Kerangka Pemikiran Pembentukan elite politik di dalam etnis bugis dan makassar menuju hibriditas budaya politik

87 kebenaran. Kedua metode ini dalam penerapannya mempunyai perbedaan, dimana metode hermeneutika dilakukan dengan cara mengidentifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang perorangan. Sedangkan metode dialektika mencoba membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang-perorangan untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran secara bersama. Adapun harapan dari semua ini adalah kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subyektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.

3.2 Kerangka Pemikiran

Studi ini dipandu oleh pemikiran teoritis tentang elite yang dikembangkan oleh Pareto dan Mosca. Menurut Pareto, masyarakat terbagi dua yakni masyarakat elite dan non-elite. Kalangan elite terbagi menjadi dua kelompok lagi; elite yang berkuasa governing elite dan elite yang tidak berkuasa non-governing elite. Sedangkan Mosca menyebutkan adanya kelompok yang dikenal sebagai sub-elite, yang berada diantara elite dan massa. Elite yang berkuasa governing elite adalah mereka yang memiliki kemampuan membangun relasi atau hubungan baik dengan massa memiliki ideologi yang sama, sebaliknya elite yang tidak berkuasa adalah elite yang gagal membina hubungan baik dengan sub-elite dan massa. Sumber utama kalangan elite adalah; politisi, birokrat, pengusaha, dan militer yang senantiasa melakukan kapitalisasi dengan menggunakan simbol, kuasa dan uang untuk mempertahankan kekuasaannya. Sedangkan sub-elite pada umumnya berasal dari tokoh agama, cendekiawan, akademisi, mahasiswa, pers dan civil society organizations. Kerangka pikir tersbut di atas dapat diskemakan pada gambar 3 sebagai berikut; situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami substansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari. Hal yang paling tampak dari kesulitan atas substansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya. Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam. Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa. 88 Gambar 3. Skema Pembentukan Elite Politik Sulsel Relasi antara kekuasaan, uang, simbol, pengaruh, dan komitmen nilai wacana dan makna adalah variabel-variabel yang juga ikut memberikan kontribusi dalam proses pembentukan elite di Sulawesi Selatan. Terutama, apabila pembentukan kekuasaan elite itu beriringan dengan kepentingan atau konflik antar kelompok identitas; etnis, agama, kultur dan geografi. Pola permainan elite pada etnis Bugis dan Makassar dalam upayanya meraih, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan berbeda dari satu tahapan waktu dengan era lainnya. Menurut Gibson Gibson 2005;2007 tahapan perkembangan atau transformasi elite politik dan ekonomi pada etnis Bugis dan Makassar dimulai dari tahapan tardisional, islam dan moderenisme. Tahapan yang dimaksud Gibson memiliki kemiripan dengan tahapan perkembangan masyarakat yang dikemukakan Comte dalam bukunya the Course of Positive Philosophy, 1838. Menurut Comte, sejarah perkembangan pikiran manusia dibagi menjadi 3 tahap yaitu 1 teologi, 2 metafisis, dan 3 positif. Melalui teori tiga tahap ini, refleksi dari sejarah manusia merupakan pangkal yang memimpin Comte memformulasikan teori yang berdasarkan pada filsafat positifnya. Ia menghubungkan tahapan ini dengan fase hidup individu dan melihat fase ini dengan kaca mata sejarah yang lebih luas. ELITE MASYARAKAT NON-ELITE MASSA GOVERNING ELITE NON GOVERNING ELITE LSM, TOKOH AGAMA, MEDIA MASSA, MAHASISWA  KAPITALISASI; IDEOLOGI MITOS SIMBOL BUDAYA POLITISI, BIROKRAT, MILITER, PENGUSAHA;  KAPITALISASI; SIMBOL BUDAYA, KUASA DAN UANG 89 Tahap pertama yaitu teologi . Ini dimengerti oleh Comte sebagai being. Dalam fase ini manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa- peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Pada masa anak-anak ini secara instingtif manusia mencoba menjelaskan fenomena- fenomena. Manusia mencari penyebab sejati dari yang tidak diketahui yang dianggap berasal dari benda berjiwa dan sesuatu yang menyerupai manusia. Oleh Comte, mentalitas animistik ini didiskripsikan sebagai tahap fetisisme. Lalu pada tahap berikutnya berkembang politeisme yang memproyeksikan kekuatan alam menjadi bentuk dewa-dewa. Berikutnya dewa-dewa politeisme ini dilebur menjadi satu konsep Tuhan monoteisme. Inilah urutan sub - bagian dari fetisisme, politeisme, hingga monoteisme yang terdapat bersama di dalam tahap teologi. Tahap kedua sebagai tahap metafisis . Pada tahap metafisis ini, penjelasan aktifitas kehendak ilahi diganti menjadi idea-idea fiksi seperti ether, prinsip- prinsip penting, dll. Masa transisi dari tahap teologi ke metafisis ini telah selesai ketika konsep supernatural dan dewa-dewa digantikan oleh konsep all-inclusive Nature. Tahap ketiga yaitu tahap positif . Tahap ini dikatakan sebagai masa dewasa dari mentalitas. Pada tahap ini, pikiran memusatkan diri pada fenomena atau fakta hasil observasi dimana itu semua digolongkan di bawah hukum umum deskriptif umum, seperti hukum gravitasi. Dengan adanya hukum-hukum deskriptif ini akan membuat berbagai prediksi menjadi nyata. Dan memang, sasaran dari pengetahuan positif yang sejati adalah kemampuan untuk memprediksi dan mengontrol. Pengetahuan positif itu sejati real , pasti certain , dan berguna useful. Teori tiga tahap juga memiliki sedikit hubungan dengan reorganisasi masyarakat . Comte menggolongkan tahap tersebut dengan bentuk organisasi sosial. Tahap teologi diasosiasikan dengan kepercayaan pada otoritas absolut, kebenaran ilahi dari raja, dan golongan sosial yang berbau militer. Dengan kata lain, golongan sosial didapatkan melalui otoritas atas. Lalu dalam tahap metafisis ada kepercayaan pada hukum-hukum abstrak. Dan yang terakhir tahap positif yang diasosiasikan dengan perkembangan masyarakat industri. Dalam tahap ini, kegiatan ekonomi menjadi perhatian dan terdapat para elite dalam ahli ilmu pengetahuan yang mengorganisasikan kelompok masyarakat. Bagi Comte, abad 90 pertengahan itu merupakan representasi tahap teologi. Masa pencerahan sebagai representasi tahap metafisis. Lalu masa dimana Comte hidup merupakan awal tahap positif. Dari tiga tahap perkembangan manusia ini dapat diambil dua point. Pertama, berhubungan dengan kepercayaan. Comte menyatakan kepercayaan kita ini kerdil karena tidak didasarkan akal sehat dimana tidak ada alasan positif untuk percaya bahwa ada Tuhan yang transenden. Dengan kata lain, penyebaran ateisme adalah ciri-ciri perkembangan pikiran pada masa dewasa ini. Kedua, berhubungan dengan korelasi tiga tipe organisasi sosial dengan tiga tahap perkembangan manusia. Dalam kajian ini Comte mau mengungkapkan semakin intelektual manusia maju maka perkembangan sosial dapat berjalan lebih cepat. Ini dikarenakan ada suatu rencana sosial yang dilakukan oleh para elite pengetahuan juga ada suatu apriaori bahwa semakin mental maju maka kemajuan sosial akan lebih cepat tercapai. Teori tiga tahap dari Comte dapat ditafsirkan sebagai; tahap teologis, adalah periode feudalisme, tahap metafisis merupakan periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat modern dan industri . Pada setiap tahapan tersebut di atas, para elite kekuasaan politik dan ekonomi membangun konstruksinya tersendiri untuk meraih, memperkokoh dan memperluas kekuasaannya. Konstruksi yang dimaksud dibangun dengan instrumen-instrumen utama seperti; simbol budaya; kuasa, dan uang. Kuasa memiliki hubungan dengan politik, uang berkaitan dengan ekonomi, simbol budaya berpengaruh pada komitmen nilai dan makna yang diwacanakan terus menerus dalam berbagai cara. Berdasarkan pandangan Gibson dan Comte serta isntrumen yang digunakan para elite dalam membangun, mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, maka proses pembentukan elite di dalam etnis Bugis dan Makassar, konstruksinya dapat dilihat pada gambar tiga 3 berikut: 91 Gambar 4. Skema proses produksi kekuasaan di dalam etnis Bugis Makassar. Dari skema di atas terlihat dengan jelas bahwa proses produksi kekuasaan dan cara mempertahankan kekuasaan yang terjadi di Sulawesi Selatan dengan basis utama; birokrasi, private sectors pengusaha dan politisi dengan menggunakan ranah tiga media kuasa, uang, wacana dan makna atau simbol budaya. Jalur politik memanfaatkan etnisitas, agama, geopolitik, partai politik, organisasi sosial masyarakat dan massa. Untuk menghubungkan dirinya dengan massa, mereka dominan menggunakan kuasa dan simbol budaya. Sedangkan jalur birokrasi, cenderung menggunakan regulasi, institusi negara dan pemerintah sebagai alat utamanya kuasa dan uang. Sedangkan jalur pengusaha memanfaatkan pasar dan institusi bisnis uang sebagai alat untuk dijadikan sebagai instrumen dan jembatan untuk mencapai tujuan politiknya. 92

3.3 Strategi, Langkah, Pengumpulan dan Analisis Data