137
5.3.3 Cikal Bakal Modernisme Pada Etnis Bugis dan Makassar
Cikal bakal munculnya modernisme
77
di Sulawesi Selatan sangat dipengaruhi oleh munculnya sejumlah faham, idiologi, pengetahuan, organisasi,
isntitusi dan perilaku baru yang berkembang di nusantara pada awal abad 20. Faham-faham baru ini dipengaruhi oleh karena adanya pergeseran idiologi, ilmu
pengetahuan, dan institusi yang terjadi di seluruh dunia, terutama di Eropa pada paroh akhir abad 19.
Di Indnesia, gerakan yang paling berpengaruh memberikan warna moderenisme di Sulsel adalah idiologi Sarekat Islam SI yang mulai tumbuh pada
1912. Semula SI menyebarkan idiologinya di Surakarta, kemudian menyebar ke berbagai daerah di nusantara, termasuk di Sulawesi Selatan. Para aktivis SI pada
umumnya tumbuh dengan pemikiran Marxis.
78
Menjelang sepuluh tahun kemudian 1920, berdiri Partai Komunis Indonesia PKI dengan mengusung
idiologi utama partai adalah komunisme dan sosialisme.
79
Kehadiran Partai Komunis Indonesia membuat SI semakin memperjelas arah perjuangannya.
Karena itu sejumlah anggota SI yang mengusung komunisme mulai hengkang dari SI dan bergabung dengan PKI.
Pada masa-masa awal keberadaannya, PKI adalah salah satu organisasi yang paling agresif menyebarkan pengaruh dan propaganda.
Pada tahun 1924, PKI berhasil melahirkan sejumlah aktivis pergerakan di Makassar. Para aktivis PKI Makassar ini kemudian menghadiri Kongres PKI yang
ke 9 di Jawa. Tapi umur PKI tidak panjang, setelah melakukan pemberontakan di
77
Moderenisme disini difahami sebagai bertemunya sejumlah faham, idiologi, perilaku dengan kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar, terutama pada elitnya, kemudian melahirkan faham,
idiologi dan perilaku baru.
78
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995
79
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Karena adanya perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang danYogyakarta membuat Sarekat
Islam melaksanakan disiplin partai, dengan melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah
perjuangan pergerakan I
ndonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang
disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang Mei 1920, nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi
bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah
menjadi Partai Komunis Indonesia PKI. Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging
ISDVatau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda.
138
Jawa dan Sumatra pada tahun 19261927, partai ini dianggap terlarang, dan para aktivisnya di Makassar ditangkap Belanda, karena dianggap makar.
Dengan fakumnya PKI, posisi SI di Sulsel semakin berkibar, daya pengaruhnya terus bertambah, terutama dalam proses moderenisasi. Pada tahun
1936 muncul juga Partai Indonesia Raya Parindra yang dipimpin oleh Achmad Daeng Siola, dan Persatoen Celebes Selatan yang diketuai oleh Nadjamoeddin
Daeng Malewa. Kedua organisasi baru ini sama-sama menyatakan kesetiaan kepada Pemerintahan Hindia Belanda.
80
Organisasi-organisasi semacam ini tidak memberikan pengaruh yang memadai untuk menggeser kedudukan Pemerintah
Hindia Belanda, dan proses moderenisasi elit di Sulsel. Keberadaan SI di Sulsel lebih merepotkan Pemerintah Hindia Belanda,
terutama dengan hadirnya organisasi Islam lain yaitu Muhammadiyah. Muhammadiyah yang didirikan di kota Yogyakarta pada tahun 1912 dan memasuki
Sulsel pada awal tahun 1926, dengan tokoh-tokoh utamanya pada masa itu antara lain; Haji Abdullah, Muhammad Yusuf Daeng Mattiro, Abdul Karim Daeng Tunru,
dan Mansyur Al-Yamany.
81
Dengan gayanya yang tidak mentolerir tradisi yang tidak sesuai dengan Islam yang masih hidup dalam masyarakat, dan usahanya untuk
menghilangkan struktur hierarki feudal dari kalangan bangsawan, maka maka perjuangan Muhammadyah
82
sering berbenturan dengan Pemerintah Hindia Belanda.
83
Melihat meningkatnya gerakan sosial di nusantara, Pemerintah Hindia Belanda terus melakukan kajian dan strategi untuk mengubah masyarakat tradisional ke arah
modern,
84
ini terlihat dari program pembangunan yang dilakukan. Berbagai sarana infrastruktur seperti transportasi, sistem birokrasi, dan sarana pendidikan
diselenggarakan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera dan modern. Kelahiran elite modern Sulawesi Selatan setidaknya ditentukan oleh beberapa
hal; pertama, hasil regulasi Pemerintah Hindia Belanda. Belanda memiliki
80
Dalam Barbara S. Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar
81
Lihat perkembangan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan dalam Mustari Bosra, Tuang Guru, Anrong Guru, dan Daeng Guru:
Gerakan Islam di Sulawesi Selatan 1914-1942 2008.
82
Muhammadya dikenal sebagai organisasi Islam yang melakukan pembaharuan
83
Moderenisme elit etnis Bugis dan Makassar pada aspek idiologi, ilmu pengetahuan dan struktur sosial banyak dipengaruhi oleh gerakan yang dibangun oleh Muhammadyah..
84
Belanda memberikan kontribusi dalam proses moderenisasi etnis Bugis dan Makassar, terletak pada penyediaan sarana fisik seperti jalan, jembatan, sekolah dan bendungan dan irigasi.
139
kepentingan untuk menumbuhkan elit baru yang memiliki keberpihakan kepada Pemerintah Hindia Belanda, meskipun tidak berasal dari elit-elit kerajaan penting.
Kedua, faktor pendidikan. Seseorang dapat menjadi elit modern apabila memasuki dunia pendidikan. Faktor ketiga adalah pembentukan idiologi oleh organisasi sosial
politik seperti SI dan Muhammadyah. Beberapa nama elit modern Sulsel yang tumbuh dalam pengawasan
Pemerintah Hindia Belanda, antara lain; Mauraga Daeng Malliungang. Karaeng atau bangsawan dari daerah Pangkajene, berpendidikan kelas 4 OSVIA, pada tahun 1912
diangkat menjadi regen Pangkajene menggantikan ayahnya. Salah seorang saudaranya menjadi pemimpin masyarakat adat Mandalle dan salah seorang
keponakannya diangkat menjadi Karaeng di Maros. Putra-putranya menyelesaikan pendidikannya di MULO dan AMS di Yogyakarta. Salah satu putranya, Andi
Burhanuddin menduduki posisi sebagai Karaeng Pangkajene pada tahun 1942, kemudian dicopot tahun 1945, karena mulai berpihak pada Republik Indonesia.
Pada 1947 Andi Burhanuddin diangkat menjadi Menteri Penerangan NIT pada Kabinet Anak Agung Gde Agung. Ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur
Sulawesi tahun 1955-1956.
85
Dari kalangan bangsawan Gowa, elit modern yang cukup berpengaruh di Sulawesi Selatan adalah Andi Pangerang Petta Rani. Sedangkan dari kalangan
bangsawan penguasa distrik terdapat nama Lanto Daeng Pasewang yang lahir di Jeneponto tahun 1900.
86
Kemunculan elit modern pada masa kolonial tersebut, memicu tumbuhnya dinamika baru kebudayaan Sulawesi Selatan.
87
Sebelum memasuki abad ke 20, kelas social orang Bugis dan Makassar hanya terbagi atas bangsawan tinggi
istana, bangsawan wilayah dan orang-orang merdeka, maka setelah masa-masa akhir Pemerintahan Hindia Belanda di Sulsel, struktur sosial
terbagi atas: kaum bangsawan yang menjadi bagian Pemerintahan Hindia Belanda sebagai kelas
85
Abd. Razak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru: Sejarah Lokal Sulawesi Selatan Makassar: PusKit-Lephas, 2004.
86
Kedua tokoh ini dikenal sebagai tokoh yang berpendidikan tinggi dan memiliki pengetahuan yang luar biasa. Mereka juga adalah aktivis pergerakan nasional. Kedua-duanya pernah diangkat
menjadi Gubernur Sulawesi.
87
Lihat Niel; Munculnya Elit Modern Indonesia 2009.
140
utama, kalangan pamong yang memiliki pendidikan formal, kalangan ulama dan adat, serta yang terakhir kelas hartawan, pedagang dan pengusaha.
88
5.4 Fase Sekularisme Reproduksi Elite Pada Era 1905 Hingga Otonomi Daerah Pada Etnis Bugis dan Makassar
Pada bagian ini diperlihatkan bahwa level makro provinsi dan Sulsel, penggunaan konsep hybridasasi budaya politik menjadi pilihan yang jitu untuk tetap
menjaga spirit soliditas dan solidaritas makro. Meskipun nampak nyata, secara diam-diam pada aras mezzo terjadi kontestasi identitas etnis antara Bone dan Gowa.
Pilihan menggunakan simbol, uang, dan kuasa pada seluruh aras analisis memperlihatkan betapa pentingnya kesadaran budaya politik yang bersifat hybrid.
Pada bagian ini juga ditunjukkan bahwa pada level mezzo, budaya sosiologi politik koeksistensi sangat berguna untuk tetap menjaga keberagaman etnisitas
dan ras dalam kehidupan bersama. Permainan simbol budaya, kuasa dan uang dalam proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan Makassar juga diperlihatkan
pada bagian ini. Kecenderungan-kecenderungan seperti tersebut di atas memperjelas fase
sekularisme merupakan fase yang ditandai oleh tindakan kekuasaan yang bersifat, transaksional, pragmatis, rasional, utilities dan efisien.
89
Tindakan kekuasaan yang bersifat transaksional ditandai dengan semakin pendeknya jarak pandang politik para penguasa. Hitungan-hitungan jangka
pendek menjadi ukuran bagi penguasa yang pragmatis. Rasionalitas, utilitas dan efisiensi adalah instrumen utama untuk menetukan kebijakan politiknya.
Proses pembentukan elit
90
pada era otonomi daerah sesuai amanat UU 32 tahun 2004 di Kabupaten Bone dan Gowa tidak bisa dilepaskan dengan proses
pembentukan elite pada masa sebelumnya; tradisional, feudalism, Islam modern, dan sekularisme. Mayoritas elite-elite yang ada saat ini baik yang berada di
panggung kekuasaan politik di Kabupaten Bone dan Gowa, maupun elite yang
88
Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Lephas, 1998
89
Pragmatisme adalah kepercayaan bahwa kebenaraan atau nilai suatu ajaran bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan pragmatis berarti bersifat praktisdan
berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan kemanfaatan; mengenaibersangkutan dengan nilai-nilai praktis.
90
Mengenai dinamika terbentuknya elit dapat merujuk pada; Sutherland; Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi
1983, dan Niel; Munculnya Elit Modern Indonesia 2009.
141
berasal dari Kabupaten Bone dan Gowa yang berkiprah di panggung politik pada level provinsi dan Sulsel, proses kelahirannya sulit tidak dikaitkan dengan era
politik sebelumnya. Meskipun terdapat beberapa nama elite baru, baik dari Kabupaten Bone maupun Kabupaten Gowa yang tidak memiliki hubungan sejarah
dengan era politik sebelum otonomi daerah. Beberapa elite yang diproduksi oleh otonomi daerah berdasarkan UU 32
tahun 2004 antara lain dari Bone adalah; AM governing elite, petinggi salah satu partai Islam, Wakil Ketua DPR RI, AP governing elite, wakil ketua DPRD
Sulsel, AMF Anggota DPD RI. Sedangkan dari Kabupaten Gowa terdapat nama-nama antara lain; AU Ketua salah satu partai Islam di Sulsel, dan anggota
DPRD Sulsel, dan HL mantan anggota DPRD Sulsel. Nama-nama ini lahir sebagai elite baru melalui rahim sekularisme, dan menjadikan partai politik
sebagai tunggangan untuk memasuki panggung kekuasaan. Melalui UU 32 tahun 2004, diberikan kesempatan yang sama kepada semua
komponen masyarakat untuk berkompetisi merebut panggung politik, akan tetapi kelonggaran panggung politik tidak serta merta diikuti oleh institusi negara yang
lain. Birokrasi pemerintah misalnya masih mempertahankan tradisinya dalam hal menentukan pejabat yang akan mengisi jabatan-jabatan strategis, terutama eselon
dua dan tiga. Di Kabupaten Bone misalnya, kekuatan aristokrasi dan sentimen kedaerahan
menjadi penentu yang cukup berpengaruh dalam memilih calon-calon pejabat eselon dua dan tiga. Sangat terbatas jumlah pejabat eselon dua dan tiga di
Kabupaten Bone yang tidak bergelar ‖andi,‖ dan hampir semua pejabat adalah
putra asli Bone. Gelar ‖andi‖ adalah salah satu varian yang dapat dipakai untuk menentukan posisi kebangsawanan seseorang di Kabupaten Bone. Kondisi ini
menunjukkan kuatnya peranan aristokrasi mempertahankan dirinya dalam struktur kekuasaan di Bone.
Sebaliknya, ruang kekuasaan yang disajikan di atas panggung birokrasi Kabupaten Gowa
jauh lebih ‖fleksibel‖ dibandingkan dengan Kabupaten Bone. Jabatan-jabatan strategis pada eselon dua dan tiga diisi oleh beragam suku dan
etnis, dan dari berbagai latar belakang keturunan. Kecenderungan ini dapat dibaca bahwa di Kabupaten Gowa, sentimen kesukuan dan status kebangsawanan tidak
142
ikut berpengaruh dalam memposisikan pejabat eselon dua dan tiga. Fakta ini bisa dimaknai sebagai pertanda tumbuhnya birokrasi rasional. Penjelasan lain adalah,
terputusnya relasi antara kekuasaan birokrasi saat ini dengan kekuasaan sebelumnya, terutama dengan kalangan penguasa yang berdarah aristokrat.
Selain melalui panggung politik dan birokrasi, dua jalur yang selama ini –
sejak fase tradisional, hingga fase sekularisme atau otonomi daerah,-- masih dalam penguasaan dan kontrol kalangan bangsawan, reproduksi elite di Bone juga
dilakukan dengan cara lain; ‖perlawanan dari belakang‖ yang dilakukan oleh klan PG baca; dinamika politik Desa Kabupaten Bone pada bagian lain penelitian ini.
Kalangan aristokrat menyebut perlawanan ini sebagai pembangkangan sosial dan kultural. Melalui sejumlah aktivitas perampokan, perjudian dan penekanan-
penekanan kepada terutama masyarakat pedesaan sejak tahun 1970-an, klan PG berhasil diidentifikasi sebagai kekuatan baru yang mengancam kewibawaan
kalangan aristokrat yang menduduki panggung kekuasaan formal; eksekutif dan legislatif. Puncaknya, memasuki era otonomi daerah, klan PG menembus arena
kekuasaan formal di berbagai level; dari Desa hingga provinsi di hampir semua jazirah Sulawesi.
‖Perlawanan dari belakang‖ yang dilakukan oleh klan PG terhadap panggung kekuasaan di Kabupaten Bone menunjukkan ketatnya kontrol kalangan
bangsawan terhadap struktur kekuasaan di Bone. Perawatan kekuasaan yang dimainkan oleh kelompok aristokrat menyulitkan kalangan lain menembus arena
kekuasaan di Bone. Itu sebabnya, klan PG menerobosnya dengan cara yang tidak lumrah atau dianggap sebagai cara yang menyimpang secara sosial dan kultural.
Tapi cara ini ternyata membuahkan hasil dalam mereproduksi elite-elite baru di Kabupaten Bone. Kata kunci dari keberhasilan klan PG menerobos panggung
kekuasaan Bone, bukan semata karena keberhasilannya membuat jalan baru untuk mereproduksi elite, akan tetapi faktor regulasi otonomi daerah melalui UU 32
tahun 2004 melengkapi langkah yang dibangun oleh klan PG memasuki arena kekuasaan formal di Kabupaten Bone.
Cara ‖menyimpang‖ yang dilakukan oleh klan PG di Kabupaten Bone, tidak terjadi pada panggung kekuasaan di Kabupaten Gowa. Reproduksi elite yang terjadi
di Gowa pada era otonomi daerah berlangsung lebih terbuka, melibatkan semua
143
kalangan yang memiliki hak dengan syarat-syarat yang ditentukan secara demokratis. ‖Perlawanan dari belakang‖ seperti yang terjadi di Bone tidak diperlukan oleh
masyarakat di Gowa. Karena elite Gowa, termasuk di dalamnya kaum aristokrat
tidak mengontrol struktur kekuasaan secara ketat, sehingga menutup pintu bagi calon- calon elite baru. Pemain-pemain baru yang ingin menembus panggung kekuasaan di
Gowa tidak memerlukan ‖jalan lain‖ untuk dilewati.
Ada beberapa asumsi yang bisa dikembangkan dari lemahnya kontrol elite Gowa, terutama kaum aristokrat terhadap ruang struktur kekuasaan di Gowa.
Pertama , kelemahan kontrol itu disebabkan karena menguatnya perlawanan massa
terhadap dominasi kelompok elite atau kalangan bangsawan pada ruang kekuasaan, atau terjadi kemerosotan peranan elite dan aristokrat, akibat tekanan
publik dan perubahan sistem politik. Kedua, meningkatnya kesadaran para elite terhadap perubahan pola dan struktur kekuasaan, sehingga memberikan ruang
terbuka bagi berkembangnya elite-elite baru memasuki struktur kekuasaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Gowa terjadi penyatuan
kesadaran elite dengan meningkatnya pemahaman massa akan hak-hak politiknya, menyebabkan terbukanya struktur kekuasaan bagi semua pihak. Sementara di
Kabupaten Bone, para elite, terutama dari kalangan aristokrat menempatkan struktur kekuasaan pada ruang terbatas, yang masih sulit diakses oleh masyarakat
umum. Bersamaan dengan berkembang nya kultur politik inklusif para elite, masyarakat sipilnya civ
il society tidak melakukan semacam ‖perlawanan‖ atau ‖tekanan,‖ meskipun mereka memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik
tentang hak-hak dan kewajiban politik mereka. Kehidupan masyarakat sipil di
Bone sudah sangat terbuka, akan tetapi ideologi dan karakter politik mereka belum bergeser, masih tunduk pada para elite. Dalam arena kekuasaan, elite
aristokrat berhasil menciptakan komunitas mereka sebagai patron bagi masyarakat kebanyakan. Kecekatan elite Bone gagal diikuti oleh elite dan bangsawan Gowa.
Perbedaan di dalam mereproduksi elite antara etnis Bugis Bone dengan etnis Makassar Gowa dapat diteropong lebih tajam pada kasus penentuan elite
atau pemimpin yang melibatkan proses keterlibatan politik masyarakat. Apakah kekuatan kalangan aristokrasi pada etnis Bugis Bone merawat kekuasaannya dapat
dibuktikan melalui persetujuan dan ketaatan politik dari masyarakat melalui
144
Pemilu? Sebaliknya apakah ruang politik dan kekuasaan yang sudah terbuka di Kabupaten Gowa sinkron dengan kesadaran rasional yang dimiliki oleh
masyarakatnya melalui Pemilu. Beberapa kasus di bawah ini dapat memberikan penjelasan kepada pembaca
tentang preferensi masing-masing masyarakat; Bone dan Gowa terhadap kekuasaan. Bagaimana elite-elite etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa
direproduksi dengan caranya masing-masing. Pada kasus-kasus berikut ini akan memperlihatkan bagaimana kekentalan primordial dalam menentukan pilihan
politik terhadap patronnya, terjadi dengan jelas di Bone. Sebaliknya pilihan politik publik Gowa sangat beragam, tidak tergantung pada patron elite.
Tabel 2. Perbandingan elite etnis Bugis Bone dengan elite etnis Makassar
Gowa dalam mendapatkan dukungan massa pada masing- masing basis Bone dan Gowa pada pertarungan elite Partai
Golkar pada Pemilu 2004 untuk kursi DPR RI Dapil I
No Calon
Nama Calon Jml Suara
Suara Partai
6
Drs. H.A.M. NH
95.950 10.4
1
AM, SH, MH
94.611 10.3
14
Dg. J
68.062 7.4
2
Prof. Dr. H. AA
53.470 5.8
5
NYL
49.352 5.4
3
H. H Y Y.R, SE
42.508 4.6
7
Drs. H. I A
36.843 4,0
4
IDM
33.759 3.7
8
Drs. H. H Dl
26.186 2.8
11
Drs. H. S S
25.988 2.8
10
Drs. H. Ib M
20.290 2.2
9
NM, SE
19.622 2.1
12
Drg. F R, M.Kes
12.144 1.3
13
Nur Sy A
5.844 0.6
Sumber: Data diolah, 2004 Pada tabel di atas, Partai Golkar mencalonkan 14 orang kandidat untuk DPR
RI daerah pemilihan Dapil I yang meliputi daerah Kabupatenkota; Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Sinjai, Bone, Soppeng
dan Wajo. Dari Kabupaten Bone terdapat dua kandidat; AM urut 1, HY urut 3 dengan NH urut 6. Kabupaten Gowa menyiapkan dua nama; NYL urut 5 dan
145
Sjahrir S. Dg.DJR urut 14. Suara tertinggi dari Kabupaten Bone di raih oleh NH, disusul AM. Akan tetapi NH tidak bisa duduk di DPR RI karena masih
menggunakan sistem nomor urut. AM duduk di DPR RI mewakili Sulsel Dapil I, sekaligus mewakili Bone. Hal yang sama terjadi pada etnis Makassar Kabupaten
Gowa. Suara tertinggi dari Gowa justru diperoleh Sjahrir Dg. Jarung, namun yang duduk mewakili Sulsel dari dapil I, sekaligus representasi dari Gowa adalah NYL.
AM adalah golongan aristokrat yang terus bertahan pada panggung kekuasaan sampai era otonomi daerah. Sedangkan NYL adalah istri YL yang memiliki
peranan kekuasaan politik di Gowa sejak Orde Baru hingga masa otonomi daerah. Lebih dari 60 perolehan suara NH dan AM hal yang sama juga dicapai
oleh HY, lihat tabel 2, dikumpulkan dari Kabupaten Bone, sepuluh daerah lain yang menjadi bagian daerah pemilihan wilayah I hanya memberikan kontribusi
suara kurang 40. Sedangkan NYL dan SDJ mengumpulkan suara di Kabupaten Gowa kurang dari 35. Sepuluh daerah lain menyumbangkan suara kepada orang
Gowa ini sekitar 65 suara. Data ini menjelaskan bahwa etnis Bugis Bone memiliki tingkat primordialisme dan issue kedaerahan yang relatif tinggi,
dibandingkan dengan etnis Makassar Gowa.
Tabel 3 Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Bone
Pemilu 2009, Dapil DPR RI Sulsel II
DPR RI 2009
B u
luk u
mba S
inja i
B o
n e
Mar o
s P
a n
g k
e p
B a
rr u
S o
p p
e n
g W
a jo
P a
re p
a re
Total
ARIP, SH, M.KN
6563 1399
48128 1817
978 1276
956 2744
680 64541
10.17 2.17 74.57
2.82 1.52
1.98 1.48
4.25 1.05 100.00
Sumber KPUD Sulsel 2009 Tabel 4.
Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Gowa Pemilu 2009, Dapil DPR RI Sulsel I
DPR RI 2009 Ke
p. S
e lay
ar B
an tae
ng Je
ne po
nt o
T ak
al ar
G o
wa M
ak as
sa r
T o
tal ICTSYL. SE., MM.
1232 916
3812 1268
12132 16337
35697 3.45
2.57 10.68
3.55 33.99
45.77 100.00
Sumber KPUD Sulsel 2009
146
ARIP yang terpilih sebagai anggota DPR RI pada Pemilu legislatif 2009 adalah keturunan bangsawan Bone, sekaligus anak mantu mantan menteri
Hukum dan HAM, AM, dan keponakan Bupati Bone AIG. Ia meraih suara sebanyak 64.541 dari daerah pemilihan dapil II yang meliputi Kabupaten
Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Pare-pare, Maros, Pangkep dan Maros lihat tabel 3. Kabupaten Bone menyumbangkan suara sebanyak 74,57. Itu
berarti hanya 25,53 suara yang diperoleh dari delapan Kabupaten lainnya. Bandingkan dengan perolehan suara yang dicapai oleh ICTS, anggota DPR RI
dari dapil I adalah elite dari Gowa, putri sulung Gubernur Sulsel SYL, ponakan Bupati Gowa IYL dan cucu YL. Dukungan yang diperoleh dari daerah basisnya
Gowa hanya 33,99. ICTS justru memperoleh suara terbanyak dari daerah ‖terbuka‖ Makassar, daerah yang menjadi rebutan semua calon legislatif.
Sedangkan daerah lain; Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Kepulauan Selayar,
berkisar antara 3-10 lihat tabel 4. Meskipun Thita memiliki struktur kekuasaan yang kuat di daerah basisnya Gowa, akan tetapi dukungan suara tidak mayoritas
dari Gowa sebagaimana yang ditunjukkan oleh ARIP di Bone. Kecenderungan dukungan masyarakat basis yang berbeda antara
Kabupaten Bone dan Gowa juga terlihat pada tabel 5, dimana AII putra Bupati Bone yang terpilih menjadi anggota DPRD Sulsel pada Pemilu 2009 mewakili
dapil 5 Kabupaten; Bone, Soppeng, Wajo, mendapatkan dukungan suara dominan dari Kabupaten Bone sebesar 97,78 dari total suara sebanyak 83.334.
Dua Kabupaten lainnya hanya menyumbangkan suara sebesar 2,32 lihat tabel. Hal yang kontras terjadi di Kabupaten Gowa. Dukungan suara yang
diraih oleh TOY Kakak Bupati Gowa dan Gubernur Sulsel, memperoleh suara yang cukup signifikan dari daerah lain; Takalar dan Jeneponto yakni 32,84.
Meskipun Kabupaten Gowa masih memberikan kontribusi terbesar yakni 77,16, akan tetapi elite Gowa NYL, ICTS dan TOY mendapatkan dukungan
yang cukup baik dari etnis Makassar di luar Kabupaten Gowa. Hal seperti ini tidak terjadi pada elite Bugis Bone AM, ARIP, dan AII. Dukungan yang
signifikan etnis Bugis di luar Kabupaten Bone terhadap elite Bone pada kasus
147
ini tidak terjadi. Dukungan etnis Bugis Bone hanya diperuntukkan bagi elite yang berasal dari Bone.
Tabel 5. Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Bone
Pemilu 2009, DPRD Sulsel Dapil V
DPRD Sulsel 2009 BONE
SO PP
E NG
WAJO tot
al MIIG
82315 275
744 83334
98.78 0.33
0.89 100.00
Sumber KPUD Sulsel 2009 Tabel 6.
Dukungan Masyarakat Basis Terhadap Elite Kabupaten Gowa Pemilu 2009, DPRD Sulsel Dapil II
DPRD Sulsel 2009 G
ow a
Takal ar
Je nepo
nt o
tot al
TOY 32715
5289 4395
42399 77.16
12.47 10.37 100.00
Sumber KPUD Sulsel 2009
Data-data di atas menggambarkan proses reproduksi elite antara subkultur Bone dengan subkultur Gowa memiliki perbedaan yang cukup jelas. Letak
perbedaan yang paling menonjol terdapat pada preferensi masyarakat yang ―tertutup‖ dan ―terbuka‖
91
dalam menentukan pemimpin. Masyarakat yang
91
Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang berdasarkan hukum. Rakyat adalah yang berdaulat, dengan mekanisme yang menunjukkan kedaulatan itu, yang diwujudkan melalui perwakilan.Proses
itu berjalan secara terbuka dan menjamin hak setiap warga untuk turut serta di dalamnya, dengan demikian dilengkapi oleh mekanisme komunikasi sosial yang efektif. Penguasa tunduk kepada
kedaulatan rakyat dan hukum, seperti juga semua warga negara.Penyelenggara negara terbentuk tidak atas dasar keturunan, ras, agama, kesetiaan perorangan,tetapi atas dasar kecakapan,
integritas, dan kesetiaan kepada tugas dan tujuan organisasi. Sistem politik yang modern mampu mewadahi perbedaan paham dan pandangan, dan mengatasinya dengan cara yang adab dan damai,
dalam aturan yang disepakati bersama hukum. Dalam masyarakat modern ada penampilan individu individuation yang nyata distinct, sehingga manusia berwajah, berkepribadian,
bermartabat, dan bukan hanya bagian dari masyarakat. Di pihak lain, dalam masyarakat modern betapa pun bebasnya individu, kebebasan itu tidak mutlak, karena dibatasi oleh hak individu yang
lain, hak masyarakat, dan kepentingan masyarakat. Namun, pembatasannya itu diatur pula secara jelas dan berlaku buat semua. Dan akhirnya sistem politik modern, lebih terdesentralisasi, dengan
diferensiasi struktural dan spesifikasi fungsi-fungsi, tetapi dengan derajat integrasi dan koordinasi yang tinggi.Memang ciri-ciri tersebut di atas bisa dirinci lebih lanjut, namun pada pokoknya sistem
politik modern mengandung tiga unsur, 1 demokratis, 2 konstitusional, dan 3 berlandaskan hukum.Sistem Sosial. Dalam masyarakat modern, hubungan primer antarindividu telah jauh
berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi lebih
148
d ianggap ―tertutup‖ dalam penelitian ini, berdasarkan data-data di atas terjadi
pada proses reproduksi elite etnis Bugis di Kabupaten Bone. Masyarakat tertutup biasanya melekat dengan issue-issue kedaerahan, primordial dan sectarian. Dalam
konteks ini, mas yarakat yang ―tertutup‖ akan mengalami benturan ideologi
92
. Ideologi lokal yang cenderung bersifat primordial dan sectarian akan berhadapan
dengan ideology global yang mengusung konsep rasional, egaliter, dan kesetaraan akan hak dan kewajiban. Ideologi terakhir ini dikenal sebagai ideology demokrasi.
Proses reproduksi elite di dalam subkultur etnis Makassar Gowa, pada era otonomi daerah relatif berbeda dengan yang terjadi pada etnis Bugis Bone.
predominan.Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, status, hubungan dan keterkaitan sosiallebih didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar belakang keluarga atau keturunan, suku
atau ras, jender pria atau wanita, dan usia yang antara lain melahirkan paternalisme.
92
Tentang benturan peradaban dan benturan idiologi, kita telaah pendapat Huntington Isquo
dalam bukunya ;The Clash of Civilization 1993, mereka berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang
mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban. Ia berpendapat bahwa benturan antarperadaban akan terjadi karena tiga hal pokok: hegemoniarogansi Barat, intoleransi Islam dan
fanatisme konfusianisme. Lebih lanjut Hungtington menyebutnya sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang antarperadaban di masa depan yaitu: 1 perbedaan antar peradaban tidak
hanya riil, tetapi juga mendasar, peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting
lagi, agama. 2 dunia sekarang sehingga antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. 3 proses modernisasi ekonomi dan perubahan dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut
dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, disamping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. 4 tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran
ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain, peradaban- peradaban non-Barat telah kembali ke fenomena asalnya. 5 karakteristik dan perbedaan budaya
kurang bisa menyatu dan karena itu bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. 6
regionalisme ekonomi semakin meningkat dengan penekanan pada aspek agama yang menjadi roh peradaban.
Huntington bahkan melihat bahwa agamalah yang banyak berperan dalam konflik antarperadaban di masa depan. Kitaseakan di ingatkan bahwa agama tidak hanya berfungsi sebagai
wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan damai, tetapi juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterpretasi
sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. interpretasi yang subjektif itu memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang atas nama
Tuhan dan Kitab Suci.
Dalam pandangan Huntington, dunia pasca-Perang Dingin adalah sebuah dunia dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Kesamaan-kesamaan serta perbedaan-perbedaan kultural
membentuk kepentingan-kepentingan, antagonism-antagonisme serta asosiasi-asosiasi antar negara. Negara-negara besar terdiri dari berbagai negara dengan peradaban mereka masing-
masing. Konflik-konflik lokal rupa-rupanya menjadi sebab timbulnya pertikaian dalam skala yang lebih luas antara berbagai kelompok dan negara yang memiliki peradaban yang berbeda-beda.
Pola-pola perkembangan politik dan ekonomi saling berbeda antara satu peradaban dengan peradaban lainnya. Salah satu persoalan utama yang masuk dalam agenda internasional adalah
adanya perbedaan-perbedaan antar-peradaban. Kekuatan peradaban tampaknya mengalami pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban non-Barat. Dan, politik global pun menjadi
bersifat multipolar dan multisivilisasional.
149
Perbedaannya paling tidak terlihat pada kemampuan politik masyarakat Gowa yang memiliki pilihan politik yang lebih luas dan beragam. Pilihan politiknya tidak
terkonsentrasi pada struktur kekuasaan yang ada di Kabupaten Gowa. Keadaan ini bisa dimaknai sebagai kuatnya kesadaran politik rasional pada masyarakat Gowa,
atau melemahnya kontrol struktur kekuasaan yang ada disana. Atau, struktur kekuasaan di Gowa justru memiliki kemauan politik untuk mendorong
masyarakatnya menjadi masyarakat yang memiliki kesadaran politik rasional. Akan tetapi jika dicocokkan dengan criteria elite yang diinginkan oleh masyarakat politik
di Gowa, bahwa seorang elite itu harus memenuhi syarat antara lain; kecakapan atau kemampuan competency atau capacity yang berarti harus memiliki
pendidikan yang memadai dan pengalaman baik trade record, maka pilihan politik mereka bisa dikategorikan sebagai pilihan politik rasional dan terbuka. Dengan
demikian, dalam proses mereproduksi elite, ideology politik pada subkultur politik Gowa tidak berbenturan dengan ideologi global yang bernama demokrasi
93
.
93
Meskipun tidak terjadi benturan antara Idiologi politik pada subkultur Gowa dengan idiologi- idiologi lainnya terutama dengan idiologi demokrasi, akan tetapi konflik dapat terjadi dengan
berbagai penyebab seperti dikatakan oleh Ohmae 1995; Konflik-konflik dalam dunia modern
tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam peradaban yang sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka.
Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, bukan merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang mendalam, karena sama-sama Kristen.
Contoh lain, akan sulit menjelaskan konflik di Ambon, di mana masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam masyarakat Ambon, antara Islam dan
Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena pada intinya sebenarnya kedua agama itu sama punya tradisi dan akar sejarah yang sama: semitik. Dalam bukunya yang berjudul The End of Nation
State 1995, Ohmae berpendapat bahwa perang biasanya terjadi ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaan-perbedaan kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian laten bukan
ketika antar peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang
melibatkan rakyat untuk melakukan konfrontasi.
Untuk menghindari hal ini, Hans Kung 1997 mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global. Dalam karyanya yang berjudul A Global Ethics for Global Politics and Economics
1997, Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah consensus dasar tentang nilai-
nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan agama meskipun terdapat perbedaan dogmatis, dan yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum non-
beriman ateis. Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental nilai-nilai universal yang meskipun
terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik.
Sebuah konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada beberapa tuntutan fundamental nilai-nilai universal; seperti kebenaran, keadilan,
kemanusiaan, dan semacamnya. Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif monologal. Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak bisa
didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang dipikirkan sendiri.
150
Berdasarkan kecenderungan politik etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa yang telah diuraikan di atas, maka varian yang ikut berpengaruh dalam
proses reproduksi elite Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa pada era otonomi dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Reproduksi Elite antara
Etnis Bugis Bone dengan Etnis Makassar Gowa
No Faktor yang mempengaruhi reproduksi elite pada etnis Bugis Bone dan
elite etnis Makassar Gowa pada era otonomi daerah
Bone Gowa
1
Latar belakang keluarga atau keturunan adalah hal utama
Tidak mempersoalkan latar belakang dan keturunan
2
Issue primordial, sektarian dan
etnisitas kedaerahan adalah issue pokok
Dapat menerima semua kelompok sosial, lebih fleksibel dalam issue primordial
3
Pendidikan, pengalaman,
competency dan capacity
Pendidikan, pengalaman, competency, dan capacity
4
Uang materi Uang materi
5
Track record bukan soal utama
Track record merupakan soal penting
6
Simbol-simbol budaya masih kuat berperan
Simbol budaya mengalami penurunan fungsi
Melihat faktor yang berpengaruh pada reproduksi elite etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa pada era otonomi daerah pada tabel di atas, nampak jelas
keberadaan elite di Kabupaten Bone saat ini tidak bisa dipisahkan dengan pengaruh para elite pada fase-fase sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa elite dari Kabupaten
Bone hari ini era otonomi daerah sebagian besar adalah elite warisan masa lalu. Sedangkan elite Gowa pada saat sekarang, merupakan elite yang tumbuh paling
lama pada masa Orde Baru. Elite lama yang berkuasa pada fase tradisional,
Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial FB Hardiman: 2002. Karena
kebenaran yang sifatnya subjektif bisa mentotalisir atau fasis, seperti yang dilakukan oleh Hitler dan Musollini. Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat
intersubjektif dialogal. Melalui dialog yang bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau lambat
masyarakat modern terancam konflik-konflik dan kekacauan.
151
feudalisme dan fase Islam Moderenisme, gagal mempertahankan dan memelihara eksistensinya. Sebagian besar elite Gowa saat ini telah berhasil memotong
matarantai kekuasaan elite lama, dan kini mereka tumbuh sebagai kekuatan baru yang hampir tidak memiliki hubungan dengan elite-elite masa lampau.
5.4.1 Budaya Politik Kontestasi Antar Etnis dan Aktor