Latar Belakang Keberlanjutan dan produktivitas perikanan pelagis kecil yang berbasis di pantai utara Jawa

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan terhadap komoditas perikanan. Meningkatnya permintaan ini mengarah pada jumlah yang dapat melebihi kemampuan suplai industri perikanan dan daya pulih sumberdaya ikan. Peningkatan permintaan komoditas ikan ini dapat dianggap sebagai faktor pendorong berkembangnya bisnis dan pembangunan sektor perikanan. Sementara di sisi lain, permintaan ikan tersebut hanya dapat dipenuhi hingga tingkat tertentu karena ikan yang ada di perairan jumlahnya terbatas. Faktor lain yang ikut menghambat pemenuhan permintaan ikan tersebut adalah kemampuan nelayan di dalam menghasilkan ikan dengan kualitas tertentu yang dituntut konsumen. Kecenderungan meningkatnya permintaan ikan telah membuka peluang berkembang pesatnya industri perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Pengembangan industri perikanan lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan teknologi maupun ekonomi, namun kurang secara cermat mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial budaya serta kelestarian sumberdaya ikan. Sebagai akibatnya adalah ketidakpastian jaminan usaha perikanan yang berkelanjutan dan kesejahteraan pelaku utama perikanan tangkap, yaitu nelayan menjadi semakin jauh. Bagi Indonesia, perikanan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembangunan nasional. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai lapangan pekerjaan bagi sekitar 3.857.597 orang nelayan dan 1.063.140 rumah tangga pembudidaya ikan Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005. Sektor perikanan adalah penyumbang devisa yang jumlahnya cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dan sumber pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi sebagian masyarakat. Faktor lain yang ikut menentukan perikanan menjadi penting adalah potensi perikanan yang dimiliki Indonesia. Peranan diatas sangat dimungkinkan mengingat Indonesia memiliki luas perairan laut mencapai 5,8 juta km 2 dan garis pantai sepanjang 80.791 km serta terumbu karang seluas 60.000 km 2 . Menurut Dahuri 2002, perairan laut tersebut memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, menyimpulkan bahwa potensi lestari maksimum maximum sustainable yield atau MSY sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per tahun. Potensi sumberdaya ikan tersebut terdiri dari 1,17 juta ton ikan pelagis besar; 3,61 juta ton ikan pelagis kecil; 1,37 juta ton ikan demersal; 0,15 juta ton ikan karang konsumsi; 10 ribu ton udang penaeid; 50 ribu ton lobster dan 30 ribu ton cumi-cumi. Potensi tersebut pada tahun 2003 baru dimanfaatkan sebanyak 4,41 juta ton atau sekitar 68,91 persen Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, 2001. Meskipun secara nasional potensi ikan masih belum dimanfaatkan secara optimal, namun di beberapa wilayah perairan tingkat pemanfaatannya telah melampaui potensi lestari maksimum. Ikan pelagis besar misalnya, tingkat pemanfaatannya di perairan Laut Jawa telah melampaui potensi lestari maksimum, akan tetapi di wilayah perairan lainnya masih mungkin untuk dikembangkan. Hal yang sama juga terjadi pada jenis ikan pelagis kecil, dimana hampir diseluruh wilayah masih mungkin untuk dikembangkan, kecuali perairan Laut Jawa dan perairan Laut Banda. Sementara untuk jenis ikan demersal masih dapat dikembangkan di beberapa perairan seperti Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Seram dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik serta Laut Arafuru. Jenis udang Penaeid, dapat dikatakan peluang pengembangan pemanfaatannya sudah sangat terbatas. Dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya ikan diatas dan dalam kerangka pembangunan nasional, maka peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati- hati, agar tidak menimbulkan dampak negatif di masa yang akan datang. Disinilah peranan pengelolaan sumberdaya perikanan sangat strategis, dan sangat erat kaitannya dengan isu lebih tangkap over fishing, kelebihan kapasitas penangkapan, deplesi stok ikan, perubahan ekosistem yang disebabkan oleh manusia dan yang terakhir adalah meningkatnya perdagangan ikan dunia dengan segala potensi dampaknya FAO, 1999. Lebih lanjut, pembangunan harus diartikan lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan materi dalam kehidupan manusia. Pembangunan seharusnya merupakan proses multidimensi yang meliputi perubahan manajemen dan orientasi seluruh sistem sosial dan ekonomi. Dengan demikian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, bukan hanya meningkatkan produksi ikan saja yang harus dilakukan, tetapi juga perbaikan kelembagaan, struktur administrasi, perubahan sikap dan bahkan kebiasaan Kunarjo, 2002. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Earth Summit di Rio de Janeiro Brazilia tahun 1992 menyepakati perubahan paradigma pembangunan. Perubahan tersebut menurut Djajadiningrat 2003 adalah dari pembangunan yang semata- mata mengejar target pertumbuhan ekonomi economic growth menjadi pembangunan yang berkelanjutan sustainable development. Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini pula yang menjadi salah satu dasar lahirnya Ketatalaksanaan Perikanan yang Bertanggung Jawab Code of Conduct for Responsible Fisheries - CCRF oleh FAO pada tahun 1995 dan menjadi acuan umum bagi pembangunan perikanan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pembangunan perikanan khususnya perikanan tangkap di Indonesia pada hakekatnya mempunyai tujuan ganda, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di satu sisi dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan di sisi lain. Kesejahteraan masyarakat nelayan hanya mungkin tercapai apabila pendapatan mereka dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, program pembangunan perikanan baik langsung maupun tidak langsung seyogianya dapat menyentuh semua lapisan masyarakat nelayan, sehingga semuanya dapat menikmati hasil- hasilnya. Dengan kata lain, pembangunan perikanan tangkap harus memperhatikan aspek pemerataan dalam menikmati hasil pembangunan disamping aspek pertumbuhan. Sementara upaya untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan harus dilakukan berkaitan dengan kapasitas ikan untuk memperbaharui diri renewable dan faktor lain berkaitan dengannya, disamping faktor sosial ekonomi masyarakat dan wilayah, teknologi penangkapan ikan dan lain sebagainya. Dalam kerangka pembangunan perikanan tangkap di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 995KptsIK.210999 telah menetapkan 9 sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP, dimana salah satu diantaranya adalah Laut Jawa. WPP Laut Jawa sangat menarik untuk dikaji, mengingat kondisi sumberdaya ikan didalamnya sudah dianggap lebih tangkap Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, 2001. Sementara di sisi lain, sekitar 30,11 persen dari jumlah nelayan Indonesia pada tahun 2004 terkonsentrasi di pantai utara Pulau Jawa, yang daerah operasi penangkapannya sebagian besar di perairan Laut Jawa. Disamping itu, sekitar 19,27 persen dari total hasil tangkapan ikan laut Indonesia yang jumlahnya mencapai 4.320.241 ton pada tahun tersebut, didaratkan di pelabuhan perikanan yang ada di sepanjang pantai utara Jawa Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2006. Dari statistik perikanan tangkap diketahui bahwa perikanan yang berbasis di pantai utara Jawa dalam 10 tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah rumah tanggaperusahaan perikanan dari 56.694 unit pada tahun 1995 menjadi 84.105 unit pada tahun 2004. Peningkatan ini terjadi pada kelompok rumah tangga perikananperusahaan yang menggunakan motor tempel dan kapal motor, sementara kelompok rumah tangga perikanan tanpa perahu dan perahu tanpa motor justru mengalami penurunan. Keadaan ini memberikan indikasi adanya peningkatan kemampuan usaha nya didalam me nangkap ikan. Disamping itu, dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi peningkatan jumlah nelayan baik yang berstatus nelayan penuh, nelayan sambilan utama maupun nelayan sambilan tambahan, dari 409.136 orang menjadi 997.194 orang. Peningkatan jumlah nelayan tertinggi justru terjadi pada kelompok nelayan sambilan tambahan 13,84, kemudian secara berurutan disusul oleh nelayan sambilan utama 12,486 dan nelayan penuh dengan persentase rata-rata sekitar 8,05 persen setiap tahunnya. Ini dapat diartikan bahwa kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan pilihan terakhir setelah sektor lain tidak lagi mampu me ndukung kebutuhan hidup sebagian masyarakat tersebut. Kondisi ini juga diungkapkan oleh Bailey et al. 1987 yang menunjukkan bahwa di pesisir utara Jawa manakala sudah tidak ada kesempatan lagi bagi seseorang untuk berusaha di darat, baik karena kekurangan modal, kekurangan keterampilan, kelangkaan kesempatan atau karena bias kebijakan ekonomi, maka akhirnya orang tersebut akan beralih ke laut untuk mempertahankan hidupnya melalui kegiatan perikanan.

1.2 Perumusan Masalah