Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNS

42 Kalimantan Tengah sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.292Menhut-II2011 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan seluas 1.168.656 Ha, perubahan antar fungsi kawasan hutan seluas 689.666 ha dan penunjukkan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 29.672 ha di provinsi Kalimantan Tengah.Ketiga, luas dan batas kawasan TNS berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.529Menhut-II2012 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759KPTSUM101982 tentang penunjukan areal hutan di wilayah provinsi daerah tingkat I Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 ha sebagai kawasan hutan. Implikasi dari perubahan luas dan batas kawasan TNS maka perlu dilakukan tata batas kembali.Uraian diatas menunjukkan bahwa belum ada kepastian atau kejelasan terhadap batas-batas sumberdaya TNS dan pemanfaat sumberdayanya. 5.1.1.2 Aturan Pemanfaatan dan Penyediaan Sejak ditunjuk tahun 2004 sampai saat ini TNS belum mempunyai sistem zonasiyang merupakan syarat utama pemanfaatan sumberdaya TN. Sistem zonasi ini merupakan sistem pengaturan TN secara keruangan dan mengatur kegiatan- kegiatan yang diperbolehkan, dan yang dilarang. Dengan demikian, sistem zonasi merupakan aturan operasional operational rules 43 yang sehari-hari day-to-day mempengaruhi keputusan pemanfaat sumberdaya yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi sumberdaya. Belum adanya sistem zonasi berartitidak ada aturan formal pada tingkat operasionaldalam pemanfaatan sumberdaya TNS, artinya tidak ada aturan sehari-hari yang digunakan oleh BTNS, dan aktor-aktor lainnya khususnya masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya, misalnya aturan tentang lokasi, waktu, jumlah, dan teknologi yang digunakan. Akibatnya, pemanfaatan sumberdaya TNS belum dilakukan secara intensif. Sistem zonasi merupakan permasalahan umum yang dihadapi TN di Indonesia. Secara nasional, sampai tahun 2011 baru 62 44 TN di Indonesia yang telah menetapkan sistem zonasi. Rata-rata waktu yang dibutuhkan sejak TN ditunjuk sampai penetapan zonasi adalah 11 tahun, hal ini menunjukkan bahwa sulitnya proses penetapan sistem zonasi.Terdapat dua penyebab penetapan sistem zonasi sulit dilakukan.Pertama,penetapan sistem zonasi diperlukan rekomendasi dari pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 13 c Permenhut No. P.562006.Ketika terdapat perbedaan kepentingan antara pengelola TN pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maka rekomendasi penataan zonasi dari pemerintah daerah sulit diperoleh.Kedua, penataan sistem zonasi dipengaruhi pula oleh proses pengukuhan kawasan hutan.Ketika kawasan hutan belum dikukuhkan karena belum ada kesepakatan batas kawasan maka proses penetapan sistem zonasi sulit dilakukan.Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kegiatan tata batas sulit dilaksanakan karena panitia tata batas diketuai oleh bupatiwalikota sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 43 Sistem zonasi merupakan sistem pengaturan TN secara spasial ruang berdasarkan fungsi kondisi ekologis, sosial, ekonomi, budaya masyarakat. Dalam sistem zonasi juga diatur kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan,kegiatan yang tidak boleh dilakukan, dan sanksi UU No.51990 pasal 32, 33, 34, 40; P.56Menhut-II2006. 44 Data PHKA, ada 31 unit TN dari 50 TN di Indonesia yang sudah menetapkan sistem zonasi Kemenhut 2012. 43 400Kpts-II1990 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas jo Keputusan Menteri Kehutanan No. 635Kpts-II2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, sumberdaya TNS dapat dimanfaatkan melalui dua kegiatan yaitu: 1 Pemanfaatan kondisi lingkungan, dan 2 Pemanfaatan jenis TSL. Khusus untuk mengatur pemanfaatan jenis TSL, Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis TSL. Di samping itu, pemanfaatan jenis TSL juga diatur pada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya TN adalah pemanfaatan jenis TSL Pasal 32 ayat 3 PP 282011. Jenis TSL yang dapat diperdagangkan adalah jenis TSL yang tidak dilindungi Pasal 18 ayat 1 PP 81999 yang diperoleh dari penangkaran, pengambilan dan penangkapan dari alam Pasal 18 ayat 2 PP 81999. Masyarakat setempat dapat memanfaatkan jenis TSL dengan cara berburu tradisional di Taman Buru TB dan Areal Buru AB sebagaimana diatur dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994tentang Perburuan Satwa Buru. Selain itu, berdasarkan Pasal 35ayat 1 dan ayat 2 PP 282011, khusus kepada masyarakat setempat, pemerintah memberikan akses untuk memanfaatkan sumberdaya TN melalui pemanfaatan tradisional yang berupa pemungutan HHBK, budidaya tradisional, dan perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.Berdasarkan Penjelasan Pasal 12 ayat 2PP 131994 diatur bahwa hasil buruan masyarakat setempat dapat diperdagangkan.Hal ini juga diatur dalam pasal 19 ayat 2 dan pasal 47 ayat 2 45 PP 81999.Akan tetapi, Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 4472003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL melarang pengambilan dan penangkapan TSL di KPA termasuk TN, KSA dan TB Pasal 5 ayat 1 46 .Hal ini menunjukkan tidak sinkronnya antar aturan, dan menjadi sumber konflik antara pengelola TNS dan masyarakat setempat. Bagi masyarakat setempat, larangan ini merupakan bentuk ketidakadilan. Mereka sudah biasa memanfaatkan sumberdaya TNS jauh sebelum TNS ditetapkan, dan mereka mempunyai aturan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya TNS. 45 Pasal 47 2 PP 81999:”Sumber TSL untuk keperluan penetapan kuota perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berasal dari kuota pengambilan dan penangkapan dari alam dan hasil penangkaran. Pasal 44 1:”Pemerintah menetapkan kuota pengambilan dan penangkapan setiap jenis dan jumlah TSL yang dapat diambil atau ditangkap dari alam untuk setiap kurun waktu 1 satu tahun. Pasal 45:”Kuota penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat 1 meliputi juga hasil perburuan satwa liar secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar TB di dalam atau di sekitar AB dengan menggunakan alat-alat tradisional. 46 Pasal 5 1 SK Menhut 4472003: “Pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar dari habitat alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a hanya dapat dilakukan di luar kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam atau taman buru”. Pasal 4 1: “spesimen TSL dapat berasal atau bersumber pada pengambilan atau penangkapan dari: a habitat alam, b hasil penangkaran berupa hasil pengembangbian satwa captive breeding, pembesaran satwa ranching, perbanyakan tumbuhan secara buatan artificial propagation”. Pasal 42:” spesimen sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat berasal dari: a jenis-jenis yang termasuk dalam appendiks CITES maupun Non-Appendiks CITES, yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi; b dalam maupun dari luar wilayah Republik Indonesia.