasaan. Untuk memperkuat bargaining position, elite-elite etnis Makassar menghembuskan issue pemisahan diri dan membentuk provinsi baru; Provinsi Makassar Raya meliputi Kabupaten Pangkep, Maros, Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar dan sebagian Kabupaten Sinjai, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2003 menjadi momen strategis bagi elite Makassar untuk diperhitungkan secara politik dan ekonomi. Tuntutan ini kemudian menjadi kenyataan dengan menyatukan AS dengan SYL, sebagai representasi Bugis Makassar yang mewakili daerah utara dan selatan. Posisi SYLyang memiliki dukungan bulat dari 16 enam belas anggota DPRD dari Partai 211 Golkar dan anggota DPRD etnis Makassar dari partai lain, ditambah makin kencangnya tuntutan pemekaran Provinsi Makassar Raya. Sehingga Moeh. Roem yang awalnya akan berpasangan dengan AS memilih mengalah dengan pertimbangan dirinya dan AS adalah sama-sama dari etnis Bugis. AS yang memiliki dukungan riil dan posisinya yang strategis sebagai Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan Ketua Partai Golkar memutuskan memilih SYL dengan pertimbangan untuk mengakhiri konflik antar elite yang didasarkan pada kepentingan suku atau wilayah. Kesediaan AS memilih SYL bukan saja atas pertimbangan menjaga keseimbangan etnis Bugis dan Makassar, tetapi lebih pada melihat SYL secara pribadi yang memiliki jaringan dan dukungan riil dari keluarga dan koleganya di DPRD yang berjumlah 16 orang. Dengan posisinya seperti itu, SYL menjadi primadona politik, terbukti dengan didekatinya oleh sejumlah calon untuk menjadikan SYL sebagai wakilnya. Pada saat itu, siapapun yang menjadikan SYL sebagai wakilnya, akan berpotensi memenangkan pemilihan Gubernur Sulsel. Sebanyak 39 jumlah suara anggota DPRD yang mendukung pasangan AS- SYLkemungkinan besar diperoleh dari 35 anggota Fraksi Partai Golkar, 4 suara dari partai lain. Kemenangan pasangan AS-SYL atas pasangan AM-MH dan NH-I M banyak ditentukan oleh kemampuan SYL melakukan pendekatan terhadap anggota DPRD di bandingkan AS yang lebih mengandalkan dukungan anggota partainya. SYL mampu melakukan pendekatan kekeluargaan, kewilayahan dan kesukuan, partai lain, keorganisasian yang telah lama dilakoninya serta memiliki kecerdasan intelektual yang menonjol. Sehingga dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan tahun 2003 SYL lebih memiliki pengaruh terhadap kemenangan yang diraihnya ketimbang peranan yang dimainkan oleh AS.

6.4 Dinamika Politik Desa di Kabupaten Bone dan Gowa