303
yang plural, baik dari segi etnisitas, agama, latar belakang keturunan dan organisasi sosial dan politik. Di Gowa, tidak terjadi
‖pemberontakan‖ dari kalangan bawah sebagaimana yang terjadi di Desa Benteng Tellue Bone, sebagai
bentuk perlawanan atas ketidakpuasan massa atas sempitnya ruang kekuasaan untuk masyarakat biasa.
Dalam hal perluasan area kekuasaan, elite-elite Bone tidak memperlihatkan kecenderungan memperluas wilayah kekuasaan sebagaimana
yang dilakukan oleh elite Gowa terutama pada fase tradisional hingga fase islam modern. Elite Bone cenderung memperkuat kekuasaan politik pada
wilayahnya sendiri, atau paling jauh pada etnisnya sendiri. Perilaku ini dapat difahami karena jumlah mereka dominan di Sulsel. Sebaliknya elite Gowa
berupaya melakukan perluasan wilayah kekuasaan dengan melintasi batas wilayah, etnis dan agama, melalui wacana kesatuan unity Sulsel.
Kecenderungan ini terutama terjadi pada aras lokal makro provinsi.
8.1.2 Pola Elite Bugis dan Makassar Membagi Kekuasaan
Ruang kekuasaan bagi elite Bugis Bone maupun Makassar Gowa memiliki arti penting bagi eksistensi dan martabat pribadi, harga diri keluarga dan etnisnya. Karena
itu, mulai dari fase tradisional hingga kini, ruang kekuasaan selalu melekat dengan individu penguasa, keluarga, client dan etnisnya. Mereka sulit memisahkan ruang
kekuasaan sebagai ruang publik dengan kepentingan individu yang berada pada ruang private. Karena itu, posisi-posisi strategis dalam ruang kekuasaan yang
dikendalikannya selalu diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan emosional dengan sang penguasa. Jika posisi-posisi strategis itu diberikan kepada elite lain yang
berbeda latar belakang dan etnis dengan elite yang sedang berkuasa, maka pilihan itu bagian dari strategi menjaga keseimbangan kekuasaan politik antar etnis yang
berkompetisi. Strategi menjaga keseimbangan ini menjadi karakter utama rejim pada fase sekularisme.
Pembagian kekuasaan pada aras mikro desa, mezzo kabupaten dan makro provinsi bagi elite Bone masih tertumpu pada faktor kedekatan emosional
politik kekerabatan, hubungan darah dan etnisitas. Sedangkan di Kabupaten Gowa pembagian kekuasaan sudah mulai tersebar, kecuali pada aras mikro. Akan
304
tetapi penyebaran kekuasaan itu tidak semata-mata atas pertimbangan rasionalitas atau sistem pemerintahan yang baku. Pilihan terhadap elite-elite dari etnis lain
untuk mengisi ruang kekuasaan pada aras makro dan mezzo, masih terkait dengan kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan.
Untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, elite Gowa yang dimulai oleh SYL Gubernur Sulsel 2008-2013 dalam proses pembagian
kekuasaan, selain pendekatan emosional dan primordial, ia mulai menggunakan konsep hibridisasi budaya politik budaya politik yang sesungguhnya sudah lama
dianut oleh elite-elite Bone untuk praktek politik pada aras makro.
8.1.3 Penggunaan Simbol Budaya, Kuasa, Uang dan Budaya Sosiologi Politik Lainnya