Keadilan Karakteristik dan Kinerja Kelembagaan Informal

4 PP 282011 76 setelah zonasi TN ditetapkan oleh Dirjen PHKA sesuai Pasal 18 2 Permenhut P.562006. Surat keputusan pemberian hak pengelolaan zona tradisional setidaknya memuat tentang luas, fungsi hutan, lembaga pengelola, jenis kegiatan pemanfaatan, hak dan kewajiban, serta jangka waktu. Luas ditentukan sesuai dengan kesepakatan dalam konsultasi publik proses penyusunan dan penetapan sistem zonasi TNS. Fungsi hutan ditegaskan bahwa zona tradisional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari zona-zona lain TN yang mempunyai fungsi sebagai hutan konservasi. Lembaga pengelola zona tradisional adalah lembaga pada tingkat desa yang sudah ada seperti kedamangan atau forum masyarakat FORMAS TN Sebangau. Jenis kegiatan pemanfaatan sesuai dengan PP 282011 yaitu : 1 pemungutan HHBK, 2 budidaya tradisional, serta 3 perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.Hak pengelolaan zona tradisional bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan TN, dan dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, serta mengubah status dan fungsi kawasan TN Pasal 49 ayat 5 PP 282011. Selain hak juga perlu diatur tentang kewajiban karena kerusakan sumberdaya pada kondisi akses terbuka open acces dikarenakan setiap orang merasa mempunyai hak memanfaatkan sumberdaya tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk ikut menyediakan atau memelihara sumberdaya. Dalam PP 282011 belum diatur secara eksplisit tentang kewajiban bagi masyarakat setempat yang diberi akses hak pemanfaatan zona tradisional. Kewajiban kepada pengelola zona tradisionalyang bersifat komunal perlu diaturdiantaranya: melaksanakan penataan batas, menyusun rencana kerja, melakukan perlindungan hutan, melaksanakan rehabilitasi, dan menyampaikan laporan. Rencana kerja terdiri atas rencana kerja pengelolaan zona tradisional yang tidak terpisahkan dengan Rencana Pengelolaan Taman Nasional RPTN sesuai pasal 49 ayat 4 PP 282011yang disahkan oleh Dirjen PHKA, dan rencana tahunan pengelolaan zona tradisional yang disahkan oleh Kepala UnitKepala Balai. Lembaga pengelola zona tradisional menyusun dan menyampaikan laporan secara periodik kepada Kepala UnitKepala Balai. Kewajiban lembaga pengelola zona tradisional khususnya penyusunan rencana kerja dan laporan merupakan bentuk pengendalian pemerintah kepada pengelola zona tradisional TN untuk memastikan pengelolaan dilakukan secara lestari dan mencegah pengaruh eksternal sebagai penunggang gratis free rider. Selanjutnya, jangka waktu pemberian hak sangat penting diatur, menurut Suharjito 2009:126 hak yang mempunyai jangka waktu lama berarti forest tenure security-nya kuat. Jangka waktu hak pengelolaan zona tradisional dapat diatur paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang sebagaimana aturan yang berlaku di hutan desa dan hutan kemasyarakatan. Selain itu juga perlu diatur tentang sanksi berupa pencabutan hak pengelolaan zona tradisional oleh pemberi hak yaitu Kepala UnitBalai jika pemegang hak melanggar ketentuan. 76 Kepala BTN mempunyai kewenangan diantaranya: 1 menerbitkan izin pemanfaatan sumberdaya TN kepada masyarakat setempat Pasal 49 ayat 4 PP No. 282011, 2 menerbitkan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi SIMAKSI pengenaan tarif PNBP nol rupiah Pasal 11 sd 13 Permenhut No. P.38Menhut-II2014, 3 membuat peraturan tentang jenis dan tata cara pungutan PNBP Pasal 55 Permenhut No. 37Menhut-II2014, dan 4 menandatangani kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA Permenhut P.85Menhut-II2014 pasal 24. Dalam rangka meningkatkan kapasitas lembaga pengelola zona tradisional, pemerintah baik pusat, provinsi dan kabupatenkota sesuai kewenangannya wajib memberikan fasilitasi yang meliputi pendidikan dan latihan, pengembangan kelembagaan, bimbingan penyusunan rencana kerja, bimbingan teknologi, pemberian informasi pasar dan modal, dan pengembangan usaha. Fasilitasi ini dapat berupa: 1 kemitraan 77 kehutanan, misalnyadengan pemagang IPPA sesuai dengan Pasal 6 1Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 39Menhut-II2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan,dan 2 bantuan modal kerja sesuai Pasal 5 Permenhut No. P.67Menhut-II2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Belanja Bantuan Modal Kerja dalam Rangka Pengembangan Desa Konservasi di daerah Pengangga Kawasan Konservasi. Bantuan modal kerja ini meliputi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan teknis, manajemen, kewirausahaan dan ketrampilan masyarakat menuju kemandirian, contohnya penangkaran TSL, budidaya tanam obat, dan jasa pariwisata alam pemandu wisata, penginapan, jasa penyedia makanan, transportasi dan cindera mata. 77 Berdasarkan Permenhut No. P.39Menhut-II2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan, kemitraan kehutanan didefinisikan sebagai kerjasama antara masyarakat setempat dengan pemegang izin pemanfaatan hutan atau pengelola hutan, pemegang izin usaha industri primer hasil hutan, danatau Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam pengembangan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Kemitraan dituangkan dalam perjanjian kerjasama kehutanan yang disepakati bersama. 9 SIMPULANDAN REKOMENDASI

9.1 Simpulan

Hasil analisis kelembagaan formal menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS.Pertama, TNS belum menyiapkan prasarat utama untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS secara berkelanjutan yaitu sistem zonasi.Hal ini mengakibatkan: 1 BTNS tidak dapat mengembangkan pemanfaatan jasa wisata secara intensif dan menyeluruh, dan 2 tidak ada wilayah zona bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS secara tradisional. Belum adanya sistem zonasi merupakan masalah umum TN di Indonesia.Sampai tahun 2011, baru 62 TN di Indonesia yang telah memiliki sistem zonasi dan telah ditetapkan oleh Pemerintah.Kedua, Surat Keputusan Menhut No. 4472003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL tidak sejalan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu PP 131994 tentang Perburuan Satwa Buru, PP 81999 tentang Pemanfaatan TSL, PP 282011 tentang pengelolaan KSA dan KPA, UU No. 51990; dan UU No. 411999. Berdasarkan SK 4472003, pemanfaatan TSL di TN dilarang. Larangan ini menjadi sumber konflik antara BTNS dan masyarakat setempat, dan telah berakibat pada rendahnya kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS. Ketiga, adanya perbedaan perlakuan terhadap masyarakat setempat yang memanfaatkan TSL akibat perbedaan penafsiran diantara pegawai BTNS atas istilah ”HHBK“ dengan “TSL“. Masyarakat yang memanfaatkan getah jelutung di TNS tidak ditangkap petugas walaupun mereka tidak memiliki izin sementara masyarakat setempat yang memanfaatkan kulit gemor ditangkap dan diadili karena pengambilannya dilakukan dengan cara menebang pohonnya. Saat ini, aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.Pertama, kelompok aktor yang memanfaatkan sumberdaya TNS berdasarkan kelembagaan formal yaitu BTNS dan WWF.Para aktor ini memanfaatkan jasa ekosistem berupa jasa wisata alam, dan jasa karbon.Kedua, kelompok aktor yang memanfaatkan sumberdaya TNS berdasarkan kelembagaan informal, yaitu masyarakat setempat yang terdiri atas para penangkap ikan nelayan, para pengambil getah jelutung, dan para pengambil kulit gemor.Masyarakat setempat memiliki aturan kelembagaan informal dalam memanfaatkan sumberdaya alam, yaitu kelembagaan adat Kedamangan.Berdasarkan kelembagaan adat Kedamangan, para nelayan mempunyai peranan penting dalam pola interaksi antar anggota masyarakat setempat.Para nelayan merupakan penguasa sungai yang mendapatkan legitimasi dari adat Kedamangan serta diakui dan dipatuhi oleh masyarakat setempat sehingga kelembagaan adat Kedamangan merupakan kelembagaan yang kuat. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun internasional, Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya sistem desentralisasi pengelolaan TN.Melalui PP No. 28 Tahun 2011, Pemerintah memberikan hak kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumberdaya di zona tradisional TN, sekaligus dalam rangka memberdayakannya. Hak untuk memanfaatkan sumberdaya di zona tradisional TN ini tidak terbatas pada hak akses dan mengambil manfaat sumberdaya berupa HHBK, dan perburuan tradisionalsaja tetapi juga hak mengelola dalam bentuk budidaya tradisional dan hak untuk mengeluarkan yang lain eksklusi.Dengan demikian, tingkatan kepemilikan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat setempat adalah “Proprietors” karena mencakup empat strata hak, yaituhak akses, hak mengambil,hak mengelola,dan hak mengeluarkan yang lain. Pemberian hak kewenangan di zona tradisional TN dari pemerintah kepada masyarakat setempat ini dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi. Kelembagaan adat Kedamangan berdasarkan indikator yang dikembangkan Ostrom termasuk kelembagaan yang kuatdan mendapatkan legitimasi dari masyarakat setempat.Akan tetapi, kelembagaan adat kedamangan belum mendapat pengakuan dari pemerintah untuk dipakai sebagai aturan dalam pengelolaan TNS, walaupun sampai saat ini di TNS tidak ada aturan operasional dalam pemanfaatan sumberdaya.Oleh karena itu, pengakuan atau adopsi terhadap aturan setempat khususnya untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya di zona tradisional TNS menjadi suatu pilihan yang tepat.Pertama, secara yuridis, bila merujuk pada PP No. 28 Tahun 2011, pemerintah dapat memberikan hak kepada masyarakat setempat di zona tradisional.Zona tradisional 78 merupakan bagian dari TN yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional masyarakat setempat yang berupa: 1 pemungutan HHBK, 2 budidaya tradisional, dan 3 perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Kedua, secara empiris, masyarakat setempat mempunyai kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya secara lestari.Mereka mempunyai kelembagaan adat Kedamangan yang mampu mengatur pemanfaatan sumberdaya secara lestari.Ketiga, pemberian akses atau hak kepada masyarakat setempat untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya TN juga sejalan dengan komitmen dunia internasional dan sejalan paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi di dunia.Kongres konservasi sedunia IUCN di Montreal tahun 1996 mengeluarkan Resolusi No. 1.53 untuk menyediakan sumberdaya dan mendukung pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang terkait dengan masyarakat tradisional atau adat Beltran 2000 :13. Berdasarkan temuan penelitian seperti diuraikan di atas, strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya taman nasional dalam upaya memecahkan masalah konflik dengan masyarakat setempat di TNS serta tingginya biaya eksklusi adalah melakukan integrasi kelembagaan formal dan informal khususnya di zona tradisional. Pemberian hak dari pemerintah kepada masyarakat setempat untuk mengelola zona tradisional dengan aturan pengelolaannya mengikuti aturan kelembagaan informal adat Kedamangan dan secara teknis dilakukan berdasarkan pengetahuan ekologi tradisional masyarakat setempat dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi. 78 Permenhut No. P.56Menhut-II2006 tentang pedoman zonasi TN

9.2 Rekomendasi Kebijakan

1. BTNS agar segera menyusun dan menetapkan sistem zonasi TNS termasuk di dalamnya zona tradisional yang dapat didesentralisasikan kewenangan pengelolaannya kepada masyarakat setempat. 2. Pemerintah perlu membuat aturan tentang mekanisme pemanfaatan sumberdaya TN ketika sistem zonasi belum ditetapkan. 3. Kementerian Kehutanan segera menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang tata cara pemberdayaan masyarakat setempat termasuk didalamnya mengatur tentang kewenangan Kepala Unit Pengelola TN untuk memberikan izin pemanfaatan kepada masyarakat setempat sesuai ketentuan Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, dan merevisi Pasal 4 Permenhut No. P.492008 tentang Hutan Desa agar konsep hutan desa tidak hanya diberlakukan di hutan produksi dan hutan lindung, tetapi juga di hutan konservasi. 4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447Kpts-II2003 perlu direvisi karena tidak sejalan dengan peraturan perundangan di atasnya, dan menjadisumber konflik serta penghambat pemanfaatan sumberdaya TSL di kawasan TN. 5. Istilah pemanfaatan tradisional dalam PP 282011 sebaiknya dipahami bahwa masyarakat setempat diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di zona tradisional dengan menggunakan aturan sesuai dengan pengetahuan ekologi tradisional yang mereka miliki. 6. Perlunya kesamaan tafsiran atas istilah HHBK dan TSL serta pemanfaatannya. DAFTAR PUSTAKA Adiwibowo S, Shohibuddin M, Kartodihardjo H. 2010. Contested Devolution: The Political Ecology of Community-Based Forest Management in Indonesia [internet]. Bogor ID. Hlm 1-16[diunduh 2010 Jan 7]. Tersedia pada:http:www.edi.compublicationpdf-file Agrawal A, Ostrom E. 2001. Collective Action, Property Rights, and Decentralization in Resource Use in India and Nepal. Politics Society. 29 4: 485-514. Sage. Aggarwal S, Elbow K. 2006. The Role of Property Rights in Natural Resource Management, Good Governance and Empowerment of The Rural Poor. Burlington: ARD. Allo AG. 2008. Kelembagaan Land Tenure Taman Wisata Alam Gunung Meja Dalam Kaitannya dengan Pembangunan Wilayah Kota Manokwari Provinsi Papua Barat [tesis]. Bogor ID: Sekolah Pascasarjana IPB. Arts B. 2002.‘Green Alliances’ of Business and NGOs.New Styles of Self- Regulation or ‘Dead-End Roads’? Corporate Social Responsibility and Environmental Management 9:26-36 Awang SA. 2006. Perencanaan Kolaboratif Taman Nasional Sebangau : Analisis, Konsep, dan Kegiatan. Palangka Raya ID: WWF Kalimantan Tengah. Basuni S. 2003. Inovasi Institusi untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi: Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [disertasi]. Bogor ID:Program Pascasarjana-IPB Beltran J, editor. 2000. Indigenous and Traditional Peoples and Protected Areas: Principles, Guidelines and Case Studies. Gland CH: IUCN. Borrini-Feyerabend G, Kothari A, Oviedo G. 2004. Indigenous and local communities and protected areas. Towards equity and enhanced conservation: guidance on policy and practice for co-managed protected areas and community conserved areas. Gland: The International Union for Conservation of Nature. Broemly DW. 1992. Making the Commons Work: Theory, practice, and policy. California:ICS Press. Bryant RL, Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. New York:Routledge. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2007. Laporan Tahunan Pelaksanaan Pembangunan Kehutanan Balai Taman Nasional Sebangau Tahun 2006. Palangkaraya ID: BTNS. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2008a. Laporan Tahunan Pelaksanaan Pembangunan Kehutanan Balai Taman Nasional Sebangau Tahun 2007. Palangkaraya ID: BTNS. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2008b. Pengelolaan Taman Nasional Sebangau. Palangkaraya ID: BTNS. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2008c. RencanaPengelolaan Taman Nasional Sebangau Provinsi Kalimantan Tengah Periode 2007-2026. Palangkaraya ID: BTNS. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2009.Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Sebangau Tahun 2008. Palangka Raya ID: BTNS. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2010.Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Sebangau Tahun 2009. Palangka Raya ID: BTNS. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2011.Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Sebangau Tahun 2010. Palangka Raya ID: BTNS. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2012.Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Sebangau Tahun 2011. Palangka Raya ID: BTNS. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau.2013.Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Sebangau Tahun 2012. Palangka Raya ID: BTNS. Cahyana BT, Rachmadi AT. 2011. Pemanfaatan Kulit Kayu Gemor Alseodaphne sp. dan Cangkang Kemiri Aleurites molucca untuk Obat Nyamuk Alami.Jurnal Riset Industri Hasil Hutan. 32:13-18. Chape S, Blyth S, Fish L, Fox P, Spalding M, editor. 2003. 2003 United Nations List of Protected Areas. Gland, Switzerland: IUCN. Chape S, Harrison J, Spalding M, Lysenko I. 2005. Measuring the extent and effectiveness of protected areas as an indicator for meeting global biodiversity targets. Philosophical Transactions of The Royal Society 360:443-455. Cole FL. 1988. Content analysis: process and application. Clinical Nurse Specialist 21:53-57 Creswell JW.1994. Research Design. Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Ed ke-3. Fawaid A, penerjemah. Yogyakarta ID: Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Research Design. Qualitative, Quantitative, and Mixed Approaches. 3 th ed. Damayanti EK. 2008. Legality of National Parks and Involvement of Local People: Case Studies in Java, Indonesia and Kerala, India [Desertasi]. The University of Tsukuba. [DITJEN PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.2009. Statistik Ditjen PHKA Tahun 2008. Jakarta ID: DITJEN PHKA. [DITJEN PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2010. Rencana Kerja 2010. Jakarta ID: DITJEN PHKA. Diansyah A. 2011. Eksistensi Damang Sebagai Hakim Perdamaian Adat pada Masyarakat Suku Dayak di Palangka Raya [Tesis]. Denpasar ID: PS UDAYANA. Dohong A. 2010. Kearifan Lokal Suku Dayak Dalam Perlindungan Flora dan FaunaEndemik. [Internet]. [diunduh 2012 Nop 22].Tersedia pada: http:aluedohong.blogspot.com200905kearifan-lokal-dayak-dalam perlindungan. Dolsak N, Ostrom E. 2003. The Commons in the New Millennium: Challenges and Adaptation. London: The MIT Press. Dorji R. 2009. Interaction between protected areas and local communities-a case study from Jigme Dorji National Park, Bhutan [Thesis]. Vienna:University of Natural Resources and Applied Life Sciences. Drasospolino.2006. Memori Serah Terima Project Leader Proyek Konservasi Sebangau Periode 2004-2007. Palangka Raya: WWF Indonesia-Sebangau. Drasospolino.2009. Memori Serah Terima Jabatan Kepala Balai Taman Nasional Sebangau. Palangka Raya: BTNS. Dudley N, editor. 2008. Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland: IUCN. Dudley N, Stolton S, editor. 2008. Defining Protected Areas:an international conferencein in Almeria, Spain. Gland, Switzerland: IUCN. Ekomadyo.2006. Prospek Penerapan Metode Analisis Isi Content Analysis dalam Penelitian Media Arsitektur.Jurnal Itenas 210:51-58. Elo S, Kyngas H. 2008. The qualitative content analysis process. Journal of Advanced Nursing 621:107-115. Fathoni T. 1998. Managing Conflict in National Parks : The Case of Encroachment in Kerinci Seblat, Indonesia [disertasi]. Edinbugh: Institute of Ecology and Resource Management Univ Edinburgh. Fisher RJ, Durst PB, Enters T, Victor M. 2000. Overview of themes and issues in devolution and decentralization of forest management in Asia and The Pacific. Di dalam: Enters T, Victor M, Durst P, editor. Decentralization and Devolution of Forest Management in Asia and the Pacific. RECOFTC Report No. 18. Bangkok, Thailand. Garner TWJ, Stephen I, Wombwell E, dan Fisher MC. 2009. The Amphibian Trade: Bans or Best Practice? EcoHealth. DOI:10.1007s10393-009-0233-1 Golar. 2007. Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro: kajian kelembagaan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah [disertasi]. Bogor ID: PS-IPB. Hanna SS, Folke C, Maler KG. 1996. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment. Washington DC:Island Press. Hanif F. 2011. Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama PT. Garuda Indonesia Persero dengan WWF Indonesia tentang Rehabilitasi Hutan di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah Tesis. Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Handadhari T, Awali A dll. 2011. Peluang dan Mejanisme Perdagangan Karbon Hutan. Jakarta: APHI dan CERINONESIA. Hardansyah R. 2013. Penataan Kelembagaan Menuju Pengelolaan Taman Nasional Mandiri di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Bogor ID: PS-IPB. Harroy JP. 1974. A century in the growth of the “national park” concept throughout the world. In Elliot, Sir Hugh Ed.. Proceeding of the second World Conference on National Park, hal:24-38. Morges, Switzerland:IUCN. Hidayat A. 2005. Institutional Analysis of Coral Reef Management: a case study of Gili Indah Village, West Lombok, Indonesia. Germany DE: ICAR Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1993. Guidelines for Protected Area Management Categories.Gland CH: CNPPA with the assistance of WCMC. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories.Gland CH: CNPPA with the assistance of WCMC.