Perubahan Sistem Pemerintahan Fase Feudalisme; Tanah Sebagai Tata-produksi Kekuasaan

131 instrumen idiologi Islam yang disponsori oleh pedagang Melayu, sedangkan Bone memakai idiologi moderenisme dan support oleh pedagang Belanda. Pengelolaan kekuasaan yang dilakukan oleh Arung Palakka dan Speelman di Sulsel tidak berjalan mulus, karena orentasi keduanya sangat berbeda. Arung Palakka adalah pemimpin yang berusaha mengayomi rakyatnya, sembari memastikan lawan politiknya Gowa berada dalam posisi rapuh. Sedangkan Speelman adalah sosok yang mewakili kepentingan kapitalis yang berorentasi bagaimana melipat gandakan keuntungan. Arung Palakka menggunakan kekuasaan untuk memastikan ketundukan rakyat kepadanya, terutama lawan politiknya. Lain halnya Speelman yang memakai tentara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Sulsel memasuki babak baru dalam dunia kekuasaan ketika Arung Palakka meninggal. Tidak tokoh lain yang memiliki pengaruh yang selevel dengan Arung Palakka. Elit-elit kerajaan yang berkoalisi dengan Arung Palakka tidak meahirkan tokoh atau elit baru yang mendekati kualitas Arung Palakka. Keadaan ini membuat kedudukan VOC semakin kuat. Karena diantara elit-elit tanggung yang ingin menggantikan posisi Arung Palakka semuanya ―mendekati‖ VOC untuk memohon dukungan. Di sisi lain, terdapat indikasi bangkit kembalinya kekuatan lawan Gowa untuk merebut kembali kekuasaan di Sulsel. Keadaan ini terus dekelola dan dikontrol oleh VOC. Bagi VOC, tidak mempersoalkan siapapun yang menjadi pasangannya dalam mengelola kekuasaan di Sulsel, yang penting pasangan itu memberi keuntungan ekonomi yang optimal bagi VOC.

5.3.1 Perubahan Sistem Pemerintahan

Perubahan sistem pemerintahan terjadi mulai pada awal 1906. Perubahan ini berdampak pada pola pengaturan kekuasaan antara Pemerintah Belanda dengan elit-elit kerajaan di Sulsel. 66 Mulai tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan dirinya sebagai penguasa tunggal dalam menjalankan pemerintahan terhadap rakyat Sulsel. Penetapan ini amat berbeda dengan masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda sebelum 1906. 66 Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasan: Makassar 1906-1942 Yogyakarta: Ombak, 2004, hlm. 2-3. 132 Sejak 1906, Pemerintah Hindia Belanda tidak lagi melibatkan elit-elit kerajaan dalam mengatur pemerintahan di Sulsel. Peranan kerajaan didalam pengurusan pemerintahan ditiadakan. Sebelum 1906, kerajaan-kerajaan digandeng oleh VOC sebagai sekutu untuk mengelola pemerintahan. Perubahan ini berdampak pada bergolaknya para elit kerajaan-kerajaan secara diam-diam. Berbagai aksi perlawanan justru dilakukan oleh elit-elit kerajaan dengan meminjam kelompok-kelomok ―bandit dan preman‖ yang dikenal sebagai komunitas yang suka melawan Belanda. Perlawanan diam-diam ini dilakukan oleh orang-orang kerajaan untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai elit penguasa lokal. Kekacauan yang terus muncul secara sporadis itu, memeberi kesan bahwa Pemerintah Hindia Belanda gagal mengendalikan keamanan. Keadaan ini tentu saja meresahkan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mempermudah pengendalian dan kontrolnya, pada tahun 1911 Pemerintah Hindia Belanda membentuk wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara menjadi satu wilayah pemerintahan. Wilayah ini kemudian dibagi lagi menjadi tujuh bagian pemerintahan atau afdeeling: Makassar, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Luwu, Mandar, Buton dan Pesisir Timur Sulawesi. Kalau penggabungan dan pembagian wilayah itu dimaksudkan untuk menekan perlawanan diam-diam dari orang-orang kerajaan, maka asumsi Pemerintahan Hindia Belanda kebijakan itu salah. Karena perlawanan semakin meningkat, dan keadaan semakin kacau. Gagal mengatur keamanan, pada tahun 1916, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai memanfaatkan elit-elit kerajaan untuk menata administrasi pemerintahan. Dalam struktur Pemerintahan Hindia Belanda yang baru elit-elit kerajaan mengisi posisi sebagai kepala-kepala distrik atau Regen. Tapi masyarakat mengenalnya sebagai Karaeng Arung atau Puatta. Mereka pada umumnya diambil dari raja-raja bawahan Kerajaan Gowa atau Bone. Pergantian sistem pemerintahan tetap menunjukkan sebagai bagian dari kontestasi elit, untuk mempertahankan, dan atau untuk merebut menjadi elit baru. 67 Dalam konteks ini, benar bahwa teori yang mengatakan salah satu faktor 67 Baudet, H. dan I.J. Brugmans, penyunting. 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan . Jakarta: YOI. 133 yang ikut berpengaruh dalam pembentukan dan peruntuhan elit adalah regulasi pemerintah. Regulasi yang berubah ini membawa konsekuensi lain yakni, para elit kerajaan harus mampu beradaptasi dengan struktur pemerintahan yang baru. Seringkali elit-elit kerajaan besar seperti Bone dan Gowa sulit menyesuaikan diri karena mereka telah memiliki budaya pemerintahan sendiri. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan kecil yang belum memiliki budaya pemerintahan yang kuat. Sehingga umumnya, elit kerajaan-kerajaan lebih adaptif memasuki struktur Pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu, elit-elit Kerajaan Bone terus menjaga jarak dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Sebaliknya Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pendekatan dengan elit-elit Kerajaan Gowa. Permainan regulasi pada tingkat elit ini menunjukkan bagaimana regulasi pemerintahan berpengaruh besar pada pemutaran sirkulasi elit. 68 Aktor-aktor elit istana Bone dan Gowa yang memilih tidak ikut rel regulasi Pemerintah Hindia Belanda akan terhempas dari panggung kekuasaan. Hal yang sama dialami oleh aktor-aktor elit istana yang berhasrat untuk bergabung dalam gerbong Pemerintahan Hindia Belanda tetapi tidak mampu beradaptasi. Aktor-aktor yang tersingkir ini biasanya mengambil jalan lain untuk mempertahankan eksistensi ke-elitan-nya. Misalnya, bermigrasi meninggalkan Bone dan Gowa yang diikuti oleh sejumlah pengikut setianya. Untuk menjaga kewibawaan pemerintah, Penguasa Hindia Belanda berusaha mengambil alih peran dari elit-elit kerajaan yang tidak dilibatkan atau yang tidak mau melibatkan diri lagi dalam pemerintahan, dengan memberikan kekuasaan, kewenangan dan kedudukan kepada elit-elit kerajaan lapisan kedua yang mau bekerja sama. Dengan cara ini, Pemerintah Hindia Belanda telah melakukan politik adu domba antara elit-elit kerajaan. Semakin terpolarisasi, elit-elit kerajaan yang tidak masuk dalam barisan Pemerintah Hindia Belanda justru semakin menunjukkan perlawanan. Perlawanan elit-elit yang terpental ini dilakukan dengan berbagai cara; mengacaukan 68 Ibid 134 keamanan masyarakat atau menyerang secara fisikk kepentingan-kepentingan Hindia Belanda. Untuk menangkal kekuatan elit-elit kerajaan yang terus menerus bergerylia melawan kepentingan Pemerinthan Hindia Belanda, mereka berusaha melumpuhkan elit-elit itu dengan mencabut akar-akar kebangsawanan dan kedudukan feudalnya. Selain itu mereka juga berupaya menghidupkan kembali atau mempertahankan kedudukan lembaga-lembaga tradisional dan kebudayaan masyarakat lokal. 69 Gerakan-gerakan rupanya dimaksudkan untuk menarik dukungan dari kalangan masyarakat awam, yang dianggap tertindas oleh perilaku elit bangsawan Bugis dan Makassar. Untuk memperkecil peranan elit-elit kerajaan, khususnya di Kerajaan Gowa, Pemerintah Hindia Belanda melakukan restrukturalisasi organisasi pemerintahan, dengan membagi wilayah pemerintahan Makassar dan Bonthain menjadi tiga wilayah afdeeling yaitu: Makassar, Sungguminasa dan Bonthain. Wilayah kerajaan Gowa di jadikan afdeeling Sungguminasa dengan ibu kota Sungguminasa membawahi: onderafdeeling Gowa, sekaligus membawahi bekas kerajaan Gowa, onderafdeeling Takalar, dan onderafdeeling Jeneponto. Restrukturisasi ini selain untuk menurunkan peranan elit-elit lapisan atas kerajaan, juga dimaksudkan untuk merangkul elit-elit kerajaan lapisan kedua, untuk mengisi jabatan-jabatan baru yang disediakan pada wilayah afdeeling baru. Langkah ini cukup ampuh, karena berhasil meng-alienasi kedudukan kerajaan. Wilayah kekuasaan kerajaan juga terus diisolasi, agar bisa dijauhkan dari pengikut-pengikutnya. Pada periode ini, Pemerintah Hindia Belanda sudah berhasil membangun ―kekuatan ganda,‖ yakni melumpuhkan secara perlahan-lahan kekuatan elit utama Kerajaan Gowa, dan menumbuhkan kekuatan baru dengan cara mengangkat elit- elit baru dari kalangan bangsawan lapisan kedua. Strategi ini dimaksudkan untuk memuluskan Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai dan mendapatkan simpati dari masyarakat. Bersamaan dengan itu, jika ada perlawanan dari elit-elit 69 Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik 135 utama kerajaan, maka tidak saja akan berhadapan dengan Belanda, tetapi juga dengan elit-elit baru yang mengisi kekuasaan yang disediakan oleh Belanda. 70 Peralihan kekuasaan yang diikuti oleh terbentuknya elit-elit baru dari elit inti kerajaan ke elit lapisan kedua semakin menempatkan keluarga kerajaan pada posisi yang amat sulit. Sejak Raja Gowa yang terakhir gugur pada 1906, keluarga raja dan bangsawan Gowa yang diisolasi hidup dalam keadaan miskin. Harta mereka di sita dan kedudukan penguasa Gowa ditiadakan. Kelumpuhaan peranan keluarga kerajaan, disertai dengan bangkitnya elit-elit baru membuat Pemerintah Hindia Belanda berhasil mengontrol wilayah kekuasaan Gowa dengan baik.

5.3.2 Perkembangan Bidang Pendidikan