Analisis Aras Makro dan Mezzo

276 wacana agar terhegemoni untuk menciptakan seseorang atau kelompok tertentu untuk menempati posisi-posisi sosial dan ruang-ruang kekuasaan yang diinginkan, dalam penelitian ini, ruang-ruang kekuasaan dan posisi-posisi sosial diartikan sebagai elite. Penjelasan analisis pada bagian ini dilakukan pada tiga aras; makro propinsi, mezzo kabupaten dan mikro desa. Argumentasi pada setiap aras adalah hasil perbandingan perilaku politik elite etnis Bugis Bone dengan elite etnis Makassar Gowa, terutama pada bagaimana aktor elite dari Bone dan Gowa menggunakan kuasa dan uang untuk mencapai dan mempertahankan diri pada posisi kekuasaan politik. Khusus pada aras mikro, analisis diarahkan untuk mengetahui pola kerja elite desa dalam menggunakan kuasa dan uang untuk merebut posisi kekuasaan politik. Ruang kekuasaan di desa sangat terbatas, dan diperebutkan oleh kalangan elite yang memiliki hubungan emosional sangat dekat. Bagaimana mereka mengatur kekuasaan dan uang untuk menjaga soliditas emosional antar keluarga, tetapi pada saat yang bersamaan juga mampu meraih posisi puncak elite desa.

7.2.1 Analisis Aras Makro dan Mezzo

Awal mula terjadinya penggunaan kuasa dan uang dalam pembentukan elite di Bone dan Gowa adalah ketika penguasa Gowa melakukan ekspansi kekuasaan ke sejumlah kerajaan di jazirah Sulawesi. Sebagai kerajaan besar, Sultan Gowa mulai melirik modal tanah sebagai tata-produksi kekuasaan. Ketika Gowa mengontrol kerajaan-kerajaan lain di Sulsel, termasuk kerajaan Bone, para elite Bone yang dipimpin Arung Palaka menemukan dua jenis issue ―seksi‖ yang bisa membangkitkan semangat etnis ke-Bone-an masyarakatnya; Siri ‘ dan eksploitasi sumberdaya. Issue Siri ‘ ditiupkan karena ―penjajahan‖ yang dilakukan oleh Sultan Gowa terhadap elite-elite Bone sudah menyentuh harga diri dan kehormatan mereka. Eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh sultan Gowa melalui kontrol perdagangan hasil bumi yang dihasilkan oleh tanah-tanah subur pada wilayah etnis Bugis. Issue ini kemudian menjadi pemicu perlawanan etnis Bugis terhadap kesultanan Gowa. Perang antara Gowa dengan VOC dimanfaatkan oleh Arung Palaka untuk melakukan perlawanan dan keluar dari penindasan kesultanan Gowa. 277 Perang antara VOC dengan Gowa yang berlangsung antara tahun 1615-1669 mendapat dukungan kuat dari kerajaan dan masyarakat Bugis, menjadi titik awal bermainnya issue kuasa dan uang sebagai faktor penting untuk membentuk elite- elite baru. Bersamaan dengan itu, faktor simbol tetap menjadi varian yang sangat berpengaruh dalam pembentukan elite. Penguasaan territorial dan kontrol perdagangan hasil bumi mulai dimainkan oleh elite-elite Bone, setelah VOC dinyatakan sebagai pemenang perang pada tahun 1669. Tanah-tanah subur di bagian utara Sulsel menjadi rebutan para elite, kerajaan-kerajaan kecil menyerahkan diri dan berafiliasi dengan kerajaan Bone. Penguasaan tanah sebagai tata-produk kekuasaan dan penumpukan modal menjadi tren baru kehidupan para elite. Keadaan ini terus berlangsung hingga memasuki fase Islam dan moderenisme. Hasilnya, elite-elite Bugis, khususnya Bone lebih produktif melahirkan elite yang berbasis pada modal tanah; tuan tanah, dan control perdagangan yang melahirkan pengusaha. Sebagai tuan tanah dan pengusaha, maka etnis Bone memiliki akses yang lebih baik dengan penguasa Belanda maupun aristokrat pribumi. Tradisi ini terus berlanjut hingga kini masa otonomi daerah. Itu sebabnya, elite-elite yang menguasai Sulsel pada level provinsi Sulsel di dominasi oleh etnis Bugis, khususnya dari Bone. Elite Bugis Bone menyadari bahwa memegang tampuk kekuasaan pada aras makro akan mempermudah melakukan control pada sumberdaya-sumberdaya strategis. Itu sebabnya agresivitas politik etnis Bugis Bone jauh lebih maju ketimbang etnis Makassar Gowa. Ini terbukti dengan daya tahan elite politik etnis Bugis lebih panjang dibandingkan dengan elite politik etnis Makassar. Elite politik puncak Gubernur Sulsel silih berganti oleh aktor-aktor dari etnis Bugis. Bersamaan dengan pengisian posisi-posisi kekuasaan politik, lahir pula sejumlah aktor yang menguasai bidang ekonomi. Pengusaha-pengusaha andal Sulsel datang dari etnis Bugis, lihat misalnya kelompok usaha; Hadji KL dan Bosowa 177 yang tumbuh menggurita bersamaan dengan tampuk kekuasaan di Sulsel di duduki oleh elite politik yang berasal dari etnis Bugis. Apakah ini sebuah kebetulan atau atas kesadaran budaya politik para elite etnis Bugis bahwa untuk mengontrol posisi kekuasaan politik dibutuhkan dukungan dari kekuasaan ekonomi atau sebaliknya, sehingga diperlukan 177 Hadji Kalla dan Bosowa adalah dua kelompok usaha yang sudah me-nasional yang tumbuh dari daerah. Dua kelompok usaha ini sama-sama berasal dari etnis Bugis Bone. 278 kawin mawin antara elite politik dan elite ekonomi, dalam konteks penelitian ini, relasi politik dan ekonomi adalah relasi uang dan kuasa. Argumentasi tentang hubungan kuasa dan uang pada etnis Bugis Bone diperkuat oleh penjelasan AA, non- governing elite yang berasal dari Bone; ―Etnis Bugis, khususnya Bone memiliki pengalaman sejarah yang pahit tentang kekuasaan dan uang. Ketika rakyat dan elite Bone dikolonialisasi oleh Raja Gowa, orang Bone menjadi sangat agresif menjaga posisi kekuasaan dan control terhadap sumberdaya ekonominya, supaya tidak terulang pengalaman buruk sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan dan dikuasai sumberdaya ekonominya. Hal kedua, orang Bugis Bone sangat menonjol siri‟nya dibandingkan dengan pace ‘nya. Siri‟ berkaitan dengan harga diri, sedangkan pace‟ berhubungan dengan solidaritas perasaan senasib. Dengan memiliki kekuasaan dan uang, maka harga diri kita terhadap orang lain akan terjaga, penghargaan orang lain terhadap kita akan tinggi. Orang Bugis Bone akan bekerja keras untuk mendapatkan kekuasaan dan uang. Jalur utama untuk mendukung keinginannya itu adalah pendidikan. Betapapun terbatasnya ekonomi keluarga orang Bone, mereka tetap memprioritaskan sekolah. Mereka s alingng bahu membahu untuk hal ini.‖ Hasil wawancara pada 9 Mei 2011. Nilai budaya yang dimiliki etnis Bugis Bone seperti yang diuraikan AA menjadi energi bagi orang Bone untuk mengejar posisi kekuasaan politik dan ekonomi, karena dengan mencapai posisi sebagai elite politik dan ekonomi, mereka telah berhasil menjaga martabat dan harga diri. Etika inilah yang melahirkan sejumlah aktor elite politik dan ekonomi dari Bone yang mengisi panggung pada aras makro propinsi dan nasional. Ketika Lanto Dg Pasewang dari etnis Makassar menduduki tampuk kekuasaan politik Gubernur Sulsel, ia tidak meninggalkan jejak bahwa ia memiliki upaya untuk melahirkan elite ekonomi bagi aktor-aktor dari etnis Makassar. Apakah tidak tumbuhnya aktor elite ekonomi dari Makassar karena kegagalan Pasewang sebagai elite puncak membaca pentingnya hubungan antara elite politik dengan elite ekonomi? Atau budaya politik etnis Makassar cenderung memisahkan relasi antara kuasa dan uang? Akibat dari budaya politik yang memisahkan hubungan antara uang dan kuasa kemudian menyebabkan tumpulnya kekuatan etnis Makassar selama lebih kurang lima puluh tahun untuk merebut posisi elite puncak di Sulsel? Berbagai tafsiran dan argumentasi dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan di atas. Akan tetapi bila kita kembali pada fakta social yang ada, dengan 279 mudah kita menyimpulkan bahwa elite-elite politik etnis Makassar belum memiliki budaya untuk menghubungkan atau mengikat antara uang dan kuasa. Meskipun elite Makassar memiliki kesadaran akan pentingnya kuasa dan uang untuk merebut dan mempertahankan poisi elite kekuasaan. Pada fase sekularisme, tepatnya tahun 2008 etnis Makassar Gowa berhasil menjadi elite politik puncak Gubernur Sulsel. Tapi hingga Mei 2011, belum ada tanda-tanda Gubernur SYL menghubungkan kekuasaannya dengan melahirkan elite-elite ekonomi dari etnis Makassar Gowa. Bila dibandingkan budaya politik elite antara etnis Bugis Bone dengan etnis Makassar Gowa, pada aras mezzo, kedua-keduanya sama-sama menggunakan kuasa dan uang untuk memperoleh dan memperluas kekuasaan politiknya. Bedanya, elite-elite Gowa belum memiliki asset dan modal yang memadai untuk dikapitalisasi menjadi kekuatan untuk memperluas dan mempertahankan posisi keelitannya. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa pada level mezzo sekalipun, etnis Gowa belum mengintegrasikan kekuatan kuasa dan uang sebagai alat untuk merebut kekuasaan politik. Tidak terintegrasinya kekuasaan dan uang pada elite etnis Makassar, khususnya Gowa menurut TOY salah seorang anggota DPRD Sulsel karena alasan budaya politik. ―Budaya politik etnis Makassar, khususnya orang Gowa tidak bisa mencampuradukkan antara kekuasaan dan uang. Meskipun mereka memahami kekuasaan dan uang memiliki relasi yang saling terkait. Etika ini berawal dari pemahaman mereka yang egaliterian. Orang Gowa lebih kental prinsip pace‟nya dari pada siri‟nya. Rasa senasib dan sepenanggungan lebih diutamakan dari pada rasa dihargai karena berkuasa dan bermateri. Jangan harap ada pengusaha dari Gowa mendapatkan perlakuan khusus lantaran Gubernurnya dari Gowa. Pasti semuanya akan berjalan normal.‖ Hasil wawancara tanggal 11 Mei 2011. Apa yang diuraikan AA dan TOL memberi penjelasan bahwa nilai budaya politik memberi pengaruh yang kuat pada tindakan politik para elite, sekaligus membedakan model struktur politik yang berkembang pada dua etnis ini. Model kekuasaan seperti ini oleh Gaventa 2005 sebagai struktur politik di Bone terlihat berhirarki dan relative bermain pada panggung yang tertutup closed power, sedangkan di Gowa, struktur politiknya lebih terbuka created power. Pada Gambar 6 di bawah ini, memperlihatkan aras mezzo Kabupaten, Bone dan Gowa hampir pada semua fase menggunakan simbol budaya sebagai 280 alat bantu membentuk elite, kecuali elite Gowa pada fase sekularisme 1905- 2010 tidak lagi menggunakan simbol budaya. Elite Kabupaten Bone pada level mezzo masih menggunakan instrumen kuasa pada fase tradisional dan feudalisme, akan tetapi mulai meninggalkan pada fase Islam moderenisme dan kembali menggunakan instrumen kuasa pada fase sekularisme 1905-2010. Elite Kabupaten Bone pada aras mezzo sama sekali tidak menggunakan uang pada semua fase. Sedangkan Elite Gowa pada aras mezzo menggunakan kuasa dan uang pada fase tradisional dan feudalisme, tetapi menurun pada fase Islam modern dan muncul kembali pada fase sekularisme 1905-2010. Pada aras makro, elite-elite Bone cenderung menggunakan simbol budaya, uang dan kuasa untuk membangun dirinya menjadi elite, kecuali pada fase tradisional, feudalisme dan awal era Islam modern mereka belum bisa menggunakan kuasa dan uang, karena masih berada pada kontrol kesultanan Gowa. Sedangkan elite-elite Gowa pada aras makro, juga tetap menggunakan simbol budaya sebagai pembentuk elite, kecuali pada fase pertengahan Islam modern dan sekularisme 1905-2010. Pada fase ini simbol budaya kesultanan Gowa dilucuti oleh VOC, tujuannya untuk mengurangi pengaruh istana aristokrat terhadap pengikutnya. Penggunaan kuasa di Gowa berlangsung hingga awal fase Islam modern dan menurun bahkan berhenti pada fase sekularisme 1905-2010. Kekuatan uang pada elite Gowa dimulai pada fase tradisional, berhenti pada fase awal Islam modern karena kontrol perdangangan dan kekuasaan diambil alih oleh VOC dan Arung Palaka. Penggunaan kekuasaan dan uang dalam pembentukan elite Gowa pada awal Islam modern, semakin meningkat karena menurut ajaran Islam yang masuk di Istana Gowa, pemimpin raja adalah perwakilan Tuhan di muka bumi, oleh karena itu, perluasan kekuasaan kolonialisasi dengan menggunakan kekuasaan dan uang adalah ibadah. Gambar 6 di bawah ini menggambarkan bagaimana pada setiap level, dan setiap fase, etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa menjadikan simbol budaya, uang dan kuasa sebagai faktor yang berpengaruh dalam pembentukan elite. 281 FASE ETNIS ARAS MAKRO MEZZO Variabel: Simbol Budaya, Kuasa Uang T rad is io n al Bugis Bone Makro: Hanya menggunakan simbol budaya untuk meraih kekuasaan; Mezzo : menggunakan simbol budaya dan kuasa untuk kolonialisasi MakassarGowa Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui kolonialisasi dan ekonomi perdagangan internasional. F e o d al is m e Bugis Bone Menggunakan simbol budaya, dan kuasa untuk kapitalisasi kekuasaan melalui tanah sebagai tata produksi kekuasaan MakassarGowa Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui perdagangan internasional. Is lam Mo d e rn Bugis Bone Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui ekonomi dan pendidikan. MakassarGowa Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui kolonialisasi. S e ku lari sme BugisBone Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi ekonomi dan kekuasaan. MakassarGowa Menggunakan kuasa dan uang untuk kapitalisasi kekuasaan dan ekonomi FASE KAB DESA ARAS MIKRO Variabel: Simbol Budaya, Kuasa Uang T rad is io n al Bone Ancu Hanya menggunakan simbol budaya dan kuasa. B. Tellue Gowa Manjapai Manuju F e o d al is m e Bone Ancu Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui tanah B. Tellue Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui ekonomi pendidikan Gowa Manjapai Hanya menggunakan simbol budaya dan kuasa. Manuju Is lam Mo d e rn Bone Ancu Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan melalui ekonomi dan pendidikan. B. Tellue Gowa Manjapai Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan. Manuju S e ku lari sme Bone Ancu Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi ekonomi, pendidikan Kekuasaan B. Tellue Menggunakan kuasa dan uang untuk kapitalisasi ekonomi, pendidikan kekuasaan. Gowa Manjapai Menggunakan semua variabel untuk kapitalisasi kekuasaan. Manuju Menggunakan simbol budaya dan uang untuk kapitalisasi kekuasaan. Gambar 6. Peranan simbol, kuasa dan uang dalam pembentukan elite Bugis dan Makassar pada setiap fase dan level 282

7.2.2 An alisis Mikro Desa