Perikanan Pelagis Kecil Keberlanjutan dan produktivitas perikanan pelagis kecil yang berbasis di pantai utara Jawa

282 mendorong terjadinya ketergantungan masyarakat nelayan pada musim, dimana para nelayan akan sangat sibuk pada saat musim ikan dan sebaliknya cendrung menganggur pada saat musim paceklik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan perikanan pelagis kecil yang berbasis di pantai utara Jawa melakukan penangkapan ikan sepanjang tahun, sekalipun disadari bahwa keberadaan ikan di perairan ini sangat dipengaruhi oleh musim. Kondisi ini mengakibatkan mobilitas daerah penangkapan ikan menjadi sangat tinggi, dan hanya dibatasi oleh kemampuan kapal serta kapasistas alat tangkap yang dipergunakan. Hal lain yang perlu dicermati adalah adanya kebiasaan yang didukung oleh pranata sosial yang berkembang di masing- masing daerah. Salah satu contoh adanya pengaruh pranata sosial ini adalah lamanya setiap trip penangkapan di setiap daerah, dimana faktor penentunya tidak semata- mata jenis alat tangkap dan ukuran kapal saja, akan tetapi ada unsur kebiasaan yang dianut oleh nelayan. Lamanya setiap trip penangkapan pada akhirnya akan menentukan lokasi daerah penangkapan yang dituju oleh nelayan bersangkutan. Kelompok ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya ikan yang bersifat poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton Merta et al., 1998. Oleh karena itu, kelimpahannya sangat berfluktuasi dan tergantung pada kondisi faktor- faktor lingkungan perairannya. Disamping itu, daerah perairan pantai atau perairan dangkal seperti halnya perairan Laut Jawa pada hakekatnya merupakan daerah penangkapan yang baik. Hal ini disebabkan karena masa air yang berada di lapisan atas dan masa air yang berada di lapisan bawah perairan pada umumnya teraduk dengan sempurna, sehingga nutrisi yang ada menyebar secara merata. Pada perairan yang relatif dangkal, penetrasi sinar matahari dapat berlangsung secara baik sampai ke bagian dasar perairan. Hal ini memungkinkan proses photosintesis dapat berlangsung secara sempurna, dan hasilnya adalah berlimpahnya plankton yang dapat mengundang datangnya ikan ke daerah ini. Pemanfaatan jenis ikan ini di Laut Jawa telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, seperti yang dilaporkan oleh Van Kampen pada tahun 1909 Hardenberg, 1932 yang dikutip Bailey et al., 1987. Pada saat itu alat tangkap yang dipergunakan adalah payang, dengan ikan layang Decapterus 283 spp sebagai hasil tangkapan utama. Pemanfaatan sumberdaya ikan ini di perairan Laut Jawa berkembang sangat pesat antara tahun 1983 – 1984, seiring dengan dilarangnya penggunaan alat tangkap trawl dan mulai berkembangnya penggunaan alat tangkap purse-seine. Perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil juga mengakibatkan semakin luasnya daerah penangkapan yang tidak lagi terbatas pada daerah penangkapan tradisional sekitar pantai utara Jawa, akan tetapi bergeser ke perairan bagian Tengah dan Timur Laut Jawa perairan sekitar pulau Bawean, Kepulauan Masalembo, pulau Matasiri, pulau Kelembu, pulau Kangean dan lain sebagainya. Antara tahun 1985-1986, daerah penangkapan jenis ikan ini oleh nelayan purse-seine yang berbasis di pantai utara Jawa telah bergeser jauh sampai ke Laut Cina Selatan dan Selat Makasar. Selain alat tangkap purse-seine, kelompok ikan ini juga ditangkap dengan menggunakan alat tangkap payang, gillnet dan alat tangkap ikan permukaan lainnya. Dengan demikian, produksi ikan pelagis kecil yang didaratkan di pelabuhan- pelabuhan perikanan sepanjang pantai utara Jawa, sebagian besar merupakan hasil tangkapan nelayan yang dilakukan di perairan Laut Jawa, disamping juga ada sebagian berasal dari perairan Selat Makasar dan Flores serta Laut Cina Selatan. Komposisi jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap, didominasi oleh 6 enam jenis ikan yaitu layang Decapterus spp, tembang Sardinella fimbriata, kembung Rastrelliger spp, selar Selaroides spp, lemuru Sardinella lemuru dan teri Stelophorus spp.

9.2 Keberlanjutan Perikanan Pelagis Kecil

Analisis keberlanjutan perikanan pelagis kecil ya ng berbasis di pantai utara Jawa, dilakukan dengan menggunakan pendekatan model Rapfish. Pada pendekatan Rapfish, analisis ordinansi merupakan diagnosa terhadap kondisi kegiatan perikanan yang dievaluasi, dimana sumbu horizontal menunjukkan perbedaan kegiatan perikanan dalam ordinansi jelek 0 sampai baik 100 untuk setiap dimensi yang dianalisis. Sementara sumbu veritikal menunjukkan perbedaan dari skor atribut atau indikator diantara kegiatan perikanan pelagis kecil yang dievaluasi. Adapun aspek yang diukur meliputi 6 enam dimensi, 284 yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi etik, dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan. Pada sumberdaya yang bersifat milik bersama common property seperti halnya ikan, sering menimbulkan masalah eksternalitas diantara nelayan sebagai akibat proses produksi yang saling tergantung interdependent dari setiap individu nelayan, dimana hasil tangkapan dari satu nelayan akan sangat tergantung pada tangkapan nelayan lain Fauzi dan Anna, 2005. Disamping itu, tangkapan dari nelayan juga akan sangat tergantung dari kondisi sumberdaya ikan yang merupakan fungsi eksternalitas dari berbagai aktivitas non produksi lain selain aktivitas produksi nelayan, seperti kondisi kualitas perairan itu sendiri. Hal lain yang unik dari perikanan tangkap ini adalah biasanya diatur dalam kondisi quasi open access, sebagaimana yang terjadi di lokasi penelitian. Kondisi ini menyebabkan sulitnya pengendalian faktor input, sehingga pada akhirnya sulit untuk mengukur seberapa besar kapasitas perikanan yang dapat dialokasikan pada suatu wilayah perairan. Dalam kondisi ini, sulit untuk mengetahui apakah perikanan dalam keadaan berlebihan kapasitas over capacity, dibawah kapasitas under capacity atau sudah optimal. Kegagalan dalam pengukuran kapasitas perikanan inilah yang menyebabkan terjadinya kesulitan mengatasi masalah eksternalitas. Dari hasil analisis ordinansi dapat dikemukakan bahwa secara umum kondisi keberlanjutan kegiatan perikanan pelagis kecil yang berbasis di pantai utara Jawa sangat memperihatinkan. Hal ini nampak jelas sekali apabila kita perhatikan hasil analisis berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, maupun teknologi dan etik dimana hampir seluruh kegiatan perikanan 21 jenis yang dianalisis berada pada nilai kurang dari 60. Selanjutnya, dengan menggambarkan keberlanjutan perikanan pelagis kecil ini dalam bentuk layang-layang, maka nampak bahwa pada perikanan pelagis kecil yang menggunakan alat tangkap purse-seine, payang maupun gillnet mempunyai tingkat keberlanjutan dalam dimensi sosial dan kelembagaan yang cukup tinggi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kesadaran masyarakat yang tinggi akan pentingnya sumberdaya ikan, sebagai penopang kehidupan. Kondisi ini tidak lepas dari adanya kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat yang berada di pantai utara Jawa, bermata