Aturan Formal Analisis Hak Kepemilikan

43 400Kpts-II1990 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas jo Keputusan Menteri Kehutanan No. 635Kpts-II2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, sumberdaya TNS dapat dimanfaatkan melalui dua kegiatan yaitu: 1 Pemanfaatan kondisi lingkungan, dan 2 Pemanfaatan jenis TSL. Khusus untuk mengatur pemanfaatan jenis TSL, Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis TSL. Di samping itu, pemanfaatan jenis TSL juga diatur pada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya TN adalah pemanfaatan jenis TSL Pasal 32 ayat 3 PP 282011. Jenis TSL yang dapat diperdagangkan adalah jenis TSL yang tidak dilindungi Pasal 18 ayat 1 PP 81999 yang diperoleh dari penangkaran, pengambilan dan penangkapan dari alam Pasal 18 ayat 2 PP 81999. Masyarakat setempat dapat memanfaatkan jenis TSL dengan cara berburu tradisional di Taman Buru TB dan Areal Buru AB sebagaimana diatur dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994tentang Perburuan Satwa Buru. Selain itu, berdasarkan Pasal 35ayat 1 dan ayat 2 PP 282011, khusus kepada masyarakat setempat, pemerintah memberikan akses untuk memanfaatkan sumberdaya TN melalui pemanfaatan tradisional yang berupa pemungutan HHBK, budidaya tradisional, dan perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.Berdasarkan Penjelasan Pasal 12 ayat 2PP 131994 diatur bahwa hasil buruan masyarakat setempat dapat diperdagangkan.Hal ini juga diatur dalam pasal 19 ayat 2 dan pasal 47 ayat 2 45 PP 81999.Akan tetapi, Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 4472003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL melarang pengambilan dan penangkapan TSL di KPA termasuk TN, KSA dan TB Pasal 5 ayat 1 46 .Hal ini menunjukkan tidak sinkronnya antar aturan, dan menjadi sumber konflik antara pengelola TNS dan masyarakat setempat. Bagi masyarakat setempat, larangan ini merupakan bentuk ketidakadilan. Mereka sudah biasa memanfaatkan sumberdaya TNS jauh sebelum TNS ditetapkan, dan mereka mempunyai aturan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya TNS. 45 Pasal 47 2 PP 81999:”Sumber TSL untuk keperluan penetapan kuota perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berasal dari kuota pengambilan dan penangkapan dari alam dan hasil penangkaran. Pasal 44 1:”Pemerintah menetapkan kuota pengambilan dan penangkapan setiap jenis dan jumlah TSL yang dapat diambil atau ditangkap dari alam untuk setiap kurun waktu 1 satu tahun. Pasal 45:”Kuota penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat 1 meliputi juga hasil perburuan satwa liar secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar TB di dalam atau di sekitar AB dengan menggunakan alat-alat tradisional. 46 Pasal 5 1 SK Menhut 4472003: “Pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar dari habitat alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a hanya dapat dilakukan di luar kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam atau taman buru”. Pasal 4 1: “spesimen TSL dapat berasal atau bersumber pada pengambilan atau penangkapan dari: a habitat alam, b hasil penangkaran berupa hasil pengembangbian satwa captive breeding, pembesaran satwa ranching, perbanyakan tumbuhan secara buatan artificial propagation”. Pasal 42:” spesimen sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat berasal dari: a jenis-jenis yang termasuk dalam appendiks CITES maupun Non-Appendiks CITES, yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi; b dalam maupun dari luar wilayah Republik Indonesia. 44 5.1.1.3 Penataan Pilihan Kolektif Pengelolaan TNS bersifat sentralistikartinya hak pembuatan aturan pada semua tingkatan yaitu tingkat operasional, pilihan kolektif, dan konstitusimenjadi kewenangan pemerintah pusat.Masyarakat setempat sebagai pemanfaat sumberdaya tidak terlibat dalam menyusun aturan sekalipun pada tingkat operasional.Aturan yang bersifat sentralistik ini mempunyai beberapa kelemahan.Pertama, aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tidak dapat langsung dilaksanakan karena dibutuhkan peraturan pelaksanaan yang lebih rendah, dan membutuhkan waktu yang lama seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Contohnya untuk membuat aturan operasional yang berupa sistem zonasi sebagai pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1990 dibutuhkan waktu 16 tahun. Terdapat rentang waktu 8 tahun untuk mensahkan PP No. 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPAsebagai peraturan pelaksana UU No. 5 Tahun 1990.Selanjutnya, untuk melaksanakan PP ini diperlukan Peraturan Menteri Permenhut No. P56Menhut-II2006. Terdapat rentang waktu 8 tahun untuk mensahkan Permenhut No.P56Menhut-II2006 tentang pedoman zonasi TN.Kedua, isi aturan tidak sesuai kondisi setempat.Peraturan sebagai produk sistem sentralistik umumnya seragam untuk diterapkan di seluruh Indonesia.Sementara kondisi TN beragam, contohnya di TNS, masyarakat setempat telah mempunyai sistem hak kepemilikan terhadap sungai yang berada di dalam kawasan TNS yang bersumber dari hukum adat. 5.1.1.4 Pengawasan dan Penegakannya Pengawasan dan penegakan aturan tentang pengelolaan TN yang merupakan kawasan konservasi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat Kementerian Kehutanan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1990 jo Pasal 29 UU No. 18 Tahun 2013 diatur bahwa selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pengawasan TNS yang mempunyai luas 567.000 hektar dan didalamnya terdiri banyak sungai dan kanalmembutuhkan jumlah petugas dan biaya operasional yang besar 47 .Sebaliknya, Balai TNS mempunyai anggaran dan sumberdaya manusia yang terbatas. Rasio antara jumlah SDM khususnya Polisi Kehutanan dengan luas kawasan TNS tahun 2012 adalah 1: 35.544. Angka ini jauh di bawah standar PHKA yaitu 1:5.000 dan standar di Eropa pada tahun 2002 yang mempunyai rasio 1: 16.Biaya operasional pengawasan TNS tahun 2012 adalah Rp18.639 48 ,-per hektar atau setara dengan Rp186,39 per km 2 atau lebih kecil dari USD 1 per km 2 . Dalam hal yang sama biaya operasional pengelolaan TN di Eropa tahun 2002saja sudah mencapai USD 250 per km 2 Soekmadi 2002:210.Jika pelaksanaan pengawasan TNS hanya dilakukan oleh pengelola TNS sendiri maka pengawasan TNS tidak dapat berjalan secara efektif karena keterbatasan yang dimiliki BTNS. Oleh sebab itu,pelaksanaan pengawasan TNS 47 Biaya operasional untuk pengawasan TNS pada tahun 2007 mencapai 11,2 dari total anggaran, dan biaya ini tidak termasuk gaji petugas, dan bantuan dari WWF Indonesia-Sebangau Project. 48 Perbandingan antara jumlah pagu anggaran TNS Tahun 2012 Rp10,60 milyar dengan luas kawasan TNS 568.700 ha. 45 dilakukan bekerjasama dengan WWF, pemerintah daerah, kepolisian, kejaksaan dan masyarakat setempat. Walaupun demikian, sampai saat ini peraturan belum dapat ditegakkan secara efektif. Kondisi ini menunjukkan permasalahan biaya ekslusi tinggi yang merupakan karakteristik sumberdaya TNS sebagai CPRs belum dapat diselesaikan. 5.1.1.5 Pengaturan Sanksi Pengaturan sanksi tindakan pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya TN dan kawasan konservasi lainnya diatur dalam tiga undang-undang yaitu: UU No. 5 Tahun 1990, UU No. 41 Tahun 1999, dan UU No. 18 Tahun 2013. Tindak pidana dalam UU No. 5 Tahun 1990 dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana kejahatan apabila tindakaan pelanggaran hukum dilakukan dengan sengaja, dan tindak pidana pelanggaran apabila tindakan pelanggaran hukum terjadi karena kelalaiannya. Sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya TN dan kawasan konservasi lainnya dalam UU No. 5 Tahun 1990 hanya diatur dalam 1 pasal yang terdiri atas 5 ayat. Sanksi berupa pidana penjara dan denda. Sanksi berupa pidana penjara paling lama adalah selama 10 tahun. Sedangkan sanksi denda paling banyak adalah Rp200 juta. Sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya TN yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya TN yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 No. Tindakan yang dilarang Sanksi Tindak pidana kejahatan 49 Tindak pidana pelanggaran 1. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti TN, yaitu mengurangi, menghilangkan fungsi luas zona inti TN, serta menambah jenis tumbuhan satwa lain yang tidak asli. Pasal 40 1: Pidana penjara paling lama 10 tahun denda paling banyak Rp200 juta. Pasal 40 3: Pidana penjara paling lama 1 tahun denda paling banyak Rp100 juta. 2. Kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan zona lain dari TN. Pasal 40 2: Pidana penjara paling lama 5 tahun denda paling banyak Rp100 juta. Pasal 40 4: Pidana penjara paling lama 1 tahun denda paling banyak Rp50 juta. 3. Tumbuhan yang dilindungi atau bagian- bagiannya dalam keadaan hidup atau mati: mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan; mengeluarkan dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Pasal 40 2: Pidana penjara paling lama 5 tahun denda paling banyak Rp100 juta. Pasal 40 4: Pidana penjara paling lama 1 tahun denda paling banyak Rp50 juta. 49 Dalam UU No.5 Tahun 1990 pasal 40 5 dan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 78 13, tindak pidana dibagi dua, yaitu tindak pidana kejahatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, dan tindak pidana pelanggaran yaitu tindakan kelalaian. 46 No. Tindakan yang dilarang Sanksi Tindak pidana kejahatan 49 Tindak pidana pelanggaran 4. Satwa yang dilindungi: a. Satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup: menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan; b. Satwa yang dilindungi dalam keadaan mati: menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian- bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagaian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 40 2: Pidana penjara paling lama 5 tahun denda paling banyak Rp100 juta. Pasal 40 4: Pidana penjara paling lama 1 tahun denda paling banyak Rp50 juta. Taman Nasional merupakan salah satu bentuk hutan konservasi. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya TN juga diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.Sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1990, tindak pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999juga dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana kejahatan apabila tindakaan pelanggaran hukum dilakukan dengan sengaja, dan tindak pidana pelanggaran apabila tindakan pelanggaran hukum terjadi karena kelalaiannya. Sanksi dalam UU No. 41 Tahun 1999 diatur dalam 2 pasal yaitu Pasal 78 yang terdiri atas 15 ayat, dan Pasal 80 yang terdiri atas 3 ayat. Sanksi berupa pidana penjara dan denda. Sanksi berupa pidana penjara paling lama adalah selama 15 tahun. Sedangkan sanksi denda paling banyak adalah Rp10milyar.Sanksi terhadap tindakan pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Sanksi pelanggaran pemanfaatan sumberdaya hutan yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 No. Tindakan yang dilarang Sanksi Tindak pidana kejahatan Tindak pidana pelanggaran 1. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1 500 lima ratus meter dari tepi waduk Pasal 78 2: Pidana penjara paling lama 10 tahun denda paling banyak