Kepentingan dan Kekuatan Aktor

ukiran, pensil, mainan, dan moulding. Sementara getahnya merupakan bahan baku permen karet, bahan pembuat ban, lem yang berkualitas bagus, dan kabel listrik. Sebagai bahan pembuat permen karet, getah jelutung masih merupakan bahan terbaik di dunia produksinya dikenal dengan “chewing gum” Martawijaya et al. 1981; Rachmanadi et al. 2009. Pemanfaat getah Jelutung bekerja secara berkelompok dengan anggota antara 3-5 orang.Jumlah pemanfaat getah Jelutung di TNS adalah kurang lebih 18 orang.Tingkat pendidikan pemanfaat getah Jelutung umumnya SLTP ke bawah.Mereka tidak tergabung dalam suatu organisasi sehingga kapasitas organisasi rendah.Kapasitas keuangan kelompok pemanfaat getah jelutung juga rendah karena umumnya mereka tidak mempunyai modal sendiri, mereka mendapatkan pinjaman dari pemodal pedagang getah Jelutung yaitu sebesar Rp2.000.000 per orang untuk setiap bulan.Kondisi ini membuat kelompok ini tidak mempunyai kekuatan untuk bertindak dan memperjuangkan kepentingannya secara kolektif. Gambar 6.2 Pemanfaatan getah jelutung oleh masyarakat di TNS Kelompok pemanfaat getah jelutung mempunyai informasi yang lebih baik tentang situasi dan kondisi sumberdaya TNS.Hampir sebagain besar waktunya dihabiskan dalam kawasan hutan, yaitu menetap sekitar 5-10 tahun dilokasi penyadapan, dan mereka hanya turun ke desa ketika membeli logistik sekaligus menjual hasil panen yaitu setiap 2-3 bulan. Kelompok ini juga mempunyai tingkat solidaritas diantara kelompok yang tinggi, misalnya, ketika ada anggota kelompok yang tidak mendapatkan hasil, anggota kelompok yang lain membagi secara merata. Kelompok ini juga mempunyai sifat yang jujur dan saling percaya, misalnya ketika hasil panenan disimpan di gubuk, diantara mereka tidak ada yang mencuri. Mereka menghargai usaha orang lain, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk mencuri hasil panen orang lain. Karakteristik ini sangat penting dalam upaya kerjasama atau tindakan bersama yang penting untuk menyelesaikan permasalahan CPRs. 6.1.5 Kelompok Pemanfaat Kulit Gemor 67 Gemor mempunyai nama latin Alseodaphne spp yang termasuk dalam famili Lauraceae. Penyebaran gemor di Indonesia terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.Namun kualitas gemor terbaik di Indonesia adalah yang berasal dari Kalimantan.Habitat pohon gemor di Kalimantan Tengah, antara lain :TNS, Sampit, Katingan, dan Palangkaraya. Gemor adalah jenis pohon yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kulit kayu gemor merupakan bahan baku utama pembuatan obat anti nyamuk, dupa, dan bahan baku perekat. Kulit kayu gemor sangat berpotensi sebagai bahan insektisida alami karena mengandung pyretin.Hasil uji fitokimia pada kulit kayu gemor menunjukkan bahwa kulit kayu gemor mengandung alkaloid, tannin, fenolik, flavonoid, triterpenoid dan glikosida Cahyana Rachmadi 2011:13.Kulit kayu gemor selain untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, juga diekspor ke beberapa negara diantaranya ke Taiwan, Singapura, dan Jepang. Seperti halnya kelompok pemanfaat getah Jelutung, pemanfaat kulit Gemor bekerja secara berkelompok dengan anggota antara 5-10 orang.Jumlah pemanfaat kulit Gemor di TNS adalah kurang lebih 45 orang.Lamanya waktu yang digunakan di dalam kawasan hutan TNS oleh mereka tidak selama kelompok pemanfaat getah Jelutung, yaitu hanya 10 hari untuk satu trip.Mereka tidak tergabung dalam suatu organisasi sehingga kapasitas organisasi rendah.Kapasitas keuangan kelompok pemanfaat kulit Gemor juga rendah karena umumnya mereka mendapatkan pinjaman dari pemodal pedagang kulit Gemor yaitu sebesar Rp2.000.000 per orang untuk setiap bulan, sehingga kelompok ini tidak mempunyai kekuatan untuk bertindak dan memperjuangkan kepentingannya secara kolektif.Kelompok pemanfaat getah Jelutung juga mempunyai informasi yang baik tentang situasi dan kondisi sumberdaya TNS.Kelompok ini mempunyai tingkat solidaritas diantara kelompok yang tinggi, misalnya, ketika ada anggota kelompok yang tidak mendapatkan hasil, anggota kelompok yang lain membagi secara merata. Kelompok ini juga mempunyai sifat yang jujur dan saling percaya, misalnya ketika hasil panenan disimpan di gubuk, diantara mereka tidak ada yang mencuri. Mereka menghargai usaha orang lain, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk mencuri hasil panen orang lain. Karakteristik ini sangat penting dalam upaya kerjasama atau tindakan bersama yang penting untuk menyelesaikan permasalahan CPRs. 67 Gemor Alseodapne spp termasuk family Lauraceae. Kulit kayu gemor merupakan bahan baku utama pembuatan obat anti nyamuk, dupa, dan bahan perekat. Kulit kayu gemor mengandung alkaloid, tannin, fenolik, flavonoid, dan glikosida.Penyebaran gemor di Indonesia adalah Sumatera, Kalimantan, dan Papua Cahyana Rachmadi 2011:13.Pemasaran kulit kayu gemor selain untuk kebutuhan industri dalam negeri, juga diekspor ke Taiwan, Singapura, dan Jepang. Gambar 6.3 Pemanfaatankulit gemor oleh masyarakat di TNS 6.1.6 Damang Kepala Adat Kedamangan adalah organisasi tradisional yang bersifat sosial religius, sebagai wadah interaksi sosial masyarakat Dayak.Kelembagaan adat kedamangan telah diakui oleh pemerintah daerah melalui Perda Propinsi Kalteng No. 16 Tahun 2008.Damang adalah pimpinan adat, dan ketua kerapatan adat yang berfungsi sebagai penegak hukum adat Pasal 1 ayat 24 Perda No. 162008. Sebagai penegak hukum adat, Damang adalah hakim perdamaian adat yang mempunyai kewenangan memeriksa, menyidik, mengadili dan memberikan sanksi adat terhadap warga yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum adat setempat. Selain itu, Damang mempunyai hak dan wewenang untuk mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan kedamangan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat kearah yang lebih baik. Hak adat itu adalah hak untuk hidup dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan wilayah adat kedamangan. Harta kekayaan yang dikuasai oleh adat yang diserahkan pengawasannya kepada kedamangan, misalnya tanah hutan termasuk hutan lindung, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan yang bukan milik kerabat, milik perorangan, perusahaan dan sebagainya. Damang dipilih oleh para kepala desa atau lurah, mantir adat dan pejabat kecamatan yang ada diwilayah kedamangan setempat, kemudian Damang terpilih diangkat dan ditetapkan oleh bupatiwalikota untuk masa jabatan selama enam tahun.Damang mempunyai peranan yang penting dalam mengatur interaksi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS, dan yang memberikan hak pengelolaan atas sungai kepada nelayan. 6.1.7 Forum Masyarakat FORMAS Forum masyarakat Taman Nasional Sebangau FORMAS TNS dibentuk oleh WWFpada tahun 2005 di 5 kecamatan, yaitu : Sebangau Kuala, Katingan Kuala, Mendawai, Kamipang, dan Tasik Payawan. Tujuan pembentukan Formas adalah untuk membantu proses pembangunan melalui kesepakatan masyarakat dan membantu mengkomunikasikan untuk melakukan penutupan kanal yang dimiliki masyarakat.Formas TNS diharapkan dapat menjadi forum bersama bagi seluruh komponen masyarakat yang ada di kecamatan-kecamatan yang secara sosial, ekonomi, budaya, geografis dan demografis sangat berhubungan dengan kawasan TNS. WWF memberikan hibah kepada setiap FORMAS untuk penguatan organisasi dan program pengembangan perekonomian masyarakat yang telah direncanakan oleh setiap Formas, misalnya bantuan demplot Lidah Buaya, penanaman karet,keramba ikan, dan rotan. Namun, FORMAS masih menghadapi permasalahan kelembagaan, yaitu: kegiatan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan karena terkendala pendanaan. Ada anggapan dikalangan masyarakat, bahwa keanggotaan FORMAS belum jelas dan tidak tersosialisasi dengan baik.Program kerja Formas yang terkait dengan pengembangan TNS belum tersusun dengan baik.

6.2. Pola Interaksi Antar Aktor

Sampai saat ini, hanya dua kegiatan pemanfaatan SDA TNS yang didasarkan kelembagaan formal, yaitupemanfaatan jasa ekosistem berupa wisata alam dan karbon.Kegiatan wisata alam telah dikembangkan sejak tahun 2007 yang dilakukan oleh BTNS tanpa keterlibatan swasta. Jadi, di kawasan TNS belum terdapat izin pengusahaan pariwisata alam IPPA seperti izin usaha penyediaan jasa wisata alam IUPJWA, dan izin usaha penyediaan sarana wisata alam IUPSWA.Berdasarkan karakteristik dan potensi sumberdaya, serta aksesibilitasnya TNS mempunyai potensi yang besar sebagai daerah tujuan wisata alam di Propinsi Kalimantan Tengah.Walau demikian, jumlah pengunjung wisata dan penerimaan negara bukan pajak PNBP dari sektor ini masih kecil Gambar 6.4.Jumlah wisatawan ke TNS tahun 2007 berjumlah 8 orang dengan PNBP sebesar Rp534 ribu,selanjutnya tahun 2011meningkat menjadi 377 orang dengan PNBP sebesar Rp21 juta. Jumlah kunjungan dan PNBP TNS dari kegiatan ini masih relatif kecil dibandingkan dengan rata-rata jumlah wisatawan dan PNBP TN di Indonesia yaitu berturut-turut 33.242 orang, dan Rp194.985.807,-. Gambar 6.4 Jumlah kunjungan wisatawan dan PNBP TNS tahun 2007-2011 Di samping pemanfaatan jasa ekosistem berupa wisata alam, potensi sumberdaya TNS yang sudah dikembangkan adalah jasa karbon. Kegiatan ini telah dikembangkan sejak tahun 2010 ketika TNS ditetapkan sebagai lokasi DA REDD+ oleh Kementerian Kehutanan. Kawasan TNS yang dialokasikan untuk kegiatan ini adalah seluas 60.000 hektar.Kegiatan ini merupakan kerjasama antara BTNS dan WWF Indonesia-Sebangau Project.Kerjasama ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerjasama antara Yayasan WWF Indonesia dan Departemen Kehutanan Nomor 188DJ-VIBinprog1998 yang ditanda-tangani pada tanggal 13 Maret 1998, yang berlaku untuk jangka waktu 25 tahun, serta dapat diperbaharui. Kegiatan pemanfaatan jasa karbon yang dilaksanakan oleh BTNS bekerjasama dengan WWF Indonesia-Sebangau Project belum menghasilkan PNBP.Kewajiban pelaksana kerjasama adalah menyusun laporan secara periodik per 3 tiga bulan dan laporan tahunan. Hal ini diatur dalam Pasal 13 Keputusan Menteri Kehutanan No. 390Kpts-II2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kewajiban bagi pelaksana kerjasama untuk menyampaikan laporan merupakan salah satu mekanisme pengawasan atau monitoring kegiatan kerjasama. Jika jasa ekosistem TNS berupa wisata alam dan karbon telah dikembangkan yang didasarkan pada kelembagaan formal, sebaliknya pemanfaatan TSL yang ada di TNS belum dimanfaatkan. Pemanfaatan TSL terkendala SK Menhut No. 4472003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL yang mengatur bahwa pemanfaatan TSL di taman nasional dilarang.Walau demikian, masyarakat setempat secara de facto telah memanfaatkan TSL yang ada di kawasan TNS, antara lain: ikan, getah jelutung, kulit gemor, rotan, dan burung, karena mereka menggantungkan 8 160 184 477 377 534 9.895 9.726 13.179 21.199 - 100 200 300 400 500 600 - 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 2007 2008 2009 2010 2011 Ju m la h W is a ta w a n o ra n g P N B P R p x 1 Tahun Jumlah Wisatawan PNBP hidupnya pada sumberdaya ini. Dalam memanfaatkan sumberdaya ini, mereka menggunakan sistem hak kepemilikan yang masih ditaati sampai saat ini yang diakui dan dilindungi oleh hukum adat Kedamangan kelembagaan informal. Hak kepemilikan ini umumnya mengatur sungai, karena masyarakat adat dayak umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan yang bertempat tinggal di pinggir sungai. Sistem hak kepemilikan nelayan terdiri atas hak kepemilikan komunal common property rights dan privat private property rights.Wilayah yang termasuk hak kepemilikan privat antara lain anak sungai sungei, cucu sungai saka, rawa terbuka padang layap, dan rawa tertutup datah yang terhubungkan dengan sumgai-sumgai kecil, dan tatas. Nelayan sebagai penguasa atas sungeidan atau sakaberhak mengatur serta mengawasi semua orang yang melakukan kegiatandi sungeidansaka yang dikelolanya.Orang luar dapat menangkap ikan di wilayah privat apabila melakukan ikatan perkawinan, atau melalui kontrak.Interaksi antara nelayan pemilik sungei dan atau sakadengan orang luar yang melakukan kegiatan komersialseperti pemanfaat kulit gemor, dan getah jelutung diatur melalui kontrak.Seperti telah diketahui bahwa sungai dan kanal merupakan sarana transportasi utama dalam pemanfaatan sumberdaya TNS, oleh karenanya orang luar yang melakukan kegiatan di TNS umumnya melakukan kerjasama dengan nelayan pemilik sungai dan atau kanal.Imbalan atau kompensasi yang diberikan orang luar yang melakukan kegiatan komersial kepada pemilik sungeidan atau saka adalah membayarfee.Besarnya kompensasi ini didasarkan pada kesepakatan antara nelayan penguasa sungai dan atau kanal dengan para pemanfaat getah jelutung atau pemanfaat kulit gemor. Bagi BTNS, pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat ini dianggap tidak sah illegal karena mereka tidak mempunyai izin pemanfaatan sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat 1 PP No. 28 Tahun 2011. Akan tetapi aturan ini tidak dapat ditegakkan karena menimbulkan konflik jika ditegakkan, sehingga BTNS selama ini tidak melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran di atas, kecuali mereka memanfaatkan dengan cara menebang pohon seperti pada kasus pemanfaatan kulit gemor.BTNS melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat.Pola interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS disajikan pada Gambar 6.5. Potensi jasa air TNS belum dimanfaatkan. Dengan demikian, PNBP TNS hanya bersumber dari kegiatan wisata alam, yaitu Rp21 juta pada tahun 2011. Rasio jumlah PNBP terhadap jumlah biaya pengelolaan TNS 68 tahun 2011 adalah 0,28. Jika dikaitkan dengan konsep TN mandiri 69 , TNS belum memenuhi syarat untuk menjadi TN mandiri yang mensyaratkan biaya operasional dapat dipenuhi minimal 80 dari penerimaannya. Secara umum, kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS sangat rendah dilihat dari besarnya PNBP. Pemanfaatan sumberdaya TNS yang didasarkan kelembagaan formal yang sudah dimanfaatkan adalah jasa wisata, dan jasa karbon, sedangkan potensi pemanfaatan sumberdaya seperti jasa air, dan TSL belum dimanfaatkan. Sebaliknya pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat 68 Anggaran pengelolaan TNS tahun 2011 adalah Rp. 7,5 milyar. 69 TN mandiri Kemenhut 2011:x; Ruhyat 2013:73 adalah TN efektif yang dapat menjamin fungsi ekologis dan sosial TN serta diperkuat dengan investasi pemerintah dan swasta untuk pemanfaatan jasa lingkungan yang dari usahanya diperoleh pendapatan paling tidak 80 untuk membiayai pengelolaan TN yang bersangkutan. masih dianggap melanggar. Hanya satu mekanisme pemanfaatan sumberdaya TNS yang sudah dilakukan yaitu kerjasama antara BTNS dengan WWF, sedangkan mekanisme investasi, kolaborasi, dan devolusi belum dapat dilaksanakan. Gambar 6.5Interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS Kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS sangat rendahdisebabkan oleh tiga faktor. Pertama, TNS belum menyiapkan prasyarat utama untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS yaitu sistem zonasi yang telah disyahkan. Hal ini mengakibatkan: 1BTNS tidak dapat mengembangkan pemanfaatan sumberdaya secara intensif dan menyeluruh, khawatir melanggar peraturan perundangan; 2 tidak ada wilayah zona bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS secara tradisional. Oleh karenanya, menimbulkan konflik antara BTNS dan WWF Indonesia dengan masyarakat setempat.Kedua, Surat Keputusan Menhut No. 4472003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL tidak sejalan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu PP 131994 tentang Perburuan Satwa Buru, PP 81999 tentang Pemanfaatan TSL, PP 282011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA, UU No. 51990, dan UU No. 411999. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 4472003,pemanfaatan TSL di taman nasional dilarang.Larangan ini menjadi sumber konflik antara BTNSdengan masyarakat setempat dan berakibat pada rendahnya kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS.Ketiga, adanya perbedaan perlakuan terhadap masyarakat setempat yang memanfaatkan TSL akibat MOUPerjanjian kerjasama Monitoring Nelayan sebagai penguasa sungai WWF FORMAS Damang Kelompok Pemanfaat Jelutung Kelompok Pemanfaat Gemor Kelembagaan Informal Kelembagaan Formal = Bentuk arah relasi antar aktor TNS Kontrak Hak Kontrak Monitoring Monitoring perbedaan penafsiran diantara pegawai BTNS atas istilah ”HHBK“ dengan “TSL“. Penggunaan istilah hasil hutan bukan kayu HHBK tumpang tindih dengan istilah tumbuhan dan satwa liar TSL.Berdasarkan asal usul penggunaannya, istilah HHBK digunakan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sedangkan istilah TSL digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Istilah HHBK dan TSL mempunyai makna yang sama, yaitu merujuk pada sumberdaya hayati baik nabati maupun hewani. Berdasarkan Permenhut No. P.352007 tentang HHBK yang dimaksud HHBK adalah:“Hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari ekosistem hutan”. Sementara berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, TSL terdiri dari tumbuhan liar dan satwa liar, sedangkan definisi tumbuhan liar adalah“Tumbuhan yang hidup di alam bebas danatau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya” Pasal 1 ayat 6; sedangkan definisi satwa liar adalah: “semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia” Pasal 1 ayat 7. Masyarakat yang memanfaatkan getah jelutung di TNS tidak ditangkap petugas karena getah jelutung termasuk HHBK yang tidak dilarang 70 walaupun mereka tidak mempunyai izin, dan berlokasi di zona yang belum jelas.Sementara, masyarakat setempat yang memanfaatkan kulit gemor ditangkap dan diadili karena mereka memanfaatkannya dengan cara menebang 71 . Bila teknik pemanenan yang dipermasalahkan, sebenarnya bambu, gaharudan sagu yang termasuk HHBK juga dipanen dengan cara ditebang. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakjelasan peraturan yang digunakan, jika menggunakan peraturan tentang HHBK seharusnya pemanfaatan gemor dan jelutung tidak dilarang karena sesuai lampiran Permenhut 352007, baik gemor maupun jelutung termasuk HHBK. 70 Berdasarkan Permenhut No. P.56Menhut-II2006 tentang pedoman zonasi TN, pasal 7 4: kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisioal meliputi…., pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. 71 Petugas menerapkan pasal 50 ayat 3 UU No. 411999, yaitu setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin..selain itu dalam konteks pengawetan TSL berdasarkan UU No. 51990pasal 21 1 mengatur bahwa setiap orang dilarang mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati. Upaya pengawetan TN PP 681999 dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan pasal 44 ayat 1, antara lain: merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya, merusak keindahan alam dan gejala alam, mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan Pasal 44 ayat 2. 7 DAMPAK KELEMBAGAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS Pada bab ini akan dijelaskan dampak kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS. Berdasarkan kerangka kerja analisis kelembagaan dijelaskan bahwa interaksi antar aktor akan menghasilkan dampak pada sumberdaya dan pemanfaat sumberdaya aktor. Untuk mengevaluasi dampak kelembagaan digunakan dua kategori, yaitu kelestarian sumberdaya dan keadilan bagi masyarakat sekitar TNS.

7.1 Kelestarian Sumberdaya TNS

Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional dengan luas 568.700 hektar, hutan Sebangau merupakan hutan produksiseluas kurang lebih 510.250 hektar,dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas kurang lebih 58.450 hektar. Ketika berstatus hutan produksi, di kawasan ini beroperasi sebanyak 13 HPH, dan kondisi hutan Sebangau sudah terdegradasi ketika kawasan ini berubah fungsi menjadi TNS BTNS 2007.Kondisi TNS pada awal penunjukkan yang sudah terdegradasi dapat dilihat dari peta identifikasi lahan terbuka hasil citra satelit tahun 2006 disajikan pada Gambar 7.1. Sumber: WWF-Indonesia Sebangau Project 2013 Gambar 7.1 Peta identifikasi lahan terbuka TNS tahun 2006