Tahap Perkembangan Moral Tahap Perkembangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar

46

2. Tahap Perkembangan Siswa Kelas V Sekolah Dasar

a. Tahap Perkembangan Moral

Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk menyesuaikan aturan, nilai dan norma yang ada pada masyarakat. Perilaku moral ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitar anak, baik keluarga, masyarakat atau teman sebaya Izzaty dkk, 2008: 110. Hurlock 1978: 79 berpendapat bahwa pola perkembangan moral sejalan dengan perkembangan kecerdasan. Ketika kecerdasan anak meningkat, maka tingkat perkembangan moral anak juga akan menjadi lebih tinggi. Apabila perkembangan moral tidak bisa mengikuti perkembangan kecerdasan, artinya anak dianggap tidak matang secara moral. Pendapat Hurlock diperkuat dengan tahapan perkembangan yang dijelaskan oleh Piaget dan Kolhberg. Studi penelitian yang dilakukan Piaget dan Kohlberg dalam Hurlock, 1978: 79 menunjukan bahwa perkembangan moral berkaitan dan tergantung pada perekembangan kecerdasan anak Menurut Piaget dalam Hurlock, 1978: 79-80 tahap perkembangan moral dibagi menjadi dua, yakni tahap realisme moral dan tahap moralitas otonomi. Tahap realisme dicirikan dengan ketaatan pada aturan yang didasakan pada konsekuensi. Ketaatan moral pada tahap ini tidak melibatkan penalaran penalaran atau penialaian pada motif pemberlakuan aturan moralitas. Selanjutnya, tahap kedua merupakan tahap moralitas otonomi. Pada tahapan kedua ini, anak menilai suatu perilaku atau aturan moral berdasarkan tujuan yang mendasarinya. 47 Piaget dalam Hurlock, 1978: 79-80 mengkategorikan anak usia 7 atau 8 tahun hingga 12 tahun atau lebih dalam kategori tahap perkembangan moralitas otonomi. Hal ini dikarenakan pada usia 8 tahun konsep anak tentang keadilan mulai berubah, anak tidak lagi menganggap kaku aturan moral yang diterapkan dan mulai melakukan modifikasi terhadap aturan moral berdasarkan tujuan yang mendasarinya. Misalnya, bagi anak usia 5 tahun, berbohong selalu salah, namun bagi anak dalam tahapan moralitas otonomi berbohong bisa jadi benar pada situasi tertentu. Oleh karena itu, bagi anak pada tahapan moralitas kedua ini berbohong bisa dibenarkan bisa juga salah tergantung pada tujuan atau motif yang mendasarinya. Selanjutnya, Kohlberg melajutkan penelitian Piaget dengan mengkategorikan perkembangan moral menjadi tiga tingkatan. Yakni moralitas prakonvensional, moralitas konvensional, dan moralitas pascakonvensional. Tahap pertama merupakan tingkatan moralitas prakonvensional, pada tahapan ini kepatuhan pada konsep moral didasarkan pada hukuman atau akibat fisiknya. Artinya anak patuh pada aturan moral karena mengharapkan penghargaan dan takut pada hukuman. Oleh karena itu, konsep moral yang terbentuk lebih didasarkan pada konsep tukar menukar daripada keadilan. Tahap kedua merupakan tingkatan moralitas konvensional. Anak pada tahapan ini menyesuaikan aturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain. Anak bersikap sesuai dengan aturan sosial agar diterima dalam kelompok sosial. Anak usia sekolah dasar berada pada tingkatan moralitas konvensional. Tahapan tingkatan moralitas tertinggi merupakan moralitas 48 pascakonvensional. Tahapan moralitas ini dicirikan dengan adanya keyakinan bahwa standar moral harus bersifat lues serta dapat dimodifikasi apabila perubahan yang dilakukan lebih banyak menguntungkan kelompok sebagai suatu keseluruhan. Pada tahapan ini, anak patuh terhadap aturan moral bukan karena tuntutan sosial melainkan karena adanya penyesuaian pada prinsip moralitas dalam diri sendiri Kohlberg dalam Hurlock, 1978: 80. Menurut teori perkembangan Piaget, tahapan perkembangan moralitas otonomi sejalan dengan tahapan perkembangan kognitif operasional formal. Perkembangan anak pada tahap operasional formal memungkinkan anak untuk memecahkan masalah dengan melibatkan nalar dan hipotesis dalil serta berfikir kombinatoris Monks dkk 2006: 223-224. Hal ini memungkinkan anak untuk menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang dengan melibatkan berbagai faktor pemecahan masalah Piaget dalam Hurlock, 1978: 80. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa siswa kelas V sekolah dasar berada pada tingkatan moralitas otonomi. Suatu tingkatan moral dimana anak menilai suatu perilaku atau aturan moral berdasarkan tujuan yang mendasarinya. Siswa kelas V sekolah dasar dapat pula berada dalam kategori moralitas konvensional, artinya anak pada tahapan ini menyesuaikan aturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain. Anak bersikap sesuai dengan aturan sosial agar diterima dalam kelompok sosial. 49

b. Tahap Perkembangan Sosial

Dokumen yang terkait

Pengaruh Dukungan Guru dan Teman Sebaya terhadap Akseptabilitas dan Pemanfaatan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja) di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Kota Tanjung Balai

3 72 174

Hubungan Peran Teman Sebaya Dengan Kecemasan Remaja Putri Pada Masa Pubertas Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Di Smp Swasta Betania Medan

10 93 92

Pengaruh Paparan Media Internet dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Bebas Pada Remaja SMA XYZ Tahun 2012

6 96 167

HUBUNGAN ANTARA STRES SEKOLAH DAN DUKUNGAN TEMANSEBAYA TERHADAP PERILAKU BULLYING PADA SISWA Hubungan Antara Stres Sekolah Dan Dukungan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Bullying Pada Siswa.

0 0 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Stres Sekolah Dan Dukungan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Bullying Pada Siswa.

0 2 12

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Antara Stres Sekolah Dan Dukungan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Bullying Pada Siswa.

0 2 5

HUBUNGAN ANTARA STRES SEKOLAH DAN DUKUNGAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU BULLYING PADA Hubungan Antara Stres Sekolah Dan Dukungan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Bullying Pada Siswa.

0 4 18

Hubungan antara Penerimaan Teman Sebaya dan Iklim Sekolah dengan Bullying pada Siswa SMP Negeri 11 Surakarta.

0 0 20

PENGARUH PERILAKU PROSOSIAL DAN KEPERCAYAAN DIRI TERHADAP PENERIMAAN TEMAN SEBAYA SISWA KELAS V SD NEGERI SE KECAMATAN PAJANGAN.

5 14 150

PENGARUH INTENSITAS PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DAN DUKUNGAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF PADA SISWA KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH 3 YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2014/2015.

9 27 188