Anatomi Elite dan Sosiologi Kekuasaan Etnis Bugis dan Makassar

167 6 DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR DALAM PENGATURAN KESEIMBANGAN KEKUASAAN Sharing of Power ANTAR ETNIS Mengikuti fase transformasi pembentukan elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa, pembahasan pada bab 6 ini sesungguhnya bagian dari pembahasan fase sekularisme. Pemisahan pembahasan dimaksudkan untuk memperjelas bahwa pada bagian ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan penelitian tentang bagaimana dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar, terutama dalam membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok masing-masing dalam melakukan proses perubahan. Pembahasan bagian ini terutama akan difokuskan pada bagaimana melihat dinamika dan kemampuan elite etnis Bugis dan Makassar memainkan peranan untuk mengatur, merebut dan mempertahankan kekuasaan pada berbagai aras, mulai dari aras mikro Desa, mezzo kabupaten dan makro provinsi dan Sulsel. Dalam proses perebutan kekuasaan itu, para elite Bugis dan Makassar juga berhasil mempertahankan identitas politiknya masing-masing, dengan tetap menjaga keseimbangan kepentingan, sehingga sampai saat ini, etnis Bugis dan Makassar tetap survive hidup dibawah payung Sulawesi Selatan. Pada chapter ini juga ingin melihat dinamika struktur sosiologi kekuasaan yang bermain pada level mikro, mezzo, dan makro. Bagian ini juga berusaha menjawab pertanyaan; bagaimana pola elite Bugis dan Makassar berbagi kekuasaan dan membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras; desa, kabupaten, provinsi dan nasional.

6.1 Anatomi Elite dan Sosiologi Kekuasaan Etnis Bugis dan Makassar

Dinamika sosial, politik dan ekonomi dalam proses pembentukan elite tingkat makro antar etnis Bugis dan Makassar terjadi pada panggung kekuasaan tingkat provinsi dan nasional, dalam hal ini posisi kekuasaan strategis yang meliputi antara lain pada posisi Gubernur, ketua DPRD provinsi Sulsel, sekwilda 168 atau sekprov, dan kepala-kepala dinas atau badan. Sedangkan pada level mezzo, posisi kekuasaan yang menjadi inti pembentukan elite ada pada posisi Bupati, ketua dan anggota DPRD dan kepala-kepala dinas atau kepala badan. Pada aras mikro Desa, pembentukan elite Desa melalui panggung kepala desa, kepala dusun dan imam Desa. Proses pembentukan elite pada aras makro Sulawesi Selatan dan mezzo Bone dan Gowa pada setiap fase memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Pada fase tradisional elite terbentuk melalui pengetahuan simbolik yang sangat ketat, ruang kekuasaan bersifat tertutup pada kalangan yang memiliki kemampuan menciptakan mitos dan simbol budaya. Kebudayaan politik masyarakat Bugis Bone dan Makassar Gowa sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan petunjuk- petunjuk alam. Pada fase feudalisme, proses pembentukan elite memasuki tradisi baru dengan menggunakan rasionalitas ekonomi dan kapitalisasi tanah sebagai alat yang ikut memproduksi kekuasaan. Pada masa ini, elite-elite Bugis Bone dan Makassar Gowa melakukan ekspansi wilayah kekuasaan untuk mendapat sumberdaya tanah yang produktif. Meskipun pada fase feudalisme sangat dipengaruhi oleh kesadaran kapitalisme ekonomi yang tinggi, namun budaya politik etnis Bugis dan Makasssar tetap menjadikan pengetahuan simbolik sebagai instrumen penting untuk mereproduksi kekuasaan. Memasuki fase islam moderenisme, elite Bugis dan Makassar tumbuh dengan kesadaran intelektualitas dan moralitas. Pada fase ini terjadi semangat kolaborasi sekaligus perlawanan atau anti kolonialisme dan kapitalisme global. Pada masa islam modern, elite etnis Bugis dan Makassar tumbuh bersamaan dengan hadirnya sejumlah organisasi sosial keagamaan seperti SI, NU dan Muhamadyah. Elite Bugis dan Makassar pada fase; tradisional, feudalisme dan islm modern mengatur keseimbangan kekuasaan share of power antara dua etnis ―utama‖ Bugis dan Makassar dilakukan dengan sistem perkawinan silang antara keluarga kerajaan Bug is dan Makassar. Politik ―ranjang‖ yang dilakukan para elite Bugis dan Makassar, setidaknya berhasil mengurangi semangat politik identitas yang berbasis pada etnisitas. Melalui politik pencampuran etnis, kemudian 169 melahirkan budaya politik baru yang lebih toleran, dalam penelitian ini disebut sebagai hibridisasi budaya politik hybridization of cultural politics. Pada masa sekularisme, proses pembentukan elite politik etnis Bugis dan Makassar bergeser dari prinsip-prinsip moralitas dan intelektualitas menjadi tindakan yang bersifat pragmatis. Untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan politik dan ekonominya, para elite cenderung memburu efisiensi, nilai guna, bersifat transaksional dengan tindakan rasionalitas ekonomi yang tinggi. Prinsip siri ‘ dan pacce yang menjadi spirit kehidupan politik dan ekonomi etnis Bugis dan Makassar mengalami pergeseran nilai. Untuk menjaga keseimbangan kekuasaan pada fase sekularisme, para elite Bugis dan Makassar yang berkuasa pada level makro, biasanya membagi kekuasaan berdasarkan etnis dan geopolitik. Kalau Gubernurnya berasal dari etnis Bugis, akan memilih Sekretaris Wilayah Daerah dari etnis Makassar 97 , demikian sebaliknya. Pendekatan seperti tersebut juga terjadi pada pertimbangan memilih Kepala Dinas atau Kepala Badan yang berada di ruang lingkup pemerintahan Provinsi. Pada aras mikro proses pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar, agak berbeda dengan yang terjadi pada aras mezzo dan makro, meskipun terjadi pada fase yang sama. Pada level mikro, pembentukan elite berlangsung dengan pola interaksi yang dibalut dengan kekeluargaan dan simbol budaya. Misalnya, di Desa Manuju Kabupaten Gowa, elite Desa adalah mereka yang memiliki riwayat genetika ke-karaeng-an. Perebutan posisi kepala desa, hanya dilakukan oleh mereka yang bergelar karaeng. Orang- orang ―luar‖ ke-karaeng-an yang mencoba memasuki panggung kepala desa, selalu mengalami kegagalan politik. Meskipun orang ―luar‖ itu telah memiliki pendidikan dan fasilitas ekonomi yang mendukung cita-cita politiknya. Hal serupa juga terjadi di Desa Manjapai Kabupaten Gowa, pada Desa ini, simbol budaya sangat berpengaruh dalam reproduksi elite. Siapa pewaris kalompoang ia memiliki peluang yang besar untuk menduduki posisi 97 Berikut beberapa nama Gubernur Sulsel mulai dari periode 1966-2007 yang berasal dari etnis Bugis; Achmad Lamo Bugis Enrekang, Andi Oddang Bugis Barru, A. Amiruddin Bugis Wajo, HZB. Palaguna Bugis Soppeng-Bone, Amin Syam Bugis Bone. Sekretaris Wilayah Daerah yang berasal dari etnis Makassar; H.M. Salman Gowa, Daud Nompo Jeneponto Bakri Tandaramang Bulukumba, Malik Hambali Bulukumba, M. Parawansa Gowa-Takalar, Hakamuddin Jamal Takalar, A. Conneng Mallombasang Gowa. Sebaliknya, Gubernur yang berasal dari etnis Makassar; Syahrul yasin Limpo Gowa, Sekretaris Wilayah Daerah; A. Mualim Bugis Bone 170 kekuasaan ditingkat Desa. Meskipun penetrasi uang, premanisme dan pengaruh organisasi sosial keagamaan juga ikut menentukan proses pembentukan elite pada Desa Manjapai. Dua Desa penelitian di Kabupaten Bone menggambarkan dinamika pembentukan elite yang lebih spesifik dibandingkan dengan dua Desa di Kabupaten Gowa. Desa Ancu yang dikenal sebagai salah satu Desa sumber para aristokrat Bone, memperlihatkan proses pembentukan elitnya dengan tetap memperhatikan hirarki sosial, kekeluargaan, kecakapan intelektualitas dan kemampuan ekonomi. Sedangkan pada Desa Benteng Tellue, proses pembentukan elitnya sangat tertutup pada satu keluarga besar klan PG. Klan ini oleh masyarakat dianggap memiliki persyaratan yang paling sempurna untuk mengisi posisi kekuasaan di tingkat Desa. Pada aras mikro, anatomi elite lokal pada etnis Bugis Bone dan Makassar memiliki kecenderungan yang berbeda. Pada desa Benteng Tellue Kabupaten Bone terlihat bahwa proses pembentukan dan perluasan kekuasaan elite hanya dilakukan oleh kelompok tunggal elite yang berkuasa klan PG. Apa yang terjadi pada Desa Benteng Tellue, tidak persis dengan gambaran yang dikemukakan oleh Pareto, bahwa terdapat dua jenis elite; elite yang memerintah governing elite dan elite yang tidak memerintah non-governing elite, di Desa Benteng Tellue hanya terdapat elite yang berkuasa dan massa. Fakta ini mengisyaratkan pembagian struktur kekuasaannya Mosca lebih tepat untuk menganalisis elite di Desa Benteng Tellue. Selama lebih kurang 100 tahun di desa ini tidak terjadi apa yang disebut oleh Pareto dan Mosca sebagai sirkulasi elite. Pergantian kepemimpinan formal atau elite yang memerintah di Desa Benteng Tellue hanya berlangsung antara Bapak-Anak-Saudara klan PG, dan dilakukan dengan kesepakatan secara tertutup diantara mereka, meskipun di depan publik proses demokrasi berlangsung secara terbuka. Menurut Dahl dan Sartori, menghubungkan elite dan demokrasi sangat diperlukan agar kekuasaan elite dapat melibatkan atau dikontrol oleh massa. Apa yang diharapkan oleh Dahl dan Sartori tidak ditemukan di Desa Benteng Tellue karena belum tercipta sub elite yang dapat menandingi kekuasaan elite klan PG. 171 Sedangkan struktur elite yang ada di Desa Ancu Kabupaten Bone menggambarkan adanya proses sirkulasi elite seperti yang dikemukan oleh Mosca dan Pareto. Di desa ini terdapat dua jenis elite; elite yang memerintah governing elite dan elite yang tidak memerintah non-governing elite seperti yang diuraikan oleh Pareto dan Lockwood. Bahkan di Desa Ancu terdapat kekuasaan elite yang sangat berpengaruh akan tetapi tidak berada di desa ini. Elite ini dapat dikategorikan sebagai non-governing elite, mereka berada di desa lain atau di ibu kota kecamatan atau di ibu kota kabupaten, pada umumnya elite jenis ini datang dari kalangan aristokrasi yang memiliki kekuasaan pada level kabupaten. Pola struktur elite pada Desa Manuju Kabupaten Gowa menunjukkan kemiripan dengan anatomi elite yang ada di Desa Benteng Tellue Kabupaten Bone. Dimana elite hanya berada pada satu pusaran ke-karaengan bangsawan Makassar. Akan tetapi elite yang memiliki kekuasaan di Desa Manuju sudah semakin melebar, tidak terbatas pada Bapak-Anak-Saudara seperti yang terjadi pada Desa Benteng Tellue. Di Desa Manuju sudah terjadi sirkulasi elite, meskipun masih terbatas pada kalangan ke-karaengan. Dengan demikian non-governing elite atau sub elite yang ada di Desa Manuju masih bersifat semu. Anatomi elite di Desa Manjapai Kabupaten Gowa memiliki karakter struktur elite yang relatif sama dengan Desa Ancu di Kabupaten Bone. Bedanya, sirkulasi elite yang berkuasa di Desa Manjapai tumbuh dari kalangan elite, sub elite dan massa, sedangkan sirkulasi elite yang terjadi pada Desa Ancu, masih terbatas pada kalangan elite aristokrat andi. Sebaliknya, sirkulasi elite di Desa Manjapai tidak hanya diisi oleh kalangan governing elite dan non-governing elite, akan tetapi juga diisi oleh kalangan massa yang mengalami mobilitas sosial secara vertikal biasanya karena faktor pendidikan dan ekonomi. Ruang kekuasaan yang tersedia bagi kalangan massa di Desa Manjapai lebih terbuka lebar dibandingkan dengan tiga desa lainnya; Desa Ancu, Benteng Tellue Kabupaten Bone dan Desa Manuju di Kabupaten Gowa. Pada aras mezzo, sirkulasi elite di Kabupaten Bone berlangsung sangat ketat antara kalangan terbatas aristokrat; dengan demikian, governing elite dan non governing elite berasal dari kelompok bangsawan yang sumbernya sama, hubungan darah diantara mereka sangat dekat; saudara-sepupu-kemenakan-anak. 172 Kalau terdapat ―orang luar,‖ maka aktor tersebut adalah client dari kalangan aristokrat yang diberi jalan khusus untuk memasuki struktur elite. Sub elite dari luar kalangan aristokrat Kabupaten Bone bisa tumbuh diluar kawasan kekuasaan elite bangsawan. Misalnya mereka merantau keluar dari Kabupaten Bone dan berhasil menjadi elite di luar Bone. Elite-elite tersebut, pada level makro nasional yang berasal dari Kabupaten Bone, tidak selalu bersumber dari kalangan elite bangsawan. Akan tetapi, elite-elite yang berkuasa di Kabupaten Bone sudah pasti bersumber dari kaum aristokrat. Struktur elite di Kabupaten Gowa menunjukkan sifat yang kontras dengan yang terjadi di Kabupaten Bone. Elite yang berkuasa, maupun elite yang tidak berkuasa governing elite dan non-governing elite seperti diuraikan Pareto dan sub-elite yang dijelaskan Mocsa, tidak semata-mata diproduksi oleh kaum bangsawan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bone, akan tetapi lahir dari berbagai kalangan sosial yang memiliki kemampuan memobilisasi dirinya secara vertikal. Di Kabupaten Gowa, secara sosial tidak tabu bagi kalangan massa menjelmakan dirinya menjadi elite atau sub elite baru, karena struktur elitnya sangat longgar dan terbuka, sehingga sirkulasi elitnya sangat lancar. Pertarungan merebut kekuasaan di Kabupaten Gowa tidak saja dilakukan oleh kalangan elite yang berkuasa dan kalangan elite yang tidak berkuasa sebagaimana dikemukakan Pareto, akan tetapi juga melibatkan elite-elite baru atau sub-elite baru yang sebelumnya tidak teridentifikasi sebagai kalangan elite yang tidak memerintah, apalagi memerintah. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial strategis terus memobiliasi diri mereka baik secara terbuka maupun tertutup. Kondisi ini sekaligus menjelaskan bahwa elite penguasa di Gowa tidak sepenuhnya mengontrol dan menentukan struktur dan sistem politik masyarakat, sebagaimana diasumsikan oleh Mosca. Menurut Gaventa 2005, struktur dan anatomi elite menggambarkan perilaku elite dalam proses mempertahankan dan mengembangbiakkan posisinya sebagai elite. Apa yang terjadi pada aras mikro di Desa Benteng Tellue dan di Desa Manuju, serta pada level mezo di Kabupaten Bone menggambarkan struktur elite yang menggunakan sistem kekuasaan tertutup closed power dalam menentukan struktur politik masyarakat. Sedangkan yang terjadi pada desa Manjapai dan desa 173 Ancu serta Kabupaten Gowa, para elitnya memakai sistem kekuasaan tersediakan created power untuk menciptakan struktur politik masyarakat. Meskipun setiap aras dan wilayah penelitian menunjukkan struktur dan anatomi elite yang berbeda-beda, akan tetapi para elite yang berkuasa maupun elite yang tidak berkuasa, dan sub-elite pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa, sama-sama menyadari pentingnya memelihara idiologi, mitos, uang dan kekuasaan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Pareto, Mosca maupun Michels berpendapat sama tentang pentingnya ideologi, mitos serta kekuasaan bagi elite. Ideologi atau mitos merupakan shared value system yang memungkinkan elite dan massa berkomunikasi satu sama lain serta untuk berkerjasama dalam mencapai tujuan. Ditinjau dari segi ini, perhatian elite yang cukup besar terhadap pengembangan ideologi merupakan suatu hal yang wajar.

6.2 Dinamika Pembentukan Elite Bugis Dan Makassar