44
of the status quo mendefinisikan apa yang dimaksud dengan normal, apa yang
dapat diterima, dan apa yang dianggap aman.
2.2.2 Pola Kekuasaan Etnis Bugis Dan Makassar
Pola kekuasaan di sini adalah cara bagaimana seseorang atau sekelompok orang untuk menggapai dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan di sini dekat
dengan pengertian Weber di mana pihak yang punya kuasa bisa mendesakkan kehendaknya atau gagasan-gagasannya kepada orang lain bahkan ketika mereka
tidak sepakat dengannya. Giddens yang tidak puas dengan pengertian yang terlalu luas ini
—setiap bentuk hubungan sosial dengan mudah bisa menjadi relasi kuasa antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Untuk itu dia membedah lebih jauh
konsepsi ini dengan mengambil konsepsi yang lebih spesifik dari Weber, dominasi. Dominasi menurut Weber adalah pendesakan kekuasaan, di mana
seorang pelaku menuruti suatu perintah spesifik yang dikeluarkan oleh orang lain. Mengapa orang menurut pada perintah semacam ini? Giddens mengidentifikasi
bahwa penyebabnya bisa merentang antara kebiasaan hingga kepentingan pribadi. Selanjutnya, ―kemungkinan untuk menerima memperoleh hadiah-hadiah materiil
dan kehormatan sosial merupakan dua bentuk yang paling meresap dari ikatan yang mengikat pemimpin dan pengikut.‖ Giddens 1985: 192 Tentu saja Weber telah
mengantisipasi bahwa tiap dominasi pasti mengalami kegoyahan. Namun alasannya
tentang instabilitas dominasi tersebut —kepercayaan dari pihak bawahan atas legitimasi
kedudukan mereka sebagai bawahan —tidak begitu mudah untuk ditemukan dalam
penelitian yang akan kita bahas di sini. Selanjutnya, teori kekuasaan lain dari Weber yang akan dimanfaatkan di
sini, adalah pemilahannya tentang pola hubungan dominasi, atau bisa kita sebut pola relasi kekuasaan, yakni tradisional, kharismatik, dan rasional-legal.
Menurutnya, relasi kekuasaan tradisional adalah kekuasaan yang bersandar pada aturan turun-temurun yang dipercaya oleh sebagian besar pendukungnya.
Biasanya yang dianggap paling mengetahui aturan-aturan tersebut dijadikan sebagai pemimpin, atau punya otoritas untuk menjalankan pemerintahan. Orang-
orang ini biasanya adalah orang-orang tua yang pengetahuannya sudah mencapai tingkat lebih matang dibandingkan anggota masyarakat lainnya, dianggap paling
45
meresapi kearifan tradisionalnya. Implikasinya, sebagian besar pemimpin di banyak masyarakat tradisional atau ‗kesukuan‘ adalah orang tua laki-laki, yang
paralel dengan apa yang disebut Weber sebagai sistem patriarkhis. Sistem ini
tumbuh di dalam keluarga dimana aturan-aturan dalam keluarga tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Penjelasan Weber mengenai pola relasi kekuasaan legal-rasional merupakan ulasan yang paling meyakinkan. Sistem pemerintahan birokratis menjadi contoh
utama Weber dalam ulasannya tentang pola relasi kuasa ini. Mengenai sistem ini Giddens merangkumnya seperti di bawah ini:
―Kegiatan-kegiatan staf administrasi dilaksanakan secara teratur, dan merupakan ‗kedinasan-kedinasan‘ resmi yang jelas batas-batasnya. Bidang-
bidang wewenang para pejabat dibatasi dengan jelas, dan tingkat-tingkat otoritas digariskan batasnya dengan jelas dalam bentuk hierarki kantor.
Aturan-aturan mengenai perilaku staf, otoritas dan tanggungjawabnya, dicatat dalam bentuk tertulis. Penerimaan tenaga administrasi didasarkan
atas terbuktinya kemampuan spesial melalui ujian persaingan dan pemilikan diploma atau gelar, yang memberikan bukti tentang kemampuan-
kemampuan yang cukup memadai. Milik kantor bukan milik pejabat. Suatu pemisahan antara pejabat dan kantor dipertahankan sedemikian sehingga di
bawah kondisi apa pun, kantor itu tetap tidak bisa dimiliki oleh yang
berwenang di kantor.‖ 1986:194 Mengenai dominasi berwatak kharismatik Weber menjelaskan bahwa pola
ini bergantung pada individu yang dipercaya mempunyai kemampuan aneh yang sangat mengesankan, sesuatu yang membuatnya lain dan terpisah dari orang
kebanyakan, kharisma. Apakah seseorang benar-benar mempunyai kualitas kharismatik yang dimaksud bukanlah hal yang begitu penting. Penekanannya ada
pada kualitas-kualitas yang membuat orang tersebut kharismatik. Apakah sebenarnya kharisma itu, Weber menyatakan:
―Suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan
sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat gaib, sifat unggul, atau paling sedikit dengan kekuatan-
kekuatan yang khas dan luar biasa.‖ dalam ibid :197
Kekuasaan yang mengikuti tokoh yang luar biasa ini bisa muncul di banyak jenis masyarakat. Pengikutnya didulang melalui kepercayaan akan kemampuan luar
biasa sang tokoh. Kharisma bisa dipindahkan dengan menjadikannya sebagai sebuah kualitas yang bisa dipindahkan ke orang lain. Pemindahan kualitas ini bisa
46
dilakukan lewat latihan atau pewarisan. Sebagai contoh, bila kharisma diubah menjadi kekuasaan model tradisional atau legal-rasional, maka dia bisa dijadikan
sebagai ‗sumber kekuasaan yang sakral‘, yang bisa menjadi salah satu alat yang legitimate untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Orang-orang biasa yang
dilatih dengan baik dalam pengetahuan ajaran Islam bisa kemudian muncul sebagai orang yang punya kharisma, punya kemampuan khusus. Yang paling penting adalah
orang tersebut bisa membuktikan keluarbiasaannya kepada para pengikutnya. Hal lain yang penting mengenai kharisma menurut Weber adalah model bisa
menjadi pendobrak untuk mengubah model tradisional warisan turun-temurun. Pengikut dari pemimpin kharismatik juga menjadi pengikut secara sukarela, tidak
terdapat hierarki kepengikutan seperti dalam birokrasi moderen kepangkatan dan jabatan, juga tidak terdapat aturan yang terlalu mengikat tentang tanggungjawab
spesifik masing-masing anggota, dana yang diperoleh kebanyakan berasal dari sumber informal, sumbangan atau rampasan.
Teori tentang tiga model kekuasaan yang dikembangkan ini kemudian dimanfaatkan oleh Gibson untuk menjelaskan tentang tiga jenis pengetahuan
simbolik yang hidup di masyarakat Asia Tenggara, yakni pengetahuan Tradisional, Islam, dan Moderen. Pendekatan Gibson ini menjadi sangat relevan
mengingat ‗pengetahuan simbolik‘ yang dijelaskannya merupakan semacam bahan baku yang bisa dimanipulasi menjadi pengetahuan ideologis. Menurutnya,
pengetahuan simbolik bisa berasal dari mitos dan ritual; kitab suci agama; dan ‗dokumen-dokumen‘ yang merujuk pada tulisan-tulisan atau terbitan yang dibawa
orang Eropa. Selain itu, Gibson mengambil contoh kasus untuk mengembangkan
teorinya dari masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Gibson menemukan tiga tahapan transformasi kekuasaan politik dan ekonomi masyarakat
Bugis dan Makassar
23
, yakni;
23
Tahapan transformasi masyarakat yang dikemukakan Gibson memiliki kemiripan dengan tiga tahapan perubahan masyarakat yang diuraikan Comte Ankersmit, 1987; Feibleman, 1986;
Hadiwijono, 1998; Johnson, 1994; Laeyendecker, 1983, Menurutr Comte, tahapan-tahapan itu meliputi; i Tahap Teologis, adalah tahapan yang paling lama dalam sejarah manusia, untuk
analisis yang lebih terinci, Comte membaginya dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme
.
Periode fetisisme merupakan bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.
Periode politeisme adalah kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun
47
1. Tradisional
Negara-negara di Sulawesi Selatan mulai bermunculan pada abad ke 14. Tadinya mereka adalah unit-unit politik kecil yang berpindah-pindah yang kemudian
menjadi menetap setelah menemukan daerah yang cocok untuk bertani secara menetap. Salah satu contoh adalah federasi Soppeng yang unit-unit kecilnya
berbeda-beda dari
benda-alam, namun
terus mengontrol
semua gejala
alam.
Periode monoteisme merupakan kepercayaan dengan satu sang pencipta alam semesta, begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu digantikan dengan kepercayaan
akan satu tuhan. Dalam tahap ini terdapat banyak hal-hal yang berkaitan dan dapat ditemui dalam masyarakat Bugis dan Makassar pada fase tradisional sampai masa awal islam modern. Misalnya
kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan. Paham ini sangat melekat pada konsep kalompoang, penemuan benda gaukang dan regalia bagi kalangan bangsawan,
sedangkan pada kalangan masyarakat awam memandang pohon besar yang lebat dan rimbun terkadang dipercaya oleh masyarakat dihuni oleh mahkluk halus atau tidak kasat mata dan
dianggap oleh masyarakat sebagai salah satu tempat yang sifatnya angker atau menyeramkan, karena itu apabila ada kegiatan yang diadakan di sekitar lokasi yang berdekatan dengan pohon
tadi maka masyarakat melakukan ritual-ritual tertentu. ii Tahap Metafisik, merupakan tahapan transisi antara tahap teologis dan positifis. Tahap ini ditandai dengan suatu kepercayaan akan
hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemui dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut
pemikiran
manusia, sangat
mendasar dalam
cara berpikir
metafisik. Pada tahap ini masyarakat menganggap adanya hukum alam yang akan dapat membatasi
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat yang dianggap dapat merusak keseimbangan dari alam itu sendiri serta ekosistem lainnya, misalnya adanya penebangan hutan berlebihan yang
menyebabkan hutan menjadi gundul sehingga akan menimbulkankan sebuah bencana besar, yang dianggap oleh masyarakat alam akan menjadi marah yaitu dengan adanya banjir, tanah longsor dan
lain sebagainya. Dengan adanya hal semacam ini akan membuat masyarakat untuk mematuhi segala sesuatu yang dapat dinggap menimbulkan bencana bagi masyarakat itu sendiri. Tahap ini
pada masyarakat Bugis dan Makassar terjadi sepanjang fase feudalism dan dan masa awal islam modern.
iii Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empirik sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak. Semangat positivisme
memperlihatkan keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus
dipimpin oleh data empirik. Analisis rasional mengenai data empirik akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum lebih dilihat sebagai uniformitas
empirik daripada kemutlakan metafisik. Seperti diketahui positivisme menerima dengan sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang
berdasarkan dengan hukum-hukum alam, yang dijadikan dasar serta strategi untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan masyarakat. Hasilnya akan berupa suatu masyarakat di mana
penalaran akal budi akan menghasilkan kerjasama dan di mana takhayul, ketakutan, kebodohan, paksaan, konflik akan dilenyapkan. Dengan melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik
yang kenyataannya lebih sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empirik harus digunakan dengan keyakinan bahwa
masyarakat
merupakan suatu
bagian dari
alam seperti
halnya gejala
fisik. Dalam tahap ini masyarakat lebih menekankan ilmu pengetahuan pada hal-hal yang terjadi,
misalnya gempa bumi karena adanya pergesekan antara lempeng bumi sehingga menimbulkan pergerakan-pergerakan, ini dipelajari oleh masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang mempelajari
hal tersebut, yaitu geografi geologi. Selain itu dibidang kesehatan dengan adanya ilmu pengetahuan tadi akan dapat mengetahui ragam penyakit untuk dapat dipelajari dan diteliti untuk
mencari obatnya dalam hal ini adalah ilmu kedokteran.
48
berkembang di sepanjang lembah Sungai Walennae. Federasi Wajo di sekitar Danau Tempe dan Luwu di sepanjang delta di pesisir ujung utara Teluk Bone. Negeri petani
ini semakin membesar dengan berkembangnya alat pertanian logam, yang sumbernya bisa ditemukan dengan mudah di pedalaman Luwu. Caldwell dan Bulbeck
melakukan studi arkelologis pada negeri ini dan menemukan bahwa kelompok- kelompok masyarakat kecil di kawasan Luwu telah ada sekitar abad ke-3 sebelum
Masehi. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi masyarakat yang lebih kompleks setelah datangnya para perantau Bugis dari selatan pada abad ke 5. Dan
setidaknya pada sekitar abad ke 12 mulai mengorganisasikan diri dalam sejumlah unit-unit politik kecil chiefdom yang independen. Unit-unit ini menggantungkan
hidupnya pada perladangan berpindah dan tetap. Bagaimana kelompok elite terbentuk? Caldwell berpendapat bahwa
penguasaan terhadap sumberdaya alam seperti sawah yang subur, membuat seorang penguasa bisa mengkonsolidasi kekuatannya. Baginya, ideologi dan religi
adalah faktor sekunder dari terbentuknya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh segelintir elite. Dia mencontohkan bahwa sejak dikuasainya daerah lembah
sungai besar di kawasan itu oleh sekelompok bangsawan, maka terbentuklah unit- unit politik yang lebih besar. Memanfaatkan temuan-temuan arkeologis Caldwell
dan Bougas menjelaskan proses tersebut sebagai berikut: Sifat temuan-temuan ini yang bersebar dan berlainan menunjukkan
bahwa pola perdagangan selama milenium pertama Masehi berukuran kecil dan sporadis, sebuah pola yang sesuai dengan kurangnya bukti
akan organisasi politik yang rumit di Jeneponto pada masa itu. Cerita- cerita tentang asal-muasal kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan pada
kronik-kronik Bugis dan Makassar menandakan bahwa sebelum munculnya kerajaan setelah masa 1300, entitas politik yang terbesar di
Sulawesi Selatan adalah perkauman chiefdom sederhana wanua, B.; banoa
, banua, M., yang paling banyak berjumlah beberapa keluarga dan biasanya hanya terdiri dari beberapa ratus jiwa.
Perkauman yang lebih rumit atau kerajaan-kerajaan kecil, dengan pusat- pusat yang berjumlah lebih dari satu dan berlapis-lapis, mulai terbentuk
di lembah-lembah di hilir Sungai Jeneponto, setelah tahun 1300. Kemunculan kerajaan-kerajaan kecil ini berkaitan dengan perluasan dan
intensifikasi pertanian padi basah di sepanjang dataran lembah, dirangsang oleh bertumbuhnya ketersediaan barang dagangan yang
dapat ditukar dengan surplus beras. Yang paling menonjol adalah kapas India, keramik Cina dan Asia Tenggara dan barang-barang perunggu
49
dari Jawa.
24
Pada tahap awal perkembangan kerajaan kecil yang terletak di lembah sungai, mereka masing-masing berdiri sendiri, lalu kemudian
mereka bergabung membentuk Kerajaan Binamu dan Bangkala. Pemujaan terorganisir terhadap leluhur dewa dari keluarga penguasa
menyuntikkan ideologi religius dan politis yang menyokong posisi raja dan hierarki sosial pada kerajaan yang baru terbentuk ini. Masyarakat
Jeneponto kini mengisahkan bagaimana keluarga penguasa Binamu dan Bangkala diawali oleh tomanurung makhluk yang turun dari langit
berjenis kelamin pria atau wanita yang dipilih sebagai penguasa dan menikah dengan kalangan elite lokal. Setelah membentuk institusi
jabatan untuk penguasa pakkaraengang, tomanurung lenyap secara misterius, meninggalkan keturunannya untuk memegang kuasa.
Penguasa dan komunitas ini turun-temurun melakukan pemujaan terhadap tomanurung yang telah raib melalui kalompoang benda
pusaka keramat yang ditinggalkannya. Sebagian kalompoang dapat dilihat kini di Jeneponto, Gowa dan Bone.
Sementara itu, lewat penelitian tekstual atas naskah lontara di negeri-negeri
Makassar, Cummings menyimpulkan bahwa cara elite di masyarakat Makassar untuk mempertahankan atau meluaskan kuasanya bergantung pada masuknya
budaya tulisan. Menurutnya, lontara sangat penting untuk menebarkan pemahaman akan keberadaan sebuah kekuatan supra yang berada di atas seluruh
gallarang di wilayah tersebut. Cara orang Makassar memperlakukan naskah tulis sangat penting dalam hal ini. Mereka memperlakukan naskah sebagai benda
keramat yang diperlakukan dengan hati-hati dan banyak digunakan dalam ritual- ritual. Dengan demikian, naskah tentang genealogi asal usul penguasa bisa
dibelokkan menuju ke pusat kekuasaan, Gowa. Dengan demikian ketika naskah tersebut dibacakan secara hikmat dalam ritual secara teratur, maka legitimasi
sekali lagi dikuatkan Cummings 2002. Dengan diakuinya Gowa sebagai awal dari asal-usul para penguasa di kawasan Makassar, maka secara politis lebih
mudah mengajak mereka menjadi negeri bawahan. Gibson menuliskan bahwa cara masyarakat Konjo mempertahankan
kekuasaannya adalah dengan mengaktifkan sebanyak mungkin pengetahuan simbolik yang dipercaya masyarakat. lewat mitos dan ritual, para elite
merelegitimasi dan mereproduksi kekuasaan mereka. Mereka misalnya mengadakan ritual yang melibatkan banyak orang dimana leluhur pendiri kerajaan
24
Kotilainen 1992:49 menunjukkan serangkaian barang impor serupa yang ditemukan di Sulawesi bagian tengah.
50
tertentu menjadi subyek sesembahan. Sehingga hal ini kembali menegaskan legitimasi kekuasaan para keturunannya di masa sekarang. Gibson 2005, 2007
Elemen penyembahan leluhur dalam ritual ini melengkapi penjelasan Ijzereef 1987 tentang pengadaan ritual di akhir abad 19 di Bone. Menurutnya, ritual di
adakan untuk menunjukkan besarnya kekuasaan seseorang. Untuk menguji keluasan pengaruh seorang bangsawan, biasanya diukur dengan berapa banyak
orang yang hadir dalam upacara yang dia adakan. Hal ini, menurut Ijzereef, berkaitan dengan elemen ekonomi kekuasaan di Bone pada masa itu. Dengan
absennya teknologi maka pertanian bergantung pada tenaga manusia. Dan seorang raja sangat bergantung pada mereka untuk mengerjakan tanah kerajaan yang
sangat luas. Semakin banyak orang yang bisa dimobilisasi untuk bekerja semakin besar kekuasaan seorang bangsawan. Sebaliknya semakin berkuasa seorang
bangsawan, misalnya jika dia menjabat raja, semakin mudah dia memobilisasi orang untuk bekerja padanya. Hal ini menarik jika diperbandingkan dengan
daerah lain. Millar, membuat perbandingan menarik tentang persepsi kekuasaan orang Bugis dan Jawa. Bagi orang Bugis, kekuasaan diukur dari seberapa luas
pengaruh seseorang terhadap orang lain. Sedangkan bagi orang Jawa kekuasaan diukur dari seberapa jauh seorang penguasa terlepas dari pekerjaan fisik.
Hubungan patron-klien merupakan model hubungan kekuasaan utama yang tumbuh di Sulawesi Selatan. Pelras menjadi peneliti yang pertama melakukan
studi serius tentang ihwal ini di masyarakat Sulawesi Selatan, utamanya Bugis. Salah satu hal yang paling menonjol dari penelitian Pelras mengungkapkan
bahwa, hubungan patron klien yang tadinya merupakan hubungan sosial politik ekonomi sudah mulai tereduksi menjadi lebih pada hubungan ekonomi saja. Hal
ini juga dibuktikan Ammarel ketika meneliti masyarakat nelayan Bugis yang turun temurun menggunakan sistem punggawa-sawi. Oleh perubahan sosial
terutama karena dampak perubahan teknologi navigasi dan mekanisasi perahu, para sawi semakin bebas untuk menentukan perahu yang ingin diawakinya.
Mereka tidak lagi begitu tergantung pada punggawa. Namun di samping itu secara bersamaan pengetahuan navigasi tradisional mereka semakin tergerus karena
mesti bergantung pada teknologi navigasi baru seperti kompas. Ini membuat mereka tidak perlu melewati pelajaran panjang teknik navigasi yang biasa
51
diajarkan oleh para kapten yang juga banyak di antara mereka menjadi punggawa. Hal ini menyebabkan hubungan sosial mereka semakin longgar dan secara politis
tidak lagi begitu tergantung kepada punggawa-nya. Mereka semakin menjadi cuma buruh untuk kapal yang mereka tumpangi.
Selanjutnya perubahan dalam hubungan patron-klien ini tentu menyebabkan perubahan signifikan pada struktur kekuasaan dan politik di Sulawesi Selatan.
Untuk melihat hal ini lebih jauh kita kembali dulu melihat ke masa lalu. Kajian Ijzereef 1987 tentang struktur kekuasaan dan politik di kerajaan Bone di
pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad 20 bisa menjadi model yang menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan bekerja di provinsi ini. Menurut
Ijzereef masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang sangat hierarkis, yang tersusun berdasarkan ‗kemurnian darah‘ kebangsawanan. Hierarki ini tentu
tidak berdiri sendiri. Setiap unit kekuasaan punya hierarki, dan unit kekuasaan ini
sendiri berada di dalam hierarki yang lebih besar, hingga tingkat antar-kerajaan. Dengan demikian, kompetisi atau persaingan menuju puncak hierarki berlangsung
terus menerus, dan hal ini tentu akan memancing konflik. Menurutnya, semakin berdekatan posisi dua pihak dalam suatu hierarki maka potensi konfliknya
semakin besar. Dan semakin berjauhan posisi hierarkis dua pihak semakin kecil potensi konflik bisa terjadi. Dengan demikian, di dalam hierarki ini yang berkuasa
adalah para bangsawan, dan pihak yang berada di luar itu baru bisa melakukan mobilisasi sosial ke atas hanya bila para bangsawan bersedia mengizinkannya, itu
pun kemampuan mobilisasi mereka cukup terbatas. Dalam hal ini hierarki sebenarnya bisa berperan sebagai pencegah konflik. Sistem yang secara sepintas
sangat menekan ini, bila kita melihatnya dari kacamata konsep Barat yang datang beberapa dekade terakhir, bisa berperan untuk menekan kelompok-
kelompok yang bertikai dengan menyesuaikan diri ke dalam hierarki yang
dipercaya kedua belah pihak, sebagian besar lewat negosiasi.
Bagi orang Bugis, pengetahuan akan hierarki masing-masing pihak sangat penting untuk berhubungan dengan pihak lain. Setiap kelompok atau individu harus
tahu dimana po sisi sosial mereka sehingga bisa bersikap ‗pantas‘ ketika berhadapan
dengan individu atau kelompok lain. Penelitian Millar 1989 menjelaskan dengan baik bahwa yang berpengaruh dalam penataan hierarki ini adalah status
52
kebangsawanan dan prestasi pribadi dalam hal kepintaran, ekonomi, dan
pengetahuan agama. Lebih jauh dia membuktikan bahwa aturan yang sudah ada
sejak lama ini masih bertahan hingga pertengahan abad 20 penelitian tahun 1975 dan strata itu paling nampak dan ditegaskan berulang-ulang pada acara pernikahan.
Hal lain yang cukup penting dalam penelitian Millar yang mengurai dan menggambarkan konsep pelapisan sosial ini adalah, dia secara spesifik mengurai
konsep ‗lokasi sosial‘—yang terpampang jelas ketika masyarakat Bugis mengadakan pesta pernikahan. Lokasi, tempat seseorang duduk secara fisik selama prosesi tertentu
sebuah pernikahan menunjukkan posisinya dalam hierarki sosial. Sebagaimana penelitian Millar, Pelras 2000 juga menekankan pentingnya hubungan patron-klien
yang dalam hal ini diwakil i hubungan ‗Joa‟ dan ‗Ajjoareng‟ atau ‗Punggawa‟ dan
‗Sawi‟. Hubungan ini, menurut Pelras adalah hubungan yang tidak terlalu timpang. Para patron memang punya kekuasaan menentukan banyak hal bagi kliennya namun
mereka juga mempunyai banyak kewajiban terhadap mereka, termasuk memberi jaminan finansial bila ketika shock dalam berbagai bentuk menghantam sang klien.
Apabila patron tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka klien bisa dengan bebas berpindah ke patron lain. Meski pun tindakan itu bukan tanpa risiko
bagi sang klien, namun yang terpenting adalah mereka masih punya pilihan.
2. Islam
Abad ke 17 merupakan abad yang luar biasa dalam hal perubahan masyarakat Sulawesi Selatan. Perubahan besar-besaran ini sebagian besar disebabkan oleh
dipeluknya Islam oleh nyaris seluruh penguasa yang ada di Sulawesi Selatan pada masa tersebut. Bersama dengan masuknya Islam tentu pengetahuan yang dibawa
oleh para imam kharismatik, berdasarkan Al Qur‘an dengan kitab-kitab lainnya. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang bersebarangan.
Teori pertama adalah ‗Teori Balapan‘. Dalil ini sangat populer di banyak belahan Nusantara yang mengatakan bahwa Raja Gowa secara bersamaan meminta
imam dari Aceh dan pendeta dari India. Karena yang tiba duluan adalah imam maka dia kemudian memutuskan untuk memeluk Islam. Teori berikutnya banyak
dipercaya oleh ilmuwan Eropa dan berhubungan dengan ajaran tertentu yang lebih disukai oleh para raja. Pelras misalnya mengatakan bahwa para raja baru memeluk
53
Islam setelah datang model yang lebih cocok bagi para raja. Secara spesifik Gibson 2005, 2007 mengatakan bahwa raja Tallo memeluk Islam menurut ajaran Ibnu
Arabi yang salah satu doktrinnya adalah bahwa raja merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Ajaran ini telah dipegang oleh beberapa raja di Nusantara karena
menjamin kekuasaan politis, selain religius, raja-raja tersebut. Teori lain tentang perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dikemukakan oleh Cummings 2001. Dia
mengajukan argumen bahwa di awal masuknya Islam pada abad ke 17 di Gowa- Tallo, yang terjadi adalah sebuah gerakan tekstual beraksara Arab. Lewat
manipulasi teks menjadi benda keramat dan menjadi bahan ritual pembacaan yang dikeramatkan, ‗Islam‘ menjadi semacam ‗benda pusaka‘ yang digunakan oleh para
bangsawan istana untuk memperluas atau mengokohkan kekuasaannya. Dengan
kata lain, kitab-kitab dari ajaran Islam dijadikan alat legitimasi kekuasaan baru selain pusaka kerajaan tradisional. Artinya, Islam tidak menghapus model
kekuasaan tradisional melainkan menjadi tempelan baru yang mengokohkan model kekuasaan yang sudah ada.
Melihat ketiga teori ini, jelas kita dibentangkan gambaran dekatnya kekuasaan dengan masuknya model kekuasaan baru ini. Model Islam yang
seharusnya cosmopolitan dan membuat hierarki global dengan Timur Tengah sebagai pusatnya, tidak bisa melakukan hal demikian di awal kedatangannya.
Islam harus menyesuaikan diri dengan model kekuasaan yang telah ada. Sebab Islam baru bisa menyebar luas di kawasan ini setelah mendapat restu dan
disponsori oleh kekuasaan tradisional yang ada.
3. Moderen
Gibson 2007 menuliskan bahwa model kekuasaan versi Eropa tiba dibawa oleh VOC khususnya setelah Perang Makassar pada paruh ke dua abad ke 17.
Namun model kekuasaan ini baru benar-benar berefek dan diadopsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan setelah sebagian besar kerajaan di kawasan ini
ditaklukkan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1906. Sejak takluknya Gowa di tahun 1669, masyarakat di Sulawesi Selatan mulai terekspose
jenis pemerintahan moderen besutan VOC. Namun mereka terlibat hanya sebagai mitra di luar struktur pemerintahan. Di satu sisi, VOC memang adalah maskapai
54
dagang dan bukan sebuah pemerintahan permanen, di sisi lain masyarakat Sulawesi Selatan masih tertata dalam sistem pemerintahan masing-masing yang
otonom. Kepentingan VOC, dan kemudian pemerintah kolonial sebelum politik etis, adalah kepentingan dagang. Mereka hanya melakukan intervensi bila keadaan
politik lokal mulai mengganggu kepentingan dagang mereka. Dengan demikian, sebagian besar kerajaan pra-politik etis berdiri sendiri dengan tingkat otonomi
dalam pemerintahan sehari-hari yang sangat besar. Maskapai dagang, VOC, dan kemudian sejak 1800, pemerintah kolonial
Belanda, membawa jenis pemerintahan administratif yang bertumpu pada model kekuasaan, yang meminjam istilah Weber, rasional-legal. Jenis pemerintahan ini
biasanya tunduk pada hukum formal yang tertulis secara eksplisit, berbeda misalnya dengan jenis pemerintahan tradisional yang banyak dijalankan
berdasarkan aturan tak tertulis dan t ingkat efektifitas aturan atau ‗hukum adat‘ itu
sebagian ditentukan oleh para bangsawan. Semakin berkuasa seorang bangsawan, maka semakin mungkin dia memanipulasi aturan tradisional mereka. Dengan
demikian, kekuasaan yang dibawa masyarakat moderen ini bertumpu pada penguasaan terhadap alat negara seperti tentara dan birokrasi, penguasaan ilmu
pengetahuan saintifik yang menuntun segala perikehidupan masyarakat moderen, dan model ekonomi rasional perhitungan untung-rugi.
Ketika Sulawesi Selatan benar-benar berada di bawah kekuasaan langsung pemerintah kolonial, model kekuasaan tradisional dan Islam tidak hilang dengan
sendirinya. Menurut Gibson mereka hidup berdampingan hingga sekarang. Dalam hal ini dia membantah tesis Weber bahwa ketiga model relasi kekuasaan ini
merupakan sebuah proses sejarah dengan model kekuasaan rasional-legal sebagai titik akhirnya Gibson 2005.
Perubahan kebijakan Belanda, menyebabkan terjadinya pemerintahan yang berjalan dengan baik. Muhammadyah tidak berkembang di pedalaman seperti
Bone. Tidak terjadi korupsi dan inflasi. Di Soppeng, orang-orang tua informan Susan Millar mengenang masa itu sebagai masa yang tenang. Hal ini terjadi antara
lain karena hierarki kebangsawanan ‗bekerja‘ dengan baik. Para raja mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sementara itu, di mata orang biasa, yang punya
hubungan rapat dengan pemerintah kolonial adalah para pejabat-pejabat rendahan,
55
sebab kepada merekalah para raja membebankan tugas administratif seperti mengumpulkan pajak.
Bangkitnya kembali kekuasaan para bangsawan, yang disponsori oleh Belanda, disambut dengan perlawanan oleh para imam reformis dan para
pemimpin Islam tradisional khususnya di daerah Sidenreng dan Parepare, yang memperjuangkan sentimen anti ―bangsawan feudal-koopeerator.‖ Saat itu
kekuatan Muhammadyah cukup besar, dan bangsawan menengah serta orang
kebanyakan semakin tertarik kepada organisasi ini meski mereka menghembuskan semangat anti-bangsawan. Sebagai gambaran pada tahun 1941, Muhammadyah
beranggotakan 4000 orang, cabang wanitanya, Aisyah, 2000 orang, dan sayap pemudanya, seribu orang. Sangat mungkin mereka melakukan ini karena
Muhammadyah dianggap bisa digunakan untuk melawan dampak yang ditimbulkan oleh imam yang lebih radikal, sekaligus menjadi cara untuk
mengungkapkan ketaksetujuan mereka terhadap kebijakan Belanda yang memberi tempat istimewa kepada faktor keturunan. Bahkan, pengaruh sekolah-sekolah
Muhammadyah bahkan menjadi lebih luas, dan bukan menyempit, oleh upaya Belanda mengembangkan sekolah-sekolah mereka. Bersamaan dengan itu,
sekolah-sekolah dengan orientasi nasionalis khususnya Taman Siswa menjadi lebih berpengaruh di Makassar karena upaya Belanda untuk menyingkirkan
mereka secara legal Harvey 1974; 1984; Heather 1980. Perlu dicatat pula bahwa pada saat bersamaan para bangsawan rendah tidak
lagi begitu tertarik menjadi imam. Mereka lebih banyak melanjutkan pendidikan formal ke Makassar di sekolah Muhammadyah atau Belanda. Strategi mereka
adalah mencapai posisi tertinggi pada hierarki pemerintahan yang bisa dicapai pribumi. Mereka berharap lewat cara ini mereka bisa berbagi kekuasaan dengan
para pegawai Belanda. Sementara para pemuda bangsawan tinggi, karena yakin akan posisi warisan mereka, tidak begitu berminat melanjutkan sekolah. Jadi, para
bangsawan menengah dan rendah serta to madeceng, mendapat pendidikan lebih baik dan mendominasi alokasi kecil di pemerintahan pribumi. Tidak diragukan
lagi, di antara pegawai pribumi terjadi persaingan sangat ketat, khususnya di tahun 1940-an. Hal ini terjadi ketika semakin banyak orang berstatus tinggi yang
berpendidikan menginginkan posisi pemerintahan yang ada di daerah mereka.
56
Persaingan keras juga berlangsung di lembaga Hadat yang diisi para bangsawan. Dengan posisi Bone dan Gowa yang sudah disamakan dengan kerajaan lain, maka
hierarki kerajaan-kerajaan di wilayah ini telah dirombak, sehingga para bangsawan mulai lagi bersaing di dalam konteks formal yang baru Mattulada
77a; 1998. Demikianlah, kekuatan Kolonialisme, Islam dan tradisional, senantiasa
menjadi tiga pihak yang terus berkoalisi dan berlawanan dengan semakin banyak variabel yang menambahkan kerumitan interaksi mereka. Kondisi ini menurut
Gibson 2005 tidak lepas dari perubahan pengetahuan simbolik yang dipercaya oleh masyarakat secara tradisional. Atau perubahan kadar dominasi dari ketiga
jalur kekuasaan tersebut. Ijzereef mengungkapkan bahwa para bangsawan La Pawawoi, Arumpone
bisa menduduki tahtanya pada tahun 1895 karena sokongan Pemerintah Kolonial. Dengan bantuan Fort Rotterdam saingan potensi La Pawawoi yang baru dilantik,
segera disingkirkan. Pertama-tama Belanda mengusir suami I Banri kembali ke Gowa. Sementara puterinya, yang telah dilantik oleh Dewan Hadat Bone atau
Arung Pitu sebagai ratu, tidak diakui oleh Pemerintah Kolonial dan masih terlalu muda untuk memobilisasi kekuatan untuk menantang La Pawawoi. Semakin
meningkatnya intervensi Belanda dalam struktur kekuasaan Bone pada akhir abad 19 masih tetap menyisakan beberapa prinsip kekuasaan tradisional yang sulit
untuk digoyahkan. Di Bone pada masa itu kekuasaan Arumpone sangat tinggi, boleh dikatakan tertinggi, sehingga hanya orang berdarah bangsawan tinggi yang
boleh menjadi Arumpone. Memang seorang raja bisa menetapkan penggantinya, namun dia akan mendapatkan tantangan sangat keras bila mengangkat bukan
salah satu dari bangsawan berstatus tertinggi: yaitu seseorang dengan derajat kemurnian darah paling tinggi. Bila sang raja tidak sempat menetapkan pengganti
maka ketentuan adat berlaku, mengangkat orang berdarah paling murni.
Terlihat bahwa dalam penelitian Ijzereef dia sama sekali melupakan unsur agama di dalam perebutan dan upaya mempertahankan kekuasaan. Hanya ada dua
unsur yang berinteraksi, unsur pemerintahan nasional Belanda dan sistem kekuasaan tradisional. Bisa jadi memang pada masa itu di Bone unsur agama
Islam begitu kecil dengan berbagai alasan. Sebagaimana diungkap Millar di atas, bahwa kuatnya reproduksi kekuasaan lewat pewarisan di Bone yang didukung
57
oleh penguasa kolonial di awal abad 20, membuat unsur kekuasaan lain, Islam, menjadi tidak berkembang. Atau karena sumber yang digunakan oleh Ijzereef
adalah catatan pemerintahan kolonial yang sering mengabaikan apa yang tidak begitu penting bagi pihaknya. Sebagaimana kritik van Leur bahwa catatan tentang
Indonesia terlalu sering dilihat dari geladak kapal dagang atau kantor loji maskapai dagang asing Florida, 1976. Faktor manakah yang dominan di antara
keduanya? Kita hanya bisa membandingkannya dengan melihat kajian lain. Hal lain yang penting dicatat dari hasil studi Millar mengenai sejarah politik
Sulawesi Selatan adalah setiap pergantian kekuasaan, kebangsawanan selalu memegang peranan penting. Yang terjadi adalah persaingan tiga kubu, antara
bangsawan Sulawesi memperebutkan dominasi di Makassar, sebagai pusat Hindia Timur, antara bangsawan di Sulawesi Selatan memperebutkan dominasi di
Sulawesi Selatan dan antara bangsawan melawan orang kebanyakan yang juga memperebutkan dominasi di provinsi ini.
Persaingan pertama ini terjadi karena pada tahun 1938 pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk satu unit pemerintahan baru yang meliputi seluruh
Hindia Timur, berpusat di Makassar. Jabatan-jabatan di jawatan baru ini didominasi oleh orang Minahasa dan Ambon yang saat itu lebih maju dalam hal
pendidikan moderen. Hal yang membuat para bangsawan lokal di Makassar merasa dilangkahi. Pada masa pemerintahan Jepang, mereka menjadikan
Makassar sebagai pusat politis dan ekonomi di kawasan Timur Hindia. Mereka memusatkan perdagangan produk-produk utama seperti beras dan kopra di
Makassar. Mereka juga membentuk dewan pemerintahan se Sulawesi Selatan yang diisi para bangsawan.
Ketika proklamasi kemerdekaan diumumkan pada 17-8-1945, bangsawan Sulsel terbelah dua. Antara yang pro nasionalis seperti bangsawan Bone, yang
menjalin kontak dengan tokoh nasionalis, seperti Sam Ratulangie dan Tajuddin Noor. Sedangkan bangsawan Gowa justru merapat ke N.D. Malewa yang lebih
berorientasi pada kekuasaan lokal provinsi. Kubu yang terakhir ini kemudian ikut mendorong upaya Belanda menghidupkan Negara Indonesia Timur. Pada masa ini,
masyarakat pada umumnya hanya ingin lepas dari penjajahan kolonial yang tidak mereka sukai, sedangkan para bangsawan, mereka ingin merebut dominasi
58
kekuasaan dari ‗orang-orang luar‘ yang sedang berkuasa di ‗wilayah tradisional‘ mereka Mattulada 1998; Harvey 1974.
Peran bangsawan kembali menjadi penting ketika Pemerintah Indonesia berusaha memadamkan gerakan bersenjata yang dipimpin Muzakkar, seorang
non-bangsawan, lepasan sekolah Muhammadiyah yang sangat anti-aristokrat, dan mendapatkan pendidikan militernya selama masa revolusi lebih banyak di Jawa.
Pemerintah nasional yang berusia muda ini mengirim seorang bangsawan militer, Jusuf
—yang ironisnya telah menanggalkan gelar ‗Andi‘ sebagai dukungannya terhadap gerakan anti-feudalisme tahun 1950-an yang dikobarkan Soekarno. Yang
diperanginya adalah seorang non-bangsawan yang kharismatik, yang sebagian mendapatkan pengaruhnya dari gerakan militernya di Jawa, atau sentimen anti-
sentralisasi pasca-proklamasi, dan belakangan jaringan Darul Islam yang tersebar secara sporadis di beberapa daerah bekas Hindia Belanda Harvey 1989.
Dengan demikian, kedudukan bangsawan senantiasa dianggap penting untuk meredam konflik berkepanjangan, meski konflik itu bersumber dari luar.
Ketika gerakan nasionalis meluber hingga ke Sulawesi Selatan, bangsawan terbelah menurut kepentingan masing-masing. N.D. Malewa dan bangsawan
Gowa lainnya memihak pada skema federal Belanda karena dia telah menjadi kepala urusan dagang selama masa Jepang, dan belakangan diangkat sebagai
perdana menteri NIT. Dia berjuang ‗merebut‘ wilayah tradisionalnya yang sejak akhir tahun 1930-an didominasi pendatang Indonesia Timur lainnya yang
berpendidikan. Ketika pengaruh Kahar yang bukan bangsawan begitu besar di Sulawesi Selatan, para bangsawan muda militer seperti Jusuf dan AM melakukan
maneuver dengan dibantu pasukan nasional yang dikirim pemerintah Indonesia untuk menumpas gerakan Kahar. Ketika Muzakkar memutuskan hubungan
dengan Jakarta karena ia dan pasukannya tak dapat diakui sebagai pasukan resmi karena alasan standar pendidikan militer formal, para bangsawan profesional ini
merapatkan diri ke Jakarta. Bahkan, dengan adanya pemberontakan di daerahnya, mereka punya kesempatan untuk membuktikan kesetiaan terhadap semangat
nasionalis versi Soekarno. Dengan demikian, mereka bisa mengamankan kekuasaan di provinsi ini Harvey 1998.
59
Menurut Harvey 1998 dan Mattulada 1974, dua hal lain yang menyebabkan mereka mampu merebut kekuasaan atas pendatang Manado,
Ambon dan Jawa adalah reorganisasi pemerintahan yang terjadi pada tahun dan tuntutan kelompok Permesta di tahun 1957. Tahun itu pemerintahan swapraja
dihapus dan digantikan dengan pemerintahan Kabupatenkotamadya. Bupati dan walikota sebagian besar dipegang oleh kalangan militer. Namun mereka juga
adalah bangsawan maupun orang biasa yang menikah dengan bangsawan. Akan tetapi mereka tidak berkuasa dengan sendirinya. Pemerintah pusat menerapkan
sistem rotasi sehingga persaingan berlangsung ketat, meski tetap tertata dengan tertib. Akan halnya Permesta, dimulai dengan ketidakpuasan regional masyarakat
Sulawesi terhadap kebijakan pemerintah nasional. Sekelompok pejabat militer dan sipil di Provinsi Sulawesi mengajukan tuntutan untuk memekarkan provinsi
Sulawesi, meningkatkan kondisi perdagangan dan pendidikan, serta reorganisasi militer berupa pengurangan tentara dari Jawa dan membentuk komando daerah
militer terpisah. Selain itu mereka juga meminta mandat untuk dijalankan oleh komando militer yang kelak terbentuk itu untuk menangani sendiri
pemberontakan Kahar Muzakkar. Jakarta merespon positif seluruh permintaan ini. salah satunya adalah penunjukan dua orang bangsawan militer mengepalai
Kodam: AM sebagai panglima dan Jusuf sebagai wakilnya. Namun, gelombang pemberontakan PRRI di seluruh Indonesia pada tahun 1958, akhirnya sampai juga
ke Sulawesi. Kelompok yang mengusung Permesta di Sulawesi terpecah. AM dan Jusuf memihak Jakarta. Para bangsawan profesional ini tahu bahwa untuk
merawat kekuasaannya, mereka harus menjalin hubungan dekat dengan pemerintah pusat, sembari mempertahankan jalinan tradisionalnya dengan
masyarakat serta memanfaatkan potensi ekonomis. Mereka tahu bahwa tradisi kebangsawanan atau posisi sebagai raja tidak lagi menjadi alat yang bisa berdiri
sendiri untuk memperoleh kekuasaan. Sementara itu pihak penyokong Permesta lainnya bergabung dengan PRRI
para pemimpin pro-permesta belakangan bahkan bernegosiasi untuk bergabung dengan Kahar melawan pemerintah pusat. AM yang waktu itu kebetulan sakit,
tidak bertindak menangkapi koleganya pengusung Permesta —para petinggi
militer maupun sipil provinsi Sulawesi berasal dari berbagai tempat di Sulawesi
60
dan Jawa. Namun penangkapan itu kemudian tetap terjadi, dilakukan oleh wakil sang panglima, Jusuf. Tak lama kemudian Jusuf menggantikan AM sebagai
panglima Kodam 1958-1965. Ringkasnya, lewat reorganisasi administrasi pemerintahan dan peristiwa
PRRI Permesta, para bangsawan Sulawesi Selatan kembali menjadi penguasa atas posisi-posisi penting di seluruh provinsi ini. Mereka menyingkirkan para
bangsawan-intelektual seperti Ratulangie, Samuel, dan Tajuddin Noor. Selain itu mereka juga berhasil menyingkirkan gerakan anti-bangsawan-Islam di bawah
pimpinan Muzakkar. Untuk yang terakhir ini
—kemenangan bangsawan-militer atas pemimpin- gerakan-non-bangsawan
—disebabkan oleh beberapa hal. Para bangsawan punya pendidikan lebih baik, lebih banyak uang dan senjata, ikatan tradisional dengan
sebagian rakyat yang masih mendukung. Mereka juga bisa menangkis argument Muzakkar dengan mengatakan bahwa mereka juga mengusung demokrasi dan
menonjolkan ke-Islam-an mereka. Tahun 1950an banyak bangsawan —termasuk
Jusuf —yang menanggalkan gelar bangsawan mereka dan menolak diperlakukan
seperti bangsawan di masa sebelumnya, serta meninggalkan hak-hak istimewa mereka sebagai bangsawan. Bahkan banyak di antara mereka yang ikut dengan
gerakan Kahar di fase-fase awal. Para bangsawan ini, dan pengikut lainnya, belakangan banyak meninggalkan Kahar karena ia tidak punya metode yang
cukup baik untuk menyebarkan alasan-alasan gerakannya dan menawarkan model kehidupan alternative yang menjanjikan. Sebaliknya, setelah melewati kesulitan
hidup dan ketidakpastian selama bertahun-tahun, banyak pengikut Kahar yang akhirnya menyerah, lalu bersedia menerima kebijakan nasional yang terlihat
semakin tertata dengan rapi. Selain gerakan Kahar, Jusuf juga berhasil mematahkan gerakan-gerakan para pemimpin gerilya lokal warlords yang juga
mengambil celah di tengah lemahnya pemerintahan pusat dan kurang rapinya gerakan Kahar Harvey 1998.
Ironisnya, ketika Jusuf berhasil memadamkan seluruh gerakan itu di tahun 1965, dia ditarik ke Jakarta menjadi menteri. Agaknya langkah ini diambil
Soekarno agar ia tidak sempat menjadi ‗orang kuat‘ yang sanggup membentuk
61
pengaruh yang terlalu kuat, yang bisa berkembang ke arah yang berlawanan dengan kebijakan Jakarta. Millar 1989: 52-59
Risalah yang disusun Millar di atas menunjukkan pada kita bahwa Pemerintah Nasional di Jakarta telah turut menjadi faktor penentu dinamika
kekuasaan di Sulawesi Selatan. Kedatangan sekolah Muhammadiyah yang nyaris bersamaan dengan
sekolah buatan pemerintah colonial, menyebabkan pelan-pelan modernisasi menjadi cepat diserap masyarakat Sulsel. Mereka berhasil menguasai alam pikiran
masyarakat yang masih banyak mempercayai ajaran tradisional. Sedikit demi sedikit penguasaan pengetahuan lewat sekolah formal, Islam maupun sekular,
berhasil merebut kepercayaan masyarakat Sulsel. Menyelesaikan pendidikan sudah bisa menjadi alat untuk mobilitas sosial terutama bagi bangsawan rendah
dan orang kebanyakan. Pada titik ini, kaum Islam modernis dan Indonesia nasionalis mendapatkan ladang persemaian yang subur. Meski ini kelak kedua
kelompok ini terbelah karena gerakan DITII. Pada masa Jepang, kecenderungan ini semakin menguat, mereka mendirikan
jawatan pemerintahan yang menangani urusan keagamaan. Untuk mengimbangi orang-orang terpelajar didikan Belanda dan kaum aristokrat Jepang menjadikan
Departemen Urusan Agama lebih banyak memperhatikan urusan kaum Muslim. Mereka mendukung pembentukan sebuah federasi politik Muslim yang dikenal
dengan nama Masyumi, dan belakangan melatih milisi-milisi Islam ketika ancaman invasi Sekutu semakin mendekat. Dengan segera kelompok-kelompok
Islam mendapat angin segar. Kahar Muzakkar adalah salah satu jebolan sekolah Muhammadiyah. Bersama
orang-orang segenerasinya mereka membentuk kelompok radikal Islam yang juga mengenal konsep moderen Negara sebagai basis pemerintahan. Ketika mereka tidak
diterima masuk sebagai bagian dari tentara nasional Indonesia, mereka berontak dan menguasai daerah pedalaman Sulawesi Selatan. Mereka menyerang praktik-praktik
bid‘ah, yang merupakan sinkretisme ajaran Islam dan ritual tradisional. Namun yang penting di catat adalah mereka, cukup toleran terhadap ajaran tradisional. Mereka
misalnya tidak menyerang Tana Toa di Kajang dan Amparita, tempat mukim penganut ajaran to lotang. Salah satu alasannya adalah karena DITII tidak hanya
62
merupakan gerakan teologis, tetapi juga gerakan sosiologis. Mereka menyerang feudalisme, aristokrasi, simbol perbedaan pelapisan sosial yang biasanya muncul
dalam ritual-ritual siklus hidup seperti kelahiran dan perkawinan. Mereka misalnya mengurangi pembayaran mahar untuk semua kalangan ke angka yang paling rendah,
sehingga seluruh mempelai pria hanya perlu membayar sedikit dan menandatangani akta nikah di depan dua saksi
—tanpa perlu upacara yang rumit dan biasanya berbiaya mahal. Di samping itu mereka juga menyerang para pegawai negeri yang bekerja di
Desa-Desa sehingga mereka harus melarikan diri ke kota bila tak memutuskan untuk bergabung dengan gerakan DITII. Pada titik ini cita-cita para pendiri sekolah-sekolah
Muhammadyah untuk menandingi kaum terpelajar didikan Belanda menemui bentuknya yang radikal. Mereka ingin juga ingin mendirikan Negara, namun bukan
negara sekuler, tetapi negara Islam Gibson, 2007. Akhirnya kita tahu bahwa gerakan Islam modernis ini kalah oleh kekuatan nasionalis yang juga modernis
— namun melekatkan diri pada negara berbasis sekuler.
Di masa Orde Baru Soeharto mengambil langkah strategis yang banyak mengubah wajah kekuasaan di Sulawesi Selatan. Di masa pemerintahannya yang
sentralistik Soeharto bisa menentukan pejabat-pejabat strategis yang penting untuk memuluskan kerja rezimnya. Di awal tahun 1970-an sang presiden mengangkat
anggota militer bukan bangsawan yang menikah dengan bangsawan tinggi atau bangsawan yang sekaligus anggota militer sebagai Bupati di nyaris seluruh Daerah
Tingkat II di Sulawesi Selatan. Hal ini tentu saja menghidupkan kembali kekuasaan tradisional para bangsawan yang agak meredup di masa sebelumnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Soekarno sangat tidak menyukai feudalisme dan pada saat itu sentimen anti kebangsawanan juga berujung pada
digantikannya istilah ‗swapraja‘ menjadi kabupaten dan kotamadya yang lebih berbau egaliter. Saat itu di Sulawesi Selatan banyak bangsawan yang secara sadar
menanggalkan gelar ‗Andi‘ di depan namanya. Masa itu berlalu ketika para bangsawan kembali mendapat tempat di Sulawesi Selatan. Dari kajian Susan
Millar di Soppeng, terlihat bahwa nyaris setengah dari 46 jabatan penting di pemerintahan Kabupaten
tersebut, yaitu 18 orang, diisi oleh para ‗Andi‘. Belum lagi melihat bahwa ada dua bangsawan yang dikenal Millar namun belum
memasang kembali gelar Andi di depan namanya. Dan ini terjadi meski terdapat
63
cukup banyak orang biasa berpendidikan yang punya kualifikasi memadai untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Menyadari hal ini, banyak bangsawan yang
telah menanggalkan gelar ‗Andi‘ di masa Soekarno, kembali memasang gelar tersebut. Mereka sadar zaman telah berubah. Sementara itu, banyak sekali
golongan non-bangsawan di Soppeng menganggap bahwa fenomena ini menyakitkan bagi mereka. Namun, meski mereka tidak menyenangi keadaan ini
mereka tidak bisa melawan. Saat itu adalah masa militerisasi ala Orde Baru, dengan keamanan dan ketertiban menjadi perhatian penting. Setiap pertemuan
atau acara publik, formal maupun informal, sekecil apa pun, di tempat seterpencil apa pun, aparat militer nyaris selalu hadir untuk memantau.
Sementara itu, yang terjadi pada golongan non bangsawan adalah terbuka kesempatan luas bagi mereka karena dibukanya berbagai jawatan yang
mengembangkan pendidikan dan kebudayaan bagi mereka. Sehingga mereka bisa meningkatkan derajat pendidikan formal. Bagi mereka, terbuka banyak jalan
untuk menuju jabatan structural di birokrasi pemerintahan. Namun pada saat bersamaan, di banyak kasus, mereka terhalang untuk tiba di posisi puncak.
Saat itu, di tahun 1970an, pendidikan formal sudah menjadi alat sangat penting untuk pembentukan elite. Jaringan tau matoa, atau pemimpin dalam
hubungan patron-klien di Soppeng, sudah banyak diisi oleh orang-orang tamatan perguruan tinggi. Namun, sebagian dari mereka juga adalah bangsawan. Mereka
yang tinggal di Makassar atau di tempat lain senantiasa pulang untuk menghadiri pernikahan sebagai tamu terhormat. Dengan demikian jaringan tau matoa
membentang sepanjang provinsi. Partai politik menggunakan bentang jaringan ini untuk mendulang suara. Pada dekade 1950an hingga 1960an, tau matoa di tingkat
provinsi secara hati-hati memilih tau matoa di tingkat Kabupaten untuk menjadi pengikut partai mereka agar bisa mendulang suara yang banyak. Sehingga blok
persekutuan antar tau matoa di tingkat Kabupaten perkembangannya sangat ditentukan oleh persaingan antar tau matoa di tingkat provinsi. Situasi berubah
sejak tahun 1971. Secara sistematis Golkar melemahkan partai politik lain. Seluruh pejabat pemerintahan kebanyakan di antara mereka adalah tau matoa,
misalnya, dipaksa menjadi pendukung Golkar atau kehilangan pekerjaan. Hal ini membuat persaingan politik yang terjadi di level Kabupaten maupun provinsi
64
merupakan persaingan internal antar kader Golkar. Ini membuat para tau matoa itu harus bersaing memperebutkan kesetiaan para pemimpin Islam berpengaruh
strategi yang juga digunakan para raja dan Kahar Muzakkar, serta kesetiaan tau matoa
lain pada level yang lebih rendah. Mattulada 1998; Harvey 1974; 1989. Sementara itu, posisi penting Muhammadiyah sebagai organisasi mulai menurun
di wilayah Bugis pada tahun 1965-1975 sampai masa penelitian Millar. Hal ini terjadi selain karena banyak mantan anggotanya kini berafiliasi ke Golkar. Selain itu
Muhammadiyah sejak tibanya di provinsi ini selalu menjadi alat ekspresi oposisi terhadap kekuatan luar yang datang mendominasi di kawasan ini misalnya terhadap
kekuasaan Belanda dan belakangan dominasi Jawa. Namun setelah banyak orang Sulawesi Selatan sendiri, bangsawan maupun bukan, bisa mendapatkan posisi tinggi
secara politis maupun ekonomi, tentu peran ini menjadi kurang relevan lagi, sehingga nilai penting organisasinya pun menjadi surut Millar, 1989.
Akhirnya Millar menyimpulkan bahwa, selama dekade 1970an, terjadi peralihan gagasan tentang status di wilayah Bugis. Sifat dan pencapaian pribadi
sudah menjadi faktor yang lebih penting dalam melihat kualitas seseorang ketimbang di masa sebelumnya. Karena kalangan non-bangsawan pada masa itu
tidak kekurangan peluang untuk melakukan mobilisasi sosial, maka ketegangan dan persaingan memperebutkan pengaruh di antara tau matoa, lebih spesifik lagi,
antara tau matoa bangsawan atau dan tau matoa orang kebanyakan, tetap berlangsung sengit Millar, 1989.
Setelah masa desentralisasi terjadi perubahan yang cukup signifikan. Tesis Gibson bahwa orang Sulawesi Selatan mengaktifkan seluruh sistem kuasa yang
ada —tradisional, Islam dan moderen—kembali menemukan konfirmasinya.
Bahwa para patron, tau matoa dalam istilah Millar, menggunakan seluruh sistem yang bisa diaksesnya untuk mengklaim kekuasaan kini semakin menguat.
Desentralisasi menyebabkan orang-orang kuat di Sulawesi Selatan kembali menelusuri leluhur, menggunakan simbol-simbol Islam, serta klaim dari dunia
moderen seperti jabatan formal dan tingkat pendidikan. Penelitian mutakhir Bakti 2008 di Wajo menun
jukkan bagaimana sang ‗Puang‘ ketika menjabat sebagai Bupati memasukkan kerabatnya di tempat-tempat strategis di pemerintahan, dan
tentu menyuplai mereka berbagai proyek, untuk menjaga loyalitas mereka. Dia
65
menciptakan semacam shadow state yang bekerja dengan efektif di dalam birokrasi. Jaringan patron-klien ini merasuk ke dalam birokrasi yang seharusnya
impersonal dan rasional. Mereka mengambil kebijakan secara hibrid, dengan mengikutkan unsur tradisional yaitu membagi kue jabatan ke jaringan
kekerabatannya, untuk mempertahankan bahkan menguatkan cengkraman politik sebuah klan, dan mereka mencangkokkannya ke dalam sistem formal
pemerintahan. Dengan kata lain, sistem formal yang lugu ini diisi dengan nuansa tradisional yang sudah bertahan lama.
2.3 Relasi Simbol, Kuasa,