ukiran, pensil, mainan, dan moulding. Sementara getahnya merupakan bahan baku permen karet, bahan pembuat ban, lem yang berkualitas bagus, dan kabel listrik.
Sebagai bahan pembuat permen karet, getah jelutung masih merupakan bahan terbaik di dunia produksinya dikenal dengan “chewing gum” Martawijaya et al.
1981; Rachmanadi et al. 2009.
Pemanfaat getah Jelutung bekerja secara berkelompok dengan anggota antara 3-5 orang.Jumlah pemanfaat getah Jelutung di TNS adalah kurang lebih 18
orang.Tingkat pendidikan pemanfaat getah Jelutung umumnya SLTP ke bawah.Mereka tidak tergabung dalam suatu organisasi sehingga kapasitas
organisasi rendah.Kapasitas keuangan kelompok pemanfaat getah jelutung juga rendah karena umumnya mereka tidak mempunyai modal sendiri, mereka
mendapatkan pinjaman dari pemodal pedagang getah Jelutung yaitu sebesar Rp2.000.000 per orang untuk setiap bulan.Kondisi ini membuat kelompok ini
tidak mempunyai kekuatan untuk bertindak dan memperjuangkan kepentingannya secara kolektif.
Gambar 6.2 Pemanfaatan getah jelutung oleh masyarakat di TNS Kelompok pemanfaat getah jelutung mempunyai informasi yang lebih baik
tentang situasi dan kondisi sumberdaya TNS.Hampir sebagain besar waktunya dihabiskan dalam kawasan hutan, yaitu menetap sekitar 5-10 tahun dilokasi
penyadapan, dan mereka hanya turun ke desa ketika membeli logistik sekaligus menjual hasil panen yaitu setiap 2-3 bulan. Kelompok ini juga mempunyai tingkat
solidaritas diantara kelompok yang tinggi, misalnya, ketika ada anggota kelompok yang tidak mendapatkan hasil, anggota kelompok yang lain membagi secara
merata. Kelompok ini juga mempunyai sifat yang jujur dan saling percaya, misalnya ketika hasil panenan disimpan di gubuk, diantara mereka tidak ada yang
mencuri. Mereka menghargai usaha orang lain, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk mencuri hasil panen orang lain. Karakteristik ini sangat penting
dalam upaya kerjasama atau tindakan bersama yang penting untuk menyelesaikan permasalahan CPRs.
6.1.5 Kelompok Pemanfaat Kulit Gemor
67
Gemor mempunyai nama latin Alseodaphne spp yang termasuk dalam famili Lauraceae. Penyebaran gemor di Indonesia terdapat di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua.Namun kualitas gemor terbaik di Indonesia adalah yang berasal dari Kalimantan.Habitat pohon gemor di Kalimantan Tengah, antara lain
:TNS, Sampit, Katingan, dan Palangkaraya. Gemor adalah jenis pohon yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kulit kayu gemor merupakan bahan baku utama
pembuatan obat anti nyamuk, dupa, dan bahan baku perekat. Kulit kayu gemor sangat berpotensi sebagai bahan insektisida alami karena mengandung
pyretin.Hasil uji fitokimia pada kulit kayu gemor menunjukkan bahwa kulit kayu gemor mengandung alkaloid, tannin, fenolik, flavonoid, triterpenoid dan glikosida
Cahyana Rachmadi 2011:13.Kulit kayu gemor selain untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, juga diekspor ke beberapa negara diantaranya ke
Taiwan, Singapura, dan Jepang.
Seperti halnya kelompok pemanfaat getah Jelutung, pemanfaat kulit Gemor bekerja secara berkelompok dengan anggota antara 5-10 orang.Jumlah
pemanfaat kulit Gemor di TNS adalah kurang lebih 45 orang.Lamanya waktu yang digunakan di dalam kawasan hutan TNS oleh mereka tidak selama kelompok
pemanfaat getah Jelutung, yaitu hanya 10 hari untuk satu trip.Mereka tidak tergabung dalam suatu organisasi sehingga kapasitas organisasi rendah.Kapasitas
keuangan kelompok pemanfaat kulit Gemor juga rendah karena umumnya mereka mendapatkan pinjaman dari pemodal pedagang kulit Gemor yaitu sebesar
Rp2.000.000 per orang untuk setiap bulan, sehingga kelompok ini tidak mempunyai kekuatan untuk bertindak dan memperjuangkan kepentingannya
secara kolektif.Kelompok pemanfaat getah Jelutung juga mempunyai informasi yang baik tentang situasi dan kondisi sumberdaya TNS.Kelompok ini mempunyai
tingkat solidaritas diantara kelompok yang tinggi, misalnya, ketika ada anggota kelompok yang tidak mendapatkan hasil, anggota kelompok yang lain membagi
secara merata. Kelompok ini juga mempunyai sifat yang jujur dan saling percaya, misalnya ketika hasil panenan disimpan di gubuk, diantara mereka tidak ada yang
mencuri. Mereka menghargai usaha orang lain, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk mencuri hasil panen orang lain. Karakteristik ini sangat penting
dalam upaya kerjasama atau tindakan bersama yang penting untuk menyelesaikan permasalahan CPRs.
67
Gemor Alseodapne spp termasuk family Lauraceae. Kulit kayu gemor merupakan bahan baku utama pembuatan obat anti nyamuk, dupa, dan bahan perekat. Kulit kayu gemor mengandung
alkaloid, tannin, fenolik, flavonoid, dan glikosida.Penyebaran gemor di Indonesia adalah Sumatera, Kalimantan, dan Papua Cahyana Rachmadi 2011:13.Pemasaran kulit kayu gemor
selain untuk kebutuhan industri dalam negeri, juga diekspor ke Taiwan, Singapura, dan Jepang.
Gambar 6.3 Pemanfaatankulit gemor oleh masyarakat di TNS
6.1.6 Damang Kepala Adat
Kedamangan adalah organisasi tradisional yang bersifat sosial religius, sebagai wadah interaksi sosial masyarakat Dayak.Kelembagaan adat
kedamangan telah diakui oleh pemerintah daerah melalui Perda Propinsi Kalteng No. 16 Tahun 2008.Damang adalah pimpinan adat, dan ketua kerapatan adat
yang berfungsi sebagai penegak hukum adat Pasal 1 ayat 24 Perda No. 162008. Sebagai penegak hukum adat, Damang adalah hakim perdamaian adat
yang mempunyai kewenangan memeriksa, menyidik, mengadili dan memberikan sanksi adat terhadap warga yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan hukum adat setempat.
Selain itu, Damang mempunyai hak dan wewenang untuk mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan kedamangan
untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat kearah yang lebih baik. Hak adat itu adalah hak untuk hidup dengan memanfaatkan sumber
daya yang ada dalam lingkungan wilayah adat kedamangan. Harta kekayaan yang dikuasai oleh adat yang diserahkan pengawasannya kepada
kedamangan, misalnya tanah hutan termasuk hutan lindung, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan yang bukan
milik kerabat, milik perorangan, perusahaan dan sebagainya.
Damang dipilih oleh para kepala desa atau lurah, mantir adat dan pejabat kecamatan yang ada diwilayah kedamangan setempat, kemudian Damang
terpilih diangkat dan ditetapkan oleh bupatiwalikota untuk masa jabatan
selama enam tahun.Damang mempunyai peranan yang penting dalam mengatur interaksi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS, dan yang memberikan
hak pengelolaan atas sungai kepada nelayan.
6.1.7 Forum Masyarakat FORMAS
Forum masyarakat Taman Nasional Sebangau FORMAS TNS dibentuk oleh WWFpada tahun 2005 di 5 kecamatan, yaitu : Sebangau Kuala, Katingan
Kuala, Mendawai, Kamipang, dan Tasik Payawan. Tujuan pembentukan Formas adalah untuk membantu proses pembangunan melalui kesepakatan masyarakat
dan membantu mengkomunikasikan untuk melakukan penutupan kanal yang dimiliki masyarakat.Formas TNS diharapkan dapat menjadi forum bersama bagi
seluruh komponen masyarakat yang ada di kecamatan-kecamatan yang secara sosial, ekonomi, budaya, geografis dan demografis sangat berhubungan dengan
kawasan TNS. WWF memberikan hibah kepada setiap FORMAS untuk penguatan organisasi dan program pengembangan perekonomian masyarakat yang
telah direncanakan oleh setiap Formas, misalnya bantuan demplot Lidah Buaya, penanaman karet,keramba ikan, dan rotan. Namun, FORMAS masih menghadapi
permasalahan kelembagaan, yaitu: kegiatan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan karena terkendala pendanaan. Ada anggapan dikalangan masyarakat,
bahwa keanggotaan FORMAS belum jelas dan tidak tersosialisasi dengan baik.Program kerja Formas yang terkait dengan pengembangan TNS belum
tersusun dengan baik.
6.2. Pola Interaksi Antar Aktor
Sampai saat ini, hanya dua kegiatan pemanfaatan SDA TNS yang didasarkan kelembagaan formal, yaitupemanfaatan jasa ekosistem berupa wisata
alam dan karbon.Kegiatan wisata alam telah dikembangkan sejak tahun 2007 yang dilakukan oleh BTNS tanpa keterlibatan swasta. Jadi, di kawasan TNS
belum terdapat izin pengusahaan pariwisata alam IPPA seperti izin usaha penyediaan jasa wisata alam IUPJWA, dan izin usaha penyediaan sarana wisata
alam IUPSWA.Berdasarkan karakteristik dan potensi sumberdaya, serta aksesibilitasnya TNS mempunyai potensi yang besar sebagai daerah tujuan wisata
alam di Propinsi Kalimantan Tengah.Walau demikian, jumlah pengunjung wisata dan penerimaan negara bukan pajak PNBP dari sektor ini masih kecil Gambar
6.4.Jumlah wisatawan ke TNS tahun 2007 berjumlah 8 orang dengan PNBP sebesar Rp534 ribu,selanjutnya tahun 2011meningkat menjadi 377 orang dengan
PNBP sebesar Rp21 juta. Jumlah kunjungan dan PNBP TNS dari kegiatan ini masih relatif kecil dibandingkan dengan rata-rata jumlah wisatawan dan PNBP
TN di Indonesia yaitu berturut-turut 33.242 orang, dan Rp194.985.807,-.
Gambar 6.4 Jumlah kunjungan wisatawan dan PNBP TNS tahun 2007-2011 Di samping pemanfaatan jasa ekosistem berupa wisata alam, potensi
sumberdaya TNS yang sudah dikembangkan adalah jasa karbon. Kegiatan ini telah dikembangkan sejak tahun 2010 ketika TNS ditetapkan sebagai lokasi DA
REDD+ oleh Kementerian Kehutanan. Kawasan TNS yang dialokasikan untuk kegiatan ini adalah seluas 60.000 hektar.Kegiatan ini merupakan kerjasama antara
BTNS dan WWF Indonesia-Sebangau Project.Kerjasama ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerjasama antara Yayasan WWF Indonesia dan Departemen
Kehutanan Nomor 188DJ-VIBinprog1998 yang ditanda-tangani pada tanggal 13 Maret 1998, yang berlaku untuk jangka waktu 25 tahun, serta dapat
diperbaharui. Kegiatan pemanfaatan jasa karbon yang dilaksanakan oleh BTNS bekerjasama dengan WWF Indonesia-Sebangau Project belum menghasilkan
PNBP.Kewajiban pelaksana kerjasama adalah menyusun laporan secara periodik per 3 tiga bulan dan laporan tahunan. Hal ini diatur dalam Pasal 13 Keputusan
Menteri Kehutanan No. 390Kpts-II2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kewajiban bagi
pelaksana kerjasama untuk menyampaikan laporan merupakan salah satu mekanisme pengawasan atau monitoring kegiatan kerjasama.
Jika jasa ekosistem TNS berupa wisata alam dan karbon telah dikembangkan yang didasarkan pada kelembagaan formal, sebaliknya
pemanfaatan TSL yang ada di TNS belum dimanfaatkan. Pemanfaatan TSL terkendala SK Menhut No. 4472003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau
Penangkapan dan Peredaran TSL yang mengatur bahwa pemanfaatan TSL di taman nasional dilarang.Walau demikian, masyarakat setempat secara de facto
telah memanfaatkan TSL yang ada di kawasan TNS, antara lain: ikan, getah jelutung, kulit gemor, rotan, dan burung, karena mereka menggantungkan
8 160
184 477
377
534 9.895
9.726 13.179
21.199
- 100
200 300
400 500
600
- 5.000
10.000 15.000
20.000 25.000
2007 2008
2009 2010
2011
Ju m
la h
W is
a ta
w a
n o
ra n
g
P N
B P
R p
x 1
Tahun
Jumlah Wisatawan PNBP
hidupnya pada sumberdaya ini. Dalam memanfaatkan sumberdaya ini, mereka menggunakan sistem hak kepemilikan yang masih ditaati sampai saat ini yang
diakui dan dilindungi oleh hukum adat Kedamangan kelembagaan informal. Hak kepemilikan ini umumnya mengatur sungai, karena masyarakat adat dayak
umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan yang bertempat tinggal di pinggir sungai. Sistem hak kepemilikan nelayan terdiri atas hak kepemilikan
komunal common property rights dan privat private property rights.Wilayah yang termasuk hak kepemilikan privat antara lain anak sungai sungei, cucu
sungai saka, rawa terbuka padang layap, dan rawa tertutup datah yang terhubungkan dengan sumgai-sumgai kecil, dan tatas. Nelayan sebagai penguasa
atas sungeidan atau sakaberhak mengatur serta mengawasi semua orang yang melakukan kegiatandi sungeidansaka
yang dikelolanya.Orang luar dapat menangkap ikan di wilayah privat apabila melakukan ikatan perkawinan, atau
melalui kontrak.Interaksi antara nelayan pemilik sungei dan atau sakadengan orang luar yang melakukan kegiatan komersialseperti pemanfaat kulit gemor, dan
getah jelutung diatur melalui kontrak.Seperti telah diketahui bahwa sungai dan kanal merupakan sarana transportasi utama dalam pemanfaatan sumberdaya TNS,
oleh karenanya orang luar yang melakukan kegiatan di TNS umumnya melakukan kerjasama dengan nelayan pemilik sungai dan atau kanal.Imbalan atau
kompensasi yang diberikan orang luar yang melakukan kegiatan komersial kepada pemilik sungeidan atau saka adalah membayarfee.Besarnya kompensasi
ini didasarkan pada kesepakatan antara nelayan penguasa sungai dan atau kanal dengan para pemanfaat getah jelutung atau pemanfaat kulit gemor.
Bagi BTNS, pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat ini dianggap tidak sah illegal karena mereka tidak mempunyai izin pemanfaatan sebagaimana
diatur dalam pasal 38 ayat 1 PP No. 28 Tahun 2011. Akan tetapi aturan ini tidak dapat ditegakkan karena menimbulkan konflik jika ditegakkan, sehingga BTNS
selama ini tidak melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran di atas, kecuali mereka memanfaatkan dengan cara menebang pohon seperti pada kasus
pemanfaatan kulit gemor.BTNS melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat.Pola interaksi antar aktor dalam pemanfaatan
sumberdaya TNS disajikan pada Gambar 6.5.
Potensi jasa air TNS belum dimanfaatkan. Dengan demikian, PNBP TNS hanya bersumber dari kegiatan wisata alam, yaitu Rp21 juta pada tahun 2011.
Rasio jumlah PNBP terhadap jumlah biaya pengelolaan TNS
68
tahun 2011 adalah 0,28. Jika dikaitkan dengan konsep TN mandiri
69
, TNS belum memenuhi syarat untuk menjadi TN mandiri yang mensyaratkan biaya operasional dapat
dipenuhi minimal 80 dari penerimaannya. Secara umum, kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS sangat rendah dilihat
dari besarnya PNBP. Pemanfaatan sumberdaya TNS yang didasarkan
kelembagaan formal yang sudah dimanfaatkan adalah jasa wisata, dan jasa karbon, sedangkan potensi pemanfaatan sumberdaya seperti jasa air, dan TSL
belum dimanfaatkan. Sebaliknya pemanfaatan TSL oleh masyarakat setempat
68
Anggaran pengelolaan TNS tahun 2011 adalah Rp. 7,5 milyar.
69
TN mandiri Kemenhut 2011:x; Ruhyat 2013:73 adalah TN efektif yang dapat menjamin fungsi ekologis dan sosial TN serta diperkuat dengan investasi pemerintah dan swasta untuk pemanfaatan
jasa lingkungan yang dari usahanya diperoleh pendapatan paling tidak 80 untuk membiayai pengelolaan TN yang bersangkutan.
masih dianggap melanggar. Hanya satu mekanisme pemanfaatan sumberdaya TNS yang sudah dilakukan yaitu kerjasama antara BTNS dengan WWF,
sedangkan mekanisme investasi, kolaborasi, dan devolusi belum dapat dilaksanakan.
Gambar 6.5Interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS Kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS sangat rendahdisebabkan oleh tiga
faktor. Pertama, TNS belum menyiapkan prasyarat utama untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS yaitu sistem zonasi yang telah disyahkan. Hal
ini mengakibatkan: 1BTNS tidak dapat
mengembangkan pemanfaatan sumberdaya secara intensif dan menyeluruh, khawatir melanggar peraturan
perundangan; 2 tidak ada wilayah zona bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan
sumberdaya TNS
secara tradisional.
Oleh karenanya,
menimbulkan konflik antara BTNS dan WWF Indonesia dengan masyarakat setempat.Kedua, Surat Keputusan Menhut No. 4472003 tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL tidak sejalan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu PP 131994 tentang Perburuan Satwa Buru, PP
81999 tentang Pemanfaatan TSL, PP 282011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA, UU No. 51990, dan UU No. 411999. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan
No. 4472003,pemanfaatan TSL di taman nasional dilarang.Larangan ini menjadi sumber konflik antara BTNSdengan masyarakat setempat dan berakibat pada
rendahnya kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS.Ketiga, adanya perbedaan perlakuan terhadap masyarakat setempat yang memanfaatkan TSL akibat
MOUPerjanjian kerjasama
Monitoring Nelayan sebagai
penguasa sungai
WWF
FORMAS Damang
Kelompok Pemanfaat Jelutung
Kelompok Pemanfaat Gemor
Kelembagaan Informal
Kelembagaan Formal = Bentuk arah
relasi antar aktor TNS
Kontrak Hak
Kontrak Monitoring
Monitoring
perbedaan penafsiran diantara pegawai BTNS atas istilah ”HHBK“ dengan “TSL“. Penggunaan istilah hasil hutan bukan kayu HHBK tumpang tindih
dengan istilah tumbuhan dan satwa liar TSL.Berdasarkan asal usul penggunaannya, istilah HHBK digunakan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, sedangkan istilah TSL digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Istilah HHBK
dan TSL mempunyai makna yang sama, yaitu merujuk pada sumberdaya hayati baik nabati maupun hewani. Berdasarkan Permenhut No. P.352007 tentang
HHBK yang dimaksud HHBK adalah:“Hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari
ekosistem hutan”. Sementara berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, TSL terdiri dari tumbuhan
liar dan
satwa liar,
sedangkan definisi
tumbuhan liar
adalah“Tumbuhan yang hidup di alam bebas danatau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya” Pasal 1 ayat 6; sedangkan definisi satwa liar
adalah: “semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang
dipelihara oleh manusia” Pasal 1 ayat 7.
Masyarakat yang memanfaatkan getah jelutung di TNS tidak ditangkap petugas karena getah jelutung termasuk HHBK yang tidak dilarang
70
walaupun mereka tidak mempunyai izin, dan berlokasi di zona yang belum jelas.Sementara,
masyarakat setempat yang memanfaatkan kulit gemor ditangkap dan diadili karena mereka memanfaatkannya dengan cara menebang
71
. Bila teknik pemanenan yang dipermasalahkan, sebenarnya bambu, gaharudan sagu yang
termasuk HHBK juga dipanen dengan cara ditebang. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakjelasan peraturan yang digunakan, jika menggunakan peraturan tentang
HHBK seharusnya pemanfaatan gemor dan jelutung tidak dilarang karena sesuai lampiran Permenhut 352007, baik gemor maupun jelutung termasuk HHBK.
70
Berdasarkan Permenhut No. P.56Menhut-II2006 tentang pedoman zonasi TN, pasal 7 4: kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisioal meliputi…., pemanfaatan potensi
dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.
71
Petugas menerapkan pasal 50 ayat 3 UU No. 411999, yaitu setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; menebang pohon
atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin..selain itu dalam konteks pengawetan TSL berdasarkan UU No. 51990pasal 21 1 mengatur bahwa setiap
orang dilarang mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati. Upaya pengawetan TN PP 681999 dilaksanakan dengan ketentuan
dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan pasal 44 ayat 1, antara lain: merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya, merusak keindahan
alam dan gejala alam, mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan Pasal 44 ayat 2.
7 DAMPAK KELEMBAGAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS
Pada bab ini akan dijelaskan dampak kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS. Berdasarkan kerangka kerja analisis kelembagaan dijelaskan
bahwa interaksi antar aktor akan menghasilkan dampak pada sumberdaya dan pemanfaat sumberdaya aktor. Untuk mengevaluasi dampak kelembagaan
digunakan dua kategori, yaitu kelestarian sumberdaya dan keadilan bagi masyarakat sekitar TNS.
7.1 Kelestarian Sumberdaya TNS
Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional dengan luas 568.700 hektar, hutan Sebangau merupakan hutan produksiseluas kurang lebih 510.250 hektar,dan
hutan produksi yang dapat dikonversi seluas kurang lebih 58.450 hektar. Ketika berstatus hutan produksi, di kawasan ini beroperasi sebanyak 13 HPH, dan
kondisi hutan Sebangau sudah terdegradasi ketika kawasan ini berubah fungsi menjadi TNS BTNS 2007.Kondisi TNS pada awal penunjukkan yang sudah
terdegradasi dapat dilihat dari peta identifikasi lahan terbuka hasil citra satelit tahun 2006 disajikan pada Gambar 7.1.
Sumber: WWF-Indonesia Sebangau Project 2013
Gambar 7.1 Peta identifikasi lahan terbuka TNS tahun 2006